LOGINAlya sudah siap dengan pakaian rapi yang sederhana namun tetap terlihat pantas. Setelah tadi mengantar Jonathan—suami kontraknya—hingga ke depan pintu mansion, gadis itu segera kembali ke lantai atas apartemen untuk berganti pakaian. Hatinya berdebar pelan, bukan karena takut, melainkan karena gugup memikirkan pertemuannya dengan Riko siang ini. Hari ini ia akan membahas pekerjaan di kafe milik lelaki itu, pekerjaan yang bisa menjadi langkah awalnya untuk kembali mandiri.
Di dalam kamar, Alya berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Ia mengenakan kaos polos berwarna lilac muda yang memberi kesan lembut dan bersih, dipadukan dengan celana jeans cargo hitam yang nyaman namun tetap terlihat rapi. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, hanya dikuncir setengah ke belakang agar tak mengganggu wajahnya. Ia tampak sederhana, namun ada ketenangan dan keanggunan yang sulit dijelaskan dari caranya berdiri. Alya mengambil tas kecil berwarna krem yang sudah terlihat agak kusam karena sering dipakai. Di dalamnya hanya ada dompet tipis, ponsel, dan sebotol kecil air minum. Ia tak banyak membawa barang, karena tahu tak ada yang benar-benar penting selain keberaniannya hari ini. Sebelum keluar, Alya menepuk lembut pipinya yang sudah ia oleskan lip cream berwarna lembut. Ia tidak punya koleksi skincare seperti wanita pada umumnya—bahkan pelembap wajah pun tidak. Satu-satunya produk yang rutin ia pakai hanyalah sunscreen murah yang ia beli di minimarket dekat apartemen. “Yang penting muka gak gosong,” gumamnya kecil, berusaha menertawakan nasibnya sendiri dengan senyum tipis. Ia tahu betul, uang yang ia miliki terlalu terbatas untuk membeli hal-hal seperti itu. Setiap rupiah yang tersisa harus benar-benar dipertimbangkan, karena baginya, sekarang setiap kebutuhan adalah soal bertahan hidup, bukan gaya hidup. Saat ia melangkah ke luar kamar, suara lembut seorang wanita menyapanya. Seorang pelayan paruh baya, yang baru saja mulai bekerja di apartemen Jonathan hari ini, menghentikan langkahnya. “Nyonya mau ke mana?” tanya pelayan itu sopan, sambil menundukkan kepala sedikit. Alya sempat tertegun mendengar sapaan itu. Ia belum terbiasa dipanggil nyonya, bahkan panggilan itu terasa terlalu berat baginya. Namun ia berusaha tersenyum ramah. “Eh… aku mau keluar sebentar, Bi. Ada urusan di luar,” jawab Alya dengan suara lembut dan sopan. Pelayan itu mengangguk paham, lalu berkata dengan nada penuh hormat, “Baik, Nyonya. Tapi jangan pulangnya terlalu larut, ya.” “Iya, Bi. Terima kasih sudah diingatkan,” jawab Alya sambil tersenyum kecil. Begitu pelayan itu kembali ke pekerjaannya, Alya memperhatikan sekeliling ruangan yang kini sudah tampak rapi. Pelayan itu memang hanya diberi tugas untuk membereskan ruang tamu, dapur, dan area umum lainnya. Kamar tidur utama dan kamar Alya sama sekali tidak boleh disentuh, karena itu termasuk dalam salah satu poin di kontrak pernikahan mereka. Jonathan dengan tegas menulis dalam kontrak bahwa “Alya bertanggung jawab penuh atas kebersihan ruang pribadinya dan tidak diperbolehkan membiarkan pihak lain masuk ke kamar utama tanpa izin.” Bahkan soal sepele seperti membersihkan tempat tidur pun masih harus diatur sedetail itu — betapa dinginnya lelaki itu terhadapnya. Alya menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar. Ia menatap sebentar cincin di jarinya, lalu mengusapnya pelan. “Setidaknya hari ini aku bisa mulai sesuatu yang baru,” ucapnya lirih, mencoba menanamkan semangat dalam dirinya. Langkah kecilnya kemudian membawa ia keluar dari apartemen mewah itu, menuruni lift dengan hati yang berdebar. Di wajahnya terlukis keteguhan dan harapan — bahwa meskipun pernikahan ini tidak membawa cinta, setidaknya ia masih bisa menemukan arti hidup yang baru lewat kerja kerasnya sendiri. *** Di sisi lain, suasana di ruang rapat lantai 27 J&A Holdings terasa tegang dan menyesakkan. Setiap detik yang berlalu seolah memperlambat waktu ketika Jonathan Abigail Marvendo, sang CEO muda, berdiri di ujung meja rapat dengan ekspresi sedingin es. Tatapan matanya tajam, penuh tekanan, membuat semua orang di ruangan itu menunduk, menahan napas, dan berusaha tidak menarik perhatian. Begitu Jonathan tiba pagi itu, ia langsung memanggil seluruh tim pengembangan produk untuk melakukan evaluasi mendadak. Begitu layar proyektor menampilkan hasil rancangan inovasi produk terbaru mereka, rahang Jonathan langsung mengeras. Garis ketegangan terlihat jelas di wajah tampannya. “Ini yang kalian sebut desain bagus?” suaranya terdengar rendah, tapi mengandung kemarahan yang mengguncang ruangan. Semua mata langsung menatap meja, tak berani menjawab sedikit pun. Suasana benar-benar hening. Hanya suara napas dan detak jam dinding yang terdengar. Jonathan melangkah perlahan ke arah meja presentasi, lalu mengambil lembaran rancangan desain dari tangan salah satu staf. Ia menatapnya sekilas, kemudian melemparkannya kembali ke meja dengan keras. “Ini bahkan lebih buruk dari prototipe gagal yang kita buang tiga bulan lalu!” desisnya dingin. “Siapa penanggung jawab proyek ini?” Tak ada satu pun yang berani menjawab. Semua tahu betapa berbahayanya berurusan dengan amarah Jonathan. Lelaki itu bukan hanya terkenal karena kecerdasannya dalam bisnis, tapi juga karena sifat perfeksionisnya yang kejam. Sampai akhirnya seorang gadis muda dengan wajah cemas memberanikan diri berbicara. “Ma–maaf, Tuan… sebelumnya saya ingin menjelaskan—” Jonathan langsung menatap tajam ke arahnya. “Kau penanggung jawabnya?” suaranya meninggi, penuh tekanan. “Bu–bukan, Tuan…” jawab gadis itu terbata, tangannya gemetar. “Saya hanya ingin memberi tahu… penanggung jawab utama proyek ini sedang dirawat di rumah sakit. Dua hari lalu beliau mengalami kecelakaan, jadi belum bisa kembali bekerja.” Ruangan kembali hening. Tatapan Jonathan tak berubah, tetap dingin dan penuh perhitungan. Ia menatap satu per satu wajah di ruangan itu sebelum akhirnya berkata dengan nada rendah namun tajam, “Lalu siapa yang menggantikan posisinya? Jangan bilang kalian membiarkan proyek bernilai miliaran ini berjalan tanpa kepala.” Seorang wanita yang duduk di ujung meja perlahan mengangkat tangan. Meski wajahnya tenang, jelas terlihat bahwa ia menahan gugup. “Itu… saya, Tuan,” ucapnya pelan namun tegas. Jonathan mengamati wanita itu dari ujung kaki sampai kepala. “Baik. Kalau begitu dengarkan aku baik-baik.” Suaranya kembali tegas dan dalam. “Aku ingin desain baru dan konsep promosinya selesai dalam waktu satu bulan. Tidak boleh lebih. Produk ini akan menjadi sponsor utama dalam salah satu drama besar yang tayang dua bulan lagi. Aku tidak mau ada kesalahan sedikit pun. Mengerti?” “Baik, Tuan. Akan saya pastikan tim menyelesaikannya tepat waktu,” jawab wanita itu menunduk hormat. Tanpa menambahkan sepatah kata pun, Jonathan mengambil berkas di tangannya dan berjalan keluar ruangan dengan langkah cepat dan tegap. Pintu rapat menutup keras di belakangnya, meninggalkan keheningan dan rasa lega bercampur tegang di antara para staf. Begitu Jonathan benar-benar pergi, beberapa orang langsung menarik napas lega. “Sial… bisa-bisanya punya bos seseram itu,” keluh gadis yang tadi bicara pertama kali, sambil memegang dadanya yang masih berdebar. “Sudahlah, Rin, sabar aja,” ujar salah satu rekan kerjanya mencoba menenangkan. Ya, wanita yang kini menjadi penanggung jawab proyek baru itu adalah Ririn — sahabat dekat Alya sejak SMP. Si gadis cerdas yang dulu selalu menolong Alya belajar kini harus berhadapan dengan bos paling dingin dan perfeksionis di seluruh perusahaan. “Setidaknya dia kasih waktu sebulan,” gumam Ririn pelan sambil menatap layar proyektor yang masih menampilkan desain gagal itu. “Baiklah, kalau begini caranya… aku harus kerja lembur tiap hari.” Rekan di sebelahnya tertawa kecil. “Kau berani juga ya, Rin. Kalau aku sih lebih baik sakit daripada dipimpin langsung oleh Tuan Jonathan.” Ririn tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu betul — bos dingin itu bukan tipe yang mudah puas. Tapi ia tak punya pilihan lain. Sebagai pengganti sementara, ini adalah kesempatan untuk membuktikan kemampuannya.Alya sudah siap dengan pakaian rapi yang sederhana namun tetap terlihat pantas. Setelah tadi mengantar Jonathan—suami kontraknya—hingga ke depan pintu mansion, gadis itu segera kembali ke lantai atas apartemen untuk berganti pakaian. Hatinya berdebar pelan, bukan karena takut, melainkan karena gugup memikirkan pertemuannya dengan Riko siang ini. Hari ini ia akan membahas pekerjaan di kafe milik lelaki itu, pekerjaan yang bisa menjadi langkah awalnya untuk kembali mandiri. Di dalam kamar, Alya berdiri di depan cermin, memeriksa penampilannya sekali lagi. Ia mengenakan kaos polos berwarna lilac muda yang memberi kesan lembut dan bersih, dipadukan dengan celana jeans cargo hitam yang nyaman namun tetap terlihat rapi. Rambut panjangnya ia biarkan terurai, hanya dikuncir setengah ke belakang agar tak mengganggu wajahnya. Ia tampak sederhana, namun ada ketenangan dan keanggunan yang sulit dijelaskan dari caranya berdiri. Alya mengambil tas kecil berwarna krem yang sudah terlihat agak kusa
Xelio akhirnya mundur beberapa langkah sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Ia tahu, jika terus menggoda Jonathan, suasana kantor bisa berubah dingin seperti lemari es. “Baiklah, baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan lupa, makan siang nanti kau traktir aku. Anggap saja hadiah karena aku tidak datang ke pesta pernikahanmu,” ucap Xelio santai sebelum melangkah keluar dari ruangan. Jonathan hanya mendengus pelan tanpa menatap sahabatnya itu. “Keluar,” katanya singkat, tanpa menoleh sedikit pun dari layar laptopnya. Begitu pintu menutup, ruangan kembali sunyi. Hanya suara ketikan cepat di keyboard yang terdengar. Wajah Jonathan datar, tetapi sorot matanya tajam — seperti ada beban yang ia simpan di balik ketenangan itu. Alex, sekretarisnya yang setia, berdiri di dekat meja kerja sambil membawa beberapa berkas tambahan. “Tuan, ini laporan keuangan untuk proyek di Singapura. Perlu saya jadwalkan meeting dengan tim keuangan sore ini?” tanya Alex hati-hati. Jonathan meng
Alya baru saja tiba di depan pintu apartemen milik Jonathan. Lelaki itu hanya mengantarnya sampai lobi, lalu menyerahkan kartu akses dan secarik kertas berisi nomor unit tanpa sedikit pun menatap wajahnya.“Cari saja sendiri. Aku tidak punya waktu mengantarmu ke atas,” ucap Jonathan dingin sebelum melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Alya yang berdiri terpaku di depan lift dengan koper kecil di sampingnya.Perjalanan menuju lantai atas terasa sunyi. Hanya suara lembut dari musik instrumental lift yang menemani Alya. Jantungnya berdebar ketika ia menempelkan kartu akses ke pintu apartemen bernomor 2806 — unit milik suaminya, meski sebutan itu masih terasa asing di pikirannya.Begitu pintu terbuka, Alya tertegun.“Wow… besar dan mewah,” gumamnya tanpa sadar, matanya menelusuri setiap sudut ruangan yang tertata sempurna.Apartemen itu didominasi warna abu muda dan putih, dengan jendela besar menghadap langsung ke pemandangan kota. Cahaya matahari sore masuk menembus tirai tipis, men
Setelah makan malam selesai, Jonathan dan Alya kembali memasuki kamar mereka.Sesuai dengan apa yang telah Jonathan katakan sebelumnya, Alya tidak diperkenankan tidur di sebelah lelaki itu. Jonathan memang tegas soal batasan. Meskipun mereka baru saja resmi menjadi suami istri di mata hukum dan agama, hubungan mereka sama sekali belum layak disebut pernikahan yang sesungguhnya.Alya memandangi sofa panjang di sudut kamar — tempat yang akan menjadi ranjang tidurnya malam itu. Ia tidak mengeluh sedikit pun. Dalam hati kecilnya, ia justru merasa bersyukur. Setidaknya malam ini ia tidur di tempat yang layak, bukan di trotoar dingin seperti beberapa minggu lalu.“Nama aslinya memang Jonathan Abigail, kan?” gumam Alya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dahi gadis itu sedikit berkerut, mengingat sesuatu. Saat pesta pernikahan tadi, ia sempat mendengar seseorang — mungkin rekan bisnis Jonathan — memanggil lelaki itu dengan sebutan Tuan Marvendo.Alya sempat bingung. Siapa sebenarny
Sekitar lima belas menit kemudian, suara air dari kamar mandi berhenti. Pintu terbuka perlahan, dan keluarlah Jonathan dengan hanya selembar handuk putih yang melilit di pinggangnya. Butiran air masih menetes dari rambutnya yang basah, menelusuri kulit dada dan perutnya yang bidang. Namun, alih-alih terlihat menggoda, aura yang terpancar darinya tetap dingin, kaku, dan tak bersahabat.Tatapannya langsung jatuh pada sosok Alya yang masih duduk di sofa panjang di depan ranjang. Gadis itu tampak begitu kecil dan gugup di antara megahnya kamar pengantin yang bernuansa putih dan abu-abu. Kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, matanya menunduk dalam, seolah takut hanya dengan mengangkat pandangan.“Mandi. Jangan lama,” desis Jonathan datar tanpa ekspresi. “Setelah ini ada makan malam keluarga.”Nada suaranya tajam, penuh tekanan. Alya spontan berdiri dengan tubuh kaku.“Ba… baik, Tuan,” jawabnya pelan, suaranya gemetar.Ia segera meraih gaun sederhana berwarna pastel yang tela
Alya menatap lelaki dingin di depannya — tatapan yang menusuk hingga ke relung hatinya. Lelaki itu memandangnya seolah-olah dirinya adalah makhluk paling menjijikkan di dunia ini. Aura angkuh dan dingin yang terpancar darinya membuat dada Alya terasa sesak. “Baca,” desis lelaki itu datar, suaranya penuh tekanan. Perlahan, tangan Alya yang gemetar meraih map biru yang tergeletak di atas meja. Ketika ia membuka map tersebut, matanya langsung menangkap tulisan besar di bagian atas halaman: Kontrak Pernikahan. Di bawahnya tertera beberapa poin yang tertulis rapi, tetapi setiap kalimat terasa seperti duri yang menusuk harga dirinya. Semuanya terdengar seperti perjanjian yang merendahkan — seolah dirinya tidak lebih dari sekadar alat tukar. Alya menelan ludah, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Ia tahu, di hadapan lelaki bernama Jonathan Arsenio itu, kelemahan hanyalah hal yang akan semakin mempermalukannya.







