Share

Part 18

Apakah aku harus mencari Reno sekarang untuk meminta maaf, tapi aku takut kalau pria itu cuma mempermainkan.

Arghhh, aku mengusap-usap wajah lelah. Bingung harus bagaimana.

"Kalian udah denger kabar bos Reno yang sebentar lagi bakalan balik ke Jakarta?" tanya Ben yang duduk sambil menyilangkan kaki.

Aku, Sevelyn, dan Cindy yang duduk  tak jauh darinya langsung menoleh secara serempak.

"Iya, tahu. Sedih deh kita nggak dapat banyak bonus lagi kalau bos Reno nggak datang langsung ke kafe ini."

"Kirain pulang ke Jakartanya sama Puspa. Mau dinikahin gitu, eh ternyata enggak." Cindy menyahuti.

Aku terdiam, mendengarkan obrolan mereka tentang Reno. "Emang rumah aslinya di Jakarta, ya?" tanyaku penasaran.

"Iya, keluarganya tinggal di sana semua, tapi bos Reno membuka banyak bisnis di sini.  Biasanya dia ke sini 3 bulan sekali. Cuma buat ngontrol kerjaan aja," jelas Ben sambil menyugar rambut panjangnya.

"Tapi biasanya dia nggak lama, kok, kalau ke Lampung. Paling lama cuma satu minggu. Nggak tau deh sekarang hampir berbulan-bulan ada di sini." Melin yang tadinya duduk di kasir ikut nimbrung bersama kami.

"Apa gara-gara bos Reno deket sama Puspa, ya?" tebak Sevelyn.

"Mybe," jawab Cindy dan Melin serempak.

"Bos Reno pas awal-awal buka kafe ini. Dijodohin sama Sevelyn nggak mau, sama Cindy nggak mau." Melin terkikik membuat Sevelyn dan Cindy langsung melotot.

"Gue pikir bos Reno gay, karena sama cewek manapun nggak tertarik. Mau secantik apapun, kualitasnya sama aja katanya," jelas Melin lagi. "Menurut dia cewek yang  sempurna bagi dia itu cewek yang tegar menghadapi berbagai macam masalah. Dia pengen cari pasangan yang kayak gitu. Bukan cewek seksi plus cantik seperti selera cowok kebanyakan."

Aku langsung terbelalak ketika mereka berempat menatapku secara serempak. Apakah mereka sadar kalau yang dimaksud Reno itu aku?

"Dan, bos Reno sekarang mau balik ke Jakarta."

"Kami curiga kalau lo udah nolak bos Reno, Pus." Mereka semua melotot.

"Yakin, gue kalau bos Reno udah lo tolak."

***

Aku memutuskan pulang cepat dengan alasan sakit. Rasanya tidak kuat terus-terusan berada di dalam keramaian, dengan perasaan gelisah ingin menangis.

Aku ingin menyendiri dan meluapkan tangis. Aku benar-benar seperti orang bingung.

Apakah Reno benar-benar mencintaiku? Atau cuma mempermainkanku?

Aku bingung mencari jawaban itu di mana. Kuputuskan untuk berhenti di taman. Mencari kursi kayu panjang di dekat lampu bulat yang temaram.

Aku terisak di sana. Sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Udara malam tak mampu mendinginkan suasana hati yang memanas.

Reno. Dirimu benar-benar sudah membuatku gila.

Apakah besok aku harus menyusulmu ke bandara? Aku takut kehilangan, tapi juga sangat takut kamu permainkan.

Kamu itu orang seperti apa aku juga tidak tahu.

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menyodorkan tisue. Aku sedikit terbelalak. Kemudian menatap seorang pria yang rambut gondrongnya diikat ekor kuda. Mengenakan kemeja telur bebek lengan panjang yang digulung sampai siku memperlihatkan tatto-nya yang entah berbentuk apa.

"Ben?"

"Hapus air matamu," ucapnya dengan wajah datar.

Aku masih mendongak, menatap wajahnya yang tidak terlalu jelas karena hanya disinari lampu taman yang remang-remang.

"Come on, baby. Jadi, cewek nggak boleh cengeng, nanti gampang diinjek-injek." Ben menggoyang-goyangkan tisue yang sedari tadi ia sodorkan.

Akhirnya aku mengambilnya untuk mengelapi air mata yang menggenangi pipi.

Pria urakan itu duduk di sebelahku sambil menghela napas. Mengambil sebungkus rokok kemudian menyulutnya sebatang. "Sepertinya lo butuh telinga untuk mendengar."

Aku hanya merapatkan bibir. "Kenapa kamu ada di sini? Bukannya sekarang belum waktunya pulang?"

"Gelagat lo aneh hari ini. Sepertinya lo sedang lagi ada masalah. Anak-anak nyuruh gue buat ngikutin lo."

"Nggak pa-pa, kok." Aku masih mengelapi air mata dengan tisue yang diberikan Ben.

"Lo nggak bisa bohongin gue, Pus." Ben menghembuskan asap rokok yang baru saja ia hisap.

Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat. Tangis ini rasanya ingin kembali meledak.

"Soal bos Reno, kan?" .

Aku akhirnya mengangguk.

"Lo suka sama dia?" tanya Ben, kedua sudut matanya melirik ke arahku.

Aku menggeleng.

"Lalu?"

Mata ini kembali memburam. Dipenuhi oleh air mata. Aku kembali terisak. Menutupi wajahku dengan telapak tangan. "Hiks ... hiks ... hiks ... hiks ... aku nggak tahu Ben, aku suka sama Reno apa tidak. Aku tidak tahu perasaanku ini bagaimana. Aku takut kehilangan, tapi juga takut dipermainkan."

Ben menatapku sambil menaikkan sebelah alis. 

"Aku harus bagaimana, Ben? Aku bingung dengan perasaanku sendiri."

"Ya, lo cinta sama dia nggak?" tanya Ben sedikit meninggikan nada suara.

"Cinta, Ben."

"Kalau cinta ya dikejar. Lo nggak bakalan dapat apa-apa kalau cuma nunggu. Satu-satunya cara agar lo dapat jawabannya ya temuin dia."

"Aku takut."

"Takut kenapa? Bukannya urusan lo itu mencintainya? Nggak usah mikirin dia mau nerima lo apa enggak. Nggak usah mikirin dia mau serius apa cuma mau mempermainkan, yang penting dia udah tau kalau lo cinta sama dia. Heran gue sama cewek, sukanya nunggu tindakkan dari laki-laki, nggak mau bertindak duluan."

"Kamu nggak tahu betapa malunya perempuan melakukan itu, Ben. Perempuan cuma tidak ingin merendahkan harga dirinya di depan laki-laki."

"Dengan nunggu kayak gini, hati lo bisa tenang, nggak? Nggak usah mikirin gengsi Pus, kalau mau bahagia!"

Moodku langsung memburuk.

Sebenarnya ketika curhat begini, perempuan tidak butuh dikasih solusi. Hanya didengarkan dan dimengerti saja sudah cukup.

Apalagi Ben memberi solusi sambil marah-marah. Membuatku semakin ingin membentur-benturkan kepala ke tanah.

"Lalu aku harus gimana?" teriakku sambil menghentak-hentakkan kaki. Pikiran semakin kacau.

"Besok samperin lah, ke bandara. Ungkapin semua isi hati lo sama dia."

Aku masih menangis sesenggukan.

Ben berhenti berceloteh. Cowok itu menginjak putung rokoknya hingga mati. Kemudian mengangkat ponselnya yang berdering sedari tadi.

"Hallo?" ucapnya setelah mengangkat telepon.

"...."

"Iya, ini lagi sama Puspa."

"...."

"Kenapa?"

"...."

"Dia nggak dianterin pulang?"

"...."

"Ha?"

"...."

"Hmm, ikut ke sana dulu."

"...."

"Owh, rame iya-iya."

"...."

"Oke-oke."

"...."

"Iya, ah, sabar."

Aku mengernyitkan dahi mendengar percakapan Ben dengan seseorang di seberang telepon.

Ben mematikan teleponnya. Kemudian menoleh ke arahku. "Kafe rame Pus, mereka kualahan ngelayanin pelanggan. Kita suruh bantu-bantu."

Aku mengelapi wajahku yang sembab.

"Tapi, lo kalau mau pulang, pulang aja. Daripada nggak maksimal kerjanya. Nanti gue jelasin ke anak-anak."

"Aku ikut aja."

"Beneran?"

Aku mengangguk.

"Oke." Ben menggindikkan bahu. "Besok kalau nyusul bos Reno di bandara. Bilang gue aja. Ntar gue anterin."

"Lo tenang aja, bos Reno kayaknya beneran cinta sama lo."

***

Aku dan Ben akhirnya memutuskan kembali ke kafe. Ada yang tidak beres. Kata Sevelyn, kafe sangat ramai sehingga butuh bantuan kami berdua untuk kembali datang.

Ternyata hanya ada beberapa pelanggan. Tidak seramai yang aku bayangkan. Parkiran penuh hingga terpaksa parkir di pinggir jalan. Ternyata cuma beberapa mobil dan beberapa motor.

Aku menoleh ke arah Ben, meminta penjelasan.

"Kita ditipu apa, ya?" Ben melangkah lebih dulu dengan tatapan curiga.

Suasana mendadak hening ketika aku dan Ben melangkah memasuki kafe. Para pelanggan terdiam, kemudian langsung terdengar suara petikkan gitar.

Semua pelanggan bersorak. Termasuk Sevelyn, Cindy, dan Melin.

"Saya ingin menyanyikan lagu yang spesial pada malam hari ini," ucap seorang pria yang duduk di panggung acoustic di depan kafe. Dengan gitar yang ada di pangkuannya.

"Perempuan spesial yang menjadi penguasa di hati. Aku harap dia tahu bahwa aku di sini sangat mencintainya sepenuh hati."

"Lagu ini untuk Mbak cantik yang pakai gamis sabrina di ujung sana. Percayalah bahwa dirimu sudah membuatku jatuh cinta," tunjuk pria yang memakai kemeja kotak-kotak dengan celana jeans hitam itu sambil membenarkan letak microfone-nya. Seluruh pelanggan yang ada di kafe berteriak heboh sambil menatap ke arahku. Ben geleng-geleng kepala kemudian berlalu meninggalkanku yang masih membeku di ambang pintu masuk.

Jreng... Jreng... Jreng...

"Waktu pertama kali..., kulihat dirimu hadir..., resah hati ini inginkan dirimu...."

Kakiku mulai gemetar, mendengar merdunya suara lagu yang dinyanyikan oleh pria itu.

"Hati indah mendengar ..., suara indah menyapa ..., geloranya hati ini tak kusangka ...."

"Rasa ini tak tertahan ..., hati ini selalu untukmu ...."

Jantung berdebar-debar kencang, tubuh mulai panas-dingin. Aneh, tapi terasa menyenangkan. Suara tepuk tangan mulai terdengar riuh, diiringi suara siulan yang menggodaku saling bersaut-sautan.

"Terimalah lagu ini..., dari orang biasa..., tapi cintaku padamu luar biasa...."

Aku sedikit terpana, dengan keromantisan pria yang tidak kuduga-duga ada di sini itu.

"Aku tak punya bunga..., aku tak punya harta...,"

Kaki ini perlahan mulai melangkah menghampiri pria itu. Membuat penonton berteriak histeris.

"Yang kupunya hanyalah hati yang setia..., tulus padamu...,"

Tepuk tangan kembali bergemuruh. Pria itu tersenyum menatapku yang melangkah menghampirinya.

Satu langkah...

Dua langkah...

Tiga langkah...

Dan...

Plakkk!!!

Seluruh orang di dalam kafe hanya terperangah tak bisa berkata apa-apa ketika aku menampar wajah pria itu.

Bersambung...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status