Share

LELANG PENGANTIN
LELANG PENGANTIN
Penulis: Dee Circle

Bab 1. Pelelangan

“Pelelangan?” Alan langsung merasa tertarik saat pagi itu Mr. Handoko mengajaknya ke salah satu pelelangan paling menarik yang pernah ada. Setidaknya begitu yang rekan bisnisnya itu katakan.

"Ya. Percayalah, anda tidak akan kecewa dalam pelelangan kali ini. Ini adalah yang paling istimewa, sedikit tersembunyi dan primitif. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahuinya." Lelaki itu terkekeh sambil mengedipkan sebelah matanya menggoda. Membuat Alan merasa semakin penasaran.

“Well, Ok. Aku pikir itu cukup menarik untuk menghabiskan waktu kita hari ini. Aku sudah merasa cukup puas dengan pantai dan pertunjukan seni yang anda persiapkan dalam dua hari ke belakang." Alan mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mempertimbangkan. Tidak ada salahnya ia ikut. Lagi pula itu tidak akan memakan waktu terlalu lama. Sore nanti ia akan kembali ke New York dan meninggalkan pulau yang dikenal dengan titisan surga ini.

"Itu adalah jawaban yang aku inginkan, Mr. Sander. Anda tidak akan menyesal. Aku jamin itu." Mr. Handoko menepuk bahu Alan berlagak akrab.

Sebenarnya Alan tidak terlalu suka dengan sikapnya itu, ia selalu menjaga jarak dengan rekan bisnisnya agar tidak terlalu akrab. Menurut pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai seorang pebisnis, banyak yang mengambil kesempatan saat ia terlalu membuka diri.

Namun Alan akan mengabaikannya kali ini. Lagi pula, selama ini Mr. Handoko sudah membuatnya merasa sangat puas dengan kerja sama bisnis mereka.

"Jadi, perlelangan apa ini sebenarnya? Perhiasan? Properti? Atau mungkin ...” Alan memberikan jeda di antara kalimatnya sejenak. Ia memperhatikan raut wajah Mr. Handoko yang sejak tadi hanya memberikan cengiran penuh misteri.

“Perlelangan sebuah pulau?” tebaknya kemudian.

Indonesia marak dengan berbagai berita tentang penjualan pulau-pulau mereka belakangan ini. Sebagai pebisnis, ia pasti akan sangat tertarik jika ada yang menawarkan hal itu padanya. Terlebih, bisnis pariwisata di Indonesia juga cukup menjanjikan.

Bahkan jika harus menjadikan pulau itu sebagai pulau pribadi pun, Alan sama sekali tidak keberatan. Memiliki Villa pribadi di surga dunia ini tetap saja tidak merugikannya.

Mr. Handoko tergelak keras saat mendengar tebakannya. “Mr. Sander, tidak perlu diragukan lagi bahwa otak anda memang otak bisnis.Tapi kali ini, aku akan membawa anda pada sesuatu yang jauh dari ekspektasi. Nanti Anda sendiri yang akan memutuskan sejauh apa pelelangan ini bisa dikatakan menarik, bahkan fantastis," ujar Mr. Handoko yang berhasil membuat rasa penasaran Alan menjadi semakin tinggi.

“Ok. Ayo kita pergi. Bawa aku kesana. Kita akan melihat sehebat apa pelelangan yang anda katakan ini."

“Ini tidak akan mengecewakan. Aku janji. Anda akan menyukainya.” Mr. Handoko kembali memberikan kedipan menggoda untuknya. Lalu mereka berjalan menuju pintu keluar restoran di mana keduanya baru saja menyelesaikan sarapan.

***

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh dengan mobil landrover defender yang disediakan Mr. Handoko, ternyata mereka juga harus menyeberangi pulau dengan sebuah yatch, hingga akhirnya tiba di sebuah alun-alun desa yang dipadati para manusia.

Alan memperhatikan keadaan sekitar. Banyak orang yang terlihat berbicara dan tertawa dengan rekan-rekan satu kelompoknya. Ada juga yang datang sendirian atau berdua. Tidak hanya para pria, namun para wanita juga terlihat memenuhi area tersebut. Walaupun hanya satu dua orang. Menandakan pelelangan itu bukanlah pelelangan yang bisa menarik minat para wanita.

Alan kembali memperhatikan wajah-wajah yang hadir. Bukan saja para pribumi yang memenuhi alun-alun titu, beberapa pendatang manca negara seperti dirinya juga ikut hadir.

"Mungkin memang seperti yang dikatakan Handoko, pelelangan misterius ini memang ekslusif, hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu." pikir Alan.

Aroma parfume dari berbagai kualitas, dari yang murah hingga mewah, serta bau tembakau menyengat memenuhi udara di sekitarnya. Ini benar-benar hari yang panas.

Sekali lagi Alan mengernyit, "orang-orang tertentu ini jelas bukan hanya datang dari kalangan kaum Borjuis," pikirnya lagi.

Pandangan Alan tertuju ke arah tengah alun-alun kota, di mana sebuah panggung sederhana yang terbuat dari kayu dan papan berdiri dengan dekorasi seadanya. Benar-benar seadanya.

Seperti kata Mr. Handoko, ini jauh dari ekspektasi Alan tentang sebuah pelelangan. Ia pikir, mereka akan melakukannya di dalam sebuah ruangan tertutup. Seperti itu lah pelelangan yang biasanya Alan hadiri.

“Pelelangan itu dilakukan di sini?” tanya Alan pada lelaki berusia sekitar pertengahan empat puluh tahunan di sampingnya itu.

Sejak setahun yang lalu, Alan Sander dan Segara Handoko menjalin kerja sama bisnis perhotelan di Bali. Dan sejauh ini itu cukup menguntungkan. Mr. Handoko tidak pernah mengecewakannya. Ia berharap kali ini juga tidak.

“Ya. Tidak akan lama lagi akan dimulai.” Mr. Handoko mengangguk sambil terus menatap lurus ke arah panggung. Matanya penuh binar yang ... entahlah, menurut Alan malah terlihat terlalu bersemangat kali ini.

“Itu, acaranya akan segera dimulai.” ucap Mr. Handoko lagi sambil menegak minuman mineral dari botol yang mereka beli begitu tiba di tempat ini tadi.

Cuaca memang sangat panas hari ini. Langit terlihat sangat cerah tanpa sedikit pun awan yang membayangi. Ditambah dengan hawa laut yang berhasil membuat warna kulitnya memerah setelah tiga hari berada di negara ini.

Walau sudah beberapa kali mengunjungi Indonesia, Alan masih saja kesulitan untuk beradaptasi dengan panasnya udara tropis negara ini. Walaupun, ya, dia memang menyukainya. Pemandangan alamnya luar biasa. Belum lagi budaya yang mereka miliki.

Alan menoleh ke arah panggung yang kini telah diisi oleh seorang presenter lelaki yang membuka pelelangan. Seorang lelaki bertubuh agak gemuk dengan pipi memerah bagai buah tomat masak. Cuaca panas ternyata juga mempengaruhinya.

“Selamat siang dan selamat datang, tuan dan nyonya. Hari ini kami hadir kembali dengan gadis-gadis menawan yang tentu saja tidak akan pernah mengecewakan Anda. Semua gadis yang akan dilelang hari ini telah melewati seleksi ketat sehingga kami bisa memberikan kualitas super pada Anda semua. Tentu saja, seperti yang selalu kami usahakan.” Lelaki di atas pentas itu membuka acara.

Alan sungguh tidak dapat mempercayai pendengarannya. Pelelangan gadis? Yang benar saja!

Ia menatap tajam ke arah Mr. Handoko yang saat ini masih terlihat antusias memperhatikan panggung. Ia kembali membawa botol minuman di tangannya ke mulut, lalu meneguk beberapa tegukan.

“Pelelangan manusia?” tanya Alan menunggu penjelasan dari rekan bisnisnya itu.

Mr. Handoko meliriknya sekilas sambil memberikan cengiran puas. “Ya, Sir. Dan yang pasti, mereka bukan gadis sembarangan. Mereka masih virgin dan bisa melakukan pekerjaan rumah tangga dengan sangat baik. Tidak hanya itu, aku dengar mereka juga bisa memuaskan Anda di atas ranjang dengan sangat baik."

What? Apa-apaan ini?

"Jika anda perlu simpanan, mereka adalah pilihan terbaik." lanjut Mr. Handoko lagi dengan senyum lebar di bibirnya. Lalu mengedipkan sebelah matanya nakal.

Ini gila! Pelelangan manusia? Bagaimana mungkin ini terjadi di masa sekarang?

Sementara Alan sibuk dengan pikirannya, di depan sana sang presenter sedang melelang gadis ke dua setelah yang pertama berhasil terjual pada salah seorang wisatawan asing. Entah bagaimana nasib mereka setelah itu.

Bahkan bagi Alan yang bisa dibilang jauh dari kata suci pun, hal ini tetap saja keterlaluan dan tidak dapat diterima!

***

Meyra Gharvita menatap kerumunan orang-orang di hadapannya dengan gugup. Setelah giliran gadis yang saat ini sedang dipuja-puji oleh sang presenter di atas pentas itu, maka selanjutnya adalah gilirannya.

Akhirnya hari ini tiba. Ia sudah mempersiapkan diri selama berminggu-minggu untuk hari ini. Berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dalam memasak dengan susah payah.

Memasak adalah kelemahan Meyra. Ia cukup cekatan dalam bersih-bersih. Demikian juga dengan berburu dan berenang. Namun untuk urusan dapur, ia angkat tangan.

"Memasak adalah kuncinya. Banyak yang tertarik untuk membayarmu tinggi jika kau ahli mengolah makanan dengan baik." Demikian kata Nyonya Kartika, agen pelelangan ini.

Setelah kehilangan kedua orang tua dalam kecelakaan saat ia berumur sepuluh tahun, Meyra dibesarkan oleh neneknya. Ia hanya menamatkan sekolah menengah atas. Namun, memiliki kehidupan yang lebih baik selalu menjadi keinginan terbesarnya. Hanya saja, keadaan mengekangnya di pulau ini hingga ia berumur dua puluh lima tahun.

Di pulau Lemuri, yang bahkan tidak terlihat di dalam peta.

Mereka yang berada di sini awalnya adalah orang-orang buangan atau pelarian. Baik dari Indonesia sendiri, atau dari beberapa negara tetangga seperti Australia, Malaysia, Thailand, dan Selandia Baru.

Tidak heran, jika wajah-wajah penduduk di sini juga beragam. Seperti dirinya, wajah Indonesianya termasuk cukup kental, dengan kulit eksotis seperti warna madu yang menjadi daya tarik tersendiri. Namun, postur tubuhnya bisa dikatakan cukup tinggi untuk ukuran pribumi.

Neneknya adalah peranakan Australia dan Sumatera. Ia mendapatkan postur tinggi dari sang nenek. Begitu pula dengan ayahnya. Sedangkan Ibunya, Meyra ingat ia adalah wanita lembut bertubuh mungil.

Tahun lalu, neneknya meninggalkannya untuk selamanya. Selama ini, ia tidak bisa meninggalkan tempat ini semata-mata karena baktinya pada sang nenek. Ia tidak mungkin meninggal neneknya sendirian. Mereka hanya memiliki satu sama lain di dunia ini.

Walau neneknya selalu mengatakan agar ia pergi kemanapun yang ia inginkan, namun Meyra hanya akan pergi jika itu bersama neneknya.

Saat ini, ia akan pergi dengan kenangan sang nenek yang akan ia bawa sampai mati.

Sekarang waktunya, Meyra akan meninggalkan pulau Lemuri ini.

Saat ia mendaftar dalam pelelangan ini, banyak terdengar cemoohan yang mengatakan bawah dirinya tidak pantas. Tidak akan ada lelaki atau keluarga terhormat yang menginginkan dirinya jika ia tidak bisa memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga.

"Mereka menginginkan seorang wanita yang lemah lembut dan penurut." Begitu yang mereka katakan.

"Meyra bahkan tidak bisa mengangguk tanpa membantah ketika dinasehati. Kalaupun ada yang menginginkannya, ia pasti akan dibayar dengan harga paling murah." cemoohan lainnya juga kerap terdengar. Diikuti dengan tawa mengejek dari yang mendengar.

Meyra tidak peduli. Terserah mereka mau mengatakan apa. Yang pasti, ia akan keluar dari pulau ini bagaimanapun juga.

"Selanjutnya, Nona Meyra Gharvita."

Meyra mendengar namanya dipanggil, dan debaran jantungnya menjadi semakin cepat.

Setelah menarik napas dalam, ia mengangguk mantap dan melangkahkan kakinya menuju ke tengah panggung. Ia membusungkan dada dan menatap lurus ke arah kerumunan.

Saat itulah, matanya tertuju pada sepasang mata tajam seorang pria asing yang berada di barisan paling belakang. Pandangannya mereka saling mengikat, terpaku satu sama lain untuk beberapa saat.

Siapa dia?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status