"Fabian, kamu serius ingin menikah? Wanita seperti apa yang ingin kau nikahi? Ayah dan ibu tidak ingin kamu salah pilih. Jangan bilang kamu ingin menikahi wanita yang berpakaian kurang bahan dan matre itu! Ayah tidak akan pernah setuju!"Fabian tersenyum. "Kalau ayah dan ibu ingin tahu seperti apa calon istriku, sebaiknya kita datang kesana dan lamarkan dia untukku, Yah!" tukas Fabian."Oke," sahut ayah. Ada rasa penasaran dalam hatinya. Pasalnya rumah Unggul Adiningrat yang tadinya hanya berpenghuni sang pelayanannya saja, kenapa tiba-tiba ada orang lain?Fabian mencari sarapan di luar kompleks perumahannya. Tak gengsi, dia hanya membeli makanan di gerobak pinggir jalan. Nasi uduk plus sate telur puyuh, serta tempe goreng mendoan menjadi pilihannya saat ini.Mereka bertiga menikmati makanan yang sederhana itu. Biarpun sudah menjadi orang kaya, tapi kebiasaan-kebiasaannya yang dulu tak mudah hilang begitu saja.Usai sarapan bersama, Fabian mengajak kedua orang tuanya bertandang ke rum
Part 38 spesial POV dokter Ardhy"Aku sangat merindukanmu, Arini. Apa kamu merasakan hal yang sama sepertiku?" "Eh?""Jawab aku Arini, agar aku bisa memutuskan semuanya."***"Bagaimana menurutmu dengan gadis ini? Cantik 'kan?" Tiba-tiba ibu menyodorkanku sebuah foto gadis berjilbab, entah siapa, tapi sekilas saja melihat foto itu, akupun mengakui kalau senyumannya memang manis.Aku yang tengah berjibaku di depan layar laptop langsung menoleh. Ibu tersenyum, lalu mengisik punggungku. "Ayah mau bicara padamu, Ardhy. Beliau menunggu di ruang keluarga," ujar ibu kembali."Iya, Bu. Tunggu sebentar aku matiin laptopku dulu.""Iya sayang."Sudah sejak lama ayah dan ibu menanyakanku perihal pernikahan. Apakah kali ini juga sama? Apa memang mereka tengah merencanakan sesuatu?Aku memang selalu menolak untuk menikah cepat karena aku masih menunggu Arini. Tapi kali ini dia makin jauh dariku. Hingga hatiku mulai meragu. Masih adakah kesempatanku untuk bersamanya, apalagi setelah ia jelas-jelas
Part 39*Note : Untuk part 37-39 ini part sebelum Tiar & El datang kembali ke Solo ya.*"Bian, ayo antar aku! Nih kunci mobilku, kau yang bawa!""Haish!"Aku berjalan mendahuluinya dengan gejolak hati yang tak menentu. Arini kembali menolakku dan dia ...***"Kau jatuh cinta sama Arini?" tanyaku saat kami sampai di Bandara. Kuberanikan diri untuk bertanya meski jawabannya nanti cukup menyakitkan.Fabian hanya nyengir. "Kenapa? Apa tak boleh? Memangnya hanya kamu yang boleh jatuh cinta sama dia? Mending kau urus om dan calon tunanganmu itu, okey! Arini biar sama aku," ucapnya sembari menepuk-nepuk pundakku. Dia berlalu begitu saja sambil bersiul riang."Tunggu, Bian!"Spontanitas dia berhenti. "Ada apa? Ardhy yang seorang penurut tidak mungkin jadi seorang pembangkang hanya gara-gara wanita kan?" "Bukankah kau tahu aku mencintai Arini, Bian, kenapa kau tega menusukku dari belakang?"Fabian kembali menghampiriku dan langkahnya mengelilingiku."Menusuk? Apa kau berdarah? Apa kau terluka
"Oh iya, Ardhy, Marina, ini Arini calonnya Fabian. Doakan saja mereka biar segera menyusul kalian."Deg! Aku terkejut mendengar ucapan Pak Harish, sedangkan anaknya hanya tersenyum. Aku hanya tertunduk, tak mampu melihat ekspresi Mas Ardhy. Meski dalam keadaan canggung, kami menikmati makan bersama. "Selamat ya atas pertunangan kalian," ucapku."Terima kasih ya, Mbak Arini," sahut Marina. Senyumannya memang sangat manis, pantas saja akhirnya Mas Ardhy menyetujui perjodohan itu. Mereka terlihat sangat serasi. "Sudah jangan terlalu dipikirkan lagi, doakan saja yang terbaik untuk Ardhy. Bukankah kita juga sudah menemukan jodoh masing-masing?" Deg! Aku menoleh melihat Fabian tiba-tiba berada di belakangku. Saat ini aku tengah mencuci tangan di westafel. Hanya helaan napasku yang terdengar. "Ardhy dan Marina, lalu kau dan aku. Bukankah kita cocok?" tanyanya lagi sambil menaik-turunkan alisnya. Dia memang semenyebalkan itu.Aku hendak kembali menemui ibu yang tengah berbincang dengan or
"Mas, perutku sakit banget ..." ucap Elvina."Sakit? Emangnya obat apa yang kamu masukkan ke makanan? Bukannya obat tidur?"Elvina menggeleng. "Obat buat bikin sakit perut dan diare, Mas.""Astaga. Kenapa?""Aku cuma ingin Arini yang disalahkan, eh malah aku yang kena sendiri.""Udah tau senjata makan tuan kenapa malah nekat makan makanan itu? Bukankah kamu tahu sendiri resikonya seperti apa?""Ya, tapi aku kan gak mungkin mengakui tuduhan Arini di depan ibu, Mas! Bisa gagal rencana kita.""Kita memang sudah gagal El, kamu sih gak hati-hati. Arini itu cerdas gak seperti cewek-cewek kampung lainnya.""Duh, gimana dong Mas, perutku sakit banget."Aku menghela nafas dalam-dalam. "Mau ke dokter?"Elvina menggeleng perlahan. "Nanti ketahuan sama Arini gimana?""Ah kamu ini gimana sih, El. Gak usah bilang-bilang mau ke dokter lah, bilang aja mau jalan-jalan.""Mas, carikan daun jambu biji aja, sama buatkan aku oralit. Nanti kalau sampai besok gak sembuh, baru deh ke dokter.""Ya sudah, kau
"Tiar, kau sedang cari apa di kamar ibu?""I-ibuu ...?!""Ada apa, Bu?" tanyaku saat menyusul ke kamarnya, kami belum jadi berangkat karena kata ibu ada yang ketinggalan. Dan melihat Mas Tiar berada di sana dengan map di tangannya. Oh kena kau, Mas! Kamu ketahuan! Aku tersenyum kecil. Beginilah aslimu, Mas. Mengejar ibu sampai ke sini hanya karena harta warisan. Astaghfirullah.Ibu langsung mengambil map di tangan Tiar. Lelaki itu hanya termenung tanpa bisa berkata-kata."Kita akan bicara setelah ibu pulang kembali, Tiar!" tukas ibu tegas. Dia memang tak marah hanya terlihat kecewa pada anak kandungnya sendiri. "Ayo kita ke Rumah Sakit, Arini!" ajak ibu. Dari nada suaranya yang ketus tersirat kekecewaan yang begitu dalam.Aku mengangguk dan mengikuti langkah ibu. ***"Tenang saja, aku akan membantumu menggagalkan rencananya, tak perlu syarat apapun juga, bukankah cinta itu tak bersyarat?" ucap Fabian.Aku hanya diam saja. Semenjak dia masuk ke kehidupanku, semuanya berbeda. "Oh ya
Part 43"Baguslah kalau ibu sadar diri. Lagian untuk apa ibu tinggal bermewah-mewah, ibu kan sudah bau tanah. Dan ya, yang lebih penting lagi, bersiap-siaplah kalian untuk keluar dari rumah ini!" tukas Elvina. Aku yang mendengarnya saja jadi tak enak pada ibu, dia terlalu sadis."Pergilah, dasar anak dan menantu durhaka!" Ibu begitu marah mengatakannya."Ayo, Mas! Kita pulang. Yang penting kita sudah mendapatkan ini."Elvina langsung menarik tanganku. Masuk ke dalam kamar dan membawa koper yang sudah kami siapkan sebelumnya. Rencananya memang dapat atau tidaknya sertifikat itu, kami akan pulang ke Jakarta.Aku membuka map itu dan tersenyum penuh kemenangan. Ah, memang ibuku itu sangatlah baik.Malam itu juga kami bertolak pulang kembali ke kota. "Mas, aku senang banget deh. Kita akan kaya, Mas!" ujar Elvina sepanjang jalan."Hahaha kau benar, El. Tak sia-sia juga kita bertandang ke Solo." Akhirnya akupun mengakui ide cemerlang El."Kamu sih, keturunan konglomerat kok gak nyadar!""Ya
Part 44Tiba-tiba Elvina menangis dan tertawa secara bersamaan, mirip orang dengan gangguan jiwa. Astaga, kenapa dia? "Kita gak jadi kaya. Hahaha." "El, kamu kenapa? El?!" Kutepuk pipinya tapi justru dia menangis. Astaga, kenapa dengan istriku? Kok tiba-tiba berubah begini?Aku jadi makin panik dengan tingkah, segitu terguncangnya kah dia sampai jadi seperti orang stress begini?"El, Sadarlah, El!""Mas, kapan kita kaya? Kamu sudah janji lho sama aku, mau bahagiakan aku! Hahahaha ... Kita kapan kaya, Mas?!" Kali ini dia tertawa lagi."Elvina!!" bentakku. Dia seolah tak peduli dengan bentakanku. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Aku jadi ngeri sendiri, jangan-jangan Elvina jadi stress dan depresi karena masalah ini? Masih kuperhatikan tingkahnya itu. Kadang tertawa dan juga menangis. "Mas, kita kaya kan? Kamu kan keturunan konglomerat! Kita gak boleh miskin!" pungkasnya lagi, nada suaranya persis seperti orang linglung.Astaghfirullah ... El, kamu kenapa? Segitu besarnya k