Bab 18Pak Hendrik menutup map cokelat itu perlahan, seolah tengah menyerap setiap lembar dokumen yang baru saja ia pelajari.“Saya sudah membaca semuanya,” katanya akhirnya. “Termasuk salinan surat wasiat dari mendiang Ayah Anda.”Alma hanya mengangguk. Ekspresinya tampak tenang, namun kedua tangannya yang bertaut di pangkuan tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang bersembunyi di balik ketegasannya.Ia tahu betul kemunculannya akan mengguncang banyak pihak, tapi ia tidak datang untuk meminta belas kasihan. Ia datang untuk mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.“Saya paham ini terdengar mendadak,” ujarnya pelan. “Tapi saya hanya menjalankan hak dan tanggung jawab saya sebagai ahli waris.”Pak Hendrik menghela napas, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit dibaca. “Tak hanya mendadak, tapi juga membingungkan. Anda tahu sendiri, selama ini Anda tak pernah muncul dalam urusan rumah sakit. Bahkan banyak yang tak tahu Anda putri kandung Pak Aditya Kusuma.”Memori lama
“Apa sih maksud kamu, Mas nggak ngerti! Kalau memang Mas Ada salah, ya kamu bilang aja apa susahnya, sih? Mas pasti minta maaf dan berubah!”Mendengar itu, Alma hanya tertawa dingin dalam hati. “Kalau Mas merasa nggak ada salah, ya sudah,” ucapnya seraya berjalan ke arah pintu, lalu mengambil kunci mobil dari atas lemari kecil. “Karena hari ini Mas nggak ke rumah sakit, aku bawa mobil, ya. Mas nggak keberatan, kan?”Arhan belum sempat membalas, tapi Alma sudah lanjut berkata, “Harusnya nggak ya. Toh mobil juga aku yang beli, kan?”Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Alma melangkah keluar dan membanting pintu pelan. Suara langkahnya terdengar jelas, lalu pintu depan dibuka, dan tidak lama kemudian, suara deru mesin mobil terdengar membelah keheningan pagi.“Sialan!” Arhan mengumpat keras sambil menendang sisi ranjang. Suaranya terdengar hingga ke penjuru rumah.Pintu kamar Nadine terbuka. Gadis itu muncul dengan piyama satin warna pink muda, rambutnya dikuncir satu, ekspresi heran ter
Usai makan malam, terlihat Arhan dan sang ibu duduk di ruang tamu.“Tadi Ibu udah lihat sendiri ‘kan gimana Alma sekarang? Kalau terus begini, gimana aku bisa tenang?!” gerutu Arhan.Ferika menghela napas. Dia sendiri merasa masalah ini sedikit rumit karena sikap Alma yang berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi, dia hanya berkata, “Istrimu cuma lagi masa membangkang aja. Nanti kalau bosen juga dia balik lagi.”“Aduh, Bu. Kalau tunggu dia bosen, bisa-bisa posisi kepala bagianku hilang duluan!”Kening Ferika berkerut. Bingung. “Maksudnya?”Arhan menegapkan tubuh, menatap ibunya serius. “Jadi gini loh, Bu. Tadinya aku tuh calon tunggal untuk posisi kepala bagian, ‘kan? Tapi sekarang … gara-gara Alma balik kerja, Prof Mahendra, yang ternyata juga guru Alma, malah lebih perhatian ke Alma dan kayaknya ingin jadiin Alma penggantinya!”Ferika tampak agak kaget. Dia yang sudah tahu sepenting apa Prof. Mahendra di rumah sakit, sulit percaya Alma ternyata adalah murid pria tersebut. Setahu
“Ke mana aja sih kamu jam segini baru pulang?!” Suara Nyonya Ferika menyambut Alma yang baru pulang dan masuk ke ruang makan.Alma yang masih mengenakan jas putihnya hanya menghela napas pelan, menatap ketiganya yang sudah duduk manis di meja makan.Ibu mertua duduk di ujung meja dengan pose angkuh seperti pemilik rumah. Arhan tampak lesu, tapi langsung memasang wajah kesal saat melihat Alma. Sedangkan Nadine duduk di sebelah Arhan dengan senyum bangga.“Ini udah malam, Alma. Kamu itu istri orang, bukan anak kuliahan! Masa suami pulang kamu belum ada di rumah? Untung ada Nadine yang masakin dan nyiapin minum buat Arhan. Kalau nggak, entah jadi apa suamimu itu!”Nadine yang disebut namanya langsung menoleh pada Ferika. Ia tidak menyangka Ferika mengatakan bahwa dialah yang masak, terutama karena sebenarnya dia hanya bantu-bantu saja.“Nadine yang masak?” Alma menatap adiknya itu dengan alis terangkat. Seumur-umur Nadine paling enggan turun ke dapur, jadi dia tidak pernah bisa memasak.
"Gara-gara dia, semua jadi kacau!"Arhan membanting pintu ruangannya sedikit keras, hingga Nadine yang hendak duduk di sofa ruangan itu tersentak dan kembali berdiri."Mas, harusnya tadi Mas—""Diam! Mending kamu nggak usah banyak ngomong. Bikin aku tambah pusing saja!" Arhan mengacungkan telunjuknya di hadapan Nadine. Wajahnya merah padam."Loh, kok Mas Arhan bentak-bentak aku juga?" Nadine tak terima."Ya kalau kamu nggak bisa masak, jangan ngaku bisa masak! Jadinya sekarang begini, kan? Aku terlambat, dapat surat teguran dari Prof dan komplain dari pasien. Kamu tuh kalau nggak bisa bantu, jangan nambah bebanku!"Nadine menarik napas dalam-dalam. "Tapi Mas, Aku cuma ...""Halaah! Sudah jangan berisik! Malas aku debat sama kamu.” Arhan menggertakkan gigi, lalu meraih jas putihnya dan berbalik pergi untuk keluar ruangan. Namun, langkahnya berhenti dan dia menatap Nadine sesaat. “Kalau kamu memang mau bantu, coba kamu yakinkan kakakmu itu agar bisa kembali jadi istri yang baik dan me
Alma mengangkat alisnya. "Maksudnya apa, ya?" tanyanya santai. Ia melangkah menuju kulkas, mengambil sebotol jus mangga dingin, lalu duduk di sofa sambil meneguk perlahan. Ekspresinya tetap tenang. "Jangan pura-pura! Aku tahu jadwal pulangmu harusnya lebih awal. Tapi kenapa malah pulang selarut ini!?" suara Arhan meninggi, matanya menatap tajam ke arah istrinya. Alma menaruh botol jus di meja, memperbaiki posisi duduknya. "Oh, itu." Ia bergerak sedikit memperbaiki posisi duduknya, lalu lanjut bicara. "Aku nggak jalan sama siapa-siapa, Mas," jawab Alma, nadanya tetap tenang. "Aku tadi nonton proses operasi Felix. Dia menawarkan untuk jadi pembelajaran. Bukannya Mas juga tahu, belajar langsung dari senior itu kesempatan langka?" Wajah Arhan menggelap. "Kalau mau belajar, kenapa nggak sama aku aja?" Alma tersenyum tipis. "Kan kita udah sepakat untuk nggak saling kenal di kantor, Mas. Kalau aku tiba-tiba minta tolong ke kamu, yang notabenenya aku baru kenal, bukannya malah aneh?