Share

Part 11

"Puspa, Pita tewas di bunuh orang."

Deg.

"Pita?"

Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan.

Benarkah Pita tewas?

Adikku?

Mati?

Dibunuh orang?

Pita meninggal?

Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup.

Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana.

Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang.

"Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat.

Bukan Pita yang meninggal, tapi ...

Fano.

Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."

Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku mengusap-usap punggungnya mencoba menguatkan.

Dada ini mendadak sesak ketika melihat sebelah tangan Pita mengusap-usap perutnya yang membesar.

"Yang sabar, ya, Pit."

Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Pita langsung pingsan di sebelahku.

"PITAAA!!!" teriakku setelah terbangun dari tidur. Dengan napas tersengal-sengal. Hufftt, ternyata cuma mimpi.

Aku menghembuskan napas kasar, kemudian mengusap-usap wajah. Untung saja cuma mimpi.

"Kenapa?" tanya seseorang yang sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah datar.

Aku langsung terperanjat. "Sejak kapan kamu berada di sini?"

"Tadi gue lagi minum di dapur, denger lo teriak," jawab Reno malas.

"Aku baru saja mimpi buruk."

"Makanya kalau mau tidur itu doa dulu." Reno menutup pintu sedikit kasar.

Aku mendengkus. Benar-benar orang itu.

***

Menurut cerita Pita kemarin, Fano punya hutang dengan mas Aldi. Kejamnya Fano sampai ingin merelakan istrinya yang sedang hamil untuk mas Aldi. Mungkin, Fano ingin meniru ibu mas Aldi yang membayar hutang dengan menikahkan orang tersayang dengan si pemberi hutang.

Fano adalah pemuda nakal yang suka judi dan mabuk-mabukkan. Kalau kalah judi, jangankan memberi nafkah, gaji buruh Pita saja dirampas sama dia.

Entah bagaimana ceritanya Fano bisa punya banyak hutang kepada mas Aldi. Padahal ketika acara keluarga mereka berdua terlihat cuek-cuek saja saat bertemu. Dugaanku mas Aldi juga pemain judi, sehingga Fano terpaksa meminjam uang kepadanya ketika kalah.

Atau mas Aldi hanya menjebak Fano supaya Pita bisa menikah dengan dirinya. Awalannya kan mas Aldi menyetujui perjodohan, karena mengira yang menikah dengannya itu adikku, Pita. Dan, dari beberapa pertemuan mas Aldi juga menunjukkan ketertarikannya kepada Pita.

Lagi-lagi aku harus berterimakasih kepada Reno. Karena dia mau membayarkan hutang-hutang Fano. Dengan syarat, Fano segera menceraikan Pita. Daripada Pita terus menderita batin, karena Fano sering main tangan ketika bertengkar.

Aku dan Fano mendatangi rumah mas Aldi. Ibu mertuaku terlihat takjub melihat badanku sekarang yang agak kurus.

"Ya ampun Puspa, ini beneran kamu?" tanyanya dengan mata berbinar.

Aku mengangguk sambil melemparkan seulas senyum.

"Kamu kok cantik sekali," lanjutnya lagi dengan kagum. Pandangan beliau beralih ke arah Reno. "Ini, suami kamu yang sekarang?"

Reno tersenyum. "Calon tante."

"Wah, tampan." Ibu mas Aldi memuji, namun ada gurat kekecewaan di wajahnya. "Kamu sekarang malah makin cantik, Pus."

"Ya begitulah, Tan, kalau pengen punya istri cantik harus dimodalin," sindir Reno. Aku langsung menyikut lengannya.

Mas Aldi keluar dari kamar. Sepertinya baru saja bangun tidur. Menyalamiku dengan Reno secara bergantian.

Pandangan kami sempat bertubrukan beberapa saat. Ada rasa hangat yang menjalar di dalam dada kala manik mata coklat itu bertemu dengan bola mataku.

Mungkin dia sedikit kaget melihat wajah mulusku sekarang, tapi masih gengsi untuk menanyakan.

"Jadi, kehadiran kami di sini ingin membayarkan hutang-hutang Fano, suaminya Pita." Reno langsung menjelaskan tujuan kami ke sini setelah mas Aldi duduk.

"Lho, Fano punya utang ke kamu ya, Di?"

Mas Aldi yang tadinya memandangiku dengan intens langsung tergagap. "Ah, i ... iya, Bu."

"Ealah."

Reno mengeluarkan segepok uang 10 juta dibalik jas kantornya.

***

"Apakah kamu akan menikahi Pita?" tanyaku kepada Reno.

Sudah dipastikan. Tidak mungkin seseorang berbuat baik kalau tidak ada maunya.

"Kalau Pita mau nggak pa-pa."

Lalu, aku gimana Ren, gumamku dalam hati. Entah kenapa aku mengharapkan itu. Reno sudah cukup berjasa dalam hidupku.

"Tapi, jangan maksa Pita, ya, kalau nggak mau."

"Siap."

Lagi dan lagi, aku harus cemburu kepada Pita adikku sendiri.

Reno kini mengemudikan mobilnya menuju ke rumah Pita. Aku akan pindah tempat tinggal di rumah Pita. Koper berisi pakaian-pakaianku sudah ada di mobil Reno.

Berhubung itu rumah Pita yang dibeli dari hasil warisan bapak-ibu yang kami bagi dua. Maka, setelah cerai, Fano tidak punya wewenang untuk tinggal di rumah itu.

Jatah warisanku sudah habis dipakai mas Aldi. Usahanya bangkrut.

Hingga beberapa menit kemudian kami sampai di rumah Pita. Sebelum turun dari mobil, aku langsung mencekal lengan Reno yang hendak turun.

"Reno."

"Apa?"

Aku menatapnya dengan tatapan sendu. Lidah ini terasa kelu.

"Kenapa, Pus?"

"Kalau Pita mau menikah dengan kamu. Kamu akan menikahinya?" tanyaku dengan nada bergetar.

Reno menatapku datar. Kemudian mengangguk.

Dadaku mendadak terasa sesak. Teringat dengan kebaikan-kebaikannya.

"Makasih, ya," ucapku pedih. Air mata tiba-tiba menetes dipelupuk mata.

"Untuk?"

"Semuanya."

Reno kembali mengangguk.

Aku mencoba mati-matian mengucapkan sesuatu yang ingin sekali aku ucapkan sejak tadi. "Bo ... boleh aku cium kamu?"

Air wajah Reno berubah terkejut.

"Untuk pertama dan terakhir kalinya." Aku menghapus bulir-bulir bening yang membasahi pipi. "Aku belum pernah mencium laki-laki. Bahkan mas Aldi mantan suamiku sendiri."

Reno terdiam.

"Aku suka sama kamu, Ren."

Reno menghela napas kasar. Kemudian mencium bibirku sekilas.

Langsung terasa debaran-debaran aneh di dalam dada. Meremukkan tulang-tulang. Ciumannya bak sengatan listrik yang membuatku terasa kaku.

"Maaf," ucap Reno pelan. Kemudian kembali mencium keningku cukup lama.

Pria misterius yang susah ditebak itu turun dari mobil. Mengambil koperku untuk dimasukkan ke rumah Pita.

***

Aku menaikki sepeda motor Pita menuju ke kafe. Aku harus tetap bekerja untuk kelangsungan hidup kami berdua. Aku dan Pita. Apalagi Pita sedang hamil.

Reno tidak mungkin menikahi Pita, sebelum habis masa iddah. Karena Pita diceraikan Fano saat sedang hamil. Sehingga harus menunggu masa iddah sampai melahirkan dulu sebelum nikah lagi.

Mengingat hal tersebut, aku kembali merasa sedih. Kenapa semakin lama, perasaanku kepada Reno semakin besar. Semakin berusaha dilupakan semakin melawan. Aku sudah terbelenggu dengan cintanya.

Tidak seperti biasanya yang berjalan kaki hingga harus berangkat dari rumah Reno pukul 8 pagi. Sekarang aku bisa bersantai dan datang ke kafe pukul 10 pagi.

Tampak Sevelyn, Cindy, dan Melin sedang bersih-bersih. Terlihat dari kaca depan kafe yang tembus pandang sampai ke jalan raya.

Mereka menyambutku dengan hangat. Tidak ada bullyan-bullyan lagi yang biasa aku dengar.

Jangan berpikir aku sekarang berubah menjadi percaya diri. Tentu saja jiwaku masih sama seperti yang dulu, jiwa insecure dan trauma akan terlontarnya kata-kata hinaan. Meskipun hal tersbut sudah jarang aku rasakan.

***

Jam 11 malam. Waktunya pulang. Di angkasa, tidak ada wujud bintang atau bulan. Karena selimuti oleh awan mendung.

Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Ben sempat ingin mengantarkan pulang. Namun, aku menolak karena tidak tega dengannya yang harus putar balik lagi setelah menemaniku di perjalanan pulang.

Awan mendung di atas sana semakin menggelapkan malam. Bunyi gemuruh hujan sudah mulai terdengar dari kejauhan. Aku terpaksa menepi, karena ribuan tetes air hujan mulai bergerak menyebar sampai ke tempatku.

Buru-buru, aku berlari menuju ruko yang sudah tutup. Setelah menstandar motor di pinggir jalan.

Hujannya bertambah deras hingga aspal basah yang terkena guyuran air memantulkan gemerlap cahaya.

Aku mengeratkan pelukan, karena angin berhembus kencang menusuk tulang. Hujannya tak kunjung reda. Sampai kulihat ada sebuah mobil berhenti di pinggir jalan. Tepat di sebelah motorku terparkir.

Seorang pria turun dari mobil, kemudian berlari menghampiriku.

Pria berhidung mancung yang mengenakan sweater hitam yang membungkus kaos putihnya.

Aku menelan ludah dengan susah payah setelah tahu bahwa dia adalah ....

Mas Aldi.

Suasana mendadak canggung saat dia berdiri di sebelahku.

"Baru pulang kerja, ya?" tanyanya dengan suara datar.

Aku mengangguk kikuk. Kemudian menunduk.

"Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."

Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesslahan-kesalahanku."

Deg.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status