Ki Santa masih tersenyum tipis melihat tindakan yang dilakukan oleh Galuh Tapa, dia ingin melihat apakah pemuda itu sanggup menarik pedang di batang lehernya sendiri.
Namun, rupanya Galuh Tapa tidak main-main dengan ucpannya, tangannya mulai menarik pedang itu, hingga setetes darah telah keluar dari luka yang dia buat.
Ketika Galuh Tapa menutup mata, dan ingin membuktikan kepada Ki Santa bahwa tekadnya begitu kuat, pria tua itu segera menghentikan tangan Galuh Tapa.
"Cukup, hentikan!" ucap Ki Santa, "Kau sudah menunjukan kebulatan tekad, memang benar aku menginginkan kehidupanmu, tapi bukan nyawamu."
Galuh Tapa menatap Ki Santa dengan penuh makna, ada banyak pertanyaan di benaknya, yang tidak dapat diungkapkan satu persatu.
"Menyerahkan hidupmu padaku, bukan berarti kau harus mati, anak muda," ucap Galuh Tapa. "Tapi pemaknaan yang lebih dalam, aku ingin membuat dirimu tunduk pada aturanku, tunduk pada semua perintah dan nasehat yang akan kuajarkan kepadamu. Namun, melihat tekadmu yang begitu besar, aku yakin kau bisa memenuhi syarat yang kuberikan."
"Apakah, Ki Santa menerimaku?" tanya Galuh Tapa.
"Aku menerimamu menjadi muridku," jawab Ki Santa.
Mendengar hal itu, betapa senangnya perasaan Galuh Tapa saat ini. Dengan segenap jiwa raga, dia membungkuk untuk memberikan penghormatan pertama dari seorang murid kepada gurunya.
Ki Santa menepuk pundak Galuh Tapa beberapa kali, kemudian tersenyum haru. Sungguh, dia memang menginginkan Galuh Tapa menjadi muridnya, karena wajah pemuda itu sedikit mirip dengan Putarnya yang telah lama meninggal.
Namun tentu pula dia tidak ingin menerima Galuh Tapa dengan sembarangan, tanpa mengujinya terlebih dahulu.
Sekarang, setelah melihat tekad kuat Galuh Tapa, Ki Santa yakin pemuda itu akan membawa ilmunya pada jalan kebenaran.
"Sekarang masuklah, kita akan berbicara di dalam, hari telah menjelang petang!"
"Terimakasih, Eyang Guru!" ucap Galuh tapa.
Malam itu, guru dan murid barunya bercerita banyak mengenai jalan hidup mereka masing-masing.
Di temani ubi rebus dan air putih, membuat suasana malam ini terasa lebih hangat. Sudah lama sekali, Ki Santa tidak merasakan suasana seperti ini, bercengkrama bersama seorang pemuda seperti Galuh Tapa.
Kekeh tawa sesekali terdengar dari mulut Ki Santa, menampakan dua buah gigi depan yang tersisa. Kerutan di keningnya jelas nampak, menunjukan betapa tua dirinya saat ini.
Sebenarnya, orang tua itu sudah berniat untuk menarik diri dari dunia persilatan, atau pula berhenti mengobati orang, tapi dia tidak bisa melakukan hal itu ketika ilmu kanuragannya belum diturunkan kepada seorang murid.
Barulah ketika Galuh Tapa menguasai seluruh kekuatannya, Ki Santa akan hidup tenang menikmati hari tuanya.
"Galuh Tapa, ceritakan padaku darimana kau mendapatkan pedang tersebut?" tanya Ki Santa, setelah memperhatikan bilah pedang yang tergeletak di atas meja, "kau tidak mencurinya, bukan?"
"Tidak guru, pedang ini ..." Galuh menceritakan kenapa pedang ini ada padanya, pedang ini adalah milik temannya, pedang lintang kuning.
Namun pedang ini menjadi incaran semua pendekar aliran hitam, yang mengakibatkan kematian temannya, Aji Bakas.
Aji Bakas menitipkan pedang tersebut kepada Galuh Tapa, dan berpesan agar menjaga pusaka itu, jangan sampai jatuh pada tangan orang-orang aliran sesat.
"Gambir Rimba dan muridnya yang melakukan ini kepada Aji Bakas, itulah pula alasan aku jatuh dari ketinggian dan ditemukan oleh Arya di tepi muara sungai."
Mendengar hal itu, Ki Santa hanya mengangguk-angguk pelan. Sesekali pria tua itu mengelus janggutnya, tampak sedang mencerna semua ucapan Galuh Tapa.
"Begitulah kehidupan ini, Muridku," ucap Ki Santa, "Terkadang sesuatu yang kita dapatkan malah menjadi mala petaka bagi diri kita sendiri, karena hal itu, kita harus mawas diri, tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan."
"Semua perkataan Guru, akan aku pegang teguh di dalam hati ini," jawab Galuh Tapa.
Hari sudah begitu larut malam, ke dua orang itu akhirnya tertidur pada kamar masing-masing. Perjalanan Galuh Tapa menuju tempat ini memang menguras banyak tenaga, dan karena itu dia tidur dengan dengkuran kecil.
Setelah Galuh Tapa sudah diangkat jadi anak murid Ki santa, dia mulai berlatih.
"Kunci dalam ilmu beladiri, adalah tubuh yang seimbang ..." Ki Santa mulai menjelaskan tahap-tahap awal dalam latihan ini.
Meskipun mungkin Galuh Tapa pernah belajar ilmu bela diri, tapi Ki Santa menganggap pemuda itu seperti anak biasa yang belum mengerti apapun di dunia persilatan.
Dengan membawa kendi - kendi yang berisi air yang akan dipikul, melewati jembatan kecil yang telah dibuat oleh Ki Santa.
"Eyang Guru," apakah aku harus melewati jembatan ini?" tanya Galuh Tapa penuh keraguan.
Jembatan itu tidak hanya kecil, tapi juga sangat licin. Butuh tubuh yang benar-benar seimbang untuk melewati jembatan tersebut. Lebih dari itu, jembatan yang dibuat oleh Ki Santa cukup panjang, sekitar 10 depa, atau mungkin sedikit lebih panjang lagi.
"Tentu anak muridku, kamu harus menyeberangi jembatan itu!"
Melewati jembatan ini dengan tangan kosong terasa sulit dilakukan apa lagi harus menjaga air di dalam kendi, agar tidak tumpah.
Jika dia sampai jatuh, maka Ki Santa meminta Galuh Tapa untuk mengulanginya lagi, hingga dia benar-benar sampai ke seberang dengan kendi air yang masih berisi penuh.
Jembatan yang kecil itu membuat Galuh Tapa sulit melangkahkan kaki.
Perasaan ragu meliputi hatinya, dan hal ini membuat dia semakin sulit untuk menyeberangi jembatan kecil itu.
Pada akhirnya dia meniti jembatan dengan perlahan, langkah kakinya penuh perhitungan.
Namun belum pula genap 5 langkah kaki itu meniti jembatan, Galuh Tapa mulai kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya, dirinya mulai goyah, pijakan kaki Galuh Tapa sudah mulai tidak teratur.
Di mata Ki Santa, Galuh Tapa terlihat seperti pemuda mabuk yang berjalan di tengah-tengah desa. Kadang miring ke kiri, tapi kadang pula miring ke kanan.
Lalu pada akhirnya.
"Ahkkk!" Galuh Tapa berteriak, ketika salah satu kakinya tergelincir, membuat pemuda itu jatuh terlungkup di permukaan tanah, dengan seluruh air yang tumpah mengenai tubuhnya sendiri.
Ringisan kecil keluar dari mulut Galuh Tapa. Bukan pula karena air ini membasahi tubuhnya, tapi karena pinggangnya terasa terkilir.
Melihat hal itu, Ki Santa hanya tersenyum kecil.
Ki Santa mengulurkan tangannya untuk menyambut Galuh Tapa, dengan perasaan kesal pemuda itu berdiri sambil mengusap-usap bagian pinggangnya.
"Jangan patah semangat, ini baru permulaan," ucap Ki Santa. "Bahkan belati yang tumpul akan menjadi tajam jika selalu di asah, muridku. Tetap lah berlatih dengan ulet agar kelak engkau dapat menjaga keseimbangan meskipun musuh-musuhmu selalu memberi tekanan."
"Iya Eyang Guru, aku akan berusaha melewati semua rintangan ini, "jawab Galuh Tapa.
"Kuncinya satu, Anak Muridku, tetaplah tenang! jangan biarkan emosi menguasai pikiranmu!" seru Ki Santa dengan harapan besar. "Jika kau dapat mengendalikan pikiranmu, melewati jembatan ini semudah membalikan telapak tangan."
Mendengar semua ucapan yang disampaikan gurunya, Galuh Tapa yang tadi mulai putus asa, kini bersemangat lagi untuk melanjutkan latihan.
Pemuda itu terus berlatih walaupun dia sering gagal, tapi kegigihannya sekarang membuat Galuh Tapa dapat melewati jembatan ini meski belum terlihat sempurna.
Air di dalam kendi masih tumpah, sementara Ki Santa menginginkan agar dirinya dapat menjaga air itu tanpa bercecer meski hanya setetes saja.
Namun ini tentu sebuah pencapaian yang luar biasa.
Dahulu, Ki Santa muda berlatih seperti ini dan membutuhkan waktu tiga bulan lamanya, tapi Galuh Tapa berhasil melakukannya dalam satu bulan saja.
Setelah dua bulan penuh berlatih dengan cara yang sama, akhirnya Ki Santa menganggap muridnya telah lulus latihan pertama, dan bisa melanjutkan latihan tahap selanjutnya.
"Selamat Galuh Tapa," ucap Ki Santa sambil menepuk pundak pemuda itu beberapa kali. "Jika kau berada di generasiku, kau adalah orang pertama yang lulus latihan tahap pertama."
"Guru, selanjutnya apa aku boleh mempelajari sebuah jurus kanuragan?"
"Tentu saja belum," jawab Ki Santa, "Jangan tergesa-gesa, Muridku. Sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik, kecuali penyesalan."
Mendengar nasehat gurunya, Galuh Tapa mengangguk tanda mengerti.
Di dunia persilatan, kebanyak pendekar yang mudah dikalahkan karena mereka tidak memiliki dasar atau pondasi yang kuat. Padahal, pondasi yang kuat adalah kunci dari seorang pendekar.
Tujuan dari latihan ini adalah untuk menciptakan pondasi tersebut, hingga kelak akan membuat Galuh Tapa lebih mudah dalam menyerap ilmu kanuragan yang akan diberikan oleh gurunya.
Itulah sebabnya, Ki Santa menginginkan agar Galuh Tapa menikmati proses latihan ini, setahap demi setahap tanpa dihantui oleh perasaan buru-buru.
Setiap segala hal memiliki waktu dan masanya, jikapun Galuh Tapa memiliki bakat yang bagus, dia akan tetap mampu menyerap ilmu kanuragan yang akan diturunkan Ki Santa kepada dirinya. Jadi, bersabar adalah kunci dari semuanya.
"Aku tidak sempat menanyakan hal itu pada ayahku, kedatangan kita bersamaan dengan surat panggilan dari Negri Singunan untuk Ayahanda" ucap Ringgina."Surat dari Negri Singunan?" Galuh Tapa terlihat kecewa."Negri Singunan memberi informasimengenai Putra bungsu mereka. Pangeran Rengkeh dikabarkan belum kembali setelah melakukan Kunjungan ke Negri Bumi Besemah.""Rengkeh?" Galuh Tapa bergumam pelan."Apa kau mengetahui nama itu?" Ringgina bertanya."Ah, aku belum pernah mengenal namapangeran dari Negri Singunan." Galuh Tapa berbohong, tentu saja dia mengetahui Pangeran Rengkeh, karena dia sendirilah yang berhasil mengalahkan pemuda licik itu beserta senopati dan anak buahnya."Tapi jangan risau, Ayahku memang sedang kembali lagi ke Negri Singunan, disini ada tabib hebat yang bisa membuat penawar racun itu, dia adalah kepercayaan Ayahku.""Benarkah?""Ya, aku akan menemui tabib itu besokpagi" Ringgina tersenyum kecil, meski diatidak begitu yakin dapat meminta sangtabib untuk membua
Sehingga Angsa Putih mendesah pelan, lantas menepuk pundak temannya tiga kali. "Ki Santa tidak di undang dalam rapat itu, ketentuan nasip para tawanan tergantung Paduka Raja Jaya Negara beserta pejabat kerajaan. Kita hanya persatuan Hulubalang, bahkan Damar Tirta tidak di undang dalam rapat itu."Ki Jangga menatap mata Angsa putih dengan tajam, untuk beberapa saattidak berkedip sedikitpun. Lantasmengalihkan pandangan pada seributawanan dengan kebencian."Tenangkan perasaanmu kawan! Tidak ada gunanya kau menaruh dendam padatawanan yang tidak lagi berdaya." AngsaPutih menuangkan arak pada dua cawan,kemudian salah satunya disodorkan kepada Ki Jangga. "Akan ada waktunya kau bisa mengamuk sesuka hatimu, tentu saja bukan pada seribu orang di sana yang tidak memiliki kemampuan, atau pula pada tua bangka Ki Santa.Ki Jangga terdiam lagi, kali iniurat-urat di keningnya keluar bak cacingdibalik kulit, tampak sedang berpikirmungkin pula mencerna perkataansahabatnya."Perang belum berhe
"Tawanan?" Ki Jangga berkata geram.Wajah pak tua itu terlihat tergores tipisakibat panah yang melesat ke arahkepalanya. "Aku akan membunuh kaliansemuanya, semuanya!" Dia berteriak keras."Musuh sudah mengaku kalah, tidak adayang berhak untuk membunuh mereka." Ki Santa membantah keputusan Ki Jangga."Tua Bangka, kau bukan orang suci yangbisa menentukan siapa yang layak dan tak layak hidup di sini." Ki Jangga beteriak kesal, ya diantara Sesepuh tua hanya dia yang terluka, bagaimana wajah orang itu tidak merah karena marah atau pula karena malu?"Tidak ada yang boleh membunuh siapapun yang mengaku kalah, menyerah dan mengangkat bendera putih" Ki Santaberkata lagi, menegaskan bahwaucapannya tidak main-main.Orang tua itu melirik beberapa pendekarhebat yang berada di hadapannya satupersatu, bahkan Damar Tirta selaku ketua Persatuan Hulubalang. Terlihat tiada orang yang membantah keputusan orang tua itu, kecuali Ki Jangga."Meski kita dalam medan perang, tapitoleransi hidup haru
Baru saja berdiri, -menyeka darah yangmengalir dari luka di dada akibat tebasan Ki Santa, Angsa Putih segera mematukkepala mereka hingga mati.Hingga Ki Santa tersenyum kecil di kejauhan, dia memang sengaja tidak membunuh mereka berdua agar Angsa Putih tidak merasa kecil hati atau, tidak terlalu terhina. Sudah cukup perselisihan selama ini hanya karena beranggapan-siapa paling hebat dari siapa?Namun terlihat Angsa Putih meludah dua kali, orang tua itu lalu menyapukan pandangan di sekitarnya mencoba menemukan Ki Santa tapi tidak berhasil.Kemudian senyum kecil tersungging dibibirnya yang peot dan berkerut, lalusemenit kemudian terkekeh. "Sekarang aku mengakui, dia lebih hebat dariku. Tuabangka Ki Santa itu, sudah sepatutnyanamanya di kenal di seluruh dunia Persilatan di tanah Pasmah."Hingga kemudian Angsa Putih kembali memasuki kerumunan pertempuran. Dia bergerak cepat, melawan orang-orang yang terlihat cukup kuat. Orang tua itu juga membantu beberapa prajurityang sedang dalam
"Senjatamu besar sekali, tapi bergeraklambat." Kerangka Ireng berkata datar, lali melepaskan kembali dua serangan hingga dua larik cahaya keluar dari matatombaknya, melesat cepat.Damar Tirta harus rela merebahkantubuhnya, menopang dengan telapaktangan kanan. Dua larik cahaya tipis itulewat satu jengkal di atas wajah, terusnyasar dan mengenai lima tubuh di belakang Damar Tirta.Hingga lima detik setelah tubuh orang itu dilewati cahaya -meledak seperti terpanggang.Damar Tirta berdecak kesal, dia memutartubuhnya kemudian secara bersamaanmenjentikkan jari telunjuk. Pedang cahaya miliknya melesat ke arah Krangka Ireng, tapi pria itu memiliki tubuh yang licin, dengan mudah dia menghindari serangan Damar Tirta.Tidak menarik kembali pedangnya Damar Tirta terus melajukan pedang hingga menembus dua puluh orang bawahan Kerangka Ireng. empat kali lipat lebih banyak dibandingkan serangan Pria berzirah perang itu.Baru dalam beberapa menit saja, telahterjadi pertukaran ratusan serangan
Sehingga sontak saja semua prajurit yang mendengar perkataan pria itu berteriak penuh semangat, seolah tubuh mereka mendidih karena marah. Dada mereka berdetak lebih cepat dari sebelumnya, mata mereka nanar tajam menyambut derap penjajah."Teriakan keberanian" Pekik Candi Jaya. "Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup.""Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup."Sontak pula para prajurit Jalang Pasmahmengikuti teriakan yang bergema darimulut prajurit Bumi Besemah, hingga dalam hitungan detik saja seisi benteng pertahanan dipenuhi teriakan bergema.Ki Santa dan dua orang bersamanya tersenyum kecil di atas tiang menara tertinggi, sebuah kata bijak yang membangkitkan semangat juang, pikirnya.Lalu dua menit kemudian, terdengar suara terompet dari tanduk kerbau berbunyi di sisi paling selatan kemudian disusul suara terompet di sisi paling utara. Lalu setelah itu, genderang perang bertabuh-tabuh, tanda musuh sudah berada di depan mata.Bak semut hitam, musuh berbaris rapimele