Beberapa hari setelah serangan Nyx. Tim berhasil memperkuat pertahanan dasar mereka, tapi suasana terasa berat. Mereka tahu mereka hanya menunda yang tak terhindarkan.Raven mengumpulkan semua orang di depan papan tulis utama yang menampilkan arsitektur Quantix. Cahaya neon dari layar-layar di dinding membuat wajah mereka terlihat lelah, mata sembab karena kurang tidur.“Kita punya masalah fundamental,” kata Raven, suaranya dalam dan serius.Dia menunjuk ke jantung diagram itu, lingkaran merah besar yang melambangkan core system. “Fondasi kita, semua ini… dibangun di atas teknologi dan data riset dari NexaCorp. Teknologi yang bukan milik kita.”Keheningan menekan ruangan. Tak ada yang berani memotong kata-katanya.“Aku merasa…” Raven menahan diri, memilih kata-kata seakan setiap huruf bisa membakar. “Ada bagian dari kode ini yang melaporkan aktivitas kita kembali ke… sumbernya, tanpa terdeteksi. Kita kayak bekerja di dalam rumah kaca yang diawasi. Mereka bisa sewaktu-waktu melempar ki
Radja duduk di kursinya yang besar, wajahnya kaku menatap layar yang memenuhi separuh dinding. Judul berita terpampang jelas, menyayat egonya lebih dalam dari luka fisik manapun:“Perusahaan Startup Mengamankan Kontrak Eksklusif dengan TransGlobal Corp.”Di bawahnya, grafik harga saham CyberShield menyala merah, meluncur turun selama beberapa hari berturut-turut. Angka-angka yang dulu menjadi simbol kejayaan kini berubah menjadi catatan kegagalan.Rahang Radja mengeras. Tangannya yang mengepal di atas meja kaca nyaris memecahnya. Kemenangan Raven di TransGlobal bukan hanya kehilangan klien. Itu penghinaan. Tamparan di hadapan dewan direksi dan CEO salah satu perusahaan paling berpengaruh di negeri ini. Dan lebih buruk lagi: dunia tahu.Suara ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. “Masuk.”Pintu terbuka, tiga orang auditor eksternal masuk dengan setelan abu-abu. Wajah mereka serius, membawa map fisik dan tablet digital. Pemimpin tim, seorang pria berambut tipis dengan kacamata hit
Pesan dari Nyx masih terpampang di layar utama, huruf-huruf ungu neon itu berdenyut lembut, seolah-olah sengaja dibiarkan untuk terus mengejek mereka. Raven berdiri tegak di tengah ruangan, “Laporkan!” serunya, nada suaranya tak menyisakan ruang untuk keraguan.Tirta yang pertama merespons. Dari konsol server, suaranya terdengar tergesa, namun terukur. “Aku menjalankan pemeriksaan integritas data penuh. Sejauh ini…” ia berhenti sebentar, matanya menyapu laporan yang terus bergulir di layar. “Tidak ada anomali. Tidak ada file yang disalin, tidak ada yang dihapus atau diubah.”Leo mengangkat kepalanya, wajahnya pucat pasi. Ia menoleh pada Raven, matanya memantulkan rasa tak percaya. “Bagaimana mungkin?! Dia bilang dia sudah di dalam selama sepuluh menit. Tidak mungkin dia tidak melakukan apa-apa!” Suaranya pecah, seperti seseorang yang baru menyadari betapa tipis dinding yang selama ini melindunginya.“Sepuluh menit itu yang dia katakan, kalau dia bisa menyusup selihai itu,bisa jadi
Semua mata kini terpaku pada layar konsol Leo. Ikon kecil yang terus berkedip itu entah bagaimana terasa lebih mengancam daripada alarm besar yang meraung. Hening yang menekan membuat bunyi kipas pendingin server di bunker terdengar sangat jelas. Raven memutusnya dengan suara tegas.“Kapan dimulainya?” tanyanya, nadanya berubah dingin, profesional.“Baru beberapa detik yang lalu,” jawab Leo cepat, jemarinya masih menari di atas keyboard. “Dia masuk dengan sangat lambat. Sangat sabar. Ini bukan serangan kasar. Dia sedang mencari satu sel lemah dalam jaringan neural sistem kita.”Freya langsung berdiri dan berpindah ke kursi kosong di samping Leo. “Biarkan aku lihat log-nya.” Tangannya sudah bergerak sebelum kalimatnya selesai. Layar berganti menampilkan aliran data yang berjalan seperti kode-kode alien. Ia mencondongkan tubuh, membaca baris-baris dengan alis berkerut.“Ini bukan scanner otomatis,” katanya akhirnya. “Setiap probe yang dikirim dibuat manual. Polanya halus, dan tiap pake
Bunker Quantix itu terasa jauh lebih hangat dari biasanya, meskipun AC berdesis halus di sudut ruangan. Raven duduk di kursi kerjanya, layar monitor memantulkan wajahnya yang tenang namun penuh kepuasan. Ia membuka sambungan video call, dan tak butuh lama sebelum wajah Santoso muncul di layar. Latar belakangnya menunjukkan ruang kerjanya yang rapi, namun senyum yang ia bawa jelas mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang menarik baginya.Raven mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Sepertinya Anda belum sepenuhnya percaya pada kami, Pak Santoso,” ucapnya pelan, nada suaranya seolah menimbang kata demi kata. “Tapi kami bisa memberi sedikit informasi… bahkan belum dua puluh empat jam sejak pertemuan tadi pagi, Cybershield sudah gagal.”Di seberang, Santoso menatapnya sepersekian detik, lalu meledak tertawa. Tawanya panjang, berat, dan benar-benar terbahak. “Anak muda,” katanya sambil menggelengkan kepala, “kau benar-benar gila.” Ia menepuk meja kerjanya sendiri, masih menahan sisa tawa.
Markas besar CyberShield malam itu terasa tegang. Lampu-lampu kantor lantai atas masih menyala terang, memantulkan kilau dingin di dinding kaca. Radja berdiri di ujung ruang rapat besar yang biasanya digunakan untuk menerima klien penting, mengumpulkan enam orang programmer terbaik mereka. Di layar utama terpampang source code yang baru saja dikirimkan Santoso. “Aku mau kalian bongkar ini,” suara Radja berat dan penuh tekanan. “Cari kelemahannya. Kalau tidak ada, ciptakan. Buat versi yang lebih baik. Kalian punya 24 jam.”Seorang programmer bernama Kurnia, yang dikenal paling cepat mengetik di antara mereka, menggerakkan kursinya mendekati meja. “Kodenya rapi… terlalu rapi malah. Ini udah lewat standar industri.”Dani, yang duduk di sebelahnya, menambahkan sambil menelusuri script. “Ya, tapi bukan mustahil kita tingkatkan. Mereka pakai metode enkripsi berlapis, tapi gue bisa ganti algoritma hash-nya dengan versi kita yang lebih efisien.”“Aku malah lihat ini nggak terlalu istimewa,