Aku menyapukan eyeshadow cokelat pada bagian crease dan kelopak mata. Setelah itu membubuhkan eyeshadow glitter gold di bagian tengah mata. Tak lupa blush on peach dan lipstick dusty pink.
Sempurna sudah penampilanku di malam ketiga ini untuk membuat Diran mengerang kesakitan di ranjang.
“Sayang, aku pulang!” seru sebuah suara lengkap dengan suara langkahnya menghampiri kamar.
Aku menatap jam dinding yang menunjukkan setengah 10 malam. Waktu kepulangannya lebih cepat dari dugaanku ternyata.
“Hai,” sapanya usai membuka pintu dan mendapati sosokku yang sudah siap di pinggir ranjang menyambut kadatangannya.
“Hai, Sayang,” balasku beranjak dari ranjang untuk menghampirinya dengan senyum menggoda.
“Wow. Cantik banget, Sayang,” sanjungnya mengusap lembut pipiku.
“Demi menyambut kamu pulang,” kataku manja.
Diran kemudian merengkuh tubuhku untuk menikmati wangi mawar yang meng
Suara shower air mengucur menguyur tubuh tegap Diran yang tengah membersihkan diri. Tampak perut berototnya begitu menggoda. Belum lagi lengan kekarnya ketika menggosok rambutnya dengan sampo. Lalu ... jangan ditanya lagi bagaimana pusat kepemilikannya. Sudah pasti keras dan tegak menunggu pelepasan.Sementara aku?Aku hanya melipat tangan di ambang pintu menyaksikan suamiku berengsekku itu mandi. Sebabbisa dipastikan, jika tubuh menggoda itu sudah dijamah oleh tangan perempuan murahan itu sebelum pulang.Ya. Aku tak mau dan tak akan sudi menerima sesuatu yang bekas. Tubuh itu, bibir itu dan tangan itu bisa aku pastikan menyisahkan kotoran sebelum pulang ke rumah.Apa aku tidak tergoda dengan tubuh indah itu?Tentu saja aku tergoda. Namun, tubuh itu adalah tubuh murahan yang dijamah oleh lebih darisatu perempuan. Lalu pusat kepemilikannya yang ... cukup wow itu ... sudah pasti berkali-kalimendapatkan perlabuhan ternikmatnya pada t
“Jadwal konsultasi saya udah selesai semua“kan, Mbak?” tanyaku pada penjaga meja resepsionis.“Masih ada 1 lagi yang belum, Bu.”Aku mengernyit. “Bukannya hari ini saya hanya terima 11 orang?”“Masnya bilangnya sudah janjian sama Bu Gee.” Perempuan di hadapanku menunjuk kursi tunggu di belakangku dengan matanya.Ketika aku berbalik badan, aku menemukan laki-laki berkaus hitam berpadu jaket denim dan celana denim, lengkap dengan waist bag menatapku dengan pongah. Membuatku cukup terkejut dengan kedatangannya yang tanpa berkabar.“Suruh ke ruangan saya sekarang, Mbak,” kataku pada petugas resepsionis. Kemudian melangkah kembali ke ruanganku.“Mari, Mas. Saya antar ke ruangan dokternya.” Salah satu petugas lain kemudian mengarahkan laki-laki tersebut menuju ruanganku.“Kok masnya nggak ngabarin dulu kalau mau ke sini?” tanyaku langsung usai pi
Makan malam terasa begitu dingin. 2 piring chiken schnitzel buatanku di atas meja rasanya seperti hambar oleh keheningan yang cukup lama terjadi.“Kamu masih marah?” tanya Diran usai meletakkan alat makannya di atas piring.Aku tak menjawab, selain sibuk menghabiskan makananku.“Sayang, please, ngomong, dong. Jangan diam aja. Aku mana tahu salahku apa kalau kamu nggak mau ngomong,” pintanya.“Aku cuma mau kamu jawab jujur masalah yang kemarin,” kataku.“Astaga. Apa itu penting banget buat kamu?” Aku menatapnya dingin.Diran kemudian wmengembuskan napas menyerah. “Oke. Aku emang udah nggak perjaka. Maaf.” Mendengar itu, tenggorokanku terasa sulit menelan. “Sama siapa kamu ngelakuin itu?”“Cuma one night stand saat aku mabuk.”“Sama siapa?”Lagi-lagi Diran mengembuskan napas. “Aku nggak tahu siapa namanya. Karena cuma mala
Aku terus memandangi perut Jonna yang tengah duduk di hadapanku dengan perasaan geram. Membayangkan, bagaimana benih laknak itu tumbuh di rahimnya. Ingin rasanya aku menjambak rambut panjangnya dan menyiram wajahnya dengan segelas honey mint green tea di tanganku. Namun, tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Aku masih harus memalsukan wajahku di hadapannya sebagai seorang sahabat. Cih! Harus aku akui, perempuan berprofesi sebagai selebgram di hadapanku saat ini memang sangat memikat. Aku yakin, siapa pun laki-laki akan jatuh dengan begitu saja ke dalam pelukannya, jika dia menginginkan. “Lo kok ngelamun aja sih, Gee?” Reen menyenggol lenganku. “Ah, nggak papa, kok.” Aku berusaha tersenyum. “Kenapa? Ada masalah, ya?” tanya Jonna penuh perhatian. Cih! Aku rasa itu bukan perhatian, melainkan bentuk pancingan. “Lagi berantem sama Diran?” terka Jonna. Aku tergelak mendengar terkaanya. Entah bagiamana, bisa-bisanya dia berp
Seperti biasa, malam hari adalah saat-saat menyenangkan untuk bermain bersama Diran. Bermain untuk membuatnya mengerang kesakitan di ranjang pastinya.“Kamu masih belum _ selesai datang bulannya?” tanyanya tatkala meraih tubuhku untuk duduk di atas pangkuannya di atas ranjang.Aku menggeleng dengan senyum menggoda.“Sabar ya, Sayang.”Dia kemudian mengembuskan napas sesal.“Oke. Toh tinggal 2 hari lagi ‘kan datang bulan kamu selesai?”Aku mengernyit.“Datang bulan perempuan seminggu ‘kan?” tanyanya memastikan. “Jangan kamu kira aku nggak tahu apa-apa soal bulanan perempuan, Sayang,”ucapnya mengecup pipiku.Ah, sial. Diran benar. Waktuku hanya tinggal 2 hari lagi untuk beralasan datang bulan. Setelah itu, dia pasti akan menagih haknya yang sebenarnya.Aku berusaha tersenyum dan mengusap lembut wajahnya.“Tenang aja. Ka
Aku menatap fokus ponselku. Di mana sebuah pelacak yang berhasil aku pasang di mobil Dirantampak berhenti di sebuah tempat. Pada pelacak lain, aku juga mendapati mobil Jonna berada di lokasi yang sama.Adira : Mereka sekarang ada di tempat yang sama. Janjian.Pesan dari Adira yang lengkap dengan foto Diran dan Jonna tengah duduk satu meja di sebuahkafe semakin menambah keyakinanku, jika mereka memang sedang bertemu saat ini.Reply : Saya akan ke sana.Usai mengirim pesan balasan, aku kemudian menginjak pedal gas untuk melajukan mobil menuju tempat tujuan. Di kepalaku masih terngiang-ngiang ucapan suami berengsekku tadi pagi, yang katanya akan pulang malam. Sekarang aku tahu, alasannya yang sebenarnya.Setengah jam kemudian aku menepikan mobil jauh dari area parkir kafe agar tak terlihat. Tampak Diran dan Jonna tengah duduk satu meja di dekat jendela berkaca yang memudahkanku memperhatikannya. Meski aku tidak tahu apa yang tengah mereka
Sebuah kecupan mendapat di pipiku lengkap dengan 2 lengan kekar yang memeluk hangat tubuhku dari belakang. “Katanya kangen. Nih aku udah pulang,” lirih Diran. Aku menyunggingkan senyum dingin membelakanginya seraya menyeruput kopi di tangan kananku. “Pengen main apa malam ini?” tanyanya memutar tubuhku menghadapnya. Aku pura-pura tersenyum dan melangkah meletakkan cangkir kopi di atas nakas. “Main apa ya, enaknya? Main tanya-tanyaan gimana?” Diran mengernyit menatapku. “Tanya apa?” “Tanya apa pun.” Aku kemudian duduk di pinggiran ranjang menyilangkan kaki jenjangku. Diran mengangguk ragu-ragu. Jelas sekali, bagaimana kekhawatiran tergambar di wajahnya. “Kamu ... beneran tadi sibuk sama kerjaan di kantor?” tanyaku to the point. Diran melangkah mendekat. “Kok kamu tanyanya begitu? Kamu nggak percaya?” “Hm” Aku mengangguk menatapnya. “Aku nggak percaya.” Lalu menggeleng. Diran
Aku menyeruput mango yogurt ice usai menjelaskan begitu gamblang pada laki-laki paruhbayah di hadapanku yang berprofesi sebagai pengacara, sekaligus orang tua kedua setelah kedua orang tuaku. “Kamu yakin memutuskan perceraian ini tanpa ngobrol dulu sama orang tua kamu, Gee?” tanya Om Riwan masih dengan membulatkan mata tidak percaya dengan nasib pernikahanku. “Aku ingin merahasiakan ini dari mereka,” kataku. “Rahasia kamu bilang? Nggak ada perceraian yang dilakukan dengan rahasia, Gee.” “Tolong Om rahasiakan dulu proses ini,” pintaku. “Om bener-bener nggak habis pikir sama keberengsekan Diran.” Om Riwan menggeleng-geleng. “Om yakin, kalau papamu tahu masalah ini, dia akan murka dan membenci keluarga Harsa,” sambungnya. “Aku nggak mau Mama dan Papa khawatir berkepanjangan karena masalah ini. Biarkan mereka tahu hasil akhirnya aja.” “Sejak kapan Diran selingkuh sama temen kamu itu?” “Kemungkinannya pasti s