Share

BAB 5 - Satu Persatu

Satu hari berlalu dan semuanya mulai berubah. Entah bagaimana isi dalam kotak cepat sekali menyebar di seantero sekolah. Sudah dua kali Roni tidak sengaja mendengar anak-anak lain yang sedang bergosip tentang ayahnya yang seorang Koruptor saat dia berjalan di sekitar koridor sekolah. Ingin sekali dia berteriak di depan mereka, mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan sang Ayah. Bahkan kalau bisa ingin sekali dia menonjok mulut-mulut yang dengan mudah mengatai dirinya serta keluarganya. Tapi buat apa? Roni berpikir bahwa itu semua hanya akan memperkeruh suasana dan membenarkan gosip tersebut. Bukannya ingin menampik, hanya saja itu semua sudah lewat dan bukan saatnya lagi untuk dibahas.

Semuanya sudah sekian tahun berlalu, dan bagi Roni, dia sudah hampir melupakannya bahkan merasa sudah berada di posisi yang aman. Tidak ada lagi yang membicarakan keluarganya, tidak ada lagi yang mengata-ngatai Ayah. Tetapi sekarang, semuanya terulang kembali. Roni merasa tertarik kembali ke keadaan yang dengan susah payah sudah dia tinggalkan. Berkubung dengan rasa benci serta malu. Dia kembali benci dengan apa yang dilakukan Ayah, dia juga malu untuk bertatapan dengan penghuni sekolah.

Roni berusaha tidak peduli. Melewati mereka yang menatapnya dengan tatapan yang dia benci. Mengabaikannya.

“Mau jenguk Karina nggak hari ini?” Roni membuka pembicaraan, duduk di samping Mili yang sejak tadi duduk sendiri koridor.

Mili menatap lapangan yang kosong, wajahnya terlihat berbeda, pucat tidak seperti biasanya, ditambah kantung mata yang sedikit menggelap. “Lihat entar deh. Gue lagi nggak fit.

“Kenapa? Lo masih mikirin kotak itu?”

Mili menggeleng. Seulas senyum keluar dari wajahnya. Senyum terpaksa. “Gue? Mikirin ancaman yang nggak jelas kemarin? Sorry to say, I don’t care, Ron.”

Roni memerhatikan perubahan wajah Mili tapi dia memilih untuk tidak membahasnya. “Gue yakin Karina pasti kepikiran banget sampai nggak masuk kayak gini.”

“Buat apa sih khawatir sama hal konyol kayak gitu? Mainan anak kecil banget. Menurut gue, yang buat ini semua itu cuma iri sama kepopuleran kita atau cari muka aja. Mungkin haus jadi pusat perhatian? Buat apa direspon terlalu serius?”

Roni melihat ke sekeliling, pandangannya terhenti pada segerombolan siswa yang sejak tadi memperhatikan mereka. “Mau ini mainan, mau cuma bercandaan, gue tetap nggak suka caranya. Lo tahu, seisi sekolah sekarang lagi seneng ngomongin kita dengan berbagai unsur ‘sok tahu’ mereka?”

“Bukannya bagus? Tim kita jadi makin populer?” Mata Mili melirik dua siswi yang juga sedang sibuk melihat ke arah mereka. “Lo ketua, Ron. Jangan lemah deh.”

“Gue bukan lemah. Gue cuma... gue cuma kesal aja. Dan gue jadi ragu sama satu hal.”

“Apa?”

“Yang tahu soal latar belakang gue di sekolah ini cuma satu, Mil. Karina.”

Mili berdecak. “Jadi lo mau nuduh pacar lo sendiri yang buat tulisan itu? Please.... Nggak mungkin, Ron. Lo mau bilang kalau diam-diam Karina cerita soal aib lo ke orang lain?”

Roni bangkit dari duduknya. “Bukan gitu. Justru gue bingung, kalau bukan Karina, terus siapa lagi? Apa ada orang lain yang tahu soal Ayah gue? Ah, udah lah, gue ke kelas, Mil.”

Roni melirik jam tangannya sambil berjalan meninggalkan Mili. Rasa ragu. Roni hanya sedang ragu dan menyimpan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa rahasia besar keluarganya terungkap begitu saja oleh satu kotak? Oleh satu lembar kertas dengan deretan kata yang tidak tahu dari mana asalnya. Lalu siapa yang menulis itu semua? Roni membuang jauh-jauh pikiran ragu. Khusunya kecurigaannya terhadap Karina. Cewek yang sangat dia sayangi dan dia percayai selama satu setengah tahun terakhir.

Selepas bel pulang sekolah, Roni memutuskan untuk pergi ke rumah Karina, menjenguknya. Dia menaiki motornya, menyalakan mesin. Sebelum ke rumah Karina, Roni mampir terlebih dahulu untuk membeli satu buket mawar putih, kesukaan Karina.

Sebentar....

Roni menghentikan motornya sebelum dia benar-benar masuk ke dalam garasi rumah Karina. Ada satu motor lain yang sangat dia kenal, terparkir di depan rumah Karina. Motor matic berwarna merah hitam. Seketika amarah menguasai dirinya. Roni turun dari motor, menarik kesal buket dari dalam kantung kertas yang menggantung, dan menaruh helmnya. Dia berjalan masuk ke dalam rumah Karina. Semuanya benar. Si pemilik motor yang sudah dia duga benar-benar ada di sana. Orang itu terlihat duduk berdua dengan Karina, membicarakan sesuatu yang sangat dia tidak ingin dengar.

“Ngapain lo di sini?” tanya Roni sambil berdiri di ambang pintu.

“Eh lu, kagak usah galak-galak sama gua gini napa? Gua cuma....”

“Cuma apa? Lo kok nggak izin sama gue kalau mau nemuin Karina, Dul?”

Abdul tertawa, tangannya menepuk bahu Roni kencang. “Hahaha. Sejak kapan gua harus izin sam.....”

BRAAAK. Satu tonjokan keras mendarat di pipi Abdul.

“Kamu kenapa, Ron?!” Karina sontak berteriak. “Ada apa? Kena....”

“Jadi dia? Dia yang jadi temen curhat kamu selama ini? Dari A sampai Z. Dari yang penting sampai yang nggak penting?” Otot-otot leher Roni menegang. Dia tidak bisa menahan emosinya. Segala pemikiran negatif tentang Karina muncul di benak.

Karina menggeleng. Dia tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Roni. “Kamu ngomong apa sih, Ron? Kau nggak ngerti.”

Roni menatap mata Karina, ikut menggeleng, kemudian melempar buket ke lantai. “Aku pulang.”

“Ron? Ron?” Karina berusaha mencegah namun langkah kaki Roni tidak dapat dia kejar.

Karina pasrah, kembali masuk ke dalam rumah, membiarkan Roni pergi dengan amarah yang dia tidak mengerti. Air matanya mengalir, kepalanya terasa pusing, kakinya terasa lemas. Mengapa Roni tiba-tiba menonjok Abdul? Mengapa Roni sangat emosi? Mengapa Roni berubah? Otak Karina bekerja keras mencari segala kemungkinan. Alasan-alasan yang bisa memancing emosi Roni.

Karina membungkuk, mengecek keadaan Abdul yang masih terduduk di lantai.

“Duduk sini.” Karina membantu Abdul untuk duduk di atas sofa. “Tunggu ya, aku mau ambil es batu dulu.”

Karina mengambil es batu dan sehelai kain dari dapur. Membawanya ke ruang tamu dengan perasaan yang campur aduk. Dia menaruh es batu di atas helaian kain, lalu membukusnya. Pelan-pelan dia mengompres pipi Abdul yang memerah. Jarinya terasa membeku perlahan.

Abdul mengambil kain bersisi es dari genggaman Karina. “Udah, sama gua sendiri aja.”

“Maaf ya.”

“Maaf apaan?”

“Maafin Roni. Dia biasanya nggak kayak gitu kok.” Karina menggigit bibirnya sendiri, wajahnya tertunduk. “Aku nggak tahu kenapa dia tiba-tiba kayak tadi. Padahal aku sama dia baik-baik aja.”

Abdul mengeluarkan senyum. “Masa lu kagak ngerti?”

“Nggak ngerti?”

“Dia cemburu. Gara-gara isi kotak itu.” Abdul mengelap air dari es yang mengalir di pipinya. Sebenarnya dia cukup emosi saat tonjokan itu mendarat di pipinya. Ingin sekali dia membalas, tapi dia memikirkan Karina. Bagaimana pun, dia bisa mengerti dengan serangan Roni itu.

Abdul melanjutkan. “Cowok emang kayak gitu. Sejak kotak itu dibuka, dia kagak pernah nyapa gua, Kar. Tadi pagi waktu gua sama anak-anak lagi nongkrong, dia sengaja buang muka. Awalnya gua pikir dia mungkin malu sama kabar soal bokapnya, tapi sekarang gua tahu. Dia cemburu sama gua. Lucu ye?”

“Lucu apaan, aku baru pertama lihat dia marah kayak tadi.  Biasanya dia paling jago nahan emosi apalagi kalau lagi bareng aku. Maaf ya. Gara-gara aku, kamu jadi gini.” Karina masih mengingat ekspresi Roni yang baru saja dia lihat.

“Yah mau gimana lagi. Lagian tonjokannya kagak keras-keras amet. Dikasih obat udah sembuh, Kar. Kagak usah ngerasa bersalah gitu. Lagian bukan salah lu. Oh ya, besok lu masuk sekolah lagi, kan?”

Hening sejenak. Karina menatap wajah Abdul cukup lama. Entah kenapa sulit rasanya untuk kembali berani muncul di sekolah meski dia yakin bahwa teman-teman terdekatnya seperti Mili tidak akan menjauhinya. Perasaan takut dengan tempat bernama Sekolah kembali merasuk dalam lubuk hati.

“Masuk deh, Roni butuh lo. Mili juga.” Tangan Abdul mendekati tangan Karina. Dia ingin sekali memegang tangan yang terlihat lemah di hadapannya. Namun niat itu dia buang jauh. “Kagak rame kalau besok nggak ada lu. Besok juga kan latihan, Kar. Jangan bilang lu lupa.”

Latihan... Karina baru ingat kalau besok ada latihan teater untuk pertama kalinya setelah kejadian kemarin. Bagaimana mungkin dia bisa menghadapi hari besok?

“Hmm.. Lihat besok, deh. Kepala aku masih sedikit pusing.” Karina memegang kepalanya. Meyakinkan Abdul.

“Astaga!” Abdul menepuk keningnya sendiri. “Gua kan ke sini mau ngomongin sesuatu. Gua jadi lupa, keburu kena bogem si Roni hahaha.”

“Ya ampun. Iya, aku juga jadi lupa. Ada apa, Dul? Tumben kamu ke sini.”

“Iya itu dia, gua mau jelasin soal isi kotak itu. Gua... Gua sama sekali kagak ada niat buat macem-macem, Kar. Gua emang pernah naksir lu, lu juga tahu itu, kan? Tapi abis lu jadian sama Roni, ya gua sadar diri aja. Jadi teman lu aja gua udah beruntung.”

Karina terkekeh. “Cuma soal ini aja? Aduh, santai aja, Dul.”

“Ya kirain lo bakal marah sama gua. Ya udah deh, tahu gitu gua nggak usah ke mari. Udah takdir kena tonjok kan, nih. Hahaha.” Abdul mengambil tasnya. Dia memutuskan untuk secepatnya pulang. Sebenarnya bukan itu saja yang dia ingin ucapkan pada Karina. Masih banyak dan kakinya terasa masih betah berdiri di lantai rumah Karina.

“Maaf ya, Dul.”

“Maaf mulu, emangnya lebaran. Gua balik dulu ya.” Abdul beranjak pergi.

Karina memandangi gerakan Abdul yang membawa motornya kemudian menghilang dari pandangan. Dia menatap jalanan, lalu berganti menatap langit keabu-abuan yang mulai mendung sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Kini rasa takutnya bertambah. Selain takut menghadapi anak-anak di sekolah, dia juga takut akan kehilangan Roni.

Apa yang harus dia lakukan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status