Share

Ujian Tahap Awal

Ki Santa masih tersenyum tipis melihat tindakan yang dilakukan oleh Galuh Tapa, dia ingin melihat apakah pemuda itu sanggup menarik pedang di batang lehernya sendiri.

Namun, rupanya Galuh Tapa tidak main-main dengan ucpannya, tangannya mulai menarik pedang itu, hingga setetes darah telah keluar dari luka yang dia buat.

Ketika Galuh Tapa menutup mata, dan ingin membuktikan kepada Ki Santa bahwa tekadnya begitu kuat, pria tua itu segera menghentikan tangan Galuh Tapa.

"Cukup, hentikan!" ucap Ki Santa, "Kau sudah menunjukan kebulatan tekad, memang benar aku menginginkan kehidupanmu, tapi bukan nyawamu."

Galuh Tapa menatap Ki Santa dengan penuh makna, ada banyak pertanyaan di benaknya, yang tidak dapat diungkapkan satu persatu.

"Menyerahkan hidupmu padaku, bukan berarti kau harus mati, anak muda," ucap Galuh Tapa. "Tapi pemaknaan yang lebih dalam, aku ingin membuat dirimu tunduk pada aturanku, tunduk pada semua perintah dan nasehat yang akan kuajarkan kepadamu. Namun, melihat tekadmu yang begitu besar, aku yakin kau bisa memenuhi syarat yang kuberikan." 

"Apakah, Ki Santa menerimaku?" tanya Galuh Tapa.

"Aku menerimamu menjadi muridku," jawab Ki Santa.

Mendengar hal itu, betapa senangnya perasaan Galuh Tapa saat ini. Dengan segenap jiwa raga, dia membungkuk untuk memberikan penghormatan pertama dari seorang murid kepada gurunya.

Ki Santa menepuk pundak Galuh Tapa beberapa kali, kemudian tersenyum haru. Sungguh, dia memang menginginkan Galuh Tapa menjadi muridnya, karena wajah pemuda itu sedikit mirip dengan Putarnya yang telah lama meninggal.

Namun tentu pula dia tidak ingin menerima Galuh Tapa dengan sembarangan, tanpa mengujinya terlebih dahulu.

Sekarang, setelah melihat tekad kuat Galuh Tapa, Ki Santa yakin pemuda itu akan membawa ilmunya pada jalan kebenaran.

"Sekarang masuklah, kita akan berbicara di dalam, hari telah menjelang petang!"

"Terimakasih, Eyang Guru!" ucap Galuh tapa.

Malam itu, guru dan murid barunya bercerita banyak mengenai jalan hidup mereka masing-masing.

Di temani ubi rebus dan air putih, membuat suasana malam ini terasa lebih hangat. Sudah lama sekali, Ki Santa tidak merasakan suasana seperti ini, bercengkrama bersama seorang pemuda seperti Galuh Tapa.

Kekeh tawa sesekali terdengar dari mulut Ki Santa, menampakan dua buah gigi depan yang tersisa. Kerutan di keningnya jelas nampak, menunjukan betapa tua dirinya saat ini.

Sebenarnya, orang tua itu sudah berniat untuk menarik diri dari dunia persilatan, atau pula berhenti mengobati orang, tapi dia tidak bisa melakukan hal itu ketika ilmu kanuragannya belum diturunkan kepada seorang murid.

Barulah ketika Galuh Tapa menguasai seluruh kekuatannya, Ki Santa akan hidup tenang menikmati hari tuanya.

"Galuh Tapa, ceritakan padaku darimana kau mendapatkan pedang tersebut?" tanya Ki Santa, setelah memperhatikan bilah pedang yang tergeletak di atas meja, "kau tidak mencurinya, bukan?"

"Tidak guru, pedang ini ..." Galuh menceritakan kenapa pedang ini ada padanya, pedang ini adalah milik temannya, pedang lintang kuning.

Namun pedang ini menjadi incaran semua pendekar aliran hitam, yang mengakibatkan kematian temannya, Aji Bakas.

Aji Bakas menitipkan pedang tersebut kepada Galuh Tapa, dan berpesan agar menjaga pusaka itu, jangan sampai jatuh pada tangan orang-orang aliran sesat.

"Gambir Rimba dan muridnya yang melakukan ini kepada Aji Bakas, itulah pula alasan aku jatuh dari ketinggian dan ditemukan oleh Arya di tepi muara sungai."

Mendengar hal itu, Ki Santa hanya mengangguk-angguk pelan. Sesekali pria tua itu mengelus janggutnya, tampak sedang mencerna semua ucapan Galuh Tapa.

"Begitulah kehidupan ini, Muridku," ucap Ki Santa, "Terkadang sesuatu yang kita dapatkan malah menjadi mala petaka bagi diri kita sendiri, karena hal itu, kita harus mawas diri, tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan."

"Semua perkataan Guru, akan aku pegang teguh di dalam hati ini," jawab Galuh Tapa.

Hari sudah begitu larut malam, ke dua orang itu akhirnya tertidur pada kamar masing-masing. Perjalanan Galuh Tapa menuju tempat ini memang menguras banyak tenaga, dan karena itu dia tidur dengan dengkuran kecil.

Setelah Galuh Tapa sudah diangkat jadi anak murid Ki santa, dia mulai berlatih.

"Kunci dalam ilmu beladiri, adalah tubuh yang seimbang ..." Ki Santa mulai menjelaskan tahap-tahap awal dalam latihan ini.

Meskipun mungkin Galuh Tapa pernah belajar ilmu bela diri, tapi Ki Santa menganggap pemuda itu seperti anak biasa yang belum mengerti apapun di dunia persilatan.

Dengan membawa kendi - kendi yang berisi air yang akan dipikul,  melewati jembatan kecil  yang telah dibuat oleh Ki Santa.

"Eyang Guru," apakah aku harus melewati jembatan ini?" tanya Galuh Tapa penuh keraguan.

Jembatan itu tidak hanya kecil, tapi juga sangat licin. Butuh tubuh yang benar-benar seimbang untuk melewati jembatan tersebut. Lebih dari itu, jembatan yang dibuat oleh Ki Santa cukup panjang, sekitar 10 depa, atau mungkin sedikit lebih panjang lagi.

"Tentu anak muridku, kamu harus menyeberangi jembatan itu!"

Melewati jembatan ini dengan tangan kosong terasa sulit dilakukan apa lagi harus menjaga air di dalam kendi, agar tidak tumpah.

Jika dia sampai jatuh, maka Ki Santa meminta Galuh Tapa untuk mengulanginya lagi, hingga dia benar-benar sampai ke seberang dengan kendi air yang masih berisi penuh.

Jembatan yang kecil itu membuat Galuh Tapa sulit melangkahkan kaki. 

Perasaan ragu meliputi hatinya, dan hal ini membuat dia semakin sulit untuk menyeberangi jembatan kecil itu.

Pada akhirnya dia meniti jembatan dengan perlahan, langkah kakinya penuh perhitungan.

Namun belum pula genap 5 langkah kaki itu meniti jembatan, Galuh Tapa mulai kesulitan menjaga keseimbangan tubuhnya, dirinya mulai goyah, pijakan kaki Galuh Tapa sudah mulai tidak teratur.

Di mata Ki Santa, Galuh Tapa terlihat seperti pemuda mabuk yang berjalan di tengah-tengah desa. Kadang miring ke kiri, tapi kadang pula miring ke kanan.

Lalu pada akhirnya.

"Ahkkk!" Galuh Tapa berteriak, ketika salah satu kakinya tergelincir, membuat pemuda itu jatuh terlungkup di permukaan tanah, dengan seluruh air yang tumpah mengenai tubuhnya sendiri.

Ringisan kecil keluar dari mulut Galuh Tapa. Bukan pula karena air ini membasahi tubuhnya, tapi karena pinggangnya terasa terkilir.

Melihat hal itu, Ki Santa hanya tersenyum kecil.

Ki Santa mengulurkan tangannya untuk menyambut Galuh Tapa, dengan perasaan kesal pemuda itu berdiri sambil mengusap-usap bagian pinggangnya.

"Jangan patah semangat, ini baru permulaan," ucap Ki Santa. "Bahkan belati yang tumpul akan menjadi tajam jika selalu di asah, muridku. Tetap lah berlatih dengan ulet agar kelak engkau dapat menjaga keseimbangan meskipun musuh-musuhmu selalu memberi tekanan."

"Iya Eyang Guru, aku akan berusaha melewati semua rintangan ini, "jawab Galuh Tapa.

"Kuncinya satu, Anak Muridku, tetaplah tenang! jangan biarkan emosi menguasai pikiranmu!" seru Ki Santa dengan harapan besar. "Jika kau dapat mengendalikan pikiranmu, melewati jembatan ini semudah membalikan telapak tangan."

Mendengar semua ucapan yang disampaikan  gurunya,  Galuh Tapa yang tadi mulai putus asa, kini bersemangat lagi untuk melanjutkan latihan.

Pemuda itu terus berlatih walaupun dia sering gagal, tapi kegigihannya sekarang membuat Galuh Tapa dapat melewati jembatan ini meski belum terlihat sempurna.

Air di dalam kendi masih tumpah, sementara Ki Santa menginginkan agar dirinya dapat menjaga air itu tanpa bercecer meski hanya setetes saja.

Namun ini tentu sebuah pencapaian yang luar biasa.

Dahulu, Ki Santa muda berlatih seperti ini dan membutuhkan waktu tiga bulan lamanya, tapi Galuh Tapa berhasil melakukannya dalam satu bulan saja.

Setelah dua bulan penuh berlatih dengan cara yang sama, akhirnya Ki Santa menganggap muridnya telah lulus latihan pertama, dan bisa melanjutkan latihan tahap selanjutnya.

"Selamat Galuh Tapa," ucap Ki Santa sambil menepuk pundak pemuda itu beberapa kali. "Jika kau berada di generasiku, kau adalah orang pertama yang lulus latihan tahap pertama."

"Guru, selanjutnya apa aku boleh mempelajari sebuah jurus kanuragan?"

"Tentu saja belum," jawab Ki Santa, "Jangan tergesa-gesa, Muridku. Sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa tidak akan menghasilkan sesuatu  yang baik, kecuali penyesalan."

Mendengar nasehat gurunya, Galuh Tapa mengangguk tanda mengerti.

Di dunia persilatan, kebanyak pendekar yang mudah dikalahkan karena mereka tidak memiliki dasar atau pondasi yang kuat. Padahal, pondasi yang kuat adalah kunci dari seorang pendekar.

Tujuan dari latihan ini adalah untuk menciptakan pondasi tersebut, hingga kelak akan membuat Galuh Tapa lebih mudah dalam menyerap ilmu kanuragan yang akan diberikan oleh gurunya.

Itulah sebabnya, Ki Santa menginginkan agar Galuh Tapa menikmati proses latihan ini, setahap demi setahap tanpa dihantui oleh perasaan buru-buru.

Setiap segala hal memiliki waktu dan masanya, jikapun Galuh Tapa memiliki bakat yang bagus, dia akan tetap mampu menyerap ilmu kanuragan yang akan diturunkan Ki Santa kepada dirinya. Jadi, bersabar adalah kunci dari semuanya.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Kaiser
makasih sudah baca cerita ini
goodnovel comment avatar
Rio Palasara
wkakakakaka sdh 8 bln lebih Belum Tamat juga, Masih 198bab lagi!! KALO MALES NULIS NGA USAH JADI PENULIS BUNGG!!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status