Mimiknya menayangkan riak kekesalan. Sinar muram terpancar dari matanya. Remuk redam bercokol di dalam kalbunya. Kemegahan konser musik jazz yang baru saja usai laksana kehampaan relung untuk sukmanya. Tiada gelora, tanpa gempita.
Ia memalingkan penglihatannya. Tatapannya membenci lelaki yang ada di sisinya.
“Kamu kenapa, Ca?” tanya Pinto santai. “Dari tadi diam aja.”
Caca Yunita masih mengatupkan bibirnya. Lidahnya malas mengalunkan lisan.
“Kamu lagi nahan berak, ya?” gurau Pinto.
“Aku lagi dongkol!” seru Caca Yunita. Ia menarik napas sesaat. Menghimpun tenaga untuk pelepasan amarah.
“Banyak waktu yang udah kita lalui. Banyak hal yang udah kita lakuin. Tapi, kamu nggak pernah bilang apapun ke aku,” Caca Yunita berkeluh. “Aku nggak ngerti sama pikiran kamu, Mas!” imbuhnya dengan suara yang begitu keras.
Belasan orang yang berada di dekat pintu keluar Balai Sarbini sontak menoleh ke arah Caca Yunita. Mereka terlongo. Reaksi mereka disadari oleh Pinto. Jemarinya langsung menarik lengan Caca Yunita. Pinto menyingkir dari kerumunan manusia. Tubuh Caca Yunita otomatis mengikuti langkah kaki Pinto. Mereka kemudian berhenti di tempat yang agak lengang.
Pinto memandang beberapa pasangan muda-mudi yang hilir mudik di sekitarnya. Sesekali menatap bintang di langit. Dia melakukannya seraya mencari kalimat yang pas untuk Caca Yunita.
“Ada lagi yang ingin kamu sampaikan? Atau unek-unek yang ingin kamu ungkapkan?” kali ini pertanyaan Pinto bersifat serius.
Caca Yunita memanfaatkan kesempatan yang Pinto berikan. Dia menumpahkan emosinya. Dia meneruskan omelannya.
Desing berbagai kalimat melesat ke lubang telinga Pinto. Ada yang lembut, ada pula yang kasar. Semuanya bernada tinggi. Meskipun jumlahnya banyak, maknanya mirip-mirip. Intinya adalah protes Caca Yunita terhadap sikap Pinto. Pinto menyimaknya dengan kepala dingin.
Seperempat jam Caca Yunita bersungut-sungut. Tanpa jeda dan sela. Alhasil, kelelahan menghinggapi mulutnya. Terpaksa ia menghentikan gerutunya.
Pinto masuk ke dalam pembicaraan lagi. Tanggapannya terhadap perkataan Caca Yunita hadir, “Saya punya pernyataan buat semua omongan kamu. Saya bakal kasih tahu pas kita udah sampai di tempat tinggal kamu.”
“Aku tunggu pernyataan kamu,” ucap Caca Yunita lugas.
Pinto dan Caca Yunita melenggang ke area parkir. Mereka masuk ke dalam mobil listrik Tesla milik Pinto. Suasana pun berubah. Bunyi yang terdengar tak ada. Kesenyapan membekukan mereka.
Kendaraan auto pilot tersebut mulai bergerak. Di tengah kemacetan, kesenyapan berubah menjadi kegaduhan.
“Kamu penginnya apa? Aku kudu gimana? Kita harus ke mana? Padahal, hubungan kita udah lama. Aku lelah kalo kek gini terus. Aku butuh ketegasan kamu,” Caca Yunita kembali menggerundel.
Pinto masih dalam ketenangan. Emosinya tetap terjaga. Perhatiannya terhadap gerak mobil listrik Tesla-nya yang tersendat sangat penuh.
“Saya maunya kita berhubungan baik. Nggak ada pertengkaran.”
Caca Yunita menghela napas. “Maksud aku, hubungan kita mau dibawa ke mana?”
“Dibawa ke museum. Biar orang lain tahu kalau hubungan kita tetap awet,” Pinto menjawab sembarang.
Wajah Caca Yunita makin memberengut. Ekspresi kesebalannya kian tampak.
Bahwasanya, niat Pinto bukan untuk penciptaan kejengkelan Caca Yunita. Kemauan Pinto ialah pertahanan pemikirannya. Jika pemikiran Pinto berubah, khalayak mungkin akan mencabut dukungan untuk bapaknya. Kesudahannya, kerugian besar bisa menghantam kondisi pekerjaan bapaknya.
Pinto menjaga keharmonisan selama ini. Juga senantiasa melestarikan kelanggengan. Pinto merasa bahwa ia tak pernah mempermainkan kata hati Caca Yunita. Ia bahkan menghargai protes Caca Yunita sepenuhnya.
Menurut Pinto, protes Caca Yunita adalah keniscayaan. Protes Caca Yunita hanyalah dinamika dalam pertemanan. Pinto sendiri sungkan membantahnya. Dia menganggapnya sebagai risiko yang harus diterima.
“Kamu aja yang ke museum. Jadi peninggalan purbakala di sana,” cetus Caca Yunita.
Tawa Pinto spontan meledak. Gelegarnya menembus atap mobil.
“Ternyata, kamu bisa melucu,” kata Pinto.
“Aku nggak ngelucu. Aku serius. Aku ngarep kamu jadi patung keropos di sana,” terang Caca Yunita berkobar-kobar.
Benak Pinto menyangsikan keterangan Caca Yunita. Caca Yunita bukan makhluk yang antipati terhadap dirinya. Agaknya, dia memungkiri fakta yang sesungguhnya.
Keterangan Caca Yunita termasuk urusan sepele bagi Pinto. Pinto mudah melupakannya. Perkara terpenting baginya adalah cinta Caca Yunita. Cinta Caca Yunita harus ia selamatkan. Namun, hasratnya terhadap hati Caca Yunita belum terbit. Ia masih menggali di dalam jiwa Caca Yunita.
“Seandainya saya jadi patung keropos, kamu pasti jadi manusia keropos,” celetuk Pinto.
Alis Caca Yunita menukik. Dahinya mengerut. “Alasannya apa?”
“Karena batin kamu nggak kuat liat aku keropos. Kamu jadi sedih. Akhirnya, tulang kamu juga keropos.”
“Nggak nyambung!”
Pinto terkekeh. Dia senang mencandai Caca Yunita. Kesenangannya akan berlipat bila senyuman Caca Yunita menyembul. Sayangnya, rahang Caca Yunita mengeras.
“Saya nggak bosan dengan hubungan kita. Saya yakin, kamu juga nggak bosan dengan hubungan kita.”
“Bener banget,” Caca Yunita sepaham. “Aku nggak bosan sama hubungan kita. Aku juga nggak bosan sama kamu. Aku cuma capek sama hubungan kita,” sambungnya.
“Kamu istirahat dulu. Nggak usah berhubungan sama saya untuk sementara waktu. Biar nggak capek,” Pinto menyarankan.
Mendengar saran Pinto, Caca Yunita terkesiap. Kekagetannya mencuat. Entah mengapa, rasa malu pada dirinya hidup. Namun, dia menyembunyikannya.
“Aku udah istirahat. Bukan istirahat dari hubungan kita, tapi istirahat dari keraguan kamu.”
Pinto tersenyum tipis. Perasaannya tidak tersinggung sama sekali.
“Kalau kamu istirahat dari keraguan saya, kenapa kamu masih minta ketegasan saya?” Pinto melempar tanya.
Caca Yunita tersentak hebat. Lontaran pertanyaan itu tidak ia sangka. Dirinya lantas mencari jawaban atas pertanyaan itu. Beberapa saat kemudian ia menemukannya. Ia hendak menuturkannya. Namun, lidahnya mendadak kelu.
Lirikan Pinto mengarah ke Caca Yunita. Indera penglihatannya menangkap perubahan pada wajah Caca Yunita. Air muka Caca Yunita menunjukkan kepanikan.
“Saya bercanda kok …,” Pinto buru-buru menenangkan Caca Yunita. Dia melanjutkan, “Kamu punya hak untuk minta ketegasan saya. Saya mengakui hak kamu.”
“Aku harap, kamu nggak cuma ngakuin hak aku. Tapi juga ngasih hak aku,” balas Caca Yunita berbarengan dengan pergerakan mobil listrik Tesla Pinto yang lancar.
“Sebenarnya, saya juga punya hak. Hak saya adalah tidak memberikan ketegasan untuk kamu. Karena saya bukan siapa-siapa kamu,” Pinto mengutarakan sudut pandangnya.
Kontan Caca Yunita melotot. “Jadi, kamu maunya—”
“Tenang aja,” potong Pinto. “Walaupun saya bukan siapa-siapa kamu, saya menghormati pendapat kamu. Saya bahkan meninggikan sosok kamu,” ungkapnya.
Posisi badan Caca Yunita menegak. Mendekatkan pendengarannya ke sisi Pinto. Konsentrasinya terhadap suara Pinto menguat.
“Saya mungkin bukan orang yang paling tegas. Tapi, saya berusaha jadi orang yang paling jelas,” Pinto menandaskan.
Kemacetan yang menghadang mobil listrik Tesla Pinto telah hilang. Lajunya pun bertambah cepat. Rodanya mencumbui jalanan Jakarta Selatan secara leluasa. Sebentar lagi, Pinto dan Caca Yunita tiba di sebuah apartemen. Sesuatu tentang hubungan di antara mereka berdua akan terkuak.
Mobil listrik Tesla Pinto bertatap muka dengan Essence Darmawangsa Apartment. Lalu, mendekati salah satu menara. Pinto dan Caca Yunita berpijak di unit apartemen Caca Yunita beberapa menit sesudahnya. Baru saja Pinto duduk di sofa ruang tamu. Namun, perintah Caca Yunita telah siap menubruknya. “Kamu jelasin pernyataan kamu sekarang!” “Nanti dulu, Ca,” sergah Pinto. “Saya haus. Ingin minum.” Caca Yunita segera melangkah ke dapur. Dia mengambil dua botol air berkarbonasi, kaleng yang berisi roti, dan plastik yang berisi keripik pedas. Tangannya menyerahkan salah satu botol kepada Pinto. Pinto menerimanya dan meneguknya. Kesegaran menjalari kerongkongannya. Setelah kedahagaannya lenyap, Pinto berkata, “Penyebab saya tidak tegas adalah status yang melekat pada diri saya. Status yang melekat pada diri saya menghambat kemajuan hubungan saya dan kamu. Saya nggak mampu melawannya.” “Jadi, kamu anggap status kamu lebih tinggi ketimbang status aku? Leve
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon g
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebu
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinan
Perjalanan untuk pengerjaan pekerjaan Pinto dimulai. Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto bersambang ke provinsi satu pulau. Ketiganya meninggalkan Jakarta yang masih terbungkus pagi buta. Melalui kaca jendela, Pinto mengamati perputaran empat roda di tol Cikampek. Cepat nian. Saat Pinto sedang bersandar, dia memandang pertokoan, kios, dan warung di jalur Pantura Kabupaten Cirebon. Amat menawan. Mata Pinto beristirahat. Terpejam. Ketika kondisi Pinto terjaga, indera penglihatannya menjumpai penjual-penjual bawang merah. Hamparan telur asin ada di pinggir jalan berikutnya. Pinto terlalu mengerti. Kabupaten Brebes tengah menyuguhkan keelokan. Mobil terus melaju. Tak terasa, Pinto, sopir pribadi Pinto, dan staf Pinto sudah berada di simpang Maya, Kota Tegal. Mereka bertiga singgah di gerai McDonald’s. Pengusiran kelelahan sekaligus penumpasan rasa lapar adalah tujuannya. Sewaktu mengganjal perut, Pinto dilirik oleh sejumlah pengunjung. Pinto menyadari tindakan mere
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bi
Ruang Rapat Fraksi Kebijaksanaan Nasional (Kesan) berangsur senyap. Segala suara menguap. Para peserta rapat berganti kegiatan. Tak terkecuali Pinto, Wahid, dan Bisma. Bisma sibuk menggarap tugasnya. Pinto dan Wahid baru sampai di ruang kerja Wahid. “Saya sudah bertemu dengan dua peneliti sekaligus konsultan sosial yang nantinya akan menjadi TA tambahan Mas Pinto. Saya juga sudah mewawancarai mereka,” Wahid membuka pembicaraan. Sungguh Pinto tidak mengira begitu lekasnya bantuan Wahid. Tanpa sangsi, dia memuji setengah mati bantuan Wahid. Wahid merendah. Ia menolak anggapan Pinto. Bagi Wahid, bantuannya untuk Pinto tergolong biasa. Sekadar pertolongan untuk sahabat. “Mereka cocok untuk membantu Mas Pinto,” nilai Wahid serius. “Cocok bagaimana, Mas? Bisa dijelaskan, nggak?” “Mereka merupakan peneliti di sebuah lembaga riset sosiologi di Jakarta. Mereka bergelar PhD,” Wahid menyingkap latar belakang pekerjaan dan pendidikan dua calon TA tambahan Pinto.
Berdasarkan pesan W* yang Pinto baca, Mas Ondi dan Mas Gagan tengah bercengkerama di lobi Hotel Ritz Carlton. Mas Ondi mengenakan kemeja berwarna abu-abu. Mas Gagan menutupi tubuh bagian atasnya dengan kemeja batik berwarna cokelat tua. Di hotel yang sama, Pinto menebar pandangannya ke tiap sudut lobi. Ia menyapu para wanita. Memusatkan pria-pria berkemeja. Perhatiannya tertumbuk pada dua lelaki yang sedang berbincang lepas. Pinto yakin betul, merekalah manusia yang bersiap menyambut kedatangannya. Tanpa komando, Pinto berjalan menuju mereka. “Permisi … Nama Mas berdua, Mas Ondi sama Mas Gagan?” tanya Pinto hati-hati. Perbincangan mereka berdua terhenti. Kemudian, mengangguk bersamaan. Salah satu dari keduanya menyahut, “Anda pasti Pak Pinto.” Mulut Pinto melongo. Tidak mengira bahwa laki-laki itu mengetahui namanya. Pinto lantas menanyakan penyebab orang tersebut tahu namanya. “Seluruh warga Indonesia juga tahu nama Anda Pinto!” ceplos orang kedua.