Hari-hari awal Aryan di rumah Mr. Horison terasa seperti sebuah petualangan yang tak terduga. Setiap pagi, ia terjaga di sebuah kamar yang luas, dikelilingi oleh barang-barang berharga yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia miliki. Begitu banyak pilihan, begitu banyak kemungkinan.
Sesi pelatihan mulai berlangsung. Mr. Horison telah membentuk tim elit yang terdiri dari para penjaga terlatih dan master pertarungan, dan Aryan menjadi bagian dari mereka. Ia dilatih bukan hanya dalam teknik bertarung, tetapi juga dalam strategi, pengecekan keamanan, dan manajemen risiko. Di sinilah Aryan merasa bakatnya benar-benar bersinar. Ia sering kali keluar sebagai juara, mengalahkan lawan-lawannya dengan kecerdikan dan kombinasi gerakan yang membuatnya tak terduga. Namun, saat hari-hari berlalu, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya. Setiap kali ia berada di dekat Mr. Horison, seolah ada jari-jari tak terlihat yang menarik kembali kenangannya—kenangan yang selalu terlintas di sudut pikiran yang samar. Dan di saat itulah, satu kejadian tak terduga menghampirinya. Suatu sore, saat pelatihan usai, Aryan berdiri sendiri di taman, merenungi keahliannya. Ia tak merasa bahwa ini adalah tempat yang seharusnya ia tempati. Dalam keheningan, ia mendengar suara berbisik yang samar; suara itu membuatnya menoleh ke belakang. Seorang wanita muda berdiri di sana, wajahnya tersemat senyum ramah namun misterius. “Namaku Clara,” katanya, melangkah lebih dekat. “Aku datang untuk melihat bagaimana kesanmu di sini.” Aryan tertegun. “Clara? Siapa kau?” “Aku teman dari Mr. Horison,” jawab Clara, memperlihatkan kedekatan antara mereka. “Aku sudah mengenalnya sejak lama. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirimu, Aryan.” “Mungkin itu hanya bagian dari pelatihan,” Aryan berkata, tetapi hatinya berdebar mendengar kata ‘berbeda’. “Tidak. Kau tahu, ada sesuatu yang menyeretku untuk mendekat. Seperti ada jejak karma yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentangmu.” Clara mengamati Aryan dengan intens, seakan mencari-cari sesuatu di dalam dirinya. Aryan menjawab dengan gelisah, “Aku sudah mencoba melupakan masa lalu. Apa yang kau cari mungkin tidak ada di sini.” Clara tersenyum. “Kadang-kadang, masa lalu tidak bisa kita lupakan. Itu akan kembali dengan cara yang tak terduga.” Dan saat Clara berbicara, jantung Aryan seakan berpacu cepat. Dia teringat akan masa-masa sulit yang membawanya ke titik di mana ia sekarang, mengenang orang-orang yang hilang dan petualangan yang belum sempat ia jelajahi. “Saat kau bertarung, aku bisa merasakan semangat darimu. Seolah kau berjuang melawan sesuatu yang lebih dari sekadar lawan di depanmu,” Clara melanjutkan, membuat Aryan semakin bingung. “Apakah kamu kenal dengan Mr. Horison?” tanyanya, ingin mencari tahu lebih dalam. Clara mengangguk. “Ya, ia adalah orang yang selalu berusaha menjaga semua orang di sekitarnya. Dia memiliki banyak rahasia, tapi ada satu hal yang dia ingin kau tahu.” “Apa itu?” Aryan bertanya, merasa petualangan semakin mendalam. “Tanya dia tentang ‘hari yang hilang’, waktu ketika banyak hal berubah untuk orang-orang di sekitarnya. Semua itu terjadi sebelum kau muncul di sini,” kata Clara, suara berbisik namun penuh intensi. “Hari yang hilang? Apa maksudmu?” tanya Aryan, hatinya bergetar mendengar frase itu. Clara tersenyum samar, tetapi kemudian wajahnya tampak khawatir. “Hati-hati. Kebenaran kadang bisa sangat mengerikan dan menciptakan pilihan yang sulit.” Tanpa menunggu jawaban Aryan, Clara melenggang pergi, meninggalkan rasa ingin tahu yang mendalam di dalam hati Aryan. Apa yang terjadi di masa lalu? Dan bagaimana itu berhubungan dengan dia? Rasa ingin tahunya kembali menyala, perlahan-lahan menggeser ketidakpastian dalam dirinya. Beberapa hari kemudian, rencana pelatihan ditunda dan saatnya bagi Mr. Horison untuk memberikan arahan baru. Aryan dan tim elit berkumpul di ruang persidangan yang dikelilingi oleh lukisan bersejarah, dan di depan mereka berdiri Mr. Horison. “Sebagian dari kalian mungkin pernah mendengar tentang rumor yang beredar, atau buang waktu dengan berbagai pertarungan sengit. Namun sekarang, kita akan melangkah ke tahap baru,” jelasnya, wajahnya serius. “Aku ingin kalian bersiap untuk sebuah misi.” “Misi? Apakah ini berhubungan dengan keamanan?” tanya Aryan, penuh rasa ingin tahu, matanya tertuju pada Mr. Horison. “Bukan hanya itu. Misi ini akan melibatkan penyusupan. Kita akan masuk ke wilayah yang sangat berbahaya untuk menyelidiki aktivitas ilegal yang bisa mengancam posisi kita,” jawab Horison lagi. Saat para anggota tim berbicara di antara mereka tentang rencana misi, Aryan merasakan getaran dingin di punggungnya. Sesuatu di dalam hati menajamkan pengingat bahwa ini adalah kesempatan pertamanya untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. “Dan bagi yang ingin terlibat—ini akan jadi ujian sejati dari keahlian kalian,” Horison menambahkan, menatap lurus ke arah Aryan. “Kau, Aryan, aku ingin agar kau mengawasi ini lebih dekat. Kau akan jadi mata dan telinga kita di sana.” “Aku…? Kenapa aku?” Aryan merasa terkejut, tidak memiliki pengalaman dalam operasi seperti itu sebelumnya. “Karena aku percaya. Kau memiliki naluri yang kuat dan kemampuan untuk melakukan ini,” jawab Mr. Horison, mengabaikan keraguan Aryan. Dalam hati Aryan bergejolak. Dia merasakan bahwa ini adalah langkah yang akan membawanya lebih dekat untuk menemukan masa lalunya. Apakah dia mampu melewati semua ini? “Baiklah. Aku akan melakukannya.” Aryan menjawab, menyerahkan pada takdir, kepada misi yang tak hanya sedang mengujinya, tetapi juga mempertemukannya kembali dengan bayang-bayang masa lalu yang mungkin membentuk dirinya. Ketika malam tiba, seiring matahari tenggelam ke belakang gunung, Aryan merenungi langkahnya ke dalam kegelapan, tidak tahu bahwa penantian di balik pintu akan membuka kotak Pandora yang menyimpan rahasia lebih dari sekadar potensi yang hilang. Dia memasuki petualangan baru dengan langkah teken dan harapan di hati, menyadari bahwa kebenaran kadang-kadang lebih menakutkan daripada yang bisa ia bayangkan.Aryan, Clara, dan Yoshua berlari sekuat tenaga, meninggalkan markas Zareth yang kini mulai diserbu oleh pasukan musuh. Mereka berlari melalui hutan yang lebat, menghindari ranting-ranting yang tajam dan tanah yang berlumpur. Setelah beberapa jam berlari, mereka akhirnya mencapai sebuah tempat yang aman, sebuah gua kecil yang tersembunyi di balik pepohonan. Mereka beristirahat di sana, mencoba untuk memulihkan tenaga mereka. Yoshua yang kelelahan tetapi penuh harapan, tersenyum lemah kepada putrinya. "Clara, aku sangat bangga denganmu. Kau telah menyelamatkan aku dari tangan Zareth." Clara tersenyum, merasa lega dan bahagia. "Aku hanya ingin menyelamatkan ayah," katanya. Aryan yang berdiri di samping mereka, menatap mereka dengan serius. "Kita belum aman sepenuhnya. Zareth masih mencari kita, dan kita harus bersiap untuk langkah berikutnya." Yoshua mengangguk setuju. "Aku tahu. Kita harus mengumpulkan kekuatan kita dan mempersiapkan diri untuk menghadapi Zareth lagi." Clara
Di balik ketegangan yang membelenggu hati Aryan dan Clara, semangat mereka tak pernah padam. Mereka tahu, waktu adalah musuh yang tak pernah memberi jeda. Setiap detik yang berlalu adalah peluang yang semakin kecil untuk menyelamatkan Yoshua dan menghentikan Zareth dari rencana jahatnya. Malam itu, di dalam rumah tua Tante Mira, mereka merancang langkah terakhir—serangan menuju markas Zareth di bekas pabrik di tepi hutan barat desa. “Kalau kita ingin masuk tanpa diketahui, kita harus bergerak saat fajar menyingsing,” kata Aryan, matanya menyala penuh tekad. “Di saat semua pasukan Zareth tidur atau menjaga perimeter, kita akan menyelinap masuk dan mengeluarkan Yoshua.” Clara mengangguk, memandang peta yang dipegang Tante Mira dengan penuh perhatian. “Kita harus menyusun strategi matang. Jangan sampai kita terjebak atau gagal menyelamatkan ayahku.” Tante Mira menatap mereka dengan serius. “Kebanyakan pasukan Zareth cukup disiplin. Tapi aku punya satu rencana cadangan, jika situasi me
Dengan napas yang masih terengah-engah dan jantung berdebar, Aryan mengarahkan pandangnya ke Clara. “Kita tidak bisa terus melarikan diri selamanya,” ujarnya, otaknya bekerja cepat. “Kita harus menemukan Yoshua, dan kita harus melakukannya sekarang. Jika Zareth berhasil menemukan kita lagi, maka kita tidak akan memiliki kesempatan untuk melawan.”Clara mengangguk, mengerti akan kepanikan yang mendasari keputusan Aryan. Mereka berdua baru saja keluar dari kegelapan, dan kembali terjerumus dalam rasa takut yang membayangi akan takdir orang yang mereka cintai. “Tapi, Aryan, kita tidak tahu di mana dia berada. Kita mungkin hanya akan lebih dekat ke Jari Zareth.”“Justru itu, Clara,” jawab Aryan tegas. “Semakin cepat kita bergerak, semakin cepat kita bisa menemukan dia. Dan jika kita menemukan Yoshua, dia akan membawa banyak pengetahuan dan pengalaman yang bisa membantu kita menghentikan Zareth.”Clara merasa ada kebenaran dalam kata-kata Aryan, tetapi rasa takut akan keselamatan mereka te
Cahaya yang berkedip di kejauhan semakin jelas seiring langkah Clara dan Yoshua yang semakin mendekat, menciptakan harapan dalam kegelapan yang mencekam. Setiap langkah bergetar penuh ketegangan, diiringi dengan detakan jantung yang terengah-engah. Clara merasakan keberanian mengalir di dalam dirinya, meskipun ketakutan akan nasib Aryan terus menghantuinya. “Cahaya itu tampaknya berasal dari tengah laut,” kata Yoshua sambil melangkah perlahan, mengamati ombak yang bergejolak. “Apakah kau yakin kita harus pergi ke sana, Clara?” “Aku harus tahu. Jika Aryan ada di sana…” Clara menggigit bibirnya, menahan emosi yang menghantui. “Kita tidak bisa membiarkannya sendirian.” Mereka berdua akhirnya tiba di tepi air. Cahaya itu tampak bergerak, menari di atas permukaan laut yang gelap. Clara merasakan denyut kesadaran di dalamnya, seolah cahaya itu menyampaikan pesan, sesuatu yang mendesak untuk ditangkap. Mereka menatap ke laut, berharap untuk melihat lebih dekat. Hampir tidak ada suara
Dunia berputar liar, seolah alam semesta sedang bergejolak dalam pusaran emosi Aryan yang tak terkendali. Di saat ia berusaha mencengkram. Seorang anak buah Zareth' tiba-tiba melepaskan tembakan, membuat cengkeramannya pada helikopter terlepas. Zareth' tersenyum puas menyaksikan. Aryan merasakan sensasi jatuh bebas yang memilukan, sensasi yang mengancam untuk merenggut nafasnya. Tawa Zareth yang terbahak-bahak. Kini hanya menjadi gema samar, hilang tertelan deru angin dan hempasan ombak. Tubuh Aryan menghantam permukaan air, dingin dan gelap, sebuah benturan keras yang merenggut kesadarannya. Air laut yang dingin menerjang, memaksa paru-parunya untuk berkontraksi. Dunia di sekelilingnya berubah menjadi kegelapan pekat, terisi oleh suara gemuruh air dan detak jantungnya yang menggila. Ia berjuang, berupaya untuk membuka mata, tetapi kegelapan terus memburunya, seperti bayang-bayang yang enggan melepaskannya. Otot-ototnya menegang, tubuhnya meronta dalam usaha sia-sia untuk naik ke
Udara malam yang begitu pekat, sarat dengan aroma garam dan misteri. Di bawah langit yang bertabur bintang, di antara gemuruh ombak yang tak pernah lelah, Aryan dan Clara tiba di pantai terpencil yang telah menjadi lokasi pertemuan mereka. Malam tanpa bulan, hanya sedikit cahaya dari bintang yang menembus kegelapan, menciptakan suasana yang mencekam. "Ini pasti jebakan," gumam Clara, suaranya hampir tak terdengar di tengah deru ombak. Ia memandang sekeliling dengan waspada, matanya menelusuri kegelapan, mencari tanda-tanda kehadiran musuh. Aryan mengangguk, meskipun hatinya juga diliputi keraguan. Namun, ia harus mengambil risiko ini. Yoshua, ayahnya, berada dalam bahaya. Ia tidak punya pilihan lain. "Mungkin memang jebakan," jawab Aryan. "Tapi kita harus tetap waspada." Mereka berdiri di tepi pantai, menunggu dengan sabar. Jantung mereka berdebar-debar, dipenuhi campuran harapan dan ketakutan. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detik terasa seperti menit. Tiba-tiba, di