Pria itu masih terus merutuki kebodohannya karena tidak bisa menahan dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya dengan Elisa?Anak dari orang yang selama ini berbuat baik dan merawatnya hingga sampai saat ini.
Dia sungguh menyesal, kenapa jadi lupa diri seperti ini? Dan bagaimana kalau Tuan Andreas mengetahuinya?
Karena sudah merasa buntu, akhirnya ia menyuruh salah satu orang kepercayaannya untuk meminta bukti rekaman CCTV hotel, tempat dia menginap bersama Elisa.
"Maaf El, aku sungguh tidak bermaksud ingin lari dari tanggung jawab. Aku hanya tidak ingin kau kecewa, saat mengetahui siapa yang bersama mu malam itu." Dia terpaksa meretas rekaman CCTV hotel dan menghilangkan sebagian potongan video untuk menghilangkan bukti.
"Kamu boleh menggunakan uang ini dan pergi lah sejauh mungkin." Pria itu menyerahkan segepok uang pada orang yang menjadi suruhannya.
"Terima kasih, Tuan. Saya janji tidak akan mengatakannya pada siapa pun." undur diri dan berjalan meninggalkan bosnya.
"Aku yakin kamu tidak akan hamil, El? Kita melakukannya hanya sekali dan aku harap setelah ini tidak akan ada yang mengetahui apapun yang terjadi malam itu."
Ia segera membereskan peralatannya kembali, setelahnya ia merebahkan diri dan mulai memejamkan mata.
*****
Elisa menggeliat, merasakan tidur panjangnya yang tampak begitu nyenyak. Mungkin karena pikirannya sedang kacau atau akibat pergulatan panasnya semalam yang tidak di sengaja.
Gadis itu mengerjap,menatap sekeliling ruangan yang ia yakini adalah kamar penginapannya. Elisa tersenyum lega, saat ia tau kalau kejadian semalam hanya lah mimpi.
Mimpi?
Gadis itu bangkit dan baru sadar bahwa dia tidak mengenakan apapun yang membalut tubuhnya. Lantas melirik ke arah tempat tidur. Dan apa itu....
Darah?
Elisa jatuh terduduk ke lantai bersamaan dengan krystal bening yang lolos begitu saja dari pelupuk matanya.Jadi yang semalam?
Tidak?
Elisa menggeleng, menyangkal semua kejadian yang dia ingat hanyalah mimpi.
Tapi kenapa dia tidak memakai pakaian apapun? Dan bercak darah itu...
Kak Arya?
Kesedihannya sedikit berkurang, saat dia mengingat kembali pergulatan panasnya semalam dengan laki-laki itu. Padahal semalam jelas-jelas dia sengaja akan menggodanya. Tapi, setelah berhasil, justru Elisa merasa seperti wanita murahan.
Bukan itu mau Elisa sebenarnya. Dia hanya ingin menggoda, bukan menyerahkan tubuhnya pada lelaki itu.
Tapi, apa yang terjadi tidak akan bisa kembali. Setidaknya, jika sampai dia hamil. Elisa akan meminta pertanggung jawaban pada Arya.
Ya, Elisa yakin bahwa yang bersamanya semalam adalah Arya.
Gadis itu segera bangkit,memunguti satu-persatu pakaian miliknya yang sudah tidak berbentuk lagi.
Berjalan tertatih menuju kamar mandi, lalu membersihkan tubuhnya yang sudah sangat lengket.
🍀🍀🍀🍀🍀
Dua Bulan Berlalu....
Kediaman Andreas.
Elisa tengah menikmati sarapan pagi, bersama kedua orang tuanya. Entah kenapa beberapa hari belakangan ini tubuhnya terasa begitu lemas. Padahal Ia tidak pernah melakukan pekerjaan yang begitu berat. Nafsu makannya pun sedikit berkurang, Dia hanya suka makan-makanan yang asam dan pedas.
Seperti saat ini, Elisa hanya menatap makanan yang ada di hadapannya. Perutnya seakan menolak setelah mencium aroma roti bakar dan susu coklat yang ada di depannya, padahal biasanya Elisa sangat menyukai kedua menu sarapan tersebut.
Elisa berusaha baik-baik saja, dan memulai sarapannya. Dia tidak ingin terlambat datang ke kantor.
Baru satu suap roti bakar masuk ke mulut, tiba-tiba perut Elisa seakan di aduk-aduk.
Gadis itu segera berlari menuju wastafel lalu memuntahkan semua isi perutnya.
Tuan Andreas dan Nyonya Sintia yang melihat kejadian itu nampak terkejut, Mami Sintia segera berlari menyusul Elisa dan membantu memijit tengkuk putrinya.
"El,kamu sakit?" tanya Mami Sintia.
"El nggak tau Mi? Dari kemarin kepala El pusing," jawab gadis itu.
"Mungkin kamu kelelahan El? Sebaiknya hari ini kamu istirahat di rumah saja," pinta Mami Sintia lagi.
"Tapi El banyak kerjaan Mi?"
"Biar pekerjaanmu Roy yang menggantikannya," sela Papi Andreas membenarkan ucapan sang istri.
"Tapi, Pi...?"
"Benar kata Papi, El? Kamu sementara istirahat dulu di rumah."
"Baiklah," jawab Elisa, dia beranjak menaiki anak tangga menuju kamar dan ingin segera beristirahat agar badannya cepat pulih.
Baru dua langkah gadis itu menaiki anak tangga,tiba-tiba kepalanya terasa pusing, badannya semakin lemas, dan pandangannya tiba-tiba buram.
Lalu semua terasa gelap.
Brukkk,
"Ellllll.....!!!" Mami Sintia berteriak histeris, melihat anaknya jatuh tak sadarkan diri.
Papi Andreas langsung berlari menghampiri tubuh anaknya yang sudah tergeletak di lantai, "El, bangun Nak?" menepuk pipi putrinya pelan.
"Elisa kenapa Pi?" tanya Mami Sintia panik, wanita itu sudah menangis ketakutan melihat wajah Elisa yang semakin pucat.
Tanpa memperdulikan ucapan istrinya, Tuan Andreas segera membopong tubuh Elisa dan menuju kamar gadis itu.
Dia segera menghubungi Dokter pribadi keluarga Andreas agar segera datang.
Satu jam berlalu...
Nyonya Elisa mondar-mandir menunggu Dokter yang kini tengah memeriksa Elisa. Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui keadaan anaknya, kenapa bisa sampai pingsan?
"Maaf, Tuan, Nyonya. Bisa kita bicara di luar?" ucap Dokter meminta persetujuan.
"Apa tidak bisa bicara disini saja Dok?" ucap Nyonya Sintia memandang ke arah sang suami.
"Sebaiknya kita bicara di luar saja Mi," potong Tuan Andreas. Pria paruh baya itu tidak mau berlama-lama mendengar kabar tentang kondisi putrinya.
"Baiklah."
Mereka memilih keluar dari kamar meninggalkan Elisa yang belum sadarkan diri.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan putriku, Dokter?" tanya Tuan Andreas tidak sabar.
"Begini Tuan, Nyonya. Sebenarnya Nona Elisa tengah tidak apa-apa." Dokter memberi penjelasan. Matanya menatap kedua orang tua itu yang sekarang terlihat bingung.
"Tidak apa-apa bagaiman, Dokter? Elisa pingsan? Bagaimana mungkin dia baik-baik saja?"
Dokter muda itu bungkam. Ingin segera menjelaskan, tapi apa mereka mau mendengarnya?
"Dokter...?"
"Nona Elisa tidak apa-apa, hanya saja---....?"
*****
Nyonya Sintia yang tadinya hendak marah, kini hanya bisa menangis tergugu di samping Elisa. Dia tidak tega melihat keadaan putrinya yang masih terbaring lemah dengan infus yang menancap di tangannya.
"Mi, kenapa menangis?" Elisa yang beberapa menit yang lalu sudah sadar merasa bingung, karena melihat Mami Sintia menangis.
Kini dia bertambah ketakutan kalau-kalau dirinya mengidap sebuah penyakit yang berbahaya. "Mi...?" tanya Elisa kembali, karena melihat Mami Elisa menangis semakin kencang.
"Elisa, putriku---...?" Mami Sintia yang merasa sangat sedih kini memeluk anaknya dengan sangat erat.
"Mi? Katakan ada apa? Apa aku terkena penyakit yang berbahaya?" tanya Elisa dengan terisak, dia tidak bisa menahan tangisnya, saat melihat Mami Sintia menangis tersedu-sedu seperti itu.
Mami Sintia melepaskan pelukannya, lalu mengusap air mata yang menetes di pipi Elisa.
"El, katakan pada Mami, siapa yang melakukannya?"
"Siapa yang melakukannya?" Elisa mengulangi pertanyaan Mami Sintia dengan bingung.
"Iya Sayang, siapa yang melakukannya padamu? Katakan pada Mami?" tuntut Mami Sintia dengan tangis yang kembali pecah.
"Melakukan apa Mi?" Elisa kembali bertanya dengan mengerutkan keningnya.
"Siapa Pria yang sudah menghamilimu!" teriak Mami Sintia Emosi.
Deg,
Jantung Elisa berdetak tidak karuan, saat mendengar perkataan Mami Sintia.
"Ha-hamil?" lirih Elisa dengan wajah yang pucat. "Mi, aku---...?"
"Ya, Sayang. Kau sedang hamil, dan katakan, siapa Pria itu?"
Elisa masih terkejut dengan kabar yang di dengarnya, justru terdiam, dan tidak tahu harus berkata apa.
Dia tidak menyangka kejadian saat malam itu bisa membuat dirinya hamil. Padahal Ia melakukannya hanya sekali, itu pun dengan keadaan dirinya yang sangat mabuk.
"Elisa Andreas!!! Katakan siapa Ayah dari anak yang kau kandung!" sentak Mami Sintia emosi, melihat putrinya yang hanya diam saja.
"Mi---...?" Elisa menangis dengan wajah bingung dan ketakutan.
"Jangan menangis, El! Kau bukan wanita yang lemah, jadi cepat katakan pada Mami, siapa Pria itu?"
Elisa menggelengkan kepalanya, sambil terus menangis.
"Elisa! Cepat katakan siapa dia?" Mami Sintia mengguncang bahu utrinya.
"Mami, aku tidak bisa mengatakannya, karena---...?" Elisa menutup wajahnya dengan tangis yang semakin keras.
"Ya Tuhan, Mami Sintia mengusap air matanya sambil menarik napas, berusaha sabar dalam menghadapi Elisa.
"Dengar El! Mami tidak akan marah pada Pria itu, tapi kau harus mengatakan siapa dia? Sebelum Papi lebih dulu menemukannya! Karena kau pasti tahu sendiri apa yang akan Papi lakukan pada orang yang berani menyakitimu?" Mami Sintia menatap serius wajah putrinya.
"Tidak Mi, aku mohon cegah Papi. Pria itu tidak bersalah, aku yang menggodanya, karena saat itu aku mabuk," pinta Elisa memohon.
"Astaga, kamu mabuk, El?" Mami Sintia hampir limbung saat mendengar kelakuan putrinya itu.
"Maaf Mi,"jawab Elisa lirih.
Mami Sintia menghela napasnya, saat mendengar perkataan Elisa, memang bukan sepenuhnya salah laki-laki itu. Tapi, tetap saja dia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya.
"Oke. .ami akan mencegahnya dan meminta Papi kembali kesini.Tapi kau harus berjanji untuk mengatakan semuanya dengan jujur." ucap Mami Sintia menegaskan.
Elisa menganggukkan kepalanya, dan dengan segera Mami Sintia menghubungi suaminya untuk kembali ke rumah. Setelah menutup ponsel, kini Mami Sintia menatap tajam pada putrinya.
"Sekarang katakan! Siapa dia!" Mami Sintia berkata dengan sangat tegas.
"jadi, maksud Anda istri saya sedang hamil?" Roy mengulangi pertanyaan untuk yang ke sekian kalinya. Menatap tak percaya pada Elisa yang ada di sebelahnya dengan pandangan sama-sama bingung."Iya, Tuan, istri Anda sedang hamil, dan usia kandungannya baru berumur empat minggu.""Apa, Dok? Saya hamil?" Elisa terlambat merespon, di raihnya hasil USG yang ia sendiri tidak paham dengan apa yang tertulis di dalamnya, "Ini beneran kan, Dokter?""Benar, Nona." Dokter pun meyakinkan sekali lagi, bahwa hasil test itu memang benar adanya."Tapi, kenapa usia kandungannya berjalan empat minggu?" Roy kembali menyahut, seingatnya ia berdamai dengan Elisa dan baru melakukan hubungan badan sekitar tiga minggu yang lalu, tapi....?Roy menatap bingung dengan penjelasan Dokter tadi, sempat ada rasa curiga dari pancaran mata lelaki itu. Bagaimana bisa?"Tidak mungkin Dokter, kami melakukannya baru tiga minggu yang lalu, ini kenapa bisa? Atau jangan-jangan----...
"Jangan lupa Kak, belikan aku somay." Isi pesan dari istrinya, membuat Roy mengernyit heran, sejak kapan Elisa suka dengan makanan itu? Bukankah yang ia tahu Elisa kurang suka dengan makanan apa saja yang berbahan ikan. Lelaki itu tidak membalasnya, tapi ia tetap membelikannya untuk Elisa.Roy memacu mobilnya kembali setelah mendapatkan apa yang di minta istrinya. Lelaki itu tiba di halaman depan dan bergegas mencari di mana keberadaan wanita itu."Bik, di mana Elisa?"Bibik yang sedang berada di dapur langsung berbalik, menatap heran sang majikan yang biasanya masih ada di kantor."Nona ada di taman belakang, Tuan.""Oh ya Bik, tolong pindahkan ini ke piring, lalu antarkan segera ke taman." Roy menyerahkan sebungkus somay yang ia bawa, lalu melangkah menuju taman belakang."Kak, kamu udah sampai?" Elisa terlihat berbinar, di letakkan ponsel yang ia pegang, lalu matanya menyipit ke arah kedua tangan suaminya. "Mana pesananku? Tidak ada kah?"
Hari-hari selanjutnya di lalui Elisa dengan sangat manis. Mereka mencoba saling memperbaiki diri dan memulainya kembali dari awal. Pernikahan mereka yang semula hanya status kini benar-benar layaknya pernikahan normal seperti biasa. Keduanya sama-sama menerima apapun kelebihan atau kekurangan dari diri mereka masing-masing."Kak, kapan kita mau jemput Rey?" tanya Elisa suatu pagi. Ini kali ketiganya wanita itu menanyakan, setelah beberapa hari yang lalu selalu Roy abaikan."Iya nanti. Kamu sabar dulu ya? Aku masih ada kerjaan penting yang nggak bisa di tinggalin." Selalu saja jawaban itu yang suaminya berikan. Sabar, sabar. Sampai kapan?"Kalau Kakak memang nggak bisa ninggalin kerjaan, bagaimana kalau aku aja yang jemput Rey sendiri?" Elisa mencoba bernegosiasi. Jika ia harus menjemput putranya sendiri, sebenarnya tidak masalah. Tapi lelaki itu yang selalu menghalanginya."Tunggu aku, El? Nanti kita pergi sama-sama." Lelaki itu terlihat sudah rapi. Di pe
"Ayo, Nak? Katanya mau ketemu Mama?" Aditya mengingatkan pada gadis kecil tentang tujuannya datang ke sini, lagi pula pria itu merasa tidak enak sendiri saat menyadari kalau ada wanita cantik di sebelah sana yang sejak tadi terabaikan keberadaannya."Tapi Alya masih pengen sama Ayah Roy," rengek bocah itu manja. Alya benar-benar terlihat enggan melepaskan lelaki itu yang sejak tadi menggendongnya."Sini sama Ayah Adit gantian, kasiah tuh Ayah Roy capek, kan sejak tadi udah gendong Alya."Gadis itu memandang wajah Roy sejenak, lalu segera bergerak turun dari gendongan lelaki itu. "Tapi Ayah janji kan, mau nengokin Mama lagi?"Roy hanya mengangguk setuju menjawab pertanyaan Alya. Sejujurnya ia kasihan dengan gadis kecil itu, tapi mau bagaimana lagi, Alina memang harus di rawat agar bisa segera sembuh.Aditya dan Alya kembali menyusuri lorong menuju kamar di mana tempat rawat untuk Alina. Keduanya sama-sama terlihat sedih melihat seorang yang sangat d
Elisa melangkah mendekati keduanya, lalu melipat kedua tangannya santai. "Sudah, nostalgianya?" ucap wanita itu sinis. Pandangannya masih tidak bersahabat pada sosok lelaki yang baru saja kemarin menyatakan cinta padanya."Kenapa kalian tidak balikan saja? Kalian cocok kok, yang satu penggoda dan satunya lagi..... PENGHIANAT!""El...!""Apa!!" Emosi wanita itu sudah memuncak, hingga ia tanpa sadar berteriak dan mengundang perhatian para penghuni tempat itu."Apa Kak Roy sengaja, ngajak aku ke sini untuk melihat keromantisan kalian berdua?""El, ini tidak seperti apa yang kamu lihat. Percayalah." Roy mendekati Elisa, meraih tangan wanita itu, namun segera di tepisnya dengan kasar."Lihat apa? Aku bukan anak kecil, Kak? Jika kalian ingin berbalikan, kenapa mengajakku kemari?" Elisa juga terlihat menangis. Bagaimana ia tidak sakit hati mendengar ungkapan Alina tadi yang menunjukkan betapa dekatnya mereka berdua."El, kumohon, berhentilah
Tiga hari berlalu, luka di tangan Rengganis sudah membaik dan hari ini dokter mengijinkannya untuk pulang. Perempuan itu bersiap-siap di bantu Arya yang sudah sejak pagi tadi datang menjemputnya untuk membereskan semua barang yang sudah di pakai selama berada di rumah sakit."Apa ada yang tertinggal?" tanya Arya saat keduanya hendak melangkah keluar. Di tatapnya wajah sang istri yang terlihat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan kedua anaknya yang selama tiga hari ini jarang ia temui."Ada."Langkah Arya terhenti, sejenak menatap ke belakang menyapu seisi ruangan yang sudah kosong. "Apa?" tanya lelaki itu bingung."Hatiku yang tertinggal. Di sini." Rengganis menyentuh dada bidang Arya, membuat sang pemilik tersenyum senang mendengarnya."Tiga hari di rumah sakit, kenapa kamu jadi pintar merayau?""Memangnya salah, merayu suami sendiri?" Perempuan itu mengerlingkan sebelah matanya, membuat sang suami gemas dan mendadak mende