"Saya mau bertemu dengan pimpinan perusahaan."
"Sebentar, Bu. Saya cek dulu."Sebenarnya, aku sudah mengenal pimpinan perusahaan Mas Riky. Namun, aku akan menemuinya disini sekarang. Beberapa detik menunggu. Akhirnya, aku diperbolehkan menemui pimpinan perusahaan. "Ah, Ria. Apa kabar?"Pria berjas hitam duduk di kursi kebanggaannya. Aku tersenyum tipis, mendekatinya."Baik, Bang. Ada yang mau Ria bicarakan."Bang Cakra—pria dengan wibawa tinggi yang sangat mengenalku. Ini benar-benar kesempatan bagus untuk membujuknya. "Silakan duduk."Meksipun sudah akrab, aku tetap menghormatinya. "Abang tahu apa yang mau kamu bicarakan, Ria."Pasti berita kemarin menyebar dengan cepat. Aku tersenyum kembali, urusanku akan semakin mudah. "Ini yang kamu mau, 'kan?"Bang Cakra menggeser dua lenbsr kertas. Aku langsung membukanya. Membaca dengan cepat. Surat yang benar-benar di luar dugaanku. Sudah aku bilang, urusan ini akan mudah. "Tidak perlu kamu datang kesini. Abang akan memproses semuanya."Ah, rasanya lega sekali. "Makasih, Bang. Ria gak tahu lagi mau balas apa kebaikan Abang kali ini."Bang Cakra tersenyum. "Cukup kamu bahagia aja. Sama anak kamu.""Makasi sekali lagi, Bang. Aku tunggu reaksi Mas Riky. Abang pokoknya harus videoin saat Abang kasih surat itu.""Pasti. Kalau itu yang buat kamu bahagia."Aku bergegas keluar ruangan. Sampai di lorong, tidak sengaja aku berpapasan dengan Mas Riky. Dia nengernyit melihatku. "Kamu ngapain disini?" Mas Riky langsung menghadangku. Bertanya. "Memangnya salah? Ini bukan kantor kamu. Gak ada hak untuk kamu larang-larang aku masuk kesini."Buru-buru aku berjalan meninggalkan Mas Riky yang masih kebingungan. Dia heran sekali sepertinya. "Siap-siap saja, Mas. Kamu berada di ujung kehancuran. Itu salah kamu sudah bermain-main denganku."***Di perjalanan, ponselku berdering. Dari Hanin. Sengaja aku tidak memblokir nomor Hanin. Ternyata, dia lebih dulu meneleponku. "Ada apa?""Kamu dimana? Aku mau ketemuan. Kita selesaikan masalah ini semua."Aku melirik jam tangan. Masih dua jam dari janjiku untuk ketemuan dengan mertua. Baiklah, aku ada waktu. "Oke. Dimana?"Hanin menyebutkan tempat. Aku langsung putar balik. Mungkin, wanita itu hanya ingin marah-marah. Ah, sudah bisa ditebak. Ada Hanin dan bayinya. Aku menghentikan langkah. Diam sejenak. Hanin. Wanita itu juga harus merasakan sakitnya. "Ada apa?"Aku meletakkan tas. Duduk di kursi. Kemudian memesan makanan. "Kamu gak pesan makanan?" tanyaku sambil mengambil tisu, membenarkan posisi duduk. Wanita di hadapanku menatap aneh. Dia sepertinya mulai curiga denganku. "Udah. Lagi nunggu."Oh. Aku menganggukkan kepala. Menatap ke arah lain. "Ada apa?" "Kenapa kamu membuat masalah kemarin? Mengacaukan semuanya? Kamu gak tahu, uang yang keluar kemarin itu banyak. Uang kamu saja tidak cukup."Aku tertawa mendengar perkataan Hanin. Ada-ada saja dia. "Uang? Uang aku justru lebih banyak dari uang kamu."Wajah Hanin memerah. Dia sepertinya malu mendengar perkataanku barusan. "Untuk apa kamu mengajakku datang kesini, kalau hanya untuk buang-buang waktu?" Sebeneranya, aku tidak tahan untuk tidak menjambak rambut Hanin. Ada rasa kesal. Ada rasa marah. Ah, campur aduk. "Aku mau minta uang ganti rugi."Hah?! Tidak salah? Aku tertawa mendengar perkataan Hanin. Wanita ini benar-benar tidak tahu malu. Wajahnya saja sok polos. Belum sempat aku mengatakan apa pun, makanan datang. "Pelan-pelan, dong. Masa sampai tumpah.""Aduh, maaf, Bu."Minuman tumpah ke pakaian Hanin. Aku tersenyum tipis. Menatap wanita tidak tahu malu itu. Hanin sibuk mengoceh. Dia membersihkan minuman dengan tisu. "Lengket semua lagi. Gimana, sih, pelayannya."Wanita itu berdiri. Dia bergegas ke kamar mandi. Meninggalkan anaknya di kereta bayi. Tadi, aku sempat berkompromi dengan pelayan rumah makan. Memberikannya uang, menyuruhnya untuk melakukan apa yang aku mau. "Jangan pernah bermain-main denganku, Hanin."Aku menatap bayi Hanin dan Mas Riky. Bayi yang menjadi bukti, kalau mereka sudah melakukan di luar batas. Dengan cepat, aku berdiri. Berjalan ke bayi Hanin."Maafkan Tante, Nak."***Jangan lupe like dan komen, yaa."Aduh, ngeselin banget, deh. Pakaian aku basah semua. Aku mau pulang aja. Urusan ganti rugi besok-besok."Hanin langsung mendorong kereta bayinya. Dia sama sekali tidak membayar makanannya.Aku menatap beberapa helai rambut yang ada di dalam plastik. Ya, aku akan melakukan tes DNA. Untuk membuktikan apakah benar bayi itu anak kandung Mas Riky.Ah, aku juga sempat memasukkan perekam suara di kereta bayi. Tersembunyi. Tidak akan ketahuan."Kamu lihat saja. Apa yang akan aku lakukan pada keluargamu nanti."***Sampai di rumah, aku mengernyit ketika melihat mobil Mas Riky terparkir di halaman depan. Mau apalagi dia kesini?"Ria. Ada yang mau aku bicarakan."Aku melirik Mas Riky tanpa minat. "Ada apa, Mas? Mau membahas apa yang sudah berlalu?"Mas Riky melempar kertas ke atas meja. Ah, kertas pemecatannya."Ini semua gara-gara kamu. Kamu yang ngadu ke kantor? Kamu yang buat aku dipecat?"Wajah Mas Riky memerah. Terlihat sekali, dia sedang menahan marah. Aku tersenyum tipis."Kesalahan kamu
"Wow. Ada pelakor rupanya."Aku menceletuk, sambil tertawa pelan. Sedangkan beberapa orang menoleh ke aku. "Serius, Bu Ria? Pelakor?"Kali ini, pandangan Hanin ke arahku. Dia menggeram pelan. Buru-buru mendekatiku. "Iya. Gak malu banget. Saya sampai kesal sendiri lihat orang ini."Tanganku ditarik Hanin. Kami menjauhi kerumunan. Aku menatap Hanin. Melipat kedua tangan di depan dada. Wanita ini benar-benar tidak tahu malu."Kenapa? Malu dibilang pelakor di depan banyak orang? Gimana kalau aku bilang, kamu yang rebut suami aku? Malunya berkali-kali lipat mungkin.""Diam kamu, Ria. Kebanyakan bicara. Awas aja kalau sampai semuanya tahu."Mendengar perkataan Hanin, aku tertawa. Tidak salah dia berkata seperti itu?Sebenarnya, aku juga ingin memberitahukan semuanya. Ah, tapi itu jadi tidak seru. Biarlah mereka tahu sendiri. Sedangkan aku, berjalan dengan rencanaku. "Meskipun aku gak kasih tahu semuanya sekarang, tapi akan ada saatnya semua orang tahu, kalau kamu yang merebut suamiku."
"Ngapain, sih, malam-malam nyuruh kesini? Kurang kerjaan?"Aku mendongak, mendapati Mas Riky. Pria itu melipat kedua tangan di depan dada. Pandanganku beralih ke meja Hanin. Eh? Kemana mereka? "Malah diam. Ngapain, Ria?" tanya Mas Riky kembali.Hanin dan pria itu tidak ada lagi. Padahal, aku hanya mengalihkan pandangan beberapa menit. "Gak jadi."Ah, ini benar-benar aneh. Tiba-tiba saja mereka menghilang. Atau—Hanin sudah tahu, kalau aku datang?Setelah membayar pesanan, aku menyuruh Mas Riky membawa barang-barang. "Kok banyak banget belanjanya? Kamu pakai uang siapa?"Aku menoleh ke pria itu. "Bukan urusan kamu."Masalah tadi, membuatku kesal. Harusnya, Mas Riky bisa tahu kelakuan Hanin. "Biar aku yang nyetir. Kalau kamu, lagi kayak gini, ngeri."Mataku membulat mendengarnya. Langsung masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang. "Nih, lihat. Kelakuan Hana."Akhirnya, aku memutuskan untuk memberitahukan Mas Riky, meskipun hanya foto. Dia memang harus tahu kelakuan si Hanin.Sebelum
"Kok aku tadi malam gak pulang ke rumah Hanin?"Aku menoleh. Mas Riky sedang mendumal sendirian. "Lupa ingatan kali kamu. Kamu ketiduran tadi malam."Mas Riky bersungut-sungut. Dia tampak sebal sekali. Berjalan meninggalkan dapur. "Ma, Papa mana?" "Udah kerja kayaknya, Sayang. Kamu duduk sini, sarapan." Adel mengangguk. Berjalan ke arahku. "Nanti Mama mau pergi lagi?" Aku terdiam mendengar pertanyaan Adel. Sebelum kasus perselingkuhan Mas Riky ini, aku memang jarang sekali keluar rumah. "Iya. Ada urusan sebentar. Nanti, Adel bareng Oma aja. Mama anterin nanti."Buru-buru aku mengambilkan Adel sarapan. Agar dia tidak banyak bertanya lagi. "Mama lagi ada masalah, ya? Atau berantem sama Papa?"Mendengar pertanyaan Adel, aku sedikit tersentak. Menggigit bibir, berusaha mencari jawaban yang tepat. "Enggak. Mama sama Papa lagi sibuk aja. Gak ada masalah apa-apa, kok."Adel masih menatapku tidak percaya. Dia mengambil piring yang aku sodorkan. Gantian aku menatap Adel. Anak perempu
"Kamu ngapain di kamar Mama? Bukannya mau ke kamar mandi, ya?"Aku menoleh, menatap Mama mertua yang tampak panik sendiri. Mama Mas Riky langsung menutup pintu kamar. Menatapku sambil berkacak pinggang. "Gak sopan kamu itu masuk ke dalam kamar Mama. Pantas saja Riky suka sama wanita lain."Mendengar itu, aku tertawa pelan. Orang yang aku kira baik dari keluarga Mas Riky, ternyata jahat. Ah, sedikit menyakitkan dari kenyataan ini. "Ngapain ketawa-tawa? Riky memang gak pantas sama kamu lagi.""Riky yang gak pantas sama saya, Bu. Lalu Ibu? Dengan entengnya, Ibu membela saya di depan mata saya sendiri. Mengkhianati di belakang. Wow. Benar-benar keluarga yang kompak."Tidak ada lagi panggilan Mama untuk wanita di hadapanku ini. Mama Mas Riky tampak terkejut mendengar perkataanku barusan. "Saya memang diduakan, Bu. Saya dikhianati oleh anak Ibu. Tapi saya tidak bodoh."Aku membuka pintu kamar Mama Mas Riky. "Dengan senyum bahagia berdiri. Ah, saya tahu. Wanita itu telah memberikan Ib
"Mama mau pergi lagi?" tanya Adel ketika melihatku mengambil tas."Sebentar doang, Sayang. Kamu langsung makan, ya."Aku mencium kening Adel sebelum pergi. Aku ingin memastikan kebenaran anaknya Hanin. Sampai di rumah sakit, aku langsung turun. Ini rumah sakit yang dibilang tetangga tadi. Setelah bertanya pada suster, aku langsung berjalan ke ruangan anaknya Hanin. "Ngapain kamu disini?"Eh? Aku menoleh. Mendapati Mas Riky yang melihatku heran. "Mas sendiri ngapain?" "Anakku sakit. Mana Adel?"Ah, aku punya ide bagus. Tanpa harus bertanya pada Hanin sendirian. "Jawab dulu, anak kamu sakit apa?"Demi mengecek semuanya, aku harus bertanya pada Mas Riky. Ini benar-benar menyebalkan. "Cuma demam. Mana Adel?" Kelihatan sekali, Mas Riky saya pada Adel. Berkali-kali dia bertanya mengenai Adel. "Di rumah. Yaudah, aku duluan."Aku berlalu dari hadapan Mas Riky. Tidak ke pintu keluar, tapi muter-muter dulu. Ini rumah sakit yang sama dengan aku melakukan tes DNA. Aku melirik ruangan la
"Mas Riky udah pergi, ya, Bi?" tanyaku sambil membuka pintu kamar pembantuku. "Udah, Bu. Barusan saja tadi."Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kembali menutup pintu kamar Bibi. Dengan langkah pelan, aku menuju kamar Adel. Menatap anak perempuanku itu. Dia sudah tidur. Aku mengulas senyum. Berjalan mendekat. "Adel apa kabar?" tanyaku pelan. Akhir-akhir ini, aku jarang sekali memperhatikan Adel. Terlalu sibuk mengurus urusan rumah tanggaku. Lupa, kalau Adel juga butuh kasih sayang. Aku mengusap kepala Adel. Mencium keningnya. "Gimana sekolah, Adel? Maaf, ya, Mama baru bisa sapa Adel sekarang. Baru bisa tanya kabar Adel sekarang."Maaf, Adel. Mama sudah tidak bisa lagi mempertahankan keluarga kita. Mama sudah memutuskan untuk berpisah dari Papa. Mataku sudah berkaca-kaca. Menggigit bibir, berusaha agar tidak menangis. "Mama sayang sama Adel. Selalu."***Aku menelepon Mas Riky. Tidak diangkat. Rencananya, hari ini aku akan memperlihatkan hasil rekaman CCTV di restoran. Kalau foto
"Hasil yang menarik."Aku menyunggingkan senyum. Menyimpan kertas hasil laboratorium itu ke dalam tas."Makasih, Pak. Saya permisi."Tanpa menoleh ke dokter yang menyebalkan itu, aku langsung keluar dari ruang laboratorium."Eh, tunggu."Baru saja satu langkah keluar dari ruangan. Aku sudah dipanggil lagi. Mau apa, sih, dokter ini?"Nama saya Putra. Semoga kita bisa bertemu kembali di masa depan."Dia mengulurkan tangan. Mengajakku untuk bersalaman. Beberapa detik aku menatap tangannya, aku langsung pergi begitu saja. Tidak peduli.Di dalam mobil, aku kembali menatap hasil tes DNA. Hasilnya adalah negatif. Struktur DNA 98% struktur berbeda.Benar dugaanku. Bayi itu bukan anak Mas Riky. Hanin hanya memanfaatkan Mas Riky saja."Kalian sama-sama kura