تسجيل الدخولSosok itu, seorang pria berpakaian jubah abu-abu dengan wajah yang disembunyikan di balik caping, berkata dengan suara dingin, "Liu Jian, jangan ikut campur dalam urusan istana kali ini. Jika kau bersikeras membantu mereka, nyawamu kupastikan tidak akan selamat."Guru Liu berhenti menyiram. Ia menoleh perlahan dengan senyum tipis yang meremehkan. "Kau tahu aku paling benci diancam di rumahku sendiri. Istana mungkin punya hukumnya, tapi di sini, akulah hukumnya.""Kau keras kepala seperti biasa," desis pria itu. "Tapi kali ini kau melawan kekuatan yang tidak bisa kau bayangkan."Sosok itu menghilang di balik kegelapan malam, meninggalkan Guru Liu yang masih berdiri di depan halaman rumahnya. Ia tahu, pengadilan militer lusa bukan hanya akan menjadi penentuan nasib Han Feng, tapi juga menjadi medan perang bagi semua orang yang terlibat.Sementara itu, di dapur kediaman Keluarga Zhu, asap tipis mengepul dari tungku. Aroma beras yang sedang ditanak menjadi bubur beradu dengan bau pah
Aroma tanaman obat yang getir menyeruak di dalam gubuk Guru Liu saat pria tua itu mengangkat kain sutra bernoda minyak ke arah cahaya lilin. Ia mengamati residu lengket tersebut, menghirup aromanya dalam-dalam, lalu mendengkus jijik."Tak butuh waktu lama untuk mengenali barang busuk ini," ujar Guru Liu sembari meletakkan kembali kain itu ke atas meja kayu yang kasar. "Ini adalah residu Mawar Hitam. Sebuah racun dupa yang dirancang khusus untuk melumpuhkan nalar pria dan menjebaknya ke atas ranjang dalam jeratan halusinasi tingkat tinggi."Li Hua melangkah maju dengan raut tegang. "Apakah racun ini meninggalkan jejak fisik, Guru? Suamiku, Han Feng, saat ini tengah meregang nyawa di bawah cambuk akibat tuduhan menodai Putri Rou Nan. Pengadilan militer akan segera digelar, dan kami sangat membutuhkan bukti bahwa ia telah dijebak."Guru Liu menatap Li Hua dengan tajam. "Jenderal Han? Jadi dia pria yang dikorbankan oleh keponakan Selir Agung Wu itu? Sungguh licik. Mawar Hitam tidak han
Wen Mei menunduk, menyembunyikan rona merah yang kian menjalar hingga ke telinganya, lalu berbisik dengan nada nakal yang manis. "Jangan beritahu siapa pun, tapi sebelum aku berangkat tadi, aku menciumnya saat dia masih tidur."Li Hua terbelalak, lalu tertawa kecil menahan geli. "Kau sungguh berani, Tuan Putri. Siapa sangka Putri yang biasanya anggun bisa melakukan hal seperti itu?""Habisnya, dia jauh lebih dingin dan kaku dari sepupu Han Feng," keluh Wen Mei sambil merengut manis, tangannya mengaduk teh yang sudah mendingin. "Jika dia sadar, dia pasti akan menghindariku dan bicara soal 'status' atau 'martabat'. Dia akan membungkuk formal dan menjaga jarak tiga langkah dariku seolah-olah aku ini porselen yang mudah pecah. Padahal bagiku, dia adalah pria yang paling tulus yang pernah kutemui. Aku tidak peduli siapa dia sebenarnya, bagiku dia adalah Zhu Yu Liang."Di balik sekat bambu yang hanya berjarak beberapa jengkal, Zhu Yu Liang yang sedang menyesap tehnya hampir tersedak. Jan
Pagi itu, kediaman Keluarga Han terasa begitu mencekam. Matahari yang mulai meninggi tidak mampu mengusir kegelapan yang menyelimuti hati penghuninya. Xiao Niao dan beberapa dayang senior berlari tergopoh-gopoh melintasi koridor kayu yang berderit, menuju Paviliun Selatan. Wajah mereka pucat pasi, napas mereka memburu karena kecemasan yang sudah tidak terbendung lagi."Nyonya Muda! Tolong!" teriak Xiao Niao sesampainya di depan pintu kamar Li Hua, tangannya gemetar saat mencoba mengetuk pintu kayu itu.Li Hua segera keluar dengan wajah cemas. Ia baru saja selesai merapikan hanfu sederhananya ketika kegaduhan itu pecah. "Ada apa, Xiao Niao? Kenapa kalian tampak ketakutan begitu? Apakah ada kabar buruk dari penjara?""Nyonya Besar Han, Nyonya ..." Xiao Niao mengatur napasnya yang tersengal, dadanya naik turun dengan cepat. "Beliau sudah tiga hari tidak menyentuh makanan sedikit pun. Kamarnya tertutup rapat, dan kami hanya mendengar isak tangis yang memilukan dari dalam. Beliau menola
Sepeninggal Wen Mei, keheningan di dalam kamar pribadi sang Putri terasa begitu menyesakkan. Zhu Yu Liang masih terbaring kaku, namun matanya menatap langit-langit ranjang dengan pandangan kosong. Jantungnya masih berdegup kencang. Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung jari yang gemetar; rasa hangat dari kecupan lembut Wen Mei seolah masih tertinggal di sana, membekas bersama aroma mawar yang menguar dari tubuh sang Putri. Wangi ini ... tidak berubah sejak belasan tahun lalu, batin Zhu Yu Liang. Pikiran Zhu Yu Liang melayang ke masa kecilnya. Dahulu, ia hanyalah seorang anak laki-laki pendiam, bertubuh gendut, dan selalu merasa rendah diri. Ayahnya, Zhu Hao, adalah mantan Menteri Keadilan, sering membawanya ke istana saat bertugas. Di sanalah, di antara rimbunnya pohon persik di taman belakang, Zhu Yu Liang pertama kali melihat Wen Mei. Gadis kecil itu selalu tertawa riang, bermain kejar-kejaran dengan seorang anak laki-laki yang lebih besar yaitu Han Feng. Zhu Yu Liang k
Sinar matahari pagi menyusup malu-malu melalui celah jendela ukir kayu cendana, menyinari kamar pribadi Putri Wen Mei yang biasanya menjadi wilayah terlarang bagi siapa pun, terutama kaum pria. Di atas ranjang sutra yang empuk dan sewangi bunga mawar, Zhu Yu Liang masih terlelap dalam tidur yang berat, sisa dari kelelahan luar biasa dan rasa sakit dari lukanya setelah pertempuran maut di Gunung Song. Tangan kasarnya, yang penuh kapalan kini menggenggam erat jemari halus Wen Mei. Genggaman itu begitu posesif.Wen Mei, yang sudah terbangun sejak fajar menyingsing, tidak beranjak sedikit pun. Ia hanya terdiam, bertumpu pada sikunya sambil menatap wajah pengawalnya yang selama ini selalu tampak kaku dan waspada. Semalaman ia tidak tidur; jiwanya dirundung kecemasan hebat karena Zhu Yu Liang menderita demam tinggi akibat infeksi dari luka-luka sabetan di punggungnya. Berkali-kali dengan tangan sendiri, sang Putri mengganti kain basah di dahi pria itu dan membasuh peluh dingin yang mengu







