Share

Kehidupan Setelah Perpisahan
Kehidupan Setelah Perpisahan
Author: Lin shi

Bab 1 Awal

Author: Lin shi
last update Last Updated: 2025-09-03 16:29:51

Season 2  - Dari kelanjutan Cerita - Ceraikan Aku Jika Sudah Tidak Cinta.

Dina duduk di kursi kayu dekat jendela sambil mengusap lembut perutnya yang membuncit. Udara pagi menyusup lewat jendela yang terbuka, membawa aroma kain dan kopi hitam yang baru diseduh. Suara mesin jahit berdentum serempak—simfoni khas dari ruang kerja kecil miliknya.

“Yuni, benangnya jangan keliru, ya. Warna harus sama persis sama contoh,” ujar Dina sambil menatap detail hasil jahitan di atas meja.

“Iya, Mbak Dina,” jawab Yuni cepat. “Tapi kalau benangnya habis, boleh pakai yang mirip banget? Nggak kelihatan kok dari jauh,” celetuknya sambil nyengir.

“Ya jelas kelihatan, Yun!” sahut Rani dari sisi lain meja. “Itu seragam kerja, bukan kostum karnaval, dengan warna-warni."

Ana terkikik. “Mbak Dina bisa nerima job dari pemain sirkus, nih... "

Dina tertawa pelan. Suasana seperti ini—riuh, bersahabat, dan penuh candaan—menjadi obat paling mujarab untuk hari-hari beratnya.

Aini masuk membawa nampan berisi susu hangat dan potongan buah.

“Din, ayo minum dulu. Jangan berdiri terus, kamu itu bawa tiga bayi, bukan satu,” ujar Aini sambil menyodorkan gelas.

“Kalau bunda terus kasih aku camilan terus, nanti aku ikut-ikut buncit kayak guling,” ujar Dina dengan tawa kecil, tangannya mengelus perutnya.

“Bagus toh! Gendut demi anak-anak mbak, bukan demi mi instan tengah malam,” sahut Rani sambil tertawa.

Dina tersenyum, lalu menarik napas. “Kadang aku takut, Bun. Takut enggak kuat ngurus semuanya sendirian.”

Aini duduk di samping Dina, menggenggam tangannya. “Kamu enggak sendirian. Ada bunda, ada Mbak Tatik, dan semua yang sayang kamu. Kita bareng-bareng, Din.”

Mbak Tatik mendekat sambil berdiri berkacak pinggang. “Dan tangan saya ini bukan cuma jago jahit, tapi juga jago gendong. Kalau kamu nanti kecapekan, biar saya yang momong bayi-bayimu!”

“Serius, Mbak?” Ana ikut menyela dengan senyum menggoda. “Kalau aku pingsan juga dimomongin?”

“Kalau kamu pingsan, saya siram pakai air ember! Biar cepet sadar!” jawab Tatik disambut gelak tawa semua orang.

Dina menatap mereka satu per satu. Matanya berkaca-kaca.

“Terima kasih, ya… Kalian semua bukan cuma teman kerja. Kalian keluarga buat aku.”

Rani menghentikan jahitannya, menatap Dina dengan senyum hangat. “Mbak Dina, kita semua juga hidup dari usaha ini. Kalau Mbak semangat, kita juga ikut semangat. Jadi yuk, kita kerjakan dua ratus seragam itu. Buktikan kalau perempuan kuat bisa jadi pilar keluarga dan ekonomi.”

Dina mengangguk.

Hari itu, di antara bising mesin, hangat tawa, dan rasa kekeluargaan yang melingkupi—ia merasa cukup kuat untuk melangkah lagi. Meski tanpa suami, ia tidak pernah benar-benar sendiri.

Dan itulah harapan baru, yang dijahitnya bersama benang-benang perjuangan.

~~~

Danang membuka pintu rumah dengan langkah gontai. Setelan kantornya masih rapi, tapi wajahnya tampak lesu. Ia melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu meletakkan tas kerja di sofa seperti tak bernyawa.

Endang, sang mama, sedang melipat cucian di ruang tengah. Ia langsung menoleh begitu melihat anaknya pulang tanpa semangat.

“Danang?” panggilnya. “Kamu kenapa, Nak? Mukamu pucat begitu. Ada masalah di kantor?”

Danang tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, lalu duduk di kursi ruang makan, menunduk dan memijat keningnya.

Endang mendekat. “Kamu sakit?”

Danang menghela napas berat, lalu mengangkat wajahnya. “Tadi di kantor… Sinta datang, Ma. Dia nungguin di lobi.”

Endang langsung membelalak. Tangannya otomatis mengepal. “Sinta lagi?! Danang! Mama sudah bilang, Mama nggak suka kamu berurusan lagi sama perempuan itu!”

“Mama, aku nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia!” Danang langsung menyela, suaranya meninggi.

Endang memelototinya. “Kalau memang nggak ada hubungan, kenapa dia bisa datang ke kantormu dan nunggu kamu seperti itu?! Mau sampai kapan Mama harus terus melihat kamu kayak nggak punya pendirian? Bukannya sibuk memperbaiki hidupmu, malah masih berurusan sama masa lalu!”

Danang mengusap wajahnya dengan kasar. “Aku juga nggak ngerti, Ma. Aku sudah jauh dari dia. Aku nggak pernah hubungi dia lagi. Tapi dia tetap datang. Aku juga bingung harus gimana…”

Endang berdiri, menghela napas panjang, lalu menatap Danang tajam. “Mama muak, Danang. Jangan sampai kamu kehilangan semuanya hanya karena kamu nggak bisa bersikap tegas. Sudah cukup kamu kehilangan Dina karena kegilaan sesaatmu.”

Danang terdiam. Nafasnya pendek-pendek. Ia menunduk. Nama Dina seperti menghantam hatinya. Ia belum tahu di mana Dina tinggal sekarang, belum tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup mantan istrinya itu. Tapi rasa kosong yang terus menghantuinya... tak pernah benar-benar pergi.

Ia berkata lirih, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri.

“Aku capek, Ma…”

Endang melembut, tapi tetap tegas. “Kalau kamu memang capek, berhenti bikin luka baru. Mulailah bangun hidupmu. Jalin hubungan dengan orang baru. Jangan terfokus pada orang-orang pada masalalu. Jauhi wanita itu !" Kata Endang tegas.

Danang terdiam, menatap kosong ke arah lantai. Namun hatinya mulai bergejolak. Kata-kata mamanya seperti cermin yang memantulkan kenyataan ,  bahwa belum ada satu langkah pun yang ia ambil untuk memperbaiki dirinya sendiri.

~~~

Dina memeriksa tumpukan kain yang sudah dipotong dan disortir. Tangannya bergerak cekatan meski perutnya sudah terlihat besar. Ia menoleh ke arah Yuni yang tengah sibuk menggunting kain.

“Yun,semua sudah di potong ?"

"Sudah mbak," sahut Yuni.

"Jangan salah potong, Yun," kata Rani.

Yuni langsung melotot dramatis. “Eh, jangan salah! Saya ini lulusan kursus menjahit tiga angkatan. Lulus dengan nilai nyaris sempurna!”

“Nyaris, ya, Yun? Artinya nggak sempurna,” celetuk Ana sambil tertawa.

Rani terkekeh. “Makanya, tadi malam tuh tidur yang cukup, jangan malah nonton drakor sampai subuh. Biar mata seger pagi hari.

“Aku riset, tahu! Siapa tahu nanti dapat order kostum tradisional Korea,” kata Yuni dengan gaya sok serius.

“Kalau yang pesan oppa Korea asli, aku mau daftar jadi pacarnya!” sahut Ana cepat, membuat semua tertawa.

Aini masuk membawa piring berisi tahu isi dan pisang goreng.

“Duh, kalian ini kerja apa stand up comedy sih? Tapi baguslah, bikin suasana adem. Dina nggak boleh stres,” kata Aini sambil menyodorkan satu piring ke Dina dan memberikan sepiring untuk yang lain.

Dina mengambil sepotong tahu isi dan mengunyah pelan. “Kerja sambil tertawa bikin bayi juga bahagia, ya, Bun?”

“Betul. Tapi jangan terlalu bahagia juga. Nanti keluar tuh baby, minta diajak nonton konser,” sahut Mbak Tatik.

“Lha, kalau anak kembar tiga-nya  mbak Dina nanti perempuan semua, bisa bikin girlband tuh,” celetuk Ana.

“Aku jadi manajernya!” sahut Rani sambil mengangkat tangan.

“Aku jadi fans club pertama!” tambah Yuni.

Dina tertawa sampai menutup mulut. “Kalian ini… Nggak ada serius-seriusnya.”

“Justru karena hidup kadang terlalu serius, kita harus seimbangin pakai tawa,” ucap Aini lembut.

Semua mendadak diam. Setuju.

Dina menatap mereka satu-satu dengan mata yang menghangat. “Terima kasih ya, sudah bikin aku kuat.”

Yuni langsung berdiri dan berseru, “Oke tim! Demi bos besar dan tiga calon bintang masa depan, kita selesaikan dua ratus seragam ini sebelum deadline!”

Ana berdiri sambil mengangkat gunting, seperti prajurit membawa pedang. “Semangattt.... !!"

Rani pura-pura menyeka air mata. “Duh, aku terharu. Ini kerjaan pertama kita yang jumlahnya tiga digit. Semoga ini awal yang baik."

“Semoga kita terus mendapatkan orderan yang banyak," kata Ana.

"Amiin !!" sahut semua dengan barengan.

Dina mengelus perutnya. “Nak, dengar ya… Mama dikelilingi orang-orang luar biasa. Mereka bukan cuma teman kerja, tapi keluarga. Dan kalian nanti akan tumbuh di tengah cinta sebesar ini.”

Udara dalam ruangan terasa lebih hangat, bukan karena sinar matahari, tapi karena kebersamaan, cinta, dan harapan yang terus dijahit hari demi hari.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 115 Satu Doa' untuk tiga malaikat kecil

    Halaman rumah Dina sejak pagi sudah ramai. Tenda sederhana berdiri di depan rumah, kursi-kursi plastik tertata rapi, aroma masakan dari dapur bercampur dengan wangi daging kambing yang sedang diolah. Suara obrolan para tetangga saling bersahutan, diselingi tawa kecil dan sapaan ramah.Namun di balik keramaian itu, Dina berdiri di dalam kamar, menatap ketiga buah hatinya yang tidur nyenyak di boks bayi.Rayan Aldama.Revan Aldamar.Alya Adeline.Tiga nama yang selalu ia sebutkan setiap ia berdoa.Tangannya bergetar saat membenarkan selimut Alya. Dina menarik napas panjang. Hari ini seharusnya menjadi hari yang penuh kebahagiaan. Hari akikah. Hari syukur. Hari ketika seorang ayah berdiri di samping ibu, menyebut nama anaknya dengan lantang.Namun hari ini… Ia sendiri.“Ya Allah…” bisiknya pelan. “Aku lakukan ini sendirian. Tapi Engkau tahu, aku tidak sendirian, ada orang-orang yang menyayangiku. Kuatkan aku Allah..."Aini masuk ke kamar, melihat wajah Dina yang terlihat tegang.“Din…” s

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 114 Harapan

    “Mas Dito!”Suara Aini terdengar bergetar saat matanya menangkap sosok yang sudah lama tak ia lihat. Tubuhnya refleks berhenti bergerak, seolah tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya.Pria bertubuh tinggi itu tersenyum lebar. “Surprise!” serunya sambil membuka kedua tangan.Aini menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. “Ya Allah… Mas Dito beneran datang?”Ia langsung melangkah mendekat dan memeluk abang tertuanya itu erat-erat, seakan takut kalau sosok itu hanya bayangan.Dari samping, Amar tertawa kecil melihat reaksi adiknya. “Gimana? Kaget, kan?”Aini melepaskan pelukan, lalu menoleh ke Amar. “Mas Amar tahu?” tanyanya setengah protes, setengah senang.Amar mengangguk santai. “Tahu dong. Kalau enggak, mana mungkin kejutan ini berhasil.”Belum sempat Aini menimpali, seorang perempuan anggun melangkah mendekat. Wajahnya ramah dengan senyum hangat yang familiar.“Mbak Ami,” ucap Aini cepat.“Iya, Aini,” jawab Aminah sambil merentangkan tangan. “Apa kabar?”Aini langsung memelu

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    113 Tamu kejutan

    Malam itu, Danu duduk di ruang keluarga rumahnya. Badannya bersandar ke sofa, kedua tangannya saling mengait, sementara pandangannya kosong menatap lantai. Di kepalanya masih terngiang kalimat terakhir yang ia ucapkan di kantor siang tadi, surat pengunduran diri. Itu adalah satu keputusan besar yang akhirnya benar-benar ia ambil.Endang keluar dari dapur sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja kecil di depan Danu, lalu duduk di seberangnya. Sejak tadi, ia memperhatikan anak laki-lakinya itu dengan perasaan campur aduk, bangga, khawatir, sekaligus penuh harap.“Minum dulu,” kata Endang pelan.Danu mengangguk, meraih gelasnya, lalu menghela napas panjang sebelum menyesap teh itu.“Ma… Senin nanti aku resmi jadi pengangguran,” ucapnya, mencoba bercanda, tetapi suaranya tetap terdengar berat.Endan

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 112 Keputusan besar

    Sejak hari Danu resmi mengajukan resign dari perusahaan, kabar itu menyebar lebih cepat dari yang ia perkirakan. Bukan hanya rekan kerja, tetapi juga orang-orang yang pernah mengenalnya, yang dulu hanya sekadar saling sapa mulai mengetahui keputusan itu. Setiap kali bertemu, pertanyaan yang sama selalu muncul, dengan nada yang berbeda-beda.“Kenapa keluar, Dan?”“Sudah dapat tempat baru?”“Atau ada masalah?”Danu hanya tersenyum tipis. Ia menjawab seperlunya, singkat dan tanpa emosi berlebih. Baginya, tidak semua orang berhak mengetahui alasan hidupnya berubah arah. Ia sudah terlalu lelah menjelaskan, apalagi membela diri.Namun, bukan hanya pertanyaan langsung yang harus ia hadapi. Ada selentingan yang sampai ke telinganya, cerita yang beredar diam-diam, disampaikan setengah berbisik namun terasa lebih bising dari suara keras.

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 111 Keputusan berani

    Aini tiba di rumah menjelang magrib. Wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya menyimpan kegembiraan yang tak bisa ia sembunyikan. Setiap langkahnya menuju pintu terasa berat, tetapi semangat di dalam hatinya membuatnya terus melangkah. Begitu pintu terbuka, aroma masakan Dina yang menguar dari dapur menyambutnya, menambah kehangatan suasana.Dina, yang sedang memberi susu Alya, langsung menoleh ketika mendengar suara pintu. Senyum lega menghiasi wajahnya saat melihat Aini. "Cepet sampe, Bun?” tanyanya, suaranya lembut dan penuh kasih.“Nggak macet. Nggak ada pasar tumpah,” jawab Aini sambil meletakkan tasnya di sudut ruangan. “Capek, tapi alhamdulillah… ada kabar baik.” Suara Aini bergetar, mencerminkan perasaan campur aduk antara kelelahan dan kebahagiaan.Deni, yang baru keluar dari kamar, langsung mendekat dengan wajah penuh rasa ingin tahu. “N

  • Kehidupan Setelah Perpisahan    Bab 110 Minta maaf

    Menjelang sore, suasana di rumah Dina berubah menjadi lebih ramai, namun bukan karena suara tawa. Tangisan kecil bersahut-sahutan, tidak keras, dan tidak juga histeris, lebih seperti rengekan panjang yang membuat hati siapa pun terasa diremas pelan. Rayan meringkuk di pelukan Aini. Pipinya memerah, dan tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya. Ia merengek kecil setiap kali Aini mencoba menurunkannya ke kasur. “Sebentar saja, Nak… bentar ya,” bujuk Aini lembut. Namun, begitu punggung Rayan menyentuh kasur, tangisnya kembali pecah.Di sisi lain, Dina menggendong Alya. Bayi perempuan itu tidak menangis keras; ia hanya merengek pelan, dengan alis yang berkerut seolah merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Setiap kali Dina duduk, Alya akan menggeliat, kakinya menendang-nendang kecil, tanda bahwa ia tidak mau dilepas dari dekapan. “Badannya anget, Bun,” kata Dina lirih, cemas tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Ia menyentuh kening Alya lagi untuk memastikan. “Tapi tidak panas ting

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status