“Ya, sebagai seorang putra mahkota sudah selayaknya pula kamu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari para prajurit dan bahkan Panglima Kerajaan. Berangkatlah besok pagi, kamu akan di antar oleh beberapa orang prajurit istana yang pernah Ayahanda bawa serta dulu ke sana,” pinta Sang Prabu memberi perintah.
Saka Galuh sebenarnya sama sekali tidak berminat dengan usulan Ayahandanya itu, namun ia tak berani menolak perintah meskipun kesehariannya seorang Saka Galuh selalu membangkang perintah di belakang Sang Prabu.
Pagi itu Saka Galuh memang terlihat bersiap seperti seorang yang akan berpergian jauh, tentu saja Sang Prabu senang karena putranya itu menjalani perintahnya dan akan menjadi seorang pemuda yang memiliki keahlian silat.
Akan tetapi harapan Sang Prabu itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi, saat Saka Galuh dan beberapa orang prajurit istana berlayar dengan perahu ke Pulau Madura. Putra mahkotanya itu memilih menuju Pulau Jawa, ia sengaja berada di Pulau Jawa itu beberapa hari agar Ayahandanya percaya jika saat itu ia benar-benar datang menemui Kiai pemilik pemondokan di Pulau Madura itu untuk berlatih ilmu silat.
Di Pulau Jawa itu pulalah Saka Galuh bertemu dengan Ketua sebuah padepokan besar, ilmu kanuragannya sangat tinggi. Orang itu juga menawarkan pada Saka Galuh jika hendak berlatih dengan syarat membayar kepadanya setelah ia berhasil menguasai ilmu silat yang diajarkan, namun Saka Galuh tetap tidak ingin berlatih melainkan menyusun sebuah rencana jahat dengan Ketua padepokan itu pada Ayahandanya sendiri di istana Kerajaan Dharma.
Saka Galuh pun kembali ke istana setelah memperkirakan waktu berlatih seorang murid selesai dan itu akan dipercaya oleh Ayahandanya, benar saja Sang Prabu sangat senang ketika putranya itu kembali dan langsung menunjukan beberapa gerakan silat yang sebenarnya bukan di ajarkan Kiai di Pulau Madura itu melainkan gerakan silat Ketua sebuah padepokan di Pulau Jawa.
“Aku senang sekarang kau telah menjadi seorang putra mahkota yang memiliki ilmu silat,” Sang Prabu senang dan memuji Saka Galuh.
“Terima kasih Ayahanda, apakah Ayahanda akan memberiku hadiah atas semua yang telah Ananda jalini ini?”
“Oh tentu saja putraku, apa hadiah yang kamu inginkan?”
“Hemmm, Ananda tidak menginginkan hadiah apa-apa. Justru Ananda ingin menikmati keberhasilan ini dengan mengajak Ayahanda berburu, apakah Ayahanda bersedia?”
“Kamu memang putraku yang baik dan tahu saja cara membuat Ayahanda senang. Baik besok pagi kita akan pergi berburu,” Sang Prabu memutuskan, Saka Galuh pun tersenyum yang di dalam senyumannya itu tersembunyi rencana jahat terhadap Ayahandanya itu.
Esok paginya berangkatlah Sang Prabu dan Saka Galuh ke sebuah kawasan hutan tempat mereka akan berburu, di sana juga ada beberapa orang prajurit istana yang menemani. Baru saja mereka tiba di kawasan hutan, dua sosok bayangan berkelebat menghadang.
Yang satu berusaha melumpuhkan para prajurit, yang satu lagi berhadapan dengan Sang Prabu. Sosok pria yang berhadapan dengan Sang Prabu berpakaian merah bertubuh tegap, ilmunya jauh lebih tinggi dibandingkan Prabu Swarna Dipa hingga beberapa serangan membuat Raja Kerajaan Dharma itu terdesak.
“Deeeeeees..! Breeeeeet..! Breeeeet..! Cleeeep…! Arghhhhh..!”
Sang Prabu meraung kesakitan saat hantaman kaki serta beberapa kali sayatan golok merobek pakaian dan menores luka di beberapa bagian tubuh, dan saat golok itu ditancapkan ke dada Sang Prabu, Raja Kerajaan Dharma itu pun tersungkur dengan darah memancur.
Dua pria misterius itu pun berkelebat pergi dari tempat itu setelah memastikan Sang Prabu tewas, Saka Galuh meraung-raung berlari menghampiri lalu memeluk tubuh Ayahandanya. Beberapa pajurit yang telah mampu berdiri akibat di hajar oleh salah seorang dari dua pria yang menyerang tadi pun ikut berlari menghampiri, Sang Prabu Swarna Dipa pun menghembuskan napas terakhirnya.
Para prajurit segera mengotong tubuh Sang Prabu ke atas kereta kuda, selama di perjalanan pulang kembali ke istana, Saka Galuh yang terlihat sedih itu ternyata sangat bahagia dalam hatinya karena dua pria yang ternyata orang suruhannya itu berhasil menghabisi nyawa Ayah kandungnya sendiri.
Sejak tewasnya Sang Prabu, Saka Galuh langsung mengambil alih tahta Kerajaan. Pada saat itulah Sekar semakin dibuat menderita di istana, bahkan Dwinta dan Saka Galuh juga berencana akan membunuhnya. Beruntung hal itu cepat diketahui Wayan Bima, hingga ia dan istrinya membawa pergi Sekar dari istana Kerajaan Dharma itu.
Saat menyudahi ceritanya itu Sekar tak mampu lagi membendung air matanya, kedua pipinya basah. Lasmi langsung mengelus-elus dan merangkul keponakan angkatnya itu, Arya pun sempat mengigit bibirnya merasakan betapa getirnya peristiwa yang dialami gads cantik yang duduk di hadapannya itu.
Sesaat kemudian setelah merasa cukup tenang Sekar kembali bersuara, namun bukan untuk melanjutkan ceritanya melainkan ada hal lain yang hendak ia sampaikan pada Arya.
“Aku sebenarnya tidak berambisi untuk merebut tahta Kerajaan itu kembali dari tangan Saka Galuh Mas, melainkan yang terpenting rakyat tidak lagi tertindas oleh kesewenang-wenangannya. Ayahanda bersusah payah mendirikan dan mempertahankan Kerajaan Dharma demi untuk kesejahteraan rakyatnya, kini dalam sekejab hancur di tangan orang yang tamak,” tutur Sekar.
“Aku mengerti Sekar, tujuan sebenarnya maksudku untuk membantu kalian menyerang istana Kerajaan Dharma bukan pula untuk membalaskan dendam atas apa yang dilakukan saudara tirimu itu pada Ayahmu Prabu Swarna Dipa, tapi lebih dari itu bertujuan untuk menegakan keadilan bagi rakyat dibawah kekuasaan Kerajaan itu,” Arya menjelaskan.
“Ya Sekar, Paman juga tidak ingin terjadi pertumpahan darah di pihak kita dan istana Kerajaan. Tapi ini semua tidak lain hanya untuk kepentingan seluruh masyarakat yang mendiami Pulau Dewata ini,” tambah Wayan Bima.
Cukup lama mereka bercakap-cakap di ruangan istana itu, hingga akhirnya Intan Kasturi dipersilahkan untuk beristirahat di salah satu kamar yang memang di khususkan bagi tamu kehormatan Kesultanan Demak.Sementara di istana Kerajaan Mandalu, Arya, Bidadari Selendang Biru serta Dewa Pengemis yang belum mengantuk dan ingin beristirahat tampak duduk di bagian samping istana yang di sana terdapat ruang terbuka yang di depannya ada kolam ikan serta tumbuhan-tumbuhan hias.Agaknya tempat itu berupa taman yang kerap dimanfaatkan bagi petinggi istana termasuk juga Sang Raja berserta keluarganya untuk bersantai, tempat itu sangat nyaman hingga Arya, Bidadari Selendang Biru dan Dewa Pengemis betah berlama-lama duduk di sana.“Sudah tiga hari lebih kita di sini Arya, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Bidadari Selendang Biru sembari arahkan pandangan ke depan ke arah kolam.“Saya belum tahu, kita tunggu kabar dari Satrio Mandalu yang memerintahkan utusannya untuk datang ke Kerajaan-kerajaan wilaya
Keterangan yang didapatkan dari dua orang wanita warganya itu hanya sebatas ciri-ciri mereka saja, berupa berpakaian merah dan berbaju coklat. Dan kedua wanita itu juga mengatakan jika dua orang pria yang memperkosa mereka bukanlah pria dari warga desa, melainkan orang yang datang dari luar desa itu.Pihak Kerajaan Pajajaran telah mengirim sejumlah prajuritnya untuk menyisir kawasan desa tempat dua orang wanita di perkosa di hutan kecil, hingga sore itu semua kawasan telah mereka lalui tapi tak kunjung menemui dua orang pria pelaku pemerkosaan itu.Dengan tidak menemukan kedua pria itu tidak lantas para prajurit yang diutus langsung kembali ke istana, mereka untuk sementara waktu berada di pemukiman desa sekaligus bermalam di sana. Besok pagi mereka kembali akan menyisir kawasan desa itu, jika nanti tak jua menemukan dua pria yang mereka cari barulah para prajurit akan kembali ke istana memberi laporan.Belum lagi tengah hari saat mencari di hari kedua, sejumlah prajurit yang baru kem
“Itu sudah pasti Guru, mereka pasti sekarang mencari kita di kawasan hutan sana. Ha.. ha.. ha..! Dasar warga desa bodoh..!” ujar Pangeran Durjana sama sekali tak menyesal dengan yang ia lakukan bersama Gurunya itu tadi siang, justru dia senang dan merasa bangga.“Tapi kita besok pagi harus pergi dari kawasan hutan ini, mereka pasti akan mencari kita hingga ke sini.”“Tentu Guru, dari sini kita akan menuju ke arah utara sana. Di sana juga banyak desa-desa, dan kita hanya mencari 2 orang wanita lagi di kawasan barat ini,” ujar Pangeran Durjana, Setan Tanduk Neraka hanya mengangguk saja.Sementara di desa yang berada di sebelah barat hutan itu, para warga sebagian dikerahkan ke hutan kecil mencari dua orang pria yang telah memperkosa dua wanita warga desa mereka. Sebagian lagi berjaga-jaga di sekeliling desa, mereka benar-benar terkejut dan merasa terpukul akan kejadian tadi siang.Selama ini kawasan desa mereka aman-aman saja, dengan kejadian tadi siang tentu bukan hanya warga desa itu
“Jangan takut manis, kami berdua tidak akan menyakiti kalian,” ujar pria berpakaian merah seraya mencolek dagu salah seorang dari beberapa wanita yang sedang ketakutan itu.“Benar kami hanya ingin mengajak kalian untuk bersenang-senang, kalian mau kan? He.. he.. he..!” tambah pria berbaju coklat sembari tertawa.“Jangan Tuan..! Kami ingin pulang,” salah seorang dari para wanita itu memohon.“Tidak akan lama, hanya sebentar saja,” pria berpakaian merah membujuk, semua wanita itu menggelengkan kepala.Melihat hal itu pria berbaju coklat memberi isyarat pada temannya untuk segera berbuat sesuatu, pria berpakaian merah itu pun mengerti dan langsung menangkap salah seorang dari mereka, begitu pula dengan pria berbaju coklat menarik salah satu dari beberapa wanita itu.“Tolong...! Tolong...!” teriak dua orang wanita yang saat itu ditarik paksa oleh pria berpakaian merah dan coklat, begitu pula dengan para wanita lainnya.“Jika kalian teriak lagi akan kami bunuh mereka...!” gertak pria berpa
“Pangeran Durjana memang sosok yang kurang ajar dan selalu membuat keonaran di mana-mana, makanya kami datang ingin bertanya banyak tentangnya kepada Baginda yang tentu saja sangat mengenalnya,” tutur Arya.“Ya, saya tentu saja sangat mengenalnya karena Kerajaan ini di bawah kendalinya. Saya dan seluruh prajurit Kerajaan tak berdaya saat dia dan pasukannya menyerang secara tiba-tiba beberapa tahun yang lalu, memang dia tak mengambil alih tahta Kerajaan Mandalu ini tapi saya merasa sama saja karena saya dan seluruh rakyat Kerajaan Mandalu tersiksa dengan upeti yang sangat tinggi yang harus kami bayar setiap bulannya,” Satrio Mandalu hentikan sejenak ceritanya sambil menarik napas dalam-dalam.“Pangeran Durjana memiliki pasukan yang sangat besar saat ini mencapai 2.000 orang, dan dia juga memiliki sebuah padepokan yang besar setara dengan istana Kerajaan besar di Pulau Jawa ini. Padepokan itu bernama Padepokan Neraka yang bertempat tidak jauh dari Gunung Merapi tepat di sebelah timur le
“Maafkan saya yang mulia, saya datang menghadap karena hendak menyampaikan sesuatu,” ucap penjaga itu setelah sebelumnya memberi sembah hormat.“Oh, silahkan penjaga apa yang hendak kau sampaikan,” ujar Sang Raja yang bernama Satrio Mandalu itu.“Di depan ada tiga orang ingin bertemu dengan yang mulia, mereka mengatakan dari istana Kerajaan Demak.”“Hah? Ada utusan dari Kanjeng Sultan Demak? Kenapa tidak dipersilahkan saja masuk?”“Maaf yang mulia, kami tentunya harus memberi laporan terlebih dahulu seperti yang mulia perintahkan,” jawab penjaga itu.“Hemmm, ya sekarang kau bawa mereka masuk menghadap saya di sini.”“Baik yang mulia,” penjaga itu memberi sembah hormat lalu meninggalkan ruangan itu.Beberapa saat kemudian penjaga itu datang kembali beserta ketiga orang yang mengaku dari istana Kerajaan Demak, setelah mengantar ketiga tamu itu penjaga itupun kembali ke depan pintu gerbang.“Sebuah kehormatan atas kedatangan kalian bertiga yang merupakan utusan dari Kanjeng Sultan Demak,