Season 2 - Dari kelanjutan Cerita - Ceraikan Aku Jika Sudah Tidak Cinta.
Dina duduk di kursi kayu dekat jendela sambil mengusap lembut perutnya yang membuncit. Udara pagi menyusup lewat jendela yang terbuka, membawa aroma kain dan kopi hitam yang baru diseduh. Suara mesin jahit berdentum serempak—simfoni khas dari ruang kerja kecil miliknya.
“Yuni, benangnya jangan keliru, ya. Warna harus sama persis sama contoh,” ujar Dina sambil menatap detail hasil jahitan di atas meja.
“Iya, Mbak Dina,” jawab Yuni cepat. “Tapi kalau benangnya habis, boleh pakai yang mirip banget? Nggak kelihatan kok dari jauh,” celetuknya sambil nyengir.
“Ya jelas kelihatan, Yun!” sahut Rani dari sisi lain meja. “Itu seragam kerja, bukan kostum karnaval, dengan warna-warni."
Ana terkikik. “Mbak Dina bisa nerima job dari pemain sirkus, nih... "
Dina tertawa pelan. Suasana seperti ini—riuh, bersahabat, dan penuh candaan—menjadi obat paling mujarab untuk hari-hari beratnya.
Aini masuk membawa nampan berisi susu hangat dan potongan buah.
“Din, ayo minum dulu. Jangan berdiri terus, kamu itu bawa tiga bayi, bukan satu,” ujar Aini sambil menyodorkan gelas.
“Kalau bunda terus kasih aku camilan terus, nanti aku ikut-ikut buncit kayak guling,” ujar Dina dengan tawa kecil, tangannya mengelus perutnya.
“Bagus toh! Gendut demi anak-anak mbak, bukan demi mi instan tengah malam,” sahut Rani sambil tertawa.
Dina tersenyum, lalu menarik napas. “Kadang aku takut, Bun. Takut enggak kuat ngurus semuanya sendirian.”
Aini duduk di samping Dina, menggenggam tangannya. “Kamu enggak sendirian. Ada bunda, ada Mbak Tatik, dan semua yang sayang kamu. Kita bareng-bareng, Din.”
Mbak Tatik mendekat sambil berdiri berkacak pinggang. “Dan tangan saya ini bukan cuma jago jahit, tapi juga jago gendong. Kalau kamu nanti kecapekan, biar saya yang momong bayi-bayimu!”
“Serius, Mbak?” Ana ikut menyela dengan senyum menggoda. “Kalau aku pingsan juga dimomongin?”
“Kalau kamu pingsan, saya siram pakai air ember! Biar cepet sadar!” jawab Tatik disambut gelak tawa semua orang.
Dina menatap mereka satu per satu. Matanya berkaca-kaca.
“Terima kasih, ya… Kalian semua bukan cuma teman kerja. Kalian keluarga buat aku.”
Rani menghentikan jahitannya, menatap Dina dengan senyum hangat. “Mbak Dina, kita semua juga hidup dari usaha ini. Kalau Mbak semangat, kita juga ikut semangat. Jadi yuk, kita kerjakan dua ratus seragam itu. Buktikan kalau perempuan kuat bisa jadi pilar keluarga dan ekonomi.”
Dina mengangguk.
Hari itu, di antara bising mesin, hangat tawa, dan rasa kekeluargaan yang melingkupi—ia merasa cukup kuat untuk melangkah lagi. Meski tanpa suami, ia tidak pernah benar-benar sendiri.
Dan itulah harapan baru, yang dijahitnya bersama benang-benang perjuangan.
~~~
Danang membuka pintu rumah dengan langkah gontai. Setelan kantornya masih rapi, tapi wajahnya tampak lesu. Ia melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu meletakkan tas kerja di sofa seperti tak bernyawa.
Endang, sang mama, sedang melipat cucian di ruang tengah. Ia langsung menoleh begitu melihat anaknya pulang tanpa semangat.
“Danang?” panggilnya. “Kamu kenapa, Nak? Mukamu pucat begitu. Ada masalah di kantor?”
Danang tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, lalu duduk di kursi ruang makan, menunduk dan memijat keningnya.
Endang mendekat. “Kamu sakit?”
Danang menghela napas berat, lalu mengangkat wajahnya. “Tadi di kantor… Sinta datang, Ma. Dia nungguin di lobi.”
Endang langsung membelalak. Tangannya otomatis mengepal. “Sinta lagi?! Danang! Mama sudah bilang, Mama nggak suka kamu berurusan lagi sama perempuan itu!”
“Mama, aku nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia!” Danang langsung menyela, suaranya meninggi.
Endang memelototinya. “Kalau memang nggak ada hubungan, kenapa dia bisa datang ke kantormu dan nunggu kamu seperti itu?! Mau sampai kapan Mama harus terus melihat kamu kayak nggak punya pendirian? Bukannya sibuk memperbaiki hidupmu, malah masih berurusan sama masa lalu!”
Danang mengusap wajahnya dengan kasar. “Aku juga nggak ngerti, Ma. Aku sudah jauh dari dia. Aku nggak pernah hubungi dia lagi. Tapi dia tetap datang. Aku juga bingung harus gimana…”
Endang berdiri, menghela napas panjang, lalu menatap Danang tajam. “Mama muak, Danang. Jangan sampai kamu kehilangan semuanya hanya karena kamu nggak bisa bersikap tegas. Sudah cukup kamu kehilangan Dina karena kegilaan sesaatmu.”
Danang terdiam. Nafasnya pendek-pendek. Ia menunduk. Nama Dina seperti menghantam hatinya. Ia belum tahu di mana Dina tinggal sekarang, belum tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup mantan istrinya itu. Tapi rasa kosong yang terus menghantuinya... tak pernah benar-benar pergi.
Ia berkata lirih, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri.
“Aku capek, Ma…”
Endang melembut, tapi tetap tegas. “Kalau kamu memang capek, berhenti bikin luka baru. Mulailah bangun hidupmu. Jalin hubungan dengan orang baru. Jangan terfokus pada orang-orang pada masalalu. Jauhi wanita itu !" Kata Endang tegas.
Danang terdiam, menatap kosong ke arah lantai. Namun hatinya mulai bergejolak. Kata-kata mamanya seperti cermin yang memantulkan kenyataan , bahwa belum ada satu langkah pun yang ia ambil untuk memperbaiki dirinya sendiri.
~~~
Dina memeriksa tumpukan kain yang sudah dipotong dan disortir. Tangannya bergerak cekatan meski perutnya sudah terlihat besar. Ia menoleh ke arah Yuni yang tengah sibuk menggunting kain.
“Yun,semua sudah di potong ?"
"Sudah mbak," sahut Yuni.
"Jangan salah potong, Yun," kata Rani.
Yuni langsung melotot dramatis. “Eh, jangan salah! Saya ini lulusan kursus menjahit tiga angkatan. Lulus dengan nilai nyaris sempurna!”
“Nyaris, ya, Yun? Artinya nggak sempurna,” celetuk Ana sambil tertawa.
Rani terkekeh. “Makanya, tadi malam tuh tidur yang cukup, jangan malah nonton drakor sampai subuh. Biar mata seger pagi hari.
“Aku riset, tahu! Siapa tahu nanti dapat order kostum tradisional Korea,” kata Yuni dengan gaya sok serius.
“Kalau yang pesan oppa Korea asli, aku mau daftar jadi pacarnya!” sahut Ana cepat, membuat semua tertawa.
Aini masuk membawa piring berisi tahu isi dan pisang goreng.
“Duh, kalian ini kerja apa stand up comedy sih? Tapi baguslah, bikin suasana adem. Dina nggak boleh stres,” kata Aini sambil menyodorkan satu piring ke Dina dan memberikan sepiring untuk yang lain.
Dina mengambil sepotong tahu isi dan mengunyah pelan. “Kerja sambil tertawa bikin bayi juga bahagia, ya, Bun?”
“Betul. Tapi jangan terlalu bahagia juga. Nanti keluar tuh baby, minta diajak nonton konser,” sahut Mbak Tatik.
“Lha, kalau anak kembar tiga-nya mbak Dina nanti perempuan semua, bisa bikin girlband tuh,” celetuk Ana.
“Aku jadi manajernya!” sahut Rani sambil mengangkat tangan.
“Aku jadi fans club pertama!” tambah Yuni.
Dina tertawa sampai menutup mulut. “Kalian ini… Nggak ada serius-seriusnya.”
“Justru karena hidup kadang terlalu serius, kita harus seimbangin pakai tawa,” ucap Aini lembut.
Semua mendadak diam. Setuju.
Dina menatap mereka satu-satu dengan mata yang menghangat. “Terima kasih ya, sudah bikin aku kuat.”
Yuni langsung berdiri dan berseru, “Oke tim! Demi bos besar dan tiga calon bintang masa depan, kita selesaikan dua ratus seragam ini sebelum deadline!”
Ana berdiri sambil mengangkat gunting, seperti prajurit membawa pedang. “Semangattt.... !!"
Rani pura-pura menyeka air mata. “Duh, aku terharu. Ini kerjaan pertama kita yang jumlahnya tiga digit. Semoga ini awal yang baik."
“Semoga kita terus mendapatkan orderan yang banyak," kata Ana.
"Amiin !!" sahut semua dengan barengan.
Dina mengelus perutnya. “Nak, dengar ya… Mama dikelilingi orang-orang luar biasa. Mereka bukan cuma teman kerja, tapi keluarga. Dan kalian nanti akan tumbuh di tengah cinta sebesar ini.”
Udara dalam ruangan terasa lebih hangat, bukan karena sinar matahari, tapi karena kebersamaan, cinta, dan harapan yang terus dijahit hari demi hari.
Malam merambat sunyi di kamar rumah sakit. Hanya suara mesin pendingin udara dan deru halus napas orang-orang yang tertidur di dalamnya. Kegelapan malam seolah menyelimuti semuanya, menciptakan suasana yang tenang namun penuh ketegangan. Aini, sang bunda, sudah terlelap di kursi dengan selimut tipis menutupi bahunya. Tidur yang tampak damai, meskipun di balik itu, hatinya penuh kekhawatiran. Hanum pun sama, kepalanya bersandar di pinggiran sofa, tidur dengan posisi miring. Keduanya berusaha mencari kenyamanan dalam keletihan, namun bayang-bayang kekhawatiran tetap menghantui.Dina, justru terbangun. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit. Keheningan malam membuat pikirannya melayang jauh, mengingat kembali kenangan-kenangan yang menyakitkan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Gelisah. Perasaan itu seperti benang kusut yang sulit diurai, menimbulkan rasa tidak nyaman yang terus mengganggu pikirannya.Ia menghela napas panjang, lalu mengulurkan tangan pelan mengambil ponsel d
Sore itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan hanya karena angin sore yang menyelinap malas lewat jendela ruang tamu yang terbuka setengah, tapi juga karena aura kelam yang menyelimuti Danang. Ia terduduk di sofa, kemeja kerja yang kusut menjadi saksi bisu betapa berat hari yang baru saja dilaluinya. Pijatan di pelipisnya tak mampu mengusir bayangan-bayangan yang berputar di kepalanya. Endang keluar dari dapur, tangannya sibuk mengeringkan sisa air ditangannya. Langkahnya terhenti di depan sofa, sorot matanya menyelami wajah putranya yang pucat.“Dan, Mama mau tanya soal usaha restoran itu,” suara Endang lirih, seolah takut membuyarkan lamunan Danang.Danang hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap kosong ke arah dinding. “Nggak jadi, Ma.”Kening Endang berkerut dalam. “Nggak jadi? Kok bisa? Bukannya kamu dulu semangat sekali? Uang yang Mama kasih… terus gimana?”Helaan napas berat lolos dari bibir Danang. Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang menyimpan segudang beban.
Pagi itu, suasana kantor seperti biasa, ramai oleh aktivitas dan obrolan ringan di antara para karyawan. Namun, tidak semua obrolan hanya sekadar basa-basi.Di sudut dekat pantry, dua orang karyawan sedang berbicara pelan-pelan, seolah membagikan kabar penting.“Aku baru tahu, ternyata Pak Danang itu udah nikah. Tapi katanya istrinya tuh biasa aja, tidak cantik."“Iya, makanya dia sembunyiin. Malu mungkin, soalnya istrinya katanya gak menarik. Eh, sekarang malah cerai katanya. Tidak tahu kapan nikah, tahunya sudah cerai saja."“Denger-denger sih ketahuan selingkuh, ya?”“Gila… tampang boleh, tapi kelakuan… Ehm... minus .'Tawa kecil menyusul.Tanpa mereka sadari, langkah Danang yang hendak menuju pantry terhenti tak jauh dari situ. Kalimat-kalimat itu menusuk telinganya dan hatinya.Pelipisnya berdenyut. Napasnya berat. Matanya menajam menatap dua orang itu, yang masih asyik berbicara tanpa sadar sedang membakar emosi seseorang yang sedang menjadi target pembicaraan keduanya."Kurang
Tirai ruang IGD perlahan terbuka.“Dokter Eva...” ucapnya lirih.Dokter Eva tersenyum hangat dan segera mendekat ke sisi tempat tidur Dina.“Malam, Bu Dina. Saya dengar dari perawat kamu masuk IGD. Apa keluhannya, Bu ?”"Tiba-tiba perutnya sakit, Dok. Terutama di bagian bawah perut... nyerinya tajam banget. Tadi juga sempat keluar darah.”Wajah dokter Eva langsung menunjukkan keprihatinan. Ia menatap Dina penuh perhatian.“Baik, Ibu tenang dulu ya. Saya akan periksa untuk melihat kondisi ketiga janinnya.”Ia lalu menoleh ke perawat.“Tolong siapkan alatnya, kita lakukan USG sekarang.”“Siap, Dok,” jawab suster yang langsung bergerak cepat.Dokter Eva mengangguk dan mengenakan sarung tangan.“Kita mulai, ya, Bu Dina. Coba tarik napas pelan dan rileks.”Dina mengangguk pelan. Ia berbaring dengan tegang. Perutnya dilumuri gel dingin, lalu alat USG mulai digerakkan perlahan di atas kulit perutnya.“Santai, Bu. Jangan tegang, ya,” ujar dokter Eva sambil melirik ke arah mata Dina yang menat
Detik berikutnya, terdengar langkah tergesa dari luar. Pintu kamar, dan Bundanya muncul dengan wajah panik."Dina !""Sini Bun."Aini berlari menuju kamar mandi dan Aini terkejut melihat Dina duduk di lantai kamar mandi. "Ya Allah... kenapa?!" "Bun… sakit banget. Perut aku..." Dina menunjuk ke arah bercak darah di celana dalamnya. "Ada ini, Bun… darah. Keluar..."Aini langsung menghampiri dan jongkok di samping putrinya, wajahnya pucat. "Ya Allah... sejak kapan, Din?""Baru banget... tadi pas di ranjang. Sakitnya nyentak, Bun. Aku pikir cuma kram biasa. Tapi makin nyeri waktu aku jalan ke kamar mandi...""Kamu jatuh, Din?""Nggak Bun. Cuma pas buka celana mau buang air... aku lihat bercak darah. Bun... nyeri... badan lemas." Dina menunduk, memegangi perutnya. "Aku takut, Bun... takut kenapa-napa sama kandungan aku..."Aini menggenggam tangan Dina erat, berusaha menenangkan. "Dina, dengerin bunda... kandunganmu baik-baik saja. Sekarang kita harus ke rumah sakit," kata Aini
Senja merambat turun perlahan, membalut langit dengan semburat jingga dan abu-abu. Danang berdiri termenung di balkon kamarnya. Jemarinya menggenggam pagar besi, mata menerawang jauh ke ujung langit. Suasana rumah terasa lengang, hanya suara burung pulang sarang dan angin sore yang berbisik pelan.Ia memejamkan mata sebentar, menghela napas panjang. Kepalanya masih dipenuhi bayangan pertengkarannya dengan Dinda. Hatinya remuk.“Apa aku selalu jadi alasan orang yang kusayangi terluka?"Perutnya berbunyi pelan, mengingatkannya kalau sejak pagi hanya meneguk kopi. Tapi bukan sekadar lapar. Ada rasa aneh... Entah kenapa, ia tiba-tiba ingin makan semur jengkol, makanan yang seumur hidup selalu ia hindari.Dengan langkah berat, Danang turun ke lantai bawah. Di dapur, Endang sedang mencuci piring, punggungnya membelakangi pintu.“Mama…” panggil Danang lirih.Endang menoleh. “Iya, Dan. Mau apa ? Kopi ?" tanyanya saat melihat Danang yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu dapur.Danang mendekat