Kapokmu Kapan, Mas? (38)Suara itu milik Bang Anton, kakak kandung Bang Robi. Apakah mereka terlibat dalam kematian kedua orang tuaku? Siapa lagi yang terlibat selain mereka? Apakah keluarga Bang Robi terlibat juga? Kak Elfa ... apakah termasuk ke dalamnya?Kucoba redam detak tak beraturan di dada dengan berkali-kali melafazkan istighfar. Barulah setelah aku bisa tenang, kulanjutkan membuka satu demi satu file bukti yang diberikan Ira. Sebagian besar isi file itu berupa pesan chat antara Bang Robi dengan beberapa orang. Di antaranya Bang Anton.Emosiku semakin menjadi-jadi saat mengetahui fakta sebenarnya. Kecelakaan yang terjadi pada kedua orang tuaku, dikarenakan ulah Bang Robi dan komplotannya. Hanya karena proyek kerja, keluargaku dibunuh dengan begitu sadis. Lalu, agar tak ketahuan, Bang Robi sengaja mendekatiku yang rapuh. Ya Allah ... jahat sekali mereka.Falshdisk kedua yang kubuka isinya tak kalah mencengangkan. Isinya adalah bukti Bang Robi menyuruh orang menghabisi nyawaku.
Kapokmu Kapan, Mas? (38b)Saat mata kami bertemu, aku bisa melihat wajanya merah padam."Maaf, saya refleks karena khawatir," ucapnya seraya memalingkan wajah."Iya ...." Hanya itu yang bisa kujawab.Pak Arsyad kembali menoleh ke arahku."Kamu sudah makan?" tanyanya.Aku menggeleng."Sedang tidak selera," jawabku acuh.Tanpa pikir panjang, Pak Arsyad langsung menarik tanganku keluar."Mau ngapain, Mas?""Makan! Kita cari makan. Saya gak mau kamu sakit."Pak Arsyad membuka pintu mobilnya dan mempersilakan aku naik. Setelahnya, dia menutup pintu mobil sisi penumpang bagian depan itu. Lalu berjalan untuk naik di sisi kemudi."Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku setelah mobil Pak Arsyad melaju."Ke mana saja yang penting cari makan buat kamu." Pak Arsyad bicara sambil fokus dengan jalanan di depannya. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku sejak naik mobil tadi."Tapi saya gak laper, Mas."Tepat saat aku mengatakan itu, mobil Pak Arsyad berhenti karena antrian lampu lalu lintas."Gak ada tap
Kapokmu Kapan, Mas? (39)Aku terperanjat melihat kedatangan Pak Arsyad secara tiba-tiba di ruang kerja Bang Robi."Kamu lagi ngapain di situ, Ning?" tanyanya.Aku yang salah tingkah langsung berdiri dari kursi kerja Bang Robi dan berpura-pura membersihkan meja kerja itu."Saya gantiin tugas teman, Pak," jawabku. Aku berusaha mengatur diri setenang mungkin. Padahal, degub jantungku sedang berlarian."Oh ... ya sudah. Lanjutin kerjaan kamu. Setelah itu ke ruangan saya, ya!" Setelah mengatakan itu, Pak Arsyad berbalik arah dan keluar dari ruang kerja Bang Robi.Aku menarik napas lega setelahnya.Cepat-cepat kuselesaikan apa yang sudah kulakukan. Lalu, sesegera mungkin keluar dari ruang kerja Bang Robi. Beruntung, saat keluar aku belum melihat tanda-tanda keberadaan sekretaris Bang Robi. Jadi, semua aman menurutku.Aku berganti arah ke ruang kerja Pak Arsyad. Beliau sudah menunggu di sana. Duduk dengan posisi menopang dagu.Lantai ruang kerja yang sudah kubersihkan sebelumnya, menjadi kot
Kapokmu Kapan, Mas? (39b)Perusahaan dan aset-aset berharga yang tak pernah kuketahui sebelumnya, diwariskan untukku. Aku yang dibesarkan Bude Ningsih dengan kesederhanaan, tak terlalu menggubrisnya. Padahal ada orang serakah yang ingin menguasai semuanya. Orang itu adalah Bang Robi."Jadi gimana, Nduk, langkah kamu selanjutnya? Surat-surat berharga warisan orang tua kamu gimana?""Nah itu dia, Bude, masalahnya semua itu hilang.""Memang kamu simpan di mana, Nduk?""Di rumah Mbok Mina, Bude.""Rumah yang kebakaran itu?"Aku mengangguk."Berarti ikut terbakar?"Aku menggeleng."Kemungkinan enggak, Bude. Aku rasa ada yang ambil. Tapi aku gak tau itu siapa. Mau tanya Mbok Mina tapi belum ada kesempatan."Malam itu kuhabiskan dengan bertukar kisah bersama Bude Ningsih. Mendengar nasihat-nasihatnya membuat hatiku terasa damai. Semua sesak dan perih seolah sirna begitu saja.Aku bahkan tertidur di pangkuan Bude Ningsih. Lalu, baru terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Posisi Bude Ningsi
Kapokmu Kapan, Mas? (40)"Apa?" Nada bicara Pak Arsyad berangsur normal."Saya melakukan itu karena memang pantas.""Maksud kamu?""Saya melakukan itu karena memang saya ingin menghancurkan Pak Robi!""Saya tidak tahu masalah kamu dengan Pak Robi. Tapi, asal kamu tau, apa yang kamu perbuat berdampak buruk bagi perusahaan!" Pak Arsyad kembali meninggikan nada bicaranya.Aku tak menjawab."Siapa kamu sebenarnya? Hah?" Pak Arsyad kembali membentakku."Siapa pun saya, bukan urusan Bapak," jawabku cuek. Aku mencoba menetralisir rasa yang entah apa. Bahagia, juga terluka. Aku bahagia karena rencanaku ternyata berjalan dengan lancar. Akan tetapi, aku juga merasa terluka akibat sikap Pak Arsyad. Terlebih ketika bentakan demi bentakan dilontarkannya kepadaku."Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi!"Aku yang sedari tadinya menunduk, lantas menoleh ke arah Pak Arsyad.Saat mata kami bertemu, Pak Arsyad segera mengalihkan pandangannya.Entah kenapa, ada nyeri yang menjalari hatiku mend
Kapokmu Kapan, Mas? (40b)Aku sudah tahu hal itu pasti terjadi. Akan tetapi, tetap saja rasanya menyakitkan. Air mataku kembali luruh ketika bayangan pengusiran dari Pak Arsyad berkelebat dalam ingatan.Sampai malam menjelang, aku masih belum juga menemukan cara untuk mengembalikan laptop milik Pak Arsyad. Tak mungkin benda itu kubawa serta pulang ke kampung Emak. Aku harus mengembalikannya sebelum pulang.Aku akhirnya mendapatkan ide di pagi hari. Aku akan mencegat Bu Risa di jalan sebelum dirinya sampai ke kantor. Akan kutitipkan laptop milik Pak Arsyad kepadanya.Setelahnya, aku langsung menuju terminal dan naik bus jurusan kampung tempat tinggal Emak dan Nining. Sebelumnya, aku sudah berpamitan terlebih dulu dengan pemilik indekos dan teman-teman di sana. Berat rasanya harus pergi dari sana karena aku sudah telanjur nyaman tinggal di tempat itu.Aku sampai di rumah Emak tepat jam makan siang. Emak dan Nining sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk menyambutku. Kami lalu makan sia
Kapokmu Kapan, Mas? (41)Aku bimbang dengan kenyataan yang kuhadapi. Haruskah aku mempercayai apa yang dikatakan Pak Arsyad atau aku harus berusaha sendiri demi membalas dendam kepada Bang Robi? Bisa saja Pak Arsyad punya maksud lain dari ajakannya.Aku belum terlalu mengenal Pak Arsyad dengan baik. Aku juga tidak tahu apakah yang dikatakannya adalah kebenaran atau kebohongan belaka. Terutama soal hubungannya dengan ayahku.Selama ini aku tidak terlalu mengenal siapa saja orang yang bekerja dengan kedua orang tuaku. Terlebih, mereka harus meninggal tepat satu hari setelah aku menerima kabar kelulusan SMA. Jadi, aku belum sempat dikenalkan dengan dunia pekerjaan ayahku seperti janjinya. Ayahku memang sengaja tak mengenalkanku dengan siapa pun yang berkaitan dengan semua pekerjaannya. Aku hanya diminta fokus belajar agar mendapat nilai baik dan melanjutkan pendidikan untuk menungjang karirku nanti. Ayah berjanji akan mengajari dan menurunkan semua usahanya untukku setelah aku dirasa mam
Kapokmu Kapan, Mas? (41b)Benar saja, belum sempat aku duduk, Mbok Mina kembali muncul bersama Mas Wisnu. Pemuda itu tampak terkejut melihatku."Mbak Titi?" tanyanya.Aku memberikan anggukan sebagai jawaban.Detik berikutnya, Mas Wisnu ikut duduk di sofa setelah kupersilakan.Aku, Mbok Mina, dan Mas Wisnu mengobrol banyak hal. Mereka menanyakan ke mana saja diriku selama ini. Jadi, kujelaskan semuanya tanpa terkecuali. Juga tentang penyamaranku tempo hari sebagai seorang sales."Pantas saya kayak kenal sama Ibu waktu itu," tutur Mbok Mina."Yang bener, Mbok?""Iya, Bu. Bu Elfa juga bilang sama saya pas Ibu pulang. Katanya lihat Ibu yang jadi sales inget Bu Titi.""Terus, Bapak gimana, Mbok? Selama ini ada ngomongin saya gak?"Ah ... mengapa aku menanyakan hal itu? Jelas sudah Bang Robi pasti tidak peduli denganku. Bukannya dia yang menyuruh orang membunuhku, kata Ira."Nah itu, Bu. Beberapa hari sebelum Ibu datang sebagai sales, Bapak sering mimpiin Ibu katanya. Saya juga dengar kalau