Share

Bab 6- Mencoba Berdamai

Jadwal keberangkatan kereta Ayah dan Ibu ke Jakarta pukul sepuluh malam ini. Setengah jam sebelum waktu keberangkatan kami telah sampai di Stasiun Tawang. Dari pada terburu-buru kata Ibu, jadi lebih baik berangkat lebih awal. 

Meskipun malam namun suasana stasiun cukup ramai. Beberapa calon penumpang juga tampak diantar oleh keluarganya. Para pedagang juga masih menjajakan dagangannya. 

"Nggak ada yang kelupaan kan, Yang? Tiket sudah di cek?" tanya Ayah pada Ibu.

"Sudah tak masukan tas kok, ini..." jawab ibu sambil menunjukan dua lembar tiket kereta yang diambilnya dari dalam tas.

"Jangan kebanyakan makan mie instan!" Celetuk Ayah tiba-tiba pindah haluan topik.

"Apa sih, Yah?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

"Ayah tadi lihat, lengkap bener koleksi mie instanmu. Koleksi itu perhiasan kek, ini koleksi kok mie instan," ejeknya sambil terkekeh.

"Susah dibilangi anakmu ini kok." Ibu turut memojokanku. Aku sendiri cuek bebek, lah gimana? Nyandu banget itu makanan instan. Hampir semua varian rasa mie instan sudah pernah aku coba.

"Nanti langsung ke rumah Yangti kan, Yah?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Nggak, nanti langsung ke rumah kita dulu. Besok baru ke rumah Yangtimu."

"Loh rumahnya sudah siap huni? Kok Ayah nggak bilang?" protesku.

"Sudah dong biar kejutan," jawab Ayah sambil mengedipkan matanya.

"Besok kalau Widuri ke Jakarta bebas mau diapain itu rumah," lanjutnya.

Yah, Ayah memang sempat bilang telah menyiapkan sebuah rumah yang akan ditempati oleh Ayah dan Ibu. Sebuah rumah sesuai dengan permintaanku katanya. Tapi aku tidak menduga akan siap secepat ini. Orang kaya memang bebas, kalau ada uang mudah diajak kompromi.

Sambil menunggu keberangkatan, kami memesan minuman di salah satu cafe yang terdapat di dalam stasiun . Ayah memesan kopi hitam, aku sendiri lebih suka kopi kekinian, sementara Ibu tetap setia dengan air mineralnya, lebih sehat katanya. 

Pelan-pelan Ayah menyeruput kopinya, sesekali ditiupnya agar lebih mudah di minum. "Kalau bisa besok akhir pekan Widuri nyusul ke Jakarta, ya!" 

Ku anggukan kepalaku, "Widuri usahakan, Yah," jawabku meski sedikit ragu.

"Tapi kalau belum siap, nggak harus akhir pekan besok, sesiapnya Widuri saja." Ayah sepertinya mengerti dengan keraguanku. 

Begitu sulit bagiku untuk mendekat ke mereka lagi, ingin rasanya memulai dari awal, mencoba berdamai dengan masa lalu, namun mengingat setiap perlakuan mereka ke Ibu dulu, masih saja terekam dengan jelas di otakku. 

Akhirnya waktu keberangkatan Ayah dan Ibu pun tiba. Sebelum masuk ke gerbong wanita yang telah melahirkanku itu  sempat memelukku. Ibu sempat membisikan kata maaf padaku, ibu selalu begitu, dia sering kali meminta maaf meskipun aku sendiri tak tahu salahnya apa. 

"Ibu nggak salah kenapa minta maaf?" tanyaku, sambil masih memeluknya. 

"Sepertinya keputusan Ibu membuatmu kecewa."

"Tidak Bu, tidak sama sekali, Widuri hanya perlu lebih legowo, jadi tolong Ibu jangan berpikir macam-macam!" sanggahku.

Setelah saling mengurai kata pamit. Aku melepas Ayah dan Ibu yang masuk ke dalam gerbong kereta. Sesekali mereka melambaikan tangan dari balik kaca gerbong, yang kubalas dengan lambaian tangan dan senyum haru. 

Ku pandang kereta yang membawa Ayah dan Ibu pergi. Melaju menjauh membawa harapan yang tersusun indah. Berharap semoga Ibu bisa mendapat kebahagiaan yang diinginkan di sisa hidupnya. Aku tidak boleh egois, sudah terlalu lama ibu tak perduli dengan dirinya sendiri, beliau terlalu sibuk dengan aku dan adikku, sudah selayaknya Ibu bahagia. 

Sepulang mengantar Ayah dan Ibu, susah tidurku kembali kambuh. Pikiranku melayang entah kemana. Hampir satu jam kusibukkan diri untuk menggosok kamar mandi, berharap agar kantuk segera datang namun sampai tengah malam pun, mataku masih saja betah melek. 

Saat ini aku butuh teman curhat, satu-satunya nama yang muncul di kepalaku, untuk mendengarkan keluh kesahku adalah Mbak Mira. Tanpa pikir panjang langsung kuraih ponsel di atas meja. Kuhubungi Mbak Mira, tidak perduli meski waktu sudah lewat tengah malam. 

Sekali panggilan tak juga diangkat, kebo bener tidurnya. Tidak putus asa kucoba lagi menghubungi Mbak Mira. 

"Hmmm, halo siapa ini?" Akhirnya panggilanku diangkat meskipun terdengar malas-malasan. 

"Astaga orang ini, ada apa? Sampai-sampai mendadak amnesia," sindirku. 

"Eeelaaah kamu to Wid, Wid Wid pinter banget kamu ya, nelpon tengah malem nggak tahu apa aku lagi tanggung."

"Tanggung ngapain, Mbak?" 

"Susahnya ngobrol dengan anak perawan gini ini, sinyalnya ndlup ndlup loodingnya lama." Apaan coba sinyalku ndlup-ndlup. 

"Aku mau curhat kok, Mbak, rungokno yoo, nggak bisa tidur aku harus ngomong dulu!" pintaku sedikit memaksa.

"Nggak, nggak, besok saja di kantor! Ganggu saja." 

"Nggak bisa Mbak, harus sekarang kalau nggak ngomong nggak bisa tidur aku."

"Halah, iyoo iyoo ngomongoo, tak rungokno." Mba Mira akhirnya mau mengalah. 

Mulai ku ungkapkan semua, segala kekhawatiran yang ada di hatiku. Ketidak relaanku melepas Ibuku kembali ke sisi Ayah. Ketakutan peristiwa yang dulu dialami Ibuku terjadi lagi. Mbak Mira dengan setia mendengarkan keluh kesahku, sampai akhirnya aku terdiam, karena merasa sedikit lega setelah mengeluarkan semua unek-unekku."

"Wid, belajar ikhlas memang sulit." Ku siapkan diri mendengar untaian nasihat yang aku yakin kali ini panjang. 

"Tapi akan lega jika kita sudah melakukannya," lanjut Mbak Mira, tanpa sadar kuanggukan kepalaku meskipun kutahu Mbak Mira tidak akan tahu. 

"Kamu kan tahu mbak pernah kehilangan Nawang, seperti apa donenya mbak waktu itu." Nawang adalah anak pertama Mbak Mira yang telah ditunggu kehadirannya selama tujuh tahun, namun meninggal di dalam kandungan saat usia kehamilannya delapan bulan. 

"Saat itu semua terasa salah menurut Mbak, tidak adil rasanya, sampai mbak merasa cukup untuk menangisi keadaan, mbak belajar ikhlas, dan Allah menghadiahi kami kado terindah langsung dua kan, Wid." Yah, Mbak Mira sekarang dikaruniai sepasang anak kembar yang lucu-lucu. Mungkin itu juga buah keikhlasan Mba Mira. 

"Mereka hadir saat Mbak benar-benar ikhlas, Wid." Aku menyimak apa yang diucapkan Mbak Mira dengan baik, Mbak Mira memang teman curhat yang tepat, suasana hatiku yang awalnya tak menentu, mulai tenang. 

"Wooooy... Wid, Wid kamu nggak ketiduran to? Diem aja dari tadi." Mba Mira sedikit berteriak mengejutkanku. 

"Nggak Mbak, ya elaaah kupingku masih normal kali Mba, nggak usah teriak-teriak gitu," jawabku. 

"Ya kamu diam saja, tak kiro turu, piye wes lego durung?" 

"Iya Mba Mir, makasih ya nasihatnya." 

"Kamu hanya butuh memulai, Wid, memulai untuk ikhlas, pelan-pelan saja. Tidur gih, Wid! Kamu pasti belum tidur dari tadi kan?" 

"Iya belum, Mbak Mira juga tidur lagi, maaf ya Widuri ganggu tidurnya." 

"Siapa bilang Mbak mau tidur, ini mau melanjutakan kegiatan tadi, kebangeten kamu memang, nggak tahu apa lagi nanggung." 

"Memang Mbak Mira mau ngapain?" godaku mulai paham maksud Mbak Mira. 

"Serangan fajar!" jawab Mba Mira sambil tertawa ngakak. 

"Idiiih ngeri, siapa yang mau diserang?" 

"Halaaah anak perawan nggak perlu tahu, sana tidur saja, ojo lali peluk gulingnya!" 

Akhirnya aku bisa tertawa, Mbak Mira benar-benar berhasil mengembalikan moodku yang sempat anjlok. 

"Sampai jumpa besok ya, Mbak, makasih sesi curhatnya." 

"Yooo ojo lali sesuk traktir aku!"

"Siap, mie ayam yo." 

"Halah mie ayam, pelitnya anak inii," protesnya di seberang sana, aku hanya menjawabnya dengan gelakan tawaku, setelahnya  kuakhiri sesi curhat kami malam ini. 

Sedikit lega setelah mengeluarkan unek-unekku, sampai akhirnya aku berhasil terlelap, melupakan segala gundah hati, mencoba menjalin harapan-harapan indah meskipun dalam mimpi, karena kenyataannya aku belum berani jauh berharap di kehidupan nyata. 

****

Pagi harinya aku ke kantor seperti biasa. Sampai di kantor belum banyak  pegawai yang datang, termasuk Mbak Mira. Setelah absen aku segera menuju meja kerjaku, ku ambil gawaiku untuk melakukan vidio call dengan ibuku. Tak berselang lama wajah cantik Ibu muncul di layar gawaiku. 

"Assalamualikum, Nduk, sudah di kantor? Pagi sekali," tanya Ibu.

"W*'alaikumsalam, Bu. Iya ini sudah di kantor, baru saja sampai, Ibu apa kabar?"

"Alhamdulillah, Ibu sampai jam empatan tadi, ini lagi buat kopi buat Ayahmu." Tak berselang lama layar gawaiku di penuhi oleh wajah ayah. 

"Halo Nak, sudah sarapan belum?" sapa Ayah yang kelihatannya baru saja mandi dilihat dari rambutnya yang masih basah. 

"Belum, Yah," jawabku sambil nyengir. 

"Sarapan penting, Nak, jangan ditinggalkan!" pesan Ayah, yang kujawab dengan anggukan kepala. 

"Taman-teman Widuri sudah mulai banyak yang datang ini, Yah. Widuri tutup dulu ya? Nanti Widuri hubungi lagi."

"Ok selamat bekerja ya, Nak," kata ayah sambil melambaikan tangannya, lalu mengarahkan gawai ke arah ibu yang juga otomatis melambaikan tangannya. 

Setelah mengucapkan salam kututup gawaiku, lalu kuletakan di atas meja. Saat hendak membuka leptop, aku dikejutkan dengan kehadiran Mas Dika di depan mejaku. 

"Belum sarapan kan, Beb? Ini Mamas Dika bawakan sarapan, bubur ayam kesukaan kamu." Mas Dika mengangkat bungkusan plastik berisi bubur ayam ke hadapanku.

"Mas Dika nggak usah repot-repot!" Aku merasa nggak enak, karena terlalu sering Mas Dika membawakan makan untukku. 

"Nggak ada yang repot kalau untuk kamu." kata Mas Dika sambil mengedipkan satu matanya, "Nanti makan siang bareng ya?" 

"Nggak, nggak, nggak! Widuri nanti mau traktir aku." Mba Mira yang baru datang langsung saja ikut nimbrung. 

"Nanti biar aku yang traktir, Mbak." Mas Dika masih tetap usaha. 

"No way! Ada hal penting yang mau kami bahas, hanya konsumsi mahluk bergincu, yang berjakun dilarang mendekat." 

"Zoo zooo lain kali ya, Beb," tawar Mas Dika, sementara aku hanya tersenyum. 

Setelah Mas Dika pamit ke ruangannya, Mba Mira kembali mendekat padaku. 

"Kamu harus tegas sama Dika, Wid. Kalau mau ya mau, kalau tidak mau ya tidak, jangan digantung."

"Aku sudah pernah bilang ke Mas Dika, jangan terlalu berharap padaku, jangan menungguku, malah jawabnya sebelum janur kuning melengkung, dia akan tetap berusaha." sudah berulang kali sebenarnya aku menolak Mas Dika, tapi orangnya benar-benar keras kepala. 

"Berarti kamu harus cepet-cepet melengkungin janur, Wid." Aku langsung ngakak mendengar saran Mbak Mira. 

"Aku bahkan sudah bilang takut bikin Mas Dika kecewa, kalau nanti aku berjodoh dengan orang lain, eh malah Mas Dika jawabnya, kalau janurnya terlanjur melengkung ijinkan mamas meluruskan lagi ya beb, gila kan?" 

"Gila, gila," kata Mba Mira sambil ngakak, "Tapi ini bubur ayam enak wid, beli di mana ya si Dika?" Deperti pagi-pagi yang lalu, kali ini pun bubur ayam pemberian Mas Dika berakhir di perut Mba Mira. 

Maafkan aku Mas Dika. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status