Share

Bab 6 ( Cemo'ohan)

Author: Black_v
last update Last Updated: 2025-10-22 20:56:59

Alya sudah siap dengan pakaian rapi yang sederhana namun tetap terlihat pantas. Setelah tadi mengantar Jonathan—suami kontraknya—hingga ke depan pintu mansion, gadis itu segera kembali ke lantai atas apartemen untuk berganti pakaian. Hatinya berdebar pelan, bukan karena takut, melainkan karena gugup memikirkan pertemuannya dengan Riko siang ini. Hari ini ia akan membahas pekerjaan di kafe milik lelaki itu, pekerjaan yang bisa menjadi langkah awalnya untuk kembali mandiri.

Di dalam kamar, Alya berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Ia mengenakan kaos polos berwarna lilac muda yang memberi kesan lembut dan bersih, dipadukan dengan celana jeans cargo hitam yang nyaman namun tetap terlihat rapi. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, hanya dikuncir setengah ke belakang agar tak mengganggu wajahnya. Ia tampak sederhana, namun ada ketenangan dan keanggunan yang sulit dijelaskan dari caranya berdiri.

Alya mengambil tas kecil berwarna krem yang sudah terlihat agak kusam karena sering dipakai. Di dalamnya hanya ada dompet tipis, ponsel, dan sebotol kecil air minum. Ia tak banyak membawa barang, karena tahu tak ada yang benar-benar penting selain keberaniannya hari ini.

Sebelum keluar, Alya menepuk lembut pipinya yang sudah ia oleskan lip cream berwarna lembut. Ia tidak punya koleksi skincare seperti wanita pada umumnya—bahkan pelembap wajah pun tidak. Satu-satunya produk yang rutin ia pakai hanyalah sunscreen murah yang ia beli di minimarket dekat apartemen.

“Yang penting muka gak gosong,” gumamnya kecil, berusaha menertawakan nasibnya sendiri dengan senyum tipis.

Ia tahu betul, uang yang ia miliki terlalu terbatas untuk membeli hal-hal seperti itu. Setiap rupiah yang tersisa harus benar-benar dipertimbangkan, karena baginya, sekarang setiap kebutuhan adalah soal bertahan hidup, bukan gaya hidup.

Saat ia melangkah ke luar kamar, suara lembut seorang wanita menyapanya. Seorang pelayan paruh baya, yang baru saja mulai bekerja di apartemen Jonathan hari ini, menghentikan langkahnya.

“Nyonya mau ke mana?” tanya pelayan itu sopan, sambil menundukkan kepala sedikit.

Alya sempat tertegun mendengar sapaan itu. Ia belum terbiasa dipanggil nyonya, bahkan panggilan itu terasa terlalu berat baginya. Namun ia berusaha tersenyum ramah.

“Eh… aku mau keluar sebentar, Bi. Ada urusan di luar,” jawab Alya dengan suara lembut dan sopan.

Pelayan itu mengangguk paham, lalu berkata dengan nada penuh hormat, “Baik, Nyonya. Tapi jangan pulangnya terlalu larut, ya.”

“Iya, Bi. Terima kasih sudah diingatkan,” jawab Alya sambil tersenyum kecil.

Begitu pelayan itu kembali ke pekerjaannya, Alya memperhatikan sekeliling ruangan yang kini sudah tampak rapi. Pelayan itu memang hanya diberi tugas untuk membereskan ruang tamu, dapur, dan area umum lainnya. Kamar tidur utama dan kamar Alya sama sekali tidak boleh disentuh, karena itu termasuk dalam salah satu poin di kontrak pernikahan mereka.

Jonathan dengan tegas menulis dalam kontrak bahwa “Alya bertanggung jawab penuh atas kebersihan ruang pribadinya dan tidak diperbolehkan membiarkan pihak lain masuk ke kamar utama tanpa izin.”

Bahkan soal sepele seperti membersihkan tempat tidur pun masih harus diatur sedetail itu — betapa dinginnya lelaki itu terhadapnya.

Alya menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar. Ia menatap sebentar cincin di jarinya, lalu mengusapnya pelan.

“Setidaknya hari ini aku bisa mulai sesuatu yang baru,” ucapnya lirih, mencoba menanamkan semangat dalam dirinya.

Langkah kecilnya kemudian membawa ia keluar dari apartemen mewah itu, menuruni lift dengan hati yang berdebar. Di wajahnya terlukis keteguhan dan harapan — bahwa meskipun pernikahan ini tidak membawa cinta, setidaknya ia masih bisa menemukan arti hidup yang baru lewat kerja kerasnya sendiri.

***

Di sisi lain, suasana di ruang rapat lantai 27 J&A Holdings terasa tegang dan menyesakkan. Setiap detik yang berlalu seolah memperlambat waktu ketika Jonathan Abigail Marvendo, sang CEO muda, berdiri di ujung meja rapat dengan ekspresi sedingin es. Tatapan matanya tajam, penuh tekanan, membuat semua orang di ruangan itu menunduk, menahan napas, dan berusaha tidak menarik perhatian.

Begitu Jonathan tiba pagi itu, ia langsung memanggil seluruh tim pengembangan produk untuk melakukan evaluasi mendadak. Begitu layar proyektor menampilkan hasil rancangan inovasi produk terbaru mereka, rahang Jonathan langsung mengeras. Garis ketegangan terlihat jelas di wajah tampannya.

“Ini yang kalian sebut desain bagus?” suaranya terdengar rendah, tapi mengandung kemarahan yang mengguncang ruangan. Semua mata langsung menatap meja, tak berani menjawab sedikit pun.

Suasana benar-benar hening. Hanya suara napas dan detak jam dinding yang terdengar. Jonathan melangkah perlahan ke arah meja presentasi, lalu mengambil lembaran rancangan desain dari tangan salah satu staf. Ia menatapnya sekilas, kemudian melemparkannya kembali ke meja dengan keras.

“Ini bahkan lebih buruk dari prototipe gagal yang kita buang tiga bulan lalu!” desisnya dingin. “Siapa penanggung jawab proyek ini?”

Tak ada satu pun yang berani menjawab. Semua tahu betapa berbahayanya berurusan dengan amarah Jonathan. Lelaki itu bukan hanya terkenal karena kecerdasannya dalam bisnis, tapi juga karena sifat perfeksionisnya yang kejam.

Sampai akhirnya seorang gadis muda dengan wajah cemas memberanikan diri berbicara.

“Ma–maaf, Tuan… sebelumnya saya ingin menjelaskan—”

Jonathan langsung menatap tajam ke arahnya. “Kau penanggung jawabnya?” suaranya meninggi, penuh tekanan.

“Bu–bukan, Tuan…” jawab gadis itu terbata, tangannya gemetar. “Saya hanya ingin memberi tahu… penanggung jawab utama proyek ini sedang dirawat di rumah sakit. Dua hari lalu beliau mengalami kecelakaan, jadi belum bisa kembali bekerja.”

Ruangan kembali hening. Tatapan Jonathan tak berubah, tetap dingin dan penuh perhitungan. Ia menatap satu per satu wajah di ruangan itu sebelum akhirnya berkata dengan nada rendah namun tajam,

“Lalu siapa yang menggantikan posisinya? Jangan bilang kalian membiarkan proyek bernilai miliaran ini berjalan tanpa kepala.”

Seorang wanita yang duduk di ujung meja perlahan mengangkat tangan. Meski wajahnya tenang, jelas terlihat bahwa ia menahan gugup.

“Itu… saya, Tuan,” ucapnya pelan namun tegas.

Jonathan mengamati wanita itu dari ujung kaki sampai kepala. “Baik. Kalau begitu dengarkan aku baik-baik.” Suaranya kembali tegas dan dalam. “Aku ingin desain baru dan konsep promosinya selesai dalam waktu satu bulan. Tidak boleh lebih. Produk ini akan menjadi sponsor utama dalam salah satu drama besar yang tayang dua bulan lagi. Aku tidak mau ada kesalahan sedikit pun. Mengerti?”

“Baik, Tuan. Akan saya pastikan tim menyelesaikannya tepat waktu,” jawab wanita itu menunduk hormat.

Tanpa menambahkan sepatah kata pun, Jonathan mengambil berkas di tangannya dan berjalan keluar ruangan dengan langkah cepat dan tegap. Pintu rapat menutup keras di belakangnya, meninggalkan keheningan dan rasa lega bercampur tegang di antara para staf.

Begitu Jonathan benar-benar pergi, beberapa orang langsung menarik napas lega.

“Sial… bisa-bisanya punya bos seseram itu,” keluh gadis yang tadi bicara pertama kali, sambil memegang dadanya yang masih berdebar.

“Sudahlah, Rin, sabar aja,” ujar salah satu rekan kerjanya mencoba menenangkan.

Ya, wanita yang kini menjadi penanggung jawab proyek baru itu adalah Ririn — sahabat dekat Alya sejak SMP. Si gadis cerdas yang dulu selalu menolong Alya belajar kini harus berhadapan dengan bos paling dingin dan perfeksionis di seluruh perusahaan.

“Setidaknya dia kasih waktu sebulan,” gumam Ririn pelan sambil menatap layar proyektor yang masih menampilkan desain gagal itu. “Baiklah, kalau begini caranya… aku harus kerja lembur tiap hari.”

Rekan di sebelahnya tertawa kecil. “Kau berani juga ya, Rin. Kalau aku sih lebih baik sakit daripada dipimpin langsung oleh Tuan Jonathan.”

Ririn tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu betul — bos dingin itu bukan tipe yang mudah puas. Tapi ia tak punya pilihan lain. Sebagai pengganti sementara, ini adalah kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 13 ( Bebal )

    Alya yang baru saja membuka pintu apartemen itu langsung terdiam kaku. Matanya membulat sedikit ketika melihat Jonathan duduk di ruang televisi, tampak masih mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung dan ekspresi dingin yang sulit ditebak. Televisi di hadapannya menyala, menampilkan berita malam, namun jelas bahwa fokus lelaki itu bukan pada layar—melainkan pada dirinya.Langkah Alya sempat tertahan di depan pintu. Ia bingung, harus menyapa atau pura-pura tidak melihat. Dalam hatinya, ia bahkan berdebat dengan diri sendiri. Ia malas menegur, takut dianggap mencari perhatian. Tapi jika diam saja, bisa-bisa Jonathan menuduhnya tidak sopan.“Jam sepuluh malam lewat baru pulang?” suara Jonathan memecah keheningan. Nada suaranya datar tapi menusuk, cukup membuat suasana apartemen terasa tegang.Alya menunduk sesaat. Ia mencoba menenangkan diri, menata napas sebelum akhirnya mengangkat wajah dan memberanikan diri menatap suami kontraknya itu.“Dalam kontrak tidak ada larangan tentang

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 12 ( Pria Aneh)

    Hari ini sedikit berbeda dari biasanya.Jonathan yang selama ini selalu pulang larut malam—kadang lewat dari pukul sepuluh, bahkan mendekati tengah malam—kali ini memutuskan untuk pulang lebih cepat. Entah apa alasannya, mungkin karena pekerjaannya sudah selesai lebih awal, atau mungkin karena pikirannya terlalu lelah untuk terus bergulat di kantor.Langit di luar jendela mulai berubah warna; jingga senja perlahan menelan biru langit sore, menyisakan bayangan-bayangan panjang di jalanan kota. Saat mobil hitam mewahnya berhenti di depan gedung apartemen, jarum jam di dashboard menunjukkan pukul enam tepat.Begitu pintu lift terbuka di lantai paling atas, langkah Jonathan terdengar mantap namun berat. Sepatu kulitnya menimbulkan gema halus di lantai marmer yang mengilap. Ia menempelkan kartu akses ke panel pintu, dan dalam sekejap, pintu apartemen terbuka otomatis.Begitu masuk, suasana hening langsung menyambutnya. Tidak ada suara, tidak ada aroma masakan, tidak ada siapa pun yang meny

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 11 ( Tersenyum )

    Setelah pertemuannya di restoran beberapa hari lalu, Alya merasa jauh lebih tenang. Beban berat yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat setelah Bibi Grace mengetahui seluruh kebenaran tentang pernikahannya dengan Jonathan. Awalnya, wanita paruh baya itu sempat terkejut dan merasa kecewa membaca isi kontrak pernikahan mereka. Namun setelah tahu bahwa Jonathan sendirilah yang memulai semuanya, rasa kecewanya berubah menjadi iba. Ia bisa memahami posisi Alya—gadis polos yang hanya berusaha menjalani kewajiban tanpa pernah berniat menyakiti siapa pun. Selama seminggu ini, Bibi Grace memang tidak datang ke apartemen seperti biasanya. Tapi setiap kali menelpon, suaranya terdengar jauh lebih lembut, tak lagi menyudutkan Alya. Ia bahkan sempat meminta maaf dan menyatakan dukungannya terhadap keputusan gadis itu. “Terkadang terlalu ikut campur justru membuat keadaan semakin rumit,” ucap Bibi Grace waktu itu, dan Alya hanya bisa tersenyum setuju. Hari ini, seperti biasa, Aly

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 10 ( Bibi Grace )

    Saat Jonathan tiba di apartemennya, suasana begitu hening. Tidak ada suara apa pun selain dengung lembut dari pendingin udara yang masih menyala di ruang tengah. Penerangan pun minim—lampu utama padam, hanya cahaya remang dari arah balkon yang menembus lewat gorden tipis, memantulkan siluet lembut di dinding apartemen yang bernuansa abu-abu modern itu.Jonathan berdiri sejenak di ambang pintu, menghela napas panjang. Ia kemudian melonggarkan dasinya perlahan, gerakannya tampak lelah namun tetap berwibawa. Seolah semua energi dan kesabaran yang ia keluarkan di kantor siang tadi telah benar-benar terkuras.Begitu melangkah masuk, sensor otomatis di apartemen mendeteksi gerakannya. Seketika lampu menyala, menyinari ruangan luas yang kini tampak sepi dan dingin. Tidak ada siapa pun di sana, tidak ada suara langkah kaki Alya, atau aroma masakan yang menandakan seseorang sedang beraktivitas.Hanya kesunyian.Jonathan berjalan pelan menuju sofa di ruang tengah, menurunkan tubuhnya perlahan h

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 9 (Jonathan)

    Alya melangkah pelan menuju kamar tidurnya, meninggalkan ruang makan yang kini sunyi tanpa suara. Cahaya lampu temaram di koridor menyoroti bayangan tubuhnya yang tampak lelah. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah beban pikiran yang menumpuk membuat udara di sekitarnya semakin padat. Begitu sampai di kamarnya, Alya menutup pintu perlahan. Ia menatap ruangan yang tertata rapi, tapi terasa dingin dan kosong—tak jauh berbeda dengan perasaannya malam itu. Ia meletakkan ponsel di atas meja nakas, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih terasa sesak setelah melihat berita tentang Jonathan dan Melissa Queen. Alya tidak berniat menunggu suaminya pulang. Ia sudah hafal kebiasaan Jonathan—lelaki itu jarang pulang malam-malam begini, dan kalaupun pulang, sikapnya selalu dingin, seolah kehadiran Alya tidak pernah berarti apa-apa. Lagi pula, dalam kontrak pernikahan mereka jelas tertulis bahwa Alya tidak diwajibkan menjalankan peran istri sepenuhnya. Ia

  • Kontrak Nikah dengan CEO Kejam   Bab 8 (wanita lain)

    Alya tiba di apartemen sekitar pukul setengah tiga siang. Begitu pintu terbuka, suasana di dalam apartemen terasa begitu tenang — bahkan terlalu tenang. Tidak ada suara langkah kaki pelayan atau aroma masakan yang biasanya memenuhi ruangan. Yang terdengar hanya suara lembut pendingin udara dan dengung samar dari luar jendela. Alya melepaskan sepatunya dengan perlahan, lalu melangkah ke arah dapur. Di sana, di atas meja makan marmer putih, tergeletak sebuah catatan kecil yang tampak ditulis dengan tergesa namun tetap rapi. Alya mengambilnya dan mulai membaca. “Maaf, Nyonya Muda. Saya pulang lebih awal karena anak saya masuk rumah sakit. Saya sudah menyiapkan makan siang dan menyimpannya di kulkas. Sekali lagi mohon maaf, Nyonya.” Di bagian bawah catatan itu, tertulis nama sang pelayan dengan huruf kecil dan agak miring: Ranti. “Jadi namanya Ranti…” gumam Alya pelan, menatap tulisan itu beberapa detik sebelum akhirnya meletakkannya kembali di meja. Ada nada iba dalam suaranya. Ia b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status