"Puspa, Pita tewas di bunuh orang."
Deg."Pita?"Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan.Benarkah Pita tewas?Adikku?Mati?Dibunuh orang?Pita meninggal?Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup.Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana.Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang."Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat.Bukan Pita yang meninggal, tapi ...Fano.Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku mengusap-usap punggungnya mencoba menguatkan.Dada ini mendadak sesak ketika melihat sebelah tangan Pita mengusap-usap perutnya yang membesar."Yang sabar, ya, Pit."Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Pita langsung pingsan di sebelahku."PITAAA!!!" teriakku setelah terbangun dari tidur. Dengan napas tersengal-sengal. Hufftt, ternyata cuma mimpi.Aku menghembuskan napas kasar, kemudian mengusap-usap wajah. Untung saja cuma mimpi."Kenapa?" tanya seseorang yang sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah datar.Aku langsung terperanjat. "Sejak kapan kamu berada di sini?""Tadi gue lagi minum di dapur, denger lo teriak," jawab Reno malas."Aku baru saja mimpi buruk.""Makanya kalau mau tidur itu doa dulu." Reno menutup pintu sedikit kasar.Aku mendengkus. Benar-benar orang itu.***Menurut cerita Pita kemarin, Fano punya hutang dengan mas Aldi. Kejamnya Fano sampai ingin merelakan istrinya yang sedang hamil untuk mas Aldi. Mungkin, Fano ingin meniru ibu mas Aldi yang membayar hutang dengan menikahkan orang tersayang dengan si pemberi hutang.Fano adalah pemuda nakal yang suka judi dan mabuk-mabukkan. Kalau kalah judi, jangankan memberi nafkah, gaji buruh Pita saja dirampas sama dia.Entah bagaimana ceritanya Fano bisa punya banyak hutang kepada mas Aldi. Padahal ketika acara keluarga mereka berdua terlihat cuek-cuek saja saat bertemu. Dugaanku mas Aldi juga pemain judi, sehingga Fano terpaksa meminjam uang kepadanya ketika kalah.Atau mas Aldi hanya menjebak Fano supaya Pita bisa menikah dengan dirinya. Awalannya kan mas Aldi menyetujui perjodohan, karena mengira yang menikah dengannya itu adikku, Pita. Dan, dari beberapa pertemuan mas Aldi juga menunjukkan ketertarikannya kepada Pita.Lagi-lagi aku harus berterimakasih kepada Reno. Karena dia mau membayarkan hutang-hutang Fano. Dengan syarat, Fano segera menceraikan Pita. Daripada Pita terus menderita batin, karena Fano sering main tangan ketika bertengkar.Aku dan Fano mendatangi rumah mas Aldi. Ibu mertuaku terlihat takjub melihat badanku sekarang yang agak kurus."Ya ampun Puspa, ini beneran kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.Aku mengangguk sambil melemparkan seulas senyum."Kamu kok cantik sekali," lanjutnya lagi dengan kagum. Pandangan beliau beralih ke arah Reno. "Ini, suami kamu yang sekarang?"Reno tersenyum. "Calon tante.""Wah, tampan." Ibu mas Aldi memuji, namun ada gurat kekecewaan di wajahnya. "Kamu sekarang malah makin cantik, Pus.""Ya begitulah, Tan, kalau pengen punya istri cantik harus dimodalin," sindir Reno. Aku langsung menyikut lengannya.Mas Aldi keluar dari kamar. Sepertinya baru saja bangun tidur. Menyalamiku dengan Reno secara bergantian.Pandangan kami sempat bertubrukan beberapa saat. Ada rasa hangat yang menjalar di dalam dada kala manik mata coklat itu bertemu dengan bola mataku.Mungkin dia sedikit kaget melihat wajah mulusku sekarang, tapi masih gengsi untuk menanyakan."Jadi, kehadiran kami di sini ingin membayarkan hutang-hutang Fano, suaminya Pita." Reno langsung menjelaskan tujuan kami ke sini setelah mas Aldi duduk."Lho, Fano punya utang ke kamu ya, Di?"Mas Aldi yang tadinya memandangiku dengan intens langsung tergagap. "Ah, i ... iya, Bu.""Ealah."Reno mengeluarkan segepok uang 10 juta dibalik jas kantornya.***"Apakah kamu akan menikahi Pita?" tanyaku kepada Reno.Sudah dipastikan. Tidak mungkin seseorang berbuat baik kalau tidak ada maunya."Kalau Pita mau nggak pa-pa."Lalu, aku gimana Ren, gumamku dalam hati. Entah kenapa aku mengharapkan itu. Reno sudah cukup berjasa dalam hidupku."Tapi, jangan maksa Pita, ya, kalau nggak mau.""Siap."Lagi dan lagi, aku harus cemburu kepada Pita adikku sendiri.Reno kini mengemudikan mobilnya menuju ke rumah Pita. Aku akan pindah tempat tinggal di rumah Pita. Koper berisi pakaian-pakaianku sudah ada di mobil Reno.Berhubung itu rumah Pita yang dibeli dari hasil warisan bapak-ibu yang kami bagi dua. Maka, setelah cerai, Fano tidak punya wewenang untuk tinggal di rumah itu.Jatah warisanku sudah habis dipakai mas Aldi. Usahanya bangkrut.Hingga beberapa menit kemudian kami sampai di rumah Pita. Sebelum turun dari mobil, aku langsung mencekal lengan Reno yang hendak turun."Reno.""Apa?"Aku menatapnya dengan tatapan sendu. Lidah ini terasa kelu."Kenapa, Pus?""Kalau Pita mau menikah dengan kamu. Kamu akan menikahinya?" tanyaku dengan nada bergetar.Reno menatapku datar. Kemudian mengangguk.Dadaku mendadak terasa sesak. Teringat dengan kebaikan-kebaikannya."Makasih, ya," ucapku pedih. Air mata tiba-tiba menetes dipelupuk mata."Untuk?""Semuanya."Reno kembali mengangguk.Aku mencoba mati-matian mengucapkan sesuatu yang ingin sekali aku ucapkan sejak tadi. "Bo ... boleh aku cium kamu?"Air wajah Reno berubah terkejut."Untuk pertama dan terakhir kalinya." Aku menghapus bulir-bulir bening yang membasahi pipi. "Aku belum pernah mencium laki-laki. Bahkan mas Aldi mantan suamiku sendiri."Reno terdiam."Aku suka sama kamu, Ren."Reno menghela napas kasar. Kemudian mencium bibirku sekilas.Langsung terasa debaran-debaran aneh di dalam dada. Meremukkan tulang-tulang. Ciumannya bak sengatan listrik yang membuatku terasa kaku."Maaf," ucap Reno pelan. Kemudian kembali mencium keningku cukup lama.Pria misterius yang susah ditebak itu turun dari mobil. Mengambil koperku untuk dimasukkan ke rumah Pita.***Aku menaikki sepeda motor Pita menuju ke kafe. Aku harus tetap bekerja untuk kelangsungan hidup kami berdua. Aku dan Pita. Apalagi Pita sedang hamil.Reno tidak mungkin menikahi Pita, sebelum habis masa iddah. Karena Pita diceraikan Fano saat sedang hamil. Sehingga harus menunggu masa iddah sampai melahirkan dulu sebelum nikah lagi.Mengingat hal tersebut, aku kembali merasa sedih. Kenapa semakin lama, perasaanku kepada Reno semakin besar. Semakin berusaha dilupakan semakin melawan. Aku sudah terbelenggu dengan cintanya.Tidak seperti biasanya yang berjalan kaki hingga harus berangkat dari rumah Reno pukul 8 pagi. Sekarang aku bisa bersantai dan datang ke kafe pukul 10 pagi.Tampak Sevelyn, Cindy, dan Melin sedang bersih-bersih. Terlihat dari kaca depan kafe yang tembus pandang sampai ke jalan raya.Mereka menyambutku dengan hangat. Tidak ada bullyan-bullyan lagi yang biasa aku dengar.Jangan berpikir aku sekarang berubah menjadi percaya diri. Tentu saja jiwaku masih sama seperti yang dulu, jiwa insecure dan trauma akan terlontarnya kata-kata hinaan. Meskipun hal tersbut sudah jarang aku rasakan.***Jam 11 malam. Waktunya pulang. Di angkasa, tidak ada wujud bintang atau bulan. Karena selimuti oleh awan mendung.Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Ben sempat ingin mengantarkan pulang. Namun, aku menolak karena tidak tega dengannya yang harus putar balik lagi setelah menemaniku di perjalanan pulang.Awan mendung di atas sana semakin menggelapkan malam. Bunyi gemuruh hujan sudah mulai terdengar dari kejauhan. Aku terpaksa menepi, karena ribuan tetes air hujan mulai bergerak menyebar sampai ke tempatku.Buru-buru, aku berlari menuju ruko yang sudah tutup. Setelah menstandar motor di pinggir jalan.Hujannya bertambah deras hingga aspal basah yang terkena guyuran air memantulkan gemerlap cahaya.Aku mengeratkan pelukan, karena angin berhembus kencang menusuk tulang. Hujannya tak kunjung reda. Sampai kulihat ada sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Tepat di sebelah motorku terparkir.Seorang pria turun dari mobil, kemudian berlari menghampiriku.Pria berhidung mancung yang mengenakan sweater hitam yang membungkus kaos putihnya.Aku menelan ludah dengan susah payah setelah tahu bahwa dia adalah ....Mas Aldi.Suasana mendadak canggung saat dia berdiri di sebelahku."Baru pulang kerja, ya?" tanyanya dengan suara datar.Aku mengangguk kikuk. Kemudian menunduk."Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesslahan-kesalahanku."Deg."Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesalahan-kesalahanku."Deg. Aku menatap wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan. Kemudian menunduk kikuk. "Lupain aja, aku udah maafin kok."Aroma parfume dari tubuh mas Aldi langsung menusuk indra penciuman ketika hembusan angin dingin menerpa tubuh. Aku mulai menggigil karena hujan tak kunjung reda. Apalagi di sebelahku ada sosok yang membuat jantung ini berdebar-debar. Membuat perasaan semakin resah tak keruan. "Pus, maafin aku," ucap mas Aldi lagi. Padahal aku sudah menjawab pertanyaan itu. Aku hanya terdiam. Menyaksikan guyuran hujan yang membasahi bumi. Apapun yang kamu katakan aku sudah tidak peduli, Mas. Sakit hati ini sudah tidak bisa diobati. "Kalau waktu bisa diputar kembali enak, kali, ya?" gumam mas Aldi. "Tidak ada orang yang berlari, tidak ada langkah yang terlambat, tidak ada kedatangan yang
Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita. Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas. Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah. "Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku. "Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu. "Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini! A
Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat! Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. "Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri.""Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?""Mogok hehe...""Kok, lari?""Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. "Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?""Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini
Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah
"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d
Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba
Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.
Aku mulai melangkahkan kaki perlahan menghampiri pria itu. Membuat orang-orang seisi ruangan langsung histeris."Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"Tepuk tangan kembali bergemuruh saat pria itu mengakhiri lagunya. Pria tampan itu langsung tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.Satu langkah...Dua langkah...Tiga langkah...Dan...Plakkk!!!Seluruh orang di dalam kafe langsung terperangah. Ketika aku menampar wajah pria itu dengan kasar. "Kamu udah bikin aku malu tau nggak?!" Aku berbalik badan kemudian berlari keluar dari kafe.Mas Aldi menghempaskan gitarnya ke sembarang arah. Kemudian berlari mengejarku. "Puspa tunggu!" Mas Aldi dengan cepat mencekal lenganku."Lepasin!" pekikku dengan wajah yang sudah berlinangan air mata."Aku nggak bermaksud bikin kamu malu." Mas Aldi mengeraskan rahangnya. "Aku masih cinta sama kamu." "Kita sudah cerai, Mas!" Jawabku melenguh kasar. "Tidak ada yang bisa kita selamatkan dari rumah tangga kita."Mas Aldi men