Apa aku bisa menjadi seperti sosok Fatimah Az-Zahra? itulah yang ada dalam pikiran Alsya. Bahkan tidak pernah dilihat atau melihat seseorang yang bukan mahramnya. Sungguh, dia ingin meneladani sifat beliau.
Dia tahu, dosanya terlalu banyak. masih lalai menjalankan perintah-Nya. Tapi semenjak bertemu dengan seseorang, yang telah mengajarkan banyak hal selama ini, menjadikan Alsya terus termotivasi untuk memperbaiki diri. Setiap malam, dia hanya bisa menangis dalam diam. Takut Allah marah, serta murka kepadanya karena selama ini dia masih sering mengejar cinta dunia, bahkan sempat melupakan akhirat. Astaghfirullah, hamba macam apa, aku ini? Seorang gadis berjalan cepat menaiki tangga gedung bertingkat sambil sesekali melirik jam yang melingkar di tangan dengan beberapa buku di genggamannya, apalagi mulutnya komat kamit tidak jelas. Karena masalah ban mobil bocor, membuatnya telat datang ke kampus. Beruntung ada malaikat berbaik hati memberi tumpangan. BRAK Semua orang yang berada di ruangan, seketika memegangi dada karena kaget. "ASTAGHFIRULLAH, ALSYA ...." terdengar lantang suara Vino, selaku dosen sastra Indonesia. Vino benar-benar geram, namun mencoba menahan amarah, terlihat jelas dari urat lehernya. Mampus! batinnya menuruti kebodohannya sendiri. Sementara, Alsya dengan tampang polosnya hanya tersenyum sambil menunjukkan cengirannya seperti tidak terjadi apa-apa ataupun merasa bersalah. Dia mengira, Vino belum masuk kelas karena biasanya datangnya juga suka terlambat. Tapi kali ini, dia salah besar. "KELUAR DARI KELAS SAYA, SEKARANG!" Tenggorokannya begitu tercekat, sampai-sampai mencoba menelan ludah saja begitu susah. "Ta-tapi Pak-" "Jangan membantah, ALSYA. Cepat, keluar dari kelas saya, SE-KA-RANG!" Dengan langkah gontai, kakinya meninggalkan gedung bertingkat. Alsya bingung harus ke mana, saat ini. Karena kelas kedua akan dimulai siang nanti. Dia juga tidak mungkin pulang, pasti kedua orang tuanya akan memarahi. "Ah, aku ke rumah Paman Kevin aja, deh. Main sama si kembar, sambil nunggu kelas siang." Karena mobilnya masih ada di bengkel, akhirnya Alsya naik taksi. Kebetulan jarak rumah Kevin dengan kampus tidak terlalu jauh. Beberapa menit kemudian, Alsya sampai di perumahan elit. Berlahan, kaki kecilnya masuk dalam rumah besar. "Assalamualaikum, Paman," tukasnya seraya mencium punggung tangan Kevin yang saat itu sedang membaca koran di ruang tamu. "Waalaikumsalam, loh Alsya? Kamu nggak ke kampus?" tanyanya dengan curiga melihat keponakan tercinta tiba-tiba ada di rumahnya. Apalagi dengan pakaian yang rapi dengan buku di tangannya. Alsya yang mendengar pertanyaan Kevin hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe ... i-i-itu, Paman ... a-aku diusir dari kelas." "APA? DIUSIR KAMU BILANG? KENAPA BISA DIUSIR, ALSYA?? KAMU BUAT MASALAH APA, SAMPAI-SAMPAI DIUSIR?" Kevin tidak habis pikir dengan Alsya, bisa-bisanya dia diusir dari kelas. "A-aku nggak bikin masalah kok Paman, serius. Tadi itu mobilku bannya bocor, jadi telat datang ke kampus. Beruntung tadi ada orang baik hati yang mau menampungku. Eh, waktu udah sampai kampus malah diusir tuh sama si dosen. Huh, Paham, jangan kasih tahu Bunda dan Ayah ya? Nanti mereka marah, Paman tahu sendiri kan bagaimana marahnya Ayah. Makanya aku ke sini aja, sekalian main sama si kembar." Kevin hanya bisa menghela nafas panjang, lantas mengangguk mengiyakan permintaan keponakannya itu. Dia kira, Alsya membuat masalah besar, ternyata karena ada sedikit masalah di mobilnya. "Si kembar mana, Paman? Kok nggak kelihatan?" "Arya dan Arza ke rumah neneknya." "Yaah, nggak bisa main sama ke kembar, dong." "Di kamar atas ada Abel dan Tasya." Semenjak kejadian beberapa tahun silam, Kevin memutuskan untuk menikah dengan seorang Dokter. 1 tahun setelah dirinya kembali ke rumah, Kevin mengkhitbah Zahra. Mereka berdua dikaruniai 3 anak, satu perempuan cantik bernama Abel, yang kedua Arya dan Arza yang masih menginjak usia 4 tahun. Tanpa berkata, Alsya berlari ke kamar atas untuk menemui kedua kakaknya itu. Karena sudah lama tidak bertemu. Walaupun Alsya sering main ke rumah Kevin, tapi tidak pernah bertemu dengan Abel karena Abel melanjutkan study-nya ke luar negeri. Beruntung saja, kini Abel ingin melanjutkan kuliahnya di Indonesia, saja. Sedangkan Tasya, jarang bertemu karena memang terbentang jarak yang cukup jauh. BRAK Lagi dan lagi, Alsya mendobrak pintu. Beruntung pintu tidak rusak karena ulahnya. "KAK ABEL ... KAK TASYA ...." Alsya berlari memeluk erat mereka berdua. Mereka bertiga saling memeluk satu sama lain, untuk melepas rindu yang tertahan. "Kangen." Hanya itu kata yang diucapkan Alsya. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti cantiknya hilang," tukas Abel seraya menghapus air mata yang masih mengalir deras di pipi Alsya. "Tahu nih, anak. Cengeng banget," timpal Tasya sambil menghapus sisa air matanya yang keluar. "Kalian berdua juga nangis tuh, nggak aku aja." "Namanya juga melepas rindu, Sya." Seorang lelaki memakai pakaian ala dokter dengan stetoskop yang masih melingkar di leher berjalan keluar rumah sakit. Terlihat tampan, apalagi kulit putih, hidung mancung, mata coklat, serta bibir merah muda, membuat siapa saja yang melihat pun terkesima. "Sore, Dok." Begitulah sapa karyawan saat berpapasan dengannya. Dia hanya membalas dengan senyuman manis yang memperlihatkan lesung kecil di kedua pipinya. Klik Begitulah suara dalam mobil. Belum sempat masuk, ada yang memanggil dari arah belakang. "Dokter Reyhan," teriaknya dari arah belakang sambil berlari kecil dengan membawa sesuatu di tangannya. "Iya, ada apa, Najma?" "Ini Dok, ada sesuatu untuk Dokter." "Apa, ini?" tanya Reyhan sembari mengambil bingkisan itu. "Makanan dari Mama, Dok. Katanya untuk calon menantu," tukas Najma malu-malu. Sedangkan Reyhan yang mendengarnya pun seketika menghela nafas panjang dan berat. "Untuk makanannya tolong bilang ke Mama kamu, terima kasih. Tapi satu yang harus kamu tahu, Najma, saya sudah mempunyai calon. Jadi saran saya jangan berharap lagi kepada saya, Najma. Sekali lagi terima kasih, saya pamit." Setelah mengatakan itu, Reyhan bergegas meninggalkan area rumah sakit. Tapi tidak dengan Najma, dia masih membeku di tempat, memikirkan perkataan Reyhan. Hatinya begitu sakit mendengar perkataan darinya. Tapi satu yang harus kamu tahu, Najma, saya sudah mempunyai calon. Jadi saran saya jangan berharap lagi kepada saya, Najma Perkataan itu seketika memenuhi pikiran Najma. Di satu sisi, Reyhan benar-benar dibuat kalut dengan ucapannya sendiri. Bagaimana tidak, dia mengucapkan sesuatu yang tidak seharusnya dia ucapkan. Sebenarnya Reyhan belum mempunyai calon, karena tidak mau memberikan harapan kepada seseorang, dia terpaksa berbohong. Apalagi semenjak beberapa bulan silam, Reyhan tidak sengaja bertemu dengan sang ibu dari Najma. Dari situ, mama Najma suka memanggil Reyhan dengan sebutan 'calon menantu'. Itu semua membuat Reyhan kurang nyaman. Reyhan jadi berdoa supaya dalam waktu dekat ini dipertemukan dengan seseorang. Sejujurnya dia tidak menyukai Najma. Karena tanpa diduga, sang mama Najma mengenal bunda Reyhan. Bahkan mereka berdua rencana mau menjodohkan Reyhan dengan Najma. Mengingat perkataan sang bunda yang terus menyuruh untuk menikah dengan Najma, membuatnya menjadi pening. "Akh," desisnya sembari memukul setir mobil. "Saya harus cepat-cepat menemukan calon istri untuk diperkenalkan dengan Bunda. Supaya Bunda tidak terus menyuruh saya menikahi Najma, seorang yang tidak saya cintai." Maka, "dengarlah wahai kaum lelaki, janganlah kamu sekali-kali menyakiti seorang perempuan, muliakanlah dia ... Karena perempuan itu bagaikan permata yang harus dijaga, bukan dibuat mengeluarkan air mata. Saat kamu ingin menyakiti wanita, ingatlah kepada ibumu. Apa kamu tega, menyakiti hati ibumu? Kalau tidak, maka jangan menyakiti seorang perempuan. Kalau dia salah, tegurlah dengan lembut, jangan sampai kamu membentak. Karena sejatinya wanita itu suka diperlakukan dengan kelembutan, bukan kekerasan"Di kediaman keluarga Mahendra, kini sedang menikmati sarapan pagi. Sebenarnya Reyhan malas sarapan di rumah, tapi karena desakan dari Sandra, akhirnya pun dia menurut. Karena ada sesuatu penting yang akan dikatakan kedua orang tuanya."Reyhan, Ayah mau bicara sesuatu yang penting, denganmu!"Reyhan seolah-olah tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang ayah. "Soal lamaran, kan Yah?" tebaknya dengan nafas panjang.Mahendra juga menghela nafas panjang sebelum berbicara. "Rey, soal lamaran itu, kamu lupain saja ya?"Reyhan yang mendengar penuturan sang ayah pun mengerutkan kening. Karena sejak awal mereka bersikukuh menginginkan lamaran itu, tapi sekarang menyuruh melupakan. "Bukankah Ayah dan Bunda yang waktu itu terus menyuruh saya melamar Najma? Kenapa tiba-tiba bilang lupain?"Entah keberapa kalinya, Mahendra menghela nafas berat, tak terkecuali Sandra. "Nak, Najma sudah dilamar lelaki lain. Tadi malam tiba-tiba orang tua Najma telepon Bunda dan bilang begitu.""Mungkin saya dan Najma
Di kantin kampus, Alsya yang tadinya melamun seketika terkejut karena ulah Keysa yang mengagetkan dari arah belakang. Membuat sang empu menatap kesal. "Kebiasaan, deh." Keysa hanya senyum kecil, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. "Lagian kenapa sih, melamun mulu? Jangan keseringan melamun, nggak baik, Sya." Alsya memutar bola matanya malas." Aku nggak melamun, cuma bengong aja." Keysa yang mendengarkannya pun seketika menganga, rasanya ingin mencakar-cakar wajah Alsya sekarang juga jika saja dia tidak ingat perempuan yang di hadapannya saat ini masih seorang sahabat. "Sya, kamu pilih deh. Mau ditimpuk sama buku ini atau sama sepatu ini?" Alsya benar-benar senang melihat wajah geram Keysa yang menurutnya lucu. "Nggak ada yang lucu, Sya! Nggak usah ketawa!" "Hehe, maaf deh maaf, lagian sih kamu pakai acara kagetin aku." Keysa tersenyum kecil sambil menunjukkan cengiran serta jari tangan yang berbentuk huruf V. "Salah siapa melamun mulu? Ada apa Sya, coba cerita." Terden
Weekend, hari yang dinanti-nantikan oleh semua orang. Hari ini, Alfin, Alsya, dan Iqbal melakukan jogging berkeliling kompleks. Mereka jogging hanya di waktu libur saja. Ketiganya terlihat bersemangat. "Kenapa berhenti, Kak?" "Duluan saja sama Ayah. Nanti aku nyusul, capek banget, mau istirahat sebentar." Iqbal hanya mengangguk sebagai tanda jawaban. Di satu sisi, Alfin yang tidak melihat Alsya, di samping Iqbal pun mengerutkan kening. "Kakak kamu ke mana, Iqbal?" "Itu Yah, Kak Sya masih di belakang, mau istirahat dulu katanya, capek. Nanti nyusul." "Ya sudah, kita pulang duluan saja. Nanti kabari Kakak kamu jika kita pulang." "Iya, Yah." Hari sudah semakin siang tapi Alsya masih betah duduk di sekitar taman sambil melihat sekitar dengan handset yang masih terpasang di kedua telinga yang tertutup hijab. Alsya sendiri sudah mengabari orang di rumah, kalau akan balik terlambat. Dia tidak mau membuat orang rumah khawatir karenanya. Saat dia tengah asik mengayunkan kedua
Selepas membuat jadwal janji temu, Reyhan segera memberikannya pada Abel yang masih berada di luar ruangan. Sebelum memberikan, dia melirik sekilas ke arah Alsya yang bercengkrama dengan pasiennya. "Abel, ini sudah saya buatkan jadwal untuk janji temu." Reyhan kembali melirik ke arah Alsya, tanpa disadari, Alsya juga melihat ke arahnya. Tatapan mereka beradu beberapa detik, setelahnya saling memalingkan. "Oh iya, Dok. Terima kasih." Karena penasaran dengan gadis yang berada di samping Abel, Reyhan memberanikan diri bertanya kepada Abel. "Oh iya, teman di samping kamu itu, namanya siapa?" "Namanya Alsya, Dok. Dia keponakan saya." Ternyata keponakan Abel? Manis, batinnya disertai senyuman kecil, bahkan saking kecilnya, tidak ada yang menyadarinya. "Cantik," gumamnya pelan lantas pergi begitu saja. Reyhan sendiri tidak tahu apa yang terjadi padanya. Saat pertama kali bertemu dengan Alsya, dia merasa ada yang berbeda darinya. Entah apa yang berbeda, hatinya pun juga mera
Sesampainya di rumah, Reyhan menyerahkan makanan yang dikasih Najma kepada Sandra. Sebelum bertanya, Reyhan terlebih dulu menjawab, "Itu dari Najma, Bun. Tadi dia kasihkan ke saya." Sandra yang mendengar perkataan Reyhan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Sang anak tidak pernah berubah, terus saja memakai bahasa formal, walau dengan orang tuanya sendiri. "Bisa nggak, itu jangan pakai bahasa formal? Kamu bicara sama Bunda loh, ini. Bukan sama pasien atau teman kamu." "Nggak bisa, Bun. Sudah kebiasaan, ya udah itu makanan Bunda dan Ayah saja yang makan. Saya ke kamar dulu, mau langsung istirahat." Saat mau masuk kamar, teriakan Sandra menghentikannya. "REYHAN, BESOK JANGAN LUPA AJAK NAJMA MAIN KE SINI." Sedangkan Reyhan lagi-lagi hanya menghela nafas panjang. Dia sendiri heran, mengapa orang tuanya bersikukuh ingin menjodohkannya. Memang Najma itu wanita baik, bahkan lulusan ponpes dan soal agama, tidak perlu diragukan lagi. Tapi tetap saja hatinya tidak mencintai Najma.
Apa aku bisa menjadi seperti sosok Fatimah Az-Zahra? itulah yang ada dalam pikiran Alsya. Bahkan tidak pernah dilihat atau melihat seseorang yang bukan mahramnya. Sungguh, dia ingin meneladani sifat beliau. Dia tahu, dosanya terlalu banyak. masih lalai menjalankan perintah-Nya. Tapi semenjak bertemu dengan seseorang, yang telah mengajarkan banyak hal selama ini, menjadikan Alsya terus termotivasi untuk memperbaiki diri. Setiap malam, dia hanya bisa menangis dalam diam. Takut Allah marah, serta murka kepadanya karena selama ini dia masih sering mengejar cinta dunia, bahkan sempat melupakan akhirat. Astaghfirullah, hamba macam apa, aku ini? Seorang gadis berjalan cepat menaiki tangga gedung bertingkat sambil sesekali melirik jam yang melingkar di tangan dengan beberapa buku di genggamannya, apalagi mulutnya komat kamit tidak jelas. Karena masalah ban mobil bocor, membuatnya telat datang ke kampus. Beruntung ada malaikat berbaik hati memberi tumpangan. BRAK Semua orang yang b