Masuk
“Y–Yuze… kumohon lepaskan aku. Sakit… seluruh tubuhku benar-benar sakit…” ucap lirih Ming Yue nyaris tak terdengar, seakan tercekik oleh udara lembap yang memenuhi ruang bawah tanah.
Ming Yue tergantung pada rantai besi yang menahan kedua pergelangan tangannya tinggi-tinggi di atas kepala. Posisi itu memaksa tubuhnya tetap berdiri, meski lututnya sudah gemetar tak sanggup menopang.
Di sepanjang lengan mungilnya hingga bahu, goresan luka yang tak terhitung jumlahnya terus mengucurkan darah segar. Setiap tetes merah itu menuruni lengannya, jatuh ke wadah yang diletakkan di bawahnya
Di hadapannya berdiri pria yang dulu ia panggil suami, Putra Mahkota Qiang Yuze. Tatapannya datar, tanpa sedikit pun belas kasih.
“Diamlah, Ming Yue,” suaranya tenang namun penuh penekanan. “Jika kau benar mencintaiku, maka kau harus memberikan apa yang kumau. Darahmu lebih berharga daripada hidupmu sendiri.” Tangannya terampil memindahkan cairan merah itu ke dalam botol, seolah tengah menuang anggur istimewa.
Darah Ming Yue memiliki khasiat sangat unik dan langka, yaitu mampu menyembuhkan segala penyakit dan luka, bahkan yang hampir merenggut nyawa sekalipun. Karena itu, ia dijadikan elixir hidup atau obat penyembuh mujarab bagi tentara kekaisaran yang berperang demi ambisi Qiang Yuze untuk menaklukkan benua.
“A-aku, sudah tidak tahan lagi, Yuze...” suara Ming Yue makin melemah.
Namun mendengar hal itu, Qiang Yuze terlihat jengkel. Dengan kasar, ia mencengkeram rahang Ming Yue hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal.
“Kau harus hidup sampai peperangan ini berakhir. Jangan lagi mengeluh, paham?!” gertaknya, matanya berkilat penuh ancaman.
Air mata jatuh, namun Ming Yue terlalu lemah untuk melawan. Ia hanya bisa menatap balik, hatinya remuk. Sebelum pergi, Yuze mengusap tangannya seolah jijik telah menyentuh kulit istrinya sendiri.
“Sayang sekali kau mandul. Jika saja bisa melahirkan, mungkin darah anakmu pun akan berguna untukku di masa depan.”
Setelah berkata demikian, ia berbalik, melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Ming Yue hanya bisa menatap punggung pria yang pernah ia cintai sedalam hidupnya. Cinta itu kini retak, berganti pahitnya benci. Semua permohonan, semua usaha kabur yang pernah ia lakukan tak ada gunanya.
Tidak lama setelah kepergiannya, pintu besi kembali berderit terbuka. Seorang wanita masuk dengan langkah angkuh. Senyum sinisnya seketika membuat darah Ming Yue mendidih. Itu adalah Lao Lan, sepupunya sendiri yang sekarang menjadi istri kedua Qiang Yuze.
“Ternyata masih hidup juga, kau sangat menyebalkan, seperti kecoa,” ucapnya sambil mendengus.
Tatapan Ming Yue berubah tajam. Rambut kusutnya segera dijambak kasar, kepalanya dipaksa menengadah.
“Cepatlah mati, agar aku bisa memiliki Yang Mulia Yuze sepenuhnya,” desis Lao Lan penuh kebencian.
Ming Yue tersenyum getir meski tubuhnya sekarat, ia berkata. “Ambil saja manusia sialan itu. Rupanya selera kita sama-sama buruk dalam memilih lelaki.”
Plak!
Tamparan keras membuat sudut bibirnya pecah berdarah.“Di saat seperti ini kau masih berani bicara?!” bentaknya kesal.
Lao Lan mengikat mulutnya dengan selendang agar tak bisa mengucap sepatah kata pun lagi. Ming Yue meronta, namun tubuhnya sudah terlalu lemah untuk melawan.
“Cepat mati, lalu temui keluargamu di neraka. Mereka sama menyebalkannya denganmu. Untung saja Yang Mulia Yuze sudah menyingkirkan mereka,” ucap Lao Lan.
Mendengar hal itu, mata Ming Yue membelalak terkejut.
“Apa? Kau tidak tahu?” Lao Lan menyeringai. “Ya itu benar, kakakmu yang suka berjudi itu bukan mati karena dirampok. Ayahmu juga mati karena mencoba mengungkapkan kejahatan Menteri Wei. Kau paham sekarang? Jadi cepatlah mati dasar kecoa memuakkan.”
Ucapan itu membuat jantung Ming Yue serasa berhenti. Lao Lan kemudian berbalik, meninggalkan sel tahanan dengan tawa puas. Air mata jatuh membasahi wajah Ming Yue. Isakan tertahan di balik kain yang membungkam mulutnya. Ia tak menyangka ternyata pelaku yang membunuh keluarganya adalah suaminya sendiri.
‘Qiang Yuze, Lao Lan, aku tidak akan pernah memaafkan kalian,’ batin Ming Yue bersumpah, sesaat sebelum akhirnya dia terpejam.
Ming Yue, istri Putra Mahkota yang telah sangat lama terkurung kini menghembuskan nafas terakhirnya karena penyiksaan, darahnya yang habis dikuras serta tekanan mental yang ia alami.
Namun, seakan dewa memberinya kesempatan sekali lagi, cahaya terang menyilaukan mata. Ming Yue membuka kelopak matanya dengan nafas sedikit terengah. Tubuhnya bangkit di atas ranjang empuk, bukan lagi rantai besi dan dinginnya penjara.
Ming Yue menatap sekitar dan sontak terkejut. “Ini, kamarku di kediaman Ming,” gumamnya terheran-heran.
Keringat dingin membasahi pelipis. Segalanya tampak nyata. “Tapi bagaimana bisa? Bukankah harusnya aku sudah mati?”
Qiang Jun sedikit mengernyit.“Untuk apa?” tanyanya datar.Yong Bai sedikit gugup, tapi tetap menunduk hormat.“Saya hanya ditugaskan memanggil Anda berdua.”Qiang Jun terdiam sejenak, terlihat enggan. Dalam benaknya, dia sudah menebak apa yang akan dikatakan kaisar nanti.“Baiklah, kami ke sana,” jawabnya.Tapi bukan Qiang Jun, melainkan Ming Yue.“Tunggu, Yue—“Qiang Jun hendak menolak, namun Istrinya sudah memegang lengannya.“Ayo cepat. Tidak sopan menolak perintah Yang Mulia.”Ming Yue langsung menghabiskan tanghulu terakhir di tangannya. Kemudian pergi menarik Qiang Jun pergi.Lagi-lagi pria itu tak bisa menolak ajakan Istrinya.Setelah mengikuti Yong Bai, akhirnya mereka tiba di ruang tamu istana utama. Semua anggota keluarga kekaisaran tengah berkumpul.Qiang Jun menghela nafas pelan.‘Kan. Sudah kuduga,’ pikirnya.Ming Yue segera membungkuk sopan.“Maaf membuat Anda menunggu, Yang Mulia.”Sementara Qiang Jun hanya mengangguk singkat. Sikap sopan minimal yang selalu dilakukan
“Tunggu. Apa?” Qiang Mingze memiringkan kepalanya tak paham. ”Kenapa kau tidak mau?”Qiang Jun hanya mengangkat kedua bahunya santai.“Saya hanya tidak mau melakukannya,” jawabnya asal.Aula sontak makin riuh oleh bisikan, namun Qiang Jun tidak menggubris. Ia justru menoleh pada istrinya.“Tidak apa, kan, Yue?”Ming Yue menatap suaminya sejenak, lalu tersenyum tipis.“Aku hanya mengikutimu saja.”Senyuman lega terbit di bibir pria itu.“Kalau begitu, kita kembali.”Ming Yue mengangguk pelan. Mereka berdua lalu membungkuk sopan.“Kami masih ada pekerjaan lain yang harus dilakukan, Yang Mulia. Jika berkenan, kami permisi lebih dulu,” ujar Ming Yue pamit.“Terima kasih banyak atas penghargaan Anda,” tambah Qiang Jun.Qiang Mingze terpaku sesaat. Dalam hatinya, sempat berharap. Tapi akhirnya ia menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya.“Baiklah. Kalian boleh pergi,” balasnya mengizinkan.Pasangan itu pun bangkit. Dan melangkah pergi meninggalkan aula yang masih sedikit ribut karen
Hari-hari berlalu, bulan berganti. Sudah cukup lama setelah hari eksekusi Qiang Yuze, beserta pengikutnya yang ikut dihukum.Rasanya terlewat begitu saja dengan damai.Organisasi milik Pangeran kedua telah resmi berubah menjadi Qin Ai Yue. Dan bisnisnya berkembang lebih pesat.Qiang Jun berjalan menuju kamar istrinya. Namun ketika pintu terbuka, ia hanya menemukan Xiao Lin yang sedang merapikan tempat tidur.“Di mana Yue?”Xiao Lin menoleh dan menjawab.“Nona berada di kuil, Tuan.”Qiang Jun menghela nafas panjang.Ming Yue jadi lebih sering berada di kuil. Terus berusaha memecahkan kode dari gulungan kertas pemberian Ayahnya.Qiang Jun segera bergegas pergi ke kuil.Kuil yang berada di puncak gunung itu kini sudah direnovasi oleh orang-orang Qin Ai Yue.Selain bangunan kuil utama, di bagian belakang ternyata terdapat pula rumah para pelayan dewa. Taman yang rindang, juga perpustakaan penyimpanan manuskrip lama.Tempat itu kini jauh lebih hidup. Bahkan beberapa anggota Qin Ai Yue memut
Ming Yue merapatkan bibirnya, mencoba menahan senyuman.‘Sudahlah. Dari pada dia terus merajuk,’ pikirnya pasrah.Perlahan, kedua tangan terulur merangkul lengan Qiang Jun yang ada di atasnya.“Baiklah,” bisiknya lembut. “Akan kutemani kau semalaman.”Seketika mata Qiang Jun berkilat penuh semangat, bahkan sedikit liar. Ia tidak menunggu sedetik pun.Dengan cepat pria itu menunduk dan meraup bibir Istrinya. Mencium dengan rakus. Melumat habis setiap helaan napas Ming Yue.Lidahnya membelit, menuntut, seolah ingin menandai bahwa wanita itu adalah miliknya seorang.Tangan Qiang Jun turun. Menarik satu kaki Ming Yue ke atas tubuhnya dan mencengkeram dengan posesif.‘Di kehidupan kali ini, kau hanya perlu melihatku. Hanya aku,’ gumamnya dalam hatiMembuat ciumannya semakin dalam, sedikit brutal namun dipenuhi cinta yang membara.Hari-hari berlalu. Sudah satu minggu sejak kaisar menunda hukuman Qiang Yuze.Akhirnya, para bangsawan kekaisaran berkumpul di aula pengadilan. Beberapa warga pun
Ming Yue berhasil keluar dari istana secara diam-diam. Langkahnya ringan seperti bayangan.Ming Yue teringat memiliki janji dengan seseorang. Dan sesuatu yang harus ia pastikan sendiri.Hingga akhirnya tiba di dekat gerbang penjara kerajaan.Seperti yang pernah Ming Yue lakukan sebelumnya, dia menyebarkan asap untuk membuat mereka tertidur sementara.Setelah beberapa saat, Ming Yue melesat masuk dengan cepat. Dia pergi ke sel penjara Qiang Yuze berada.Dan saat berdiri di depan jeruji, langkahnya berhenti. Sesaat, Ming Yue terdiam.‘Cih. Apa dia secepat ini mati?’ pikirnya. Berdecak kesal.Namun masih ingin dia pastikan.Kondisi Qiang Yuze sangat menyedihkan.Dengan wajah pucat, dan tubuhnya terkulai terlihat sekarat. Darah masih menetes perlahan dari luka di lengannya.Ming Yue berjongkok dan memeriksa nadinya. Masih ada, walau tipis. Bagai nyala lilin yang sebentar lagi padam.Ming Yue mengembuskan napas, kemudian menggigit ujung jarinya. Setetes darah muncul, dan ia memberikannya p
“Kenapa dia?” tanya Ming Yue. Masih terlihat tenang.An Rong menarik nafas.“Pangeran kedua bertengkar dengan Kakakku, sampai mengeluarkan pedang.”Mendengar hal itu, Ming Yue mengernyit. Tanpa berkata lagi, ia bergegas menuju halaman belakang. An Rong mengikuti dari belakang.Begitu tiba di area tanah luas dekat gazebo, mereka mendengar denting besi tajam. Dua orang tengah bertarung cukup serius. Dengan ekspresi sama-sama kesal.Ming Yue berhenti di dekat kakaknya, Ming Hao. Serta dua pria kembar yang berdiri santai seolah menonton pertunjukan.“Kenapa kalian hanya diam? Bukannya menghentikan mereka?” tegur Ming Yue.Ming Hao menaikkan kedua bahunya santai.“Biarkan saja. Ini menyenangkan,” katanya. Sambil mengunyah camilan.“Awalnya kita sedang main kartu. Tapi Kakak kedua selalu kalah,” ujar Qiang Shen.“Dan dia memergoki An Beiye ternyata curang. Akhirnya marah dan langsung menghajarnya, sampai jadilah seperti sekarang,” sambung Qiang Rui menjelaskan.Ming Yue memejamkan mata sing







