Kiran mengambil gigitan pertama dari ayam bakar dan matanya melebar takjub. "Ini... luar biasa, Kon!" Ekspresi Kiran tampak terkejut."Benar-benar lezat," tambah Chen, yang biasanya hemat dalam memuji. "Bagaimana kau belajar memasak seperti ini?" Chen tak mau kalah. Ia mencomot dan membuktikan kata-kata Kon. Kon tersenyum bangga, sayap kelelawarnya mengepak dengan semangat. "Tuan Kazam dulu sering bepergian ke berbagai negeri. Aku belajar dari koki-koki terbaik di setiap tempat yang kami kunjungi."Bahkan Pigenor, yang hanya menikmati sayuran dan jamur panggang, mengangguk puas. "Bumbu yang kau gunakan sangat seimbang. Tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk menonjolkan rasa asli bahan," katanya mengendus-endus aroma memikat itu.Melihat Pigenor hanya menyantap berry dan buah-buahan..."Ini adalah hidangan spesial yang aku masak untuk Tuan Pigenor," kata Kon. Dia menyajikan sepiring roti berbentuk bulan sabit dengan aroma harum yang menggoda. "Roti khusus dengan isian kismis dan kenari,
Malam terakhir di Hutan White Parrot terasa berbeda. Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma pinus yang tajam dan sesuatu yang lain—sesuatu yang asing dan mengancam. Kiran dan kelompoknya memutuskan untuk berkemah di sebuah cekungan kecil yang terlindung oleh bebatuan besar."Besok siang kita sudah akan tiba di Pegunungan Fatique," kata Kiran sambil menebarkan peta usang itu di atas tanah. "Sebaiknya kita beristirahat dengan baik malam ini."Emma mengangguk setuju. "Perjalanan terakhir biasanya yang paling melelahkan."Mereka mulai menyiapkan perkemahan untuk malam terakhir di hutan. Kiran dan Chen membangun tenda sederhana dari kanvas tebal yang mereka bawa, sementara Pigenor mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Burs dan Kon terbang rendah di sekitar Gallileon dan keledai yang mereka kendarai, memberi makan dan menyikat bulu hewan-hewan itu."Gallileon ini sangat kuat," puji Kon sambil menyikat bulu Gallileon milik Kiran. "Tidak heran mereka menjadi tunggangan utama pasukan
"Sepertinya pencarian kita akan jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan," kata Kiran, matanya menatap antrian panjang dengan ekspresi heran.Namun, akhirnya mereka bergabung dengan antrian yang tampak seperti ular panjang itu. Orang-orang dari berbagai latar belakang berdiri bersama—petarung dengan senjata besar di punggung, penyihir dengan jubah berwarna-warni, pedagang dengan kantong-kantong besar, dan bahkan beberapa bangsawan yang terlihat tidak nyaman berdiri di bawah terik matahari.Satu jam berlalu dengan lambat. Kiran dan kawan-kawannya akhirnya tiba di gerbang Tambang Tartaf, di mana seorang pria kurus tinggi berjubah hitam dengan bordir perak berdiri dengan wajah bosan. Di sampingnya, Golem Batu raksasa mengawasi dengan mata yang berkilau merah."Nama dan tujuan?" tanya pria itu—yang pasti adalah Obeah, penyihir penjaga yang diceritakan Burs."Kiran dan rombongan," jawab Kiran dengan tenang. "Kami ingin mengunjungi Kota Falice."Obeah mengamati mereka satu per satu, matan
Setelah menyetujui harga dan mendapatkan kunci kamar, mereka duduk di meja bar untuk makan malam dan mendengarkan percakapan di sekitar mereka."...katanya hadiah minggu ini mencapai 10.000 koin emas," kata seorang pria bertubuh kekar di meja sebelah."Ya, tapi kau harus mengalahkan Conji dulu," balas temannya. "Dia sudah menjadi juara bertahan selama tiga bulan.""Kudengar Benders dan Ethan juga akan bertarung besok," tambah pria ketiga. "Pertarungan tim tiga lawan tiga.""Bagaimana dengan Itzam? Apa dia masih menjadi wasit?" tanya pria pertama."Tentu saja. Abras mencoba menggantikannya minggu lalu, tapi Rory tidak setuju. Kau tahu sendiri bagaimana pengaruh Rory di Paradox Colosseum."Setelah puas menguping dengan rasa kegembiraan yang melupa-luap... Emma, Chen, dan Pigenor memutuskan untuk mengunjungi toko alkimia setelah makan malam.Mereka tertarik dengan buku-buku sihir dan ramuan yang mungkin berguna untuk perjalanan mereka."Aku akan pergi ke toko yang menjual informasi," kat
Kiran masih terpaku menatap poster Yuta Si Tiada Tanding, mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah melihat sosok itu sebelumnya."Tuan Kiran?" Burs mengguncang lengan Kiran pelan, menyadarkannya dari lamunan. "Apa kita akan mendaftar sekarang?"Kiran mengerjapkan mata, kembali ke realitas. "Ya, tentu. Mari kita masuk."Mereka melangkah melewati pintu masuk Paradox Colosseum yang megah. Interior arena itu bahkan lebih mengesankan—langit-langit tinggi dengan kubah kristal yang memantulkan cahaya, koridor-koridor luas dengan patung-patung petarung legendaris, dan suara gemuruh penonton yang terdengar dari arena utama."Pendaftaran di mana?" tanya Kon, matanya bergerak liar mengagumi setiap detail arsitektur."Di sana," Kiran menunjuk ke meja panjang di ujung koridor, di mana beberapa orang sedang mengantri.Mereka berjalan mendekat dan bergabung dengan antrian pendek. Tidak butuh waktu lama hingga giliran mereka tiba. Di balik meja, duduk seorang gadis muda berambut merah yang dikepan
Di penginapan..."Aku tidak percaya kau membuat kami diam seperti itu!" protes Burs begitu mereka kembali ke Cyan Lady, dan Kiran melepaskan mantra penutup mulut. "Mereka menghinamu, Tuan Kiran! Kami seharusnya membela kehormatanmu!""Dan membongkar penyamaran kalian?" tanya Kiran. "Itu akan lebih berbahaya.""Tapi mereka sangat menyebalkan!" tambah Kon, wajahnya masih merah karena marah. "Terutama pria bernama Tanner itu! Aku ingin menyihirnya menjadi kodok!"Emma, Chen, dan Pigenor, yang sudah kembali dari ekspedisi belanja mereka, mendengarkan dengan geli."Jadi mereka meremehkanmu?" tanya Emma, tersenyum kecil. "Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi.""Orang-orang bodoh," kata Chen, menggelengkan kepala. "Menilai kekuatan seseorang dari penampilan fisiknya saja.""Itu hal yang umum," kata Pigenor bijak. "Manusia selalu terlalu cepat menilai. Tapi itu bisa menjadi keuntungan. Musuh yang meremehkanmu adalah musuh yang lengah.""Tepat sekali," kata Kiran. "Lagipula, aku suda
Fajar menyingsing di Kota Falice, meskipun tidak ada matahari yang benar-benar terbit di kota bawah tanah ini. Kristal-kristal di langit-langit gua raksasa mulai bersinar lebih terang, menandakan pergantian hari. Kiran sudah bangun sejak tadi, bersiap untuk hari penting yang akan dihadapinya."Pertarungan masih sore nanti," gumamnya sambil mengenakan jubah perjalanannya. "Masih ada waktu untuk berbelanja pot mana."Kiran meninggalkan penginapan Cyan Lady dengan langkah ringan. Emma, Chen, dan Pigenor masih tertidur, kelelahan setelah petualangan mereka kemarin. Burs dan Kon, yang tidur dalam wujud Imp di sudut kamar, juga masih mendengkur pelan.Jalanan Kota Falice sudah mulai ramai meski hari masih pagi. Para pedagang membuka kios mereka, pengunjung baru berdatangan dari pintu masuk tambang, dan aroma makanan menguar dari kedai-kedai yang baru buka.Kiran menuju ke distrik toko alkimia, tempat toko-toko sihir berjajar rapi. Ia memilih untuk mengunjungi Fantastic Store, toko yang men
Senja menjelang di Kota Falice. Suasana Kota terasa redup dan tenang.Meski berada jauh di bawah permukaan tanah, kota ini memiliki siklus siang dan malam sendiri berkat ribuan kristal sihir yang tertanam di langit-langit gua raksasa. Kini, kristal-kristal itu memancarkan cahaya keemasan kemerahan, menciptakan ilusi matahari terbenam yang begitu indah.Cahaya senja palsu ini memantul pada permukaan bangunan-bangunan batu, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di jalan-jalan kota. Meski buatan, senja di Kota Falice memiliki keindahan misteriusnya sendiri—perpaduan antara teknologi kuno dan sihir yang telah bertahan selama berabad-abad.Di tengah kota, Paradox Colosseum berdiri megah. Bangunan berbentuk lingkaran raksasa itu tampak lebih hidup dari biasanya. Obor-obor besar menyala di sepanjang dindingnya, dan bendera-bendera warna-warni berkibar tertiup angin buatan. Orang-orang dari berbagai penjuru berduyun-duyun memasuki arena, menciptakan lautan manusia yang bergerak
"Kiran bisa diajak bicara," Chen bersikeras. "Dan jika kau benar-benar menyesal...""Tidak semudah itu, Chen," Lila memotong lembut. "Beberapa kesalahan tidak bisa dimaafkan begitu saja."Keheningan kembali menyelimuti kereta. Chen ingin membantah, ingin mengatakan bahwa pengampunan selalu mungkin, tapi ia tahu Lila benar. Pengkhianatan adalah luka yang sulit disembuhkan, bahkan oleh waktu.Setelah hampir satu jam perjalanan melalui hutan, kereta mulai melambat. Di kejauhan, siluet Tembok Sihir menjulang tinggi, berkilau kebiruan dalam kegelapan. Benteng raksasa itu membelah daratan seperti bekas luka pada kulit bumi, memisahkan Kekaisaran Qingchang dari Kerajaan Zolia."Kita hampir sampai," Lila berbisik, matanya waspada mengamati jalan di depan. "Pos penjagaan perbatasan ada di belokan berikutnya."Chen menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "Apa rencanamu?""Aku akan menggunakan otoritasku untuk melewati pos," jawab Lila."Jika ditanya, aku sedang dalam misi rahasia ke Zolia.
Roda kereta berderit pelan melawan jalanan berbatu Kota Begonia. Dua ekor kuda hitam melangkah dengan irama stabil, napas mereka mengepul dalam udara malam yang dingin.Cahaya bulan sabit nyaris tak mampu menembus awan kelabu yang menggantung rendah, menjadikan malam itu lebih gelap dari biasanya.Kereta itu bergerak perlahan, hampir tanpa suara selain detak sepatu kuda dan gemeretak roda kayu. Lambang Kekaisaran terukir di sisi kereta, berkilau samar dalam keremangan.Seorang kusir berjubah tebal duduk di depan, wajahnya tersembunyi di balik tudung yang ditarik rendah.Jalanan kota tampak kosong. Jam malam telah diberlakukan sejak matahari terbenam, memaksa penduduk mengunci diri di rumah-rumah mereka yang rapuh.Hanya sesekali terlihat bayangan prajurit patroli dengan obor di tangan, memeriksa sudut-sudut gelap dengan tatapan waspada.Kereta berbelok ke jalan utama yang mengarah ke gerbang kota. Di sana, sebuah pos penjagaan berdiri dengan obor-obor menyala terang. Enam prajurit ber
Lila!Si Pengkhianat yang menyebabkan penangkapannya. Pengkhianat yang memisahkannya dari teman-temannya. Pengkhianat yang bekerja sama dengan Kekaisaran untuk menjebak Kiran dan kelompoknya di perbatasan.Darah Chen mendidih.Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan mantra paling mematikan yang ia tahu. Tapi ia menahan diri, menunggu dengan sabar seperti predator mengintai mangsanya.Lila berjalan melalui barisan pasien, sesekali berhenti untuk berbicara dengan para penyihir terluka. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang tampak tulus, tapi Chen tahu lebih baik. Ia telah melihat topeng itu sebelumnya, telah mempercayainya, dan telah membayar harganya yang mahal.Saat Lila mendekat ke arahnya, Chen berbalik dan berjalan cepat menuju ruang obat di belakang balai. Ia tidak bisa menghadapinya sekarang, tidak di depan semua orang. Ia membutuhkan waktu, tempat, dan kesempatan yang tepat.Kesempatan itu datang saat senja mulai turun.Ch
Mentari muncul dengan enggan di atas Kota Begonia, cahayanya yang pucat merayap perlahan melewati puing-puing bangunan yang rusak.Chen berdiri di ambang jendela sempit Balai Pengobatan Perbatasan Qingchang, mengamati kota kelahirannya yang kini hampir tak dikenali. Udara pagi terasa dingin dan lembab, membawa aroma obat-obatan, darah, dan keputusasaan yang telah menjadi teman setianya selama berminggu-minggu.Begonia dulu adalah permata kecil di tepi perbatasan, dengan pasar-pasar ramai dan taman bunga yang indah.Kini, separuh kota telah berubah menjadi lautan puing. Rumah-rumah penduduk biasa diperbaiki seadanya dengan kayu dan kain, menciptakan labirin jalan-jalan sempit yang suram. Atap-atap miring dan dinding retak menjadi pemandangan umum di distrik bawah, tempat rakyat biasa berjuang untuk bertahan hidup.Namun, di kejauhan, di balik tembok tinggi yang memisahkan distrik kumuh dari bagian kota lainnya, menara-menara megah dengan atap keemasan berdiri angkuh.Distrik bangsawan
"Serahkan dirimu," Rustam memerintah. "Hadapi pengadilan klan.""Kita semua tahu pengadilan itu hanya formalitas," Jasper menjawab. "Kalian sudah memutuskan hukumanku.""Kau membunuh putraku!" Rustam berteriak, kesedihannya berubah menjadi kemarahan murni. "Kau pantas mati!"Dengan geraman marah, Rustam berubah menjadi serigala besar dengan bulu keperakan. Ia melompat ke arah Jasper, diikuti oleh beberapa anggota klan lainnya.Jasper tidak punya pilihan. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan kekuatan barunya.Api biru keemasan menyembur dari kedua tangannya, membentuk dinding api yang mengelilinginya. Para serigala berhenti mendadak, mundur dari panas yang membakar."Aku tidak ingin membunuh siapapun lagi," Jasper berteriak di atas suara api yang berderak."Biarkan aku pergi, dan aku tidak akan pernah kembali.""Tidak akan!" Faris mengangkat tongkatnya, menggumamkan mantra kuno. Angin kencang bertiup, berusaha memadamkan api Jasper.Jasper merasakan kekuatan Faris mendorong apinya,
Reyna - gadis itu mundur, menggelengkan kepalanya."Kau... kau membunuh mereka. Kau membunuh Zahir.""Aku tidak bermaksud," Jasper mencoba menjelaskan, suaranya penuh keputusasaan. "Kekuatan ini baru. Aku tidak bisa mengendalikannya.""Kau seorang penyihir," bisik Reyna, masih mundur. "Kau berbohong pada kami semua.""Reyna, kumohon," Jasper melangkah maju, tapi gadis itu berbalik dan berlari, menghilang di antara pepohonan.Jasper tahu ia tidak punya banyak waktu. Reyna akan kembali ke perkampungan dan memberitahu semuanya. Ia harus sampai ke rumah Saraya, mengambil barang-barangnya, dan pergi sebelum seluruh klan mengejarnya.Dengan kecepatan barunya, Jasper berlari melalui hutan, melewati pohon-pohon dan semak belukar dalam gerakan kabur. Ia sampai di tepi perkampungan dalam waktu singkat, berhati-hati menyelinap di antara rumah-rumah untuk menghindari perhatian.Rumah Saraya tampak tenang saat ia masuk. Wanita itu sedang menyiapkan makanan di dapur, dan menoleh dengan terkejut saa
Jasper mengendap di balik semak belukar tebal, mengamati cekungan di hadapannya. Zahir dan lima pemburu lain berkumpul di sana, masih dalam wujud serigala mereka.Mereka tampak lelah setelah semalaman berburu tanpa hasil. Beberapa telah kembali ke wujud manusia, termasuk dua teman Zahir yang membantu menjebaknya.Tanduk perak Wendigo tergenggam erat di tangan Jasper. Bukti kemenangannya, bukti bahwa ia berhasil bertahan hidup dari rencana keji mereka.Kemarahan menyala dalam dadanya, bersama dengan energi baru yang mengalir dalam pembuluh darahnya."Kita sudah mencari sepanjang malam," salah satu pemburu yang telah kembali ke wujud manusia berkata."Tidak ada tanda-tanda Wendigo."Zahir, masih dalam wujud serigala hitamnya, menggeram rendah. Ia berputar dalam lingkaran kecil, tampak gelisah dan frustrasi."Mungkin kita harus kembali," pemburu lain menyarankan. "Patriark akan kecewa, tapi selalu ada perburuan berikutnya."Zahir berubah kembali ke wujud manusianya dalam gerakan mulus. T
Jasper tidak berhenti.Ia terus mengalirkan energi ke dalam apinya, membuat tornado itu semakin besar dan panas. Wendigo berputar dalam kesakitan, mencoba memadamkan api, tapi sia-sia.Api keemasan Jasper terlalu kuat, terlalu lapar.Dalam hitungan menit, tubuh Wendigo mulai runtuh menjadi abu. Tanduk peraknya jatuh ke tanah dengan dentingan keras, diikuti oleh sesuatu yang berkilau merah dari dalam tubuhnya yang terbakar.Saat api padam, yang tersisa hanyalah tumpukan abu dan dua benda: tanduk perak yang menjadi target Perburuan Malam, dan sebuah kristal merah sebesar ibu jari yang berkilau seperti bara api.Jasper merangkak mendekati sisa-sisa Wendigo, mengabaikan rasa sakit di kakinya.Ia mengambil tanduk perak itu, merasakan beratnya yang tidak wajar untuk ukurannya. Tapi perhatiannya lebih tertarik pada kristal merah yang berdenyut seperti jantung."Monster core," bisiknya, mengenali benda itu dari pelajarannya di Institut Sihir Magentum. "Inti api."Inti monster adalah kristalis
Sepasang mata putih tanpa pupil menatap Jasper dari kegelapan terowongan.Cahaya dari bola api kecil di tangannya menyinari sosok tinggi kurus yang perlahan melangkah maju. Kulitnya pucat seperti tulang yang lama terkubur, dengan tekstur kasar bagai kulit pohon mati. Tanduk perak mencuat dari kepalanya, berkilau dingin di bawah cahaya api.Wendigo Perak. Makhluk legenda yang menjadi target Perburuan Malam."Jadi kau nyata," bisik Jasper, mundur hingga punggungnya menyentuh dinding lubang.Makhluk itu menggeram, suaranya seperti angin musim dingin yang menyapu tulang-tulang kering. Ia membuka mulutnya, menampakkan deretan gigi setajam jarum yang tersusun dalam tiga baris.Lengannya yang panjang dan kurus berakhir dengan cakar melengkung yang tampak mampu mengoyak baja.Jasper menggenggam belati Reyna erat-erat, meski tahu senjata sekecil itu tidak akan banyak membantu. Kakinya yang terluka berdenyut nyeri, mengingatkannya bahwa ia tidak dalam kondisi untuk bertarung, apalagi melarikan