Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.
Mereka pasti cuma berdua.Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja.Ngapain?Aku sedikit ragu untuk masuk. Namun, setelah mengumpulkan segenap keberanian. Akhirnya kaki ini melangkah memasuki rumah Pita."Assalamu'alaikum."Mas Aldi tampak terkejut melihat kehadiranku. Begitu pula Pita yang baru saja kembali ke dapur. Dengan wajah sembabnya.Dia habis menangis?"Mbak Puspa sejak kapan ada di sini?" tanya Pita dengan ekspresi kaget.Aku hanya merapatkan bibir, mengalihkan pandangan ke arah mas Aldi yang memperlihatkan wajah tidak suka. Pria itu langsung buang muka saat ditatap.Pita meletakkan secangkir teh panas di atas meja kemudian duduk sambil memangku nampan. Suasananya begitu canggung."Kenapa kalian berdua di sini?" tanyaku dengan bibir bergetar.Sudut mata mas Aldi menatap ke arahku sinis. "Nggak boleh, ya, mantan kakak ipar berkunjung ke rumah adik ipar."Cih, padahal dulu dia tidak pernah sedikitpun menganggapku sebagai seorang istri. Aku menghela napas. "Setidaknya berkunjunglah ketika suaminya sedang di rumah, Mas. Takut terjadi fitnah.""Ini hakku sebagai seorang tamu." Mas Aldi menjawabnya dengan nada ketus.Entah kenapa aku menjadi muak melihat laki-laki ini. Apalagi saat melihat kelakuannya tadi malam yang masuk ke hotel dengan perempuan lain. Rasa sayangku kepadanya sudah mulai memudar setelah tahu bahwa ternyata mas Aldi seorang bajingan."Maaf, sebaiknya aku pulang dulu." Mas Aldi beranjak dari duduk. Bersalaman dengan Pita kemudian keluar dari rumah. Tanpa menoleh ke arahku. Tanpa meminum teh yang dibuatkan Pita terlebih dahulu.Kini tinggalah aku dan Pita di ruang tamu. Kami berdua. Dengan Pita yang menunduk dengan wajah sembabnya.Aku mencoba mengontrol emosi. Ingin menghadapi masalah secara pelan-pelan. "Kenapa kamu menangis?"Pita menggeleng.Aku tidak tahu bagaimana caranya meluruskan hidup Pita ke jalan yang benar."Sebenarnya apa yang terjadi?"Pita tampak gugup. Jika dia mengira aku akan murka dan memarahinya besar-besaran, dugannya sangat salah. Aku di sini ingin menyelesaikan masalah ini pelan-pelan dan sabar."Ceritalah, Pit. Aku kakakmu." Aku duduk di sebelah Pita yang menunduk menahan tangis."Apa kamu beneran selingkuh sama mas Aldi?" tanyaku sambil mengusap-usap punggung Pita."Apa kamu ingin minta cerai kepada Fano, hanya untuk menikah dengan mas Aldi?"Pita memelukku sambil menangis terisak-isak. Ia menceritakan semua. Apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa tersisa sedikitpun.***Pita memesankan ojek online, untuk mengantarkan ke kafe tempatku bekerja.Sedari tadi aku diselimuti oleh perasaan gelisah, karena mengingat kembali semua yang diceritakan Pita."Lama-lama lo kelihatan kurus, ya?" ucap Sevelyn menatap tubuhku dari atas hingga bawah."Owh, ya?" Aku sedikit terkejut.Aku bahkan lupa memperhatikan diriku sendiri setelah cerai dari mas Aldi."Apa karena gara-gara sering jalan kaki?"Aku menggeleng."Jus apel sama kentang goreng tiga porsi," ucap Cindy yang baru saja datang.Aku langsung buru-buru membuatnya.***Luar biasa, berat badanku yang tadinya 107 kg, kini turun menjadi 70 kg. Lumayan, sebentar lagi aku akan sampai pada bentuk tubuh yang ideal.Aku semakin semangat berjalan kaki. Sialnya, hari ini Reno mengantarku ke kafe dengan mobilnya. Benar-benar tidak bisa dimengerti kelakuannya."Aku sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Pita, Fano, dan Mas Aldi," ucapku di dalam mobil."Gue urus semuanya. Lo fokus sama pekerjaan lo aja.""Emangnya apa yang akan kamu lakukan?"Reno masih fokus mengemudikan mobilnya. "Apapun, asalkan Pita tidak jadi menikah dengan Aldi.""Lalu, Fano? Dia ternyata ada dipihak mas Aldi."Reno menyentak napasnya kasar. "Berisik lo! Udah gue bilang bakalan gue urus. Pita nggak bakalan kenapa-napa."Aku menggigit bibir bawah. Semoga Reno dapat dipercaya.Ternyata kami tidak menuju ke arah kafe. Melainkan ke tempat salon kecantikan. Moodku langsung naik ketika menatap gedung tersebut.Tempat paling terkenal di kota ini. Mahal, tapi kualitas terjamin. Hanya istri orang-orang kaya yang bisa melakukan perawatan di sini."Cepetan masuk," ucap Reno saat melihatku hanya membeku di depan pintu masuk.Karena tidak sabar, pria itu menarikku masuk ke dalam. Berkonsultasi kepada adminnya, kemudian mengarahkan kami untuk menemui dokter yang akan merehap wajahku di lantai 4.Jantungku berdebar-debar saat dokter wanita itu mulai menggunakan laser ajaibnya ke wajahku. Reno memesan paket paling mahal. Katanya wajahku bisa bersih dengan perawatan kurang lebih satu bulan.Setiap hari aku juga berolahraga dengan rutin dan mengatur pola makan.Meskipun tanpa menerapkan program diet yang ekstrime. Berat badanku tetap bisa turun beberapa kilo lagi.Aku tidak ingin tubuhku tersiksa karena progam diet yang ekstrime. Jadi, pelan-pelan tanpa harus melakukan hal-hal yang berlebih. Masih makan nasi dan makanan berlemak walaupun dibatasi. Lagi pula tubuh ini tetap membutuhkan lemak. Fatal, sekali jika kita menginginkan semua lemak di tubuh kita hilang.Lemak itu berfungsi sebagai cadangan energi. Membantu menyerap vitamin. Beberapa jenis lemak tertentu, yaitu vitamin A,E,D, dan K, membutuhkan lemak agar dapat diserap oleh tubuh.Lemak juga dibutuhkan untuk menjaga suhu tubuh. Lemak adalah isolator yang membantu tubuh tetap hangat saat cuaca dingin.Maka, diet yang baik, bukan melulu soal mengatur pola makan. Karena yang paling penting adalah...Olahraga.Sebentar lagi aku akan balas dendam kepada mas Aldi. Membuat dia menyesal karena telah menyakitiku.Aku harus berterimakasih kepada Reno. Karena tanpa disadari apa yang dia lakukan selama ini hanya untuk membuatku cepat kurus. Termasuk membuat diriku stres dan banyak pikiran. Hingga begadang dan kehilangan napsu makan.Tak hanya itu. Bisa jadi sekarang ...Mungkin.Aku mulai jatuh cinta dengan Reno.***Jerawat di wajahku sudah mulai hilang, tinggal memusnahkan flek hitam. Ben, si barista kopi saja sedari tadi tidak berkedip saat melihatku. Dia hanya akan membuang wajah jika pandangan kami bertubrukan.Beginikah rasanya dikagumi?Rasanya senang sekali.Perlakuan Reno pun mulai berbeda. Seperti ada sebuah ketertarikan. Dia berubah menjadi lembut. Apalagi dengan keadaan kami yang tinggal di dalam satu rumah.Reno memanjakkanku seperti seolah aku adalah istri sahnya.Sekarang aku tidak insecure lagi saat bercermin. Kalau dilihat dengan seksama wajahku sangat mirip dengan Pita. Lesung pipit yang muncul di pipi juga sedikit dihargai oleh laki-laki karena tidak ada jerawat yang menutupi.Sekarang banyak yang bilang aku itu ... manis.Reno datang dengan tergesa-gesa memasuki kamarku. Aku yang tidak memakai jilbab langsung terkejut."Puspa, Pita tewas di bunuh orang."Deg."Pita?"Bersambung..."Puspa, Pita tewas di bunuh orang."Deg. "Pita?"Kami berdua langsung tergesa-gesa menuju ke mobil. Aku berteriak histeris dengan air mata yang berlinang. Ingin cepat-cepat sampai ke tempat tujuan. Benarkah Pita tewas?Adikku? Mati? Dibunuh orang? Pita meninggal? Aku kembali menangis histeris. Reno yang mengemudikan mobil tampak gugup. Hingga beberapa menit kemudian kami sudah sampai dikediaman rumah Pita. Sudah banyak orang di sana. Aku langsung membuka pintu mobil, kemudian berlari dengan tergesa-gesa. Menerjang kerumunan pelayat, diikuti Reno di belakang. "Pita!!" teriakku tak terkontrol. Tubuh ini membeku seketika. Melihat pemandangan yang terjadi. Jenazah yang penuh luka sedang dibacakan surah yasin oleh beberapa pelayat. Bukan Pita yang meninggal, tapi ... Fano. Aku langsung melotot ke arah Reno yang menaikkan kedua jarinya membentuk peace. "Salah informasi gue."Kakiku langsung melangkah menghampiri Pita yang menangis tersedu-sedu di depan jenazah suaminya. Aku meng
"Mas Aldi kenapa ke sini? Naik mobil kan enak, nggak perlu takut kehujanan. Bisa terus melaju walaupun hujan deras."Pria itu menghela napas. "Aku ke sini ingin menebus kesalahan-kesalahanku."Deg. Aku menatap wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan. Kemudian menunduk kikuk. "Lupain aja, aku udah maafin kok."Aroma parfume dari tubuh mas Aldi langsung menusuk indra penciuman ketika hembusan angin dingin menerpa tubuh. Aku mulai menggigil karena hujan tak kunjung reda. Apalagi di sebelahku ada sosok yang membuat jantung ini berdebar-debar. Membuat perasaan semakin resah tak keruan. "Pus, maafin aku," ucap mas Aldi lagi. Padahal aku sudah menjawab pertanyaan itu. Aku hanya terdiam. Menyaksikan guyuran hujan yang membasahi bumi. Apapun yang kamu katakan aku sudah tidak peduli, Mas. Sakit hati ini sudah tidak bisa diobati. "Kalau waktu bisa diputar kembali enak, kali, ya?" gumam mas Aldi. "Tidak ada orang yang berlari, tidak ada langkah yang terlambat, tidak ada kedatangan yang
Aku terpaksa berangkat kerja diantar mas Aldi. Daripada dia terus merengek-rengek seperti anak kecil di depan rumah Pita. Untung saja pria itu tidak sempat melihat jaketnya yang teronggok di dalam tong sampah. Aku menghela napas lega. Kemudian masuk ke mobil dengan malas. Mas Aldi meraih sesuatu dari kursi belakang penumpang. Sebuket bunga mawar 15 tingkai. Dengan warna merah dan pink, dihiasi oleh pita merah yang membuat bunga itu semakin terlihat indah. "Buat kamu."Aku terperangah beberapa saat, kemudian meraih bunga tersebut dengan tubuh kaku. "Suka nggak?" Mas Aldi mulai melajukan mobilnyaAku menelan ludah dengan susah payah. Kemudian menghirup aroma harum pada bunga mawar yang menyejukkan itu. "Maaf, ya, dulu aku tidak pernah sempat memberikan bunga itu kepadamu."Rasanya seperti menjadi ironman. Aku menghempaskan tubuh ke kursi kemudi sambil menatap ke depan. Memangku bunga buket dengan tangan kebas. Apa yang terjadi? Aku tidak boleh takluk oleh laki-laki bajingan ini! A
Tin ... Tin ... Tin ...!!!Mobil itu membunyikan klakson Gawat! Berarti dia sudah sangat dekat. Atau mungkin sudah tepat berada di belakang kami. Langkah ini langsung terhenti, tubuhku membeku. Ben pun turut menghentikan langkahnya dengan napas terengah-engah. Mobil hitam itu mengerem tepat di sebelah kami. Kacanya terbuka, menampilkan seorang laki-laki tua berkepala botak. Aku langsung mendengkus. Karena ternyata si pemilik mobil itu bukan mas Aldi. "Kalian maling motor, ya?" tanya bapak itu. Aku melirik Ben yang terlihat kikuk. "Ah, enggak, Pak. Ini motor saya sendiri.""Terus kenapa motornya nggak dinaikkin?""Mogok hehe...""Kok, lari?""Hmm, anu, Pak." Ben menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya nyengir kuda. "Kalau mogok, kenapa kalian berdua lari?""Iya, itu ...," Ben tampak gugup. "Olahraga, Pak, iya hehe ...."Bapak berkepala botak itu turun dari mobil. "Kalian ini patut dilaporin ke polisi. Jangan-jangan kalian yang sering maling motor di kawasan sini
Mas Aldi berakhir dengan sebuah tamparan dari kekasih gelapnya yang bernama Santi. Ketika mengeluh uangnya habis saat wanita itu berbelanja bahan-bahan branded.Meskipun begitu, mas Aldi tetap membayar notanya setelah Santi pergi dengan wajah kesal. Sangat tidak tahu diri wanita itu. Aku jadi sedikit kasihan dengan mas Aldi. Wajahnya terlihat lesu setelah kembali lagi padaku. "Makan, yuk, Pus.""Uangmu nggak habis, Mas?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis. "Ini masih ada sisa dikit." Mas Aldi masih mencoba tersenyum. Aku jadi berempati kepadanya. Kami berdua berjalan menenteng bahan belanjaan menuju ke restoran seafood yang ada di dalam mall. "Begitulah kira-kira Pus, banyak wanita yang datang hanya karena ada maunya," keluh mas Aldi ketika kami sudah duduk di salah satu kursi. "Tapi kan, setidaknya mereka mau mas tiduri," sindirku santai. "Enggaklah, aku bukan laki-laki seperti itu." Mas Aldi mengerucutkan bibir. Aku tersenyum miring, sambil menggidikkan bahu. Aku sudah tah
"Will you marry me?" Reno menegaskan kata-katanya. Seolah meyakinkan yang akan dinikahinya itu aku, bukan Pita. Haduh, gimana, ya? Jantungku rasanya sudah ingin loncat. "Pus."Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu nggak lagi ngeprank, kan?""Ngeprank gimana maksudnya?""Biasanya kamu suka ngerjain aku." Aku tertunduk malu. Takut kalau dijawab iya, ternyata Reno cuma becanda. Reno meletakkan kotak cincin ke atas meja, kemudian tangannya merayap dan meraih jari jemariku. Jantung ini berdesir hangat saat tangan kasar Reno memegang tanganku. "Pus, aku serius!""Kamu pasti cuma ngeprank, aku hafal sifatmu." Aku mencoba tertawa garing untuk menutupi kegugupan. "Kamu menganggap aku kayak gitu?" Reno menatapku dengan tatapan serius. Aku mengangguk malu. Tidak berani membalas tatapannya. "Aku serius, Pus."Tenggorokanku tersekat. Lidah terasa kelu untuk berucap. "Lalu, Pita?""Jadi, karena aku terlihat dekat dengan Pita, kamu meragukanku?""Kamu yang bilang sendiri akan menikah d
Terdengar suara cekikikan di dalam sana. Lalu turun Reno dan Pita dengan wajah bahagia. Dari mana mereka? Dengan raut wajah bahagia? Jam 2 dini hari? Rasa kantukku langsung hilang.Aku berdiri dari duduk kemudian menghadang mereka yang akan masuk. "Keterlaluan ya kalian berdua!""Jam segini kalian dari mana?" Aku benar-benar geram dengan tingkah mereka berdua. Pita tampak menunduk. "Kami baru saja mengunjungi sholawat akbar, Mbak. Habib Syekh datang ke Lampung. Ramai banget, sampai macet desak-desakan, jadi pulangnya agak molor.""Bohong! Mana mungkin menghadiri acara sholawat Reno pakai baju biasa.""Gue ganti baju. Nggak nyaman aja nyetir mobil sambil pakai sarung," sahut Reno datar. "Lo kalau cemburu bilang aja."Aku menganga. "Siapa yang cemburu?"Reno menatapku sewot. "Gue mau pulang dulu, Pit. Lo buruan masuk sana."Pita mengangguk, kemudian menunduk saat melangkah melewatiku memasuki rumah. Kini di depan rumah, hanya ada aku dan Reno dalam keheningan. Jika amarahku berkoba
Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan. Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana. "Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki. Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak. "Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini.""Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti. Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran. "Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini. Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya. "Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu.