"Mama mau pergi lagi?" tanya Adel ketika melihatku mengambil tas."Sebentar doang, Sayang. Kamu langsung makan, ya."Aku mencium kening Adel sebelum pergi. Aku ingin memastikan kebenaran anaknya Hanin. Sampai di rumah sakit, aku langsung turun. Ini rumah sakit yang dibilang tetangga tadi. Setelah bertanya pada suster, aku langsung berjalan ke ruangan anaknya Hanin. "Ngapain kamu disini?"Eh? Aku menoleh. Mendapati Mas Riky yang melihatku heran. "Mas sendiri ngapain?" "Anakku sakit. Mana Adel?"Ah, aku punya ide bagus. Tanpa harus bertanya pada Hanin sendirian. "Jawab dulu, anak kamu sakit apa?"Demi mengecek semuanya, aku harus bertanya pada Mas Riky. Ini benar-benar menyebalkan. "Cuma demam. Mana Adel?" Kelihatan sekali, Mas Riky saya pada Adel. Berkali-kali dia bertanya mengenai Adel. "Di rumah. Yaudah, aku duluan."Aku berlalu dari hadapan Mas Riky. Tidak ke pintu keluar, tapi muter-muter dulu. Ini rumah sakit yang sama dengan aku melakukan tes DNA. Aku melirik ruangan la
"Mas Riky udah pergi, ya, Bi?" tanyaku sambil membuka pintu kamar pembantuku. "Udah, Bu. Barusan saja tadi."Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kembali menutup pintu kamar Bibi. Dengan langkah pelan, aku menuju kamar Adel. Menatap anak perempuanku itu. Dia sudah tidur. Aku mengulas senyum. Berjalan mendekat. "Adel apa kabar?" tanyaku pelan. Akhir-akhir ini, aku jarang sekali memperhatikan Adel. Terlalu sibuk mengurus urusan rumah tanggaku. Lupa, kalau Adel juga butuh kasih sayang. Aku mengusap kepala Adel. Mencium keningnya. "Gimana sekolah, Adel? Maaf, ya, Mama baru bisa sapa Adel sekarang. Baru bisa tanya kabar Adel sekarang."Maaf, Adel. Mama sudah tidak bisa lagi mempertahankan keluarga kita. Mama sudah memutuskan untuk berpisah dari Papa. Mataku sudah berkaca-kaca. Menggigit bibir, berusaha agar tidak menangis. "Mama sayang sama Adel. Selalu."***Aku menelepon Mas Riky. Tidak diangkat. Rencananya, hari ini aku akan memperlihatkan hasil rekaman CCTV di restoran. Kalau foto
"Hasil yang menarik."Aku menyunggingkan senyum. Menyimpan kertas hasil laboratorium itu ke dalam tas."Makasih, Pak. Saya permisi."Tanpa menoleh ke dokter yang menyebalkan itu, aku langsung keluar dari ruang laboratorium."Eh, tunggu."Baru saja satu langkah keluar dari ruangan. Aku sudah dipanggil lagi. Mau apa, sih, dokter ini?"Nama saya Putra. Semoga kita bisa bertemu kembali di masa depan."Dia mengulurkan tangan. Mengajakku untuk bersalaman. Beberapa detik aku menatap tangannya, aku langsung pergi begitu saja. Tidak peduli.Di dalam mobil, aku kembali menatap hasil tes DNA. Hasilnya adalah negatif. Struktur DNA 98% struktur berbeda.Benar dugaanku. Bayi itu bukan anak Mas Riky. Hanin hanya memanfaatkan Mas Riky saja."Kalian sama-sama kura
"Apa ini, Ria?" tanya Mama Mas Riky sambil menatapku."Sesuatu, Ma. Bisa dilihat dulu."Meskipun sedang kesal pada anaknya, Mama Mas Riky tetap mengangguk. Dia berjalan masuk ke dalam rumah."Apa itu isinya?" tanya Mas Riky sambil menghadangku.Aku mengangkat bahu. Pura-pura tidak peduli dengan pertanyaan Mas Riky barusan."Kamu mau lihat isinya apa, Mas? Yaudah, kita lihat di dalam nanti.""Awas aja kalo di dalamnya isinya aneh-aneh."Mas Riky langsung masuk, mengabaikanku yang masih berdiri di depan pintu."Betul kata Mas Riky. Kalau kamu aneh-aneh, aku gak akan pernah memaafkan kamu."Hanin berkacak pinggang di depanku. Menatap kesal."Lihatlah, dia yang membuat masalah duluan, dia yang mengancam."Mama tertawa pelan.
"Tapi, Mas—"Mas Riky tidak peduli. Dia tetap menyeret Hanin dan bayinya keluar dari rumah. Aku dan Mama ikut ke depan. Memperhatikan Mas Riky yang memarahi Hanin. Pria itu bilang dia menyesal sekali sudah menikahi Hanin. Namun, sampai di depan rumah, terdengar suara piring dan gelas jatuh. Mas Riky meninggalkan Hanin sendirian, berlari masuk ke dalam rumah. "Semuanya gara-gara kamu, Ria! Awas aja kamu!"Hanin mengusap pipinya. Dia terlihat kacau sekali. "Salah kamu sendiri. Jangan pernah menyalahkan orang lain. Karena pada intinya, semua rahasia akan terbongkar."Ah, senang sekali melihat Hanin seperti ini. Juga Mas Riky yang terlihat kecewa sekali. "Cucu laki-lakiku. Jangan pergi."Eh? Aku mengernyit menatap Mama mertua yang berlari memeluk bayi Hanin. Apa yang terjadi? Rambut Mama Mas Riky juga terlihat kacau sekali. Dia meraung-raung. Membuat Hanin kebingungan sendiri. Hanin tidak mau menyerahkan bayinya. Dia menoleh ke Mas Riky, kebingungan. "Cucuku. Jangan pergi, Sayang
"Kembali lagi saja dengan Riky. Aku mengalah untuk kamu."Penuh drama. Aku benar-benar muak melihatnya."Mau kalian memaksaku dengan harta, tidak akan pernah."Aku tersenyum tipis. Mengambil amplop di dalam tas. Kemudian menyodorkannya ke Mas Riky."Silakan datang ke sidang perceraian kita, Mas."Setelah mengatakan itu, aku beranjak. Tersenyum tipis ketika melihat wajah mereka yang kebingungan."Kamu serius menceraikanku, Ria?""Lalu, kamu bilang aku ini bercanda? Kamu bilang aku ini hanya menggertakmu? Kamu akan bilang aku masih berharap? Ah, tidak Mas."Aku meletakkan uang berwarna merah. "Lain kali, kamu ingat, Mas. Aku tidak pernah bermain-main dalam perkataan. Bukan kamu, labil."Setelah itu, aku berjalan pergi. Menunggu Mama di dalam mobil."Bagus, Sayang. Mama suka sama gaya kamu."Mobil mulai meninggalkan rumah makan. Aku mengembuskan napas pelan. Menyenderkan punggung ke sandaran kursi."Mamanya Mas Riky sakit jiwa, Ma.""Eh? Serius? Gara-gara cucu?"Aku mengangguk kecil."Ma
"Gak tahu malu. Kalo saya jadi Bu Ria, udah saya tendang orang kayak gitu sampai ke luar angkasa.""Eh, Ibu-ibu jangan banyak nyinyir, ya. Berita itu semua bohong. Dia cuma nyari pembelaan aja."Aku menatap tajam Hanin. Kalau ini buka di luar, sudah aku terkam dia. "Bohong gimana ceritanya, Bu Hanin? Setiap malam, saya itu lihat istrinya Bu Ria masuk ke rumah Bu Hanin. Jadi perempuan kok gitu."Untung saja Ibu-ibu perumahan tidak percaya dengan perkataan Hanin. "Ih, bukan saya yang rebut, Pak Riky yang mau sama saya. Ibu-ibu jangan bicara kayak gitu, dong."Hanin balik kanan. Dia sepertinya sudah kesal menanggapi perkataan ibu-ibu perumahan. "Ternyata, Bu Hanin selain perebut, juga penakut."Aku menggelengkan kepala. Tersenyum tipis. Benar-benar solidaritas tanpa batas. ***Ada yang mengetuk pintu rumah. Aku berdiri. Adel sedang makan malam. Entah siapa yang bertamu jam segini. "Mana Adel, Ria?" Aku menatap Mas Riky datar. Di belakangnya ada Hanin. Mereka sudah terang-terangan r
"Jangan teriak-teriak, Bang. Udah malam."Bang Ridwan sepertinya kalap sekali. Aku menggaruk ujung hidung. "Eh, ada Om Ridwan. Apa kabar, Om?" Kami berdua menoleh. Bang Ridwan yang awalnya ingin menonjol tembok batal. Dia menatap Adel. "Baik. Adel apa kabar?" Pasti Adel terbangun, karena berisik tadi. Aku duduk di kursi, menghela napas pelan. "Adel tidur lagi. Udah malam, Nak." Aku mengusap rambut Adel. Menyuruhnya kembali ke kamar. Adel menggelengkan kepala. Dia tidak mau. "Udah. Biarin aja."Setidaknya, Adel membuat Bang Ridwan tenang. Aku mengangkat bahu. Kembali menatap Adel. "Adel nonton televisi aja, deh, Ma. Mama pasti mau bicara sama Om Ridwan. Sekalian, Adel belum ngantuk."Aku mengangguk. "Ria."Mendengar panggilan Bang Ridwan, aku menoleh. Alisku bertaut. "Adel udah tahu?" bisik Bang Ridwan. "Udah." Aku menggumam pelan. "Serius?" "Iya, Bang. Adel udah tahu." Aku menyenderkan punggung ke sandaran kursi. Menghela napas pelan. Bang Ridwan masih saja memasang wa