Di salah satu penthouse mewah di pusat kota, suara benda keras terdengar membentur dinding.Cassandra Wibisono mengamuk. Gaun satin yang melekat di tubuhnya tampak berantakan, wajah cantiknya merah padam karena marah.“Atah melarang aku datang ke pernikahan Alena?” bentaknya, suaranya menggema di ruangan.Di tangan kirinya, selembar undangan yang sudah kusut. Ia melemparnya ke lantai, napasnya memburu cepat.Margaret dan Bernardus Wibisono memutuskan—atas nama menjaga citra keluarga—bahwa Cassandra tidak boleh hadir di pernikahan Alena dan Arga. Mereka tak mau ada drama, tak mau risiko reputasi. Lagi pula, semua orang tahu sejarah Cassandra dengan Arga.Diusir secara halus, diasingkan oleh keluarganya sendiri. Cassandra mendidih. Amarah mendesak ke permukaan.Tiba-tiba suara bel pintu berbunyi.“Siapa yang datang?” sentaknya kesal.Cassandra berjalan ke pintu, menghentak. Dibukanya dengan kasar.Di balik pintu, berdiri seorang pria muda. Wajah tampan itu terbingkai rambut ber
Pagi itu, Jakarta diselimuti kabut tipis. Langit berwarna kelabu, seolah ikut berduka atas sesuatu yang akan segera terjadi.Amara terbangun dengan berat. Tubuhnya masih lelah, tapi bukan karena kurang tidur. Batin yang terkuras membuat setiap gerakannya terasa seperti membawa beban berlipat ganda. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengisi paru-parunya dengan keberanian, tapi hanya mendapati kehampaan.Di walk in closet, terdengar suara pintu lemari dibuka. Arga.Amara bangkit perlahan, memeluk perutnya yang membesar. Bayinya bergerak pelan, seakan ikut merasakan gelombang emosi yang bergulung di dada ibunya.Dia berdiri di depan cermin. Wajahnya tampak pucat, kantung mata menggelap, tapi matanya—mata itu tetap tegar, meski berkilat pilu.Tidak lama kemudian Arga muncul dengan setelan jas hitam klasik. Kancing manset perak mengikat erat lengan bajunya. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dipulas tipis dengan sunscreen tone up—persiapan untuk ratusan kamera yang akan menyorotin
Di ruang tamu rumah Arga, Amara duduk dengan punggung bersandar, selimut tipis membalut kakinya. Matanya menerawang ke jendela, kosong.Satu tangan mengelus perlahan perutnya yang membulat, mencari secuil ketenangan yang sulit didapat belakangan ini.Tiba-tiba suara bel pintu berdering.Amara mengerjap pelan, enggan beranjak. Bi Eti yang baru keluar dari dapur bergegas membuka pintu.Di balik daun pintu berdiri sosok tinggi dengan setelan kasual rapi. Zeno.Wajah pria itu tampak canggung, kedua tangannya membawa map berwarna krem dengan pita emas di atasnya. Sesuatu yang langsung membuat jantung Amara mencelos.Undangan.Bi Eti membuka pintu lebih lebar, mengizinkan Zeno masuk. Amara menahan napas saat melihat Zeno melangkah masuk, langkahnya kaku, tatapannya penuh ragu.“Bu Amara,” sapanya pelan. Suaranya teredam oleh berat suasana di ruangan itu.Amara menegakkan tubuh, menatap Zeno dengan tatapan penuh tanya.Kenapa Zeno datang?Untuk apa pria itu membawa undangan pernik
Arga selalu menepati janji, jam sembilan—mobil datang menjemputnya untuk mengantar ke rumah Ibu.Matahari masih malu-malu bersembunyi di balik awan ketika Amara keluar dari mobil di depan gang.Langkahnya gontai menjejak di sepanjang lorong, lalu ketika sampai pintu depan rumah sederhana yang sudah ia kenal seumur hidupnya perlahan benda tersebut terbuka. Ima melambai kecil dari balik daun pintu.“Pagi, Bu Amara,” sapa Ima ramah.Amara membalas dengan senyum kecil, menahan perasaan sesak yang masih tersisa di dadanya. “Pagi, Ima.”Di dalam rumah, Sumiati duduk di kursi roda, wajahnya terlihat lebih segar daripada terakhir kali Amara melihatnya.“Bu…” Amara menghampiri, meraih tangan ibunya dan menciumnya dengan lembut.Sumiati menatap putrinya dengan senyum samar. “Kamu kelihatan lebih kurusan, Mar …” suaranya parau namun penuh kasih.“Lagi banyak pikiran, Bu,” jawab Amara, berusaha terdengar ringan.“Berita diinfotainment, jangan terlalu dipikirkan … Arga sudah menemui ibu ke
Pagi itu langit tampak kelabu, mendung menutup sinar matahari. Udara dingin masuk lewat celah jendela, tapi bukan itu yang membuat Amara merasa menggigil.Ia duduk di sofa ruang tengah dengan bantal kecil dipeluk erat di perutnya yang mulai membulat. Televisi menyala di hadapannya, volume dikecilkan, tapi gambar-gambar itu berbicara lebih keras dari suara apapun.Gambar Alena — dalam balutan gaun putih saat fitting, berdampingan dengan Arga, keduanya tersenyum ke arah kamera. Lalu cuplikan video: kilasan tentang tempat resepsi mereka, wawancara singkat Alena tentang konsep intimate wedding dan bagaimana ia menginginkan “sesuatu yang personal dan elegan.”Amara memejamkan mata. Mencoba menahan gejolak di dada yang perlahan meletup seperti gelembung sabun pecah satu per satu.Dia sudah tahu ini akan terjadi. Sejak tanda tangannya tergores di surat persetujuan kemarin, dia tahu ini bukan lagi rahasia, bukan lagi wacana. Ini nyata. Ini berjalan di depan matanya.Tapi melihatnya di la
Amara menatap punggung Arga sambil bersandar di kursi meja makan dengan sweater membalut tubuhnya.Wajahnya masih pucat, tapi tak lagi sesuram semalam. Mungkin karena tubuhnya mulai pulih… atau mungkin karena ada seseorang yang terus menjaganya.Arga.Pria itu kini tengah berdiri di dapur rumah mereka, mengenakan kaus hitam lengan panjang dan celana training.Arga sedang mencetak telur orak-arik dengan brokoli, menu yang disarankan dokter setelah mendapat kabar kalau bi Eti tidak bisa datang hari ini.“Pagi ini kamu makan yang ringan aja dulu, ya?” ujar Arga tanpa menoleh, tangannya cekatan memindahkan makanan ke piring.Amara tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, suaranya terlalu letih untuk menjawab. Beberapa menit kemudian, Arga membawa nampan dan duduk di meja makan depan Amara.“Bisa makan sendiri?” tanyanya lembut.Amara mengangguk lagi sembari menegakan punggung, tapi tubuhnya masih lemah. Refleks, Arga segera bangkit dan pindah duduk di samping Amara.“Aku suapin