Share

Tekad Galuh Tapa

Setelah beberapa hari kemudian Galuh Tapa berpamitan meninggalkan rumah Arya.

"Kau sudah banyak membantuku, Arya. Namun saat ini aku belum dapat membalas budi baikmu-"

"Jangan pikirkan hal itu," potong Arya seraya tersenyum kecil. "Pergilah temui Ki Santa, jika suatu hari nanti ada sebuah kesempatan, datanglah ke sini lagi."

"Pasti," jawab Galuh Tapa, "Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku, meskipun kita baru saja saling mengenal."

"Pergilah saudaraku!' ucap Arya lagi, seraya memeluk tubuh Galuh Tapa dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Capailah apa yang menjadi tujuanmu, dan berjuanglah!"

Pada akhirnya Galuh Tapa melangkahkan kaki meninggalkan rumah pemuda yang telah menolongnya.

Di dalam hati pemuda itu, bertekad akan kembali lagi ke desa ini untuk membalas  budi baik Arya yang telah menyelamatkan hidupnya.

Seorang lelaki harus memiliki prinsip yang kuat, dan prinsip hidup Galuh Tapa adalah balas budi.

Dengan bermodal sebuah peta yang dibuat oleh Arya, Galuh Tapa mulai menyusuri jalanan desa, masuk ke dalam hutan dan menyeberangi anak sungai hanya untuk mencari keberadaan rumah Ki Santa.

Rumah Ki Santa berada di atas bukit yang bernama Bukit Tengkorak. Jika seorang mengerti mengenai wilayah ini, tentulah mencapai bukit Tengkorak tidak terlalu memakan waktu yang lama.

Namun, Galuh Tapa adalah orang baru di tempat ini. Dia tidak terlalu paham dengan medan yang akan dilaluinya, lebih dari itu dia tidak terlalu paham dengan peta yang dibuat oleh Arya.

Hal ini membuat Galuh Tapa kesulitan untuk mencari jalan paling cepat menuju kediaman Ki Santa.

Di dalam perjalanan banyak sekali rintangan yang dia lalui, hutan yang lebat sering kali membutakan arah tujuannya.

"Bukankah aku pernah melewati sungai kecil ini?" gumam Galuh Tapa, tampaknya pemuda itu mulai tersesat di dalam hutan ini.

Hari mulai gelap matahari sudah terbenam, dia mencari tempat beristirahat akan tetapi tidak menemukan satu gubukpun  di dalam hutan. 

Akhirnya Galuh Tapa mecari satu pohon yang besar, diapun menaiki pohon itu dan bermalam hingga menunggu  matahari terbit.

Matahari mulai menyinari wajah Galuh Tapa, hingga Galuh Tapa bangun dari tidurnya, Diapun melanjutkan perjalanan menuju bukit tengkorak.

Di dalam perjalanan dia mendaki cadas yang penuh akar pohon besar, kakinya melangkah dengan penuh ketelitian. Satu persatu  akarpun dilaluinya.

Hingga pemudah itu melihat ada sebuah bukit yang nampak besar dengan jurang yang begitu dalam dengan sebuah aliran sungai yang begitu deras.

Keraguan Galuh Tapa nampak dari raut wajahnya yang begitu gelisah.

"Kalau aku tidak meniti jurang ini mungkin aku tidak akan sampai ke bukit Tengkorak,"gumam Galuh 

Setelah itu Galuh Tapa melangkahkan kaki dengan perlahan,detak jantung nya begitu kencang, keringat di wajah mulai membasahi tubuhnya.

Namun Galuh Tapa terus menapakkan kakinya selangkah demi selangkah untuk menuju  Bukit Tengkorak.

Galuh Tapa beristirahat sejenak untuk memulihkan rasa lelah, pada sebuah gubuk reot yang tertinggal. Gubuk itu mungkin dibuat oleh para pemburu yang sering mencari rusa di sekitar hutan ini.

Setelah rasa lelahnya hilang diapun melangkahkan kaki meninggalkan gubuk itu.

Perjalanan berlanjut hingga akhirnya dia melihat seperti anak tangga yang cukup panjang. Tampaknya, ujung anak tangga tersebut berada di puncak bukit yang tinggi. Itulah bukit Tengkorak.

Galuh Tapa tidak tahu kenapa bukit ini dinamakan Bukit Tengkorak, mungkin karena bentuknya, atau pula mungkin dahulu ada banyak kepala manusia di penggal di atas bukit tersebut.

Galuh Tapa mulai mendaki melewati anak tangga satu persatu dengan ayunan kaki yang berat.

"Sial, jikalah aku memiliki ilmu meringankan tubuh, melewati anak tangga ini bukanlah perkara sulit untuk dilakukan."

Meskipun terlihat mudah, tapi rupanya anak tangga ini begitu tinggi dan cukup tegak.

Di pertengahan jalan, Galuh Tapa mulai merasakan langkah kakinya begitu berat seolah tak mampu lagi melanjutkan perjalanan.

Dia menghela napas panjang dan mengeluarkannya dengan perlahan hanya untuk mengurangi rasa lelah.

Namun kakinya mulai terasa  sakit.

Dia pun mencoba berjalan lagi, memaksakan seluruh tenaga yang dimilikinya saat ini. 

Kadang kala, terdengar suara batuk kecil dari mulutnya, atau pula suara hela nafas yang berat. 

Bukan hanya sekali dua kali dia berhenti, duduk di anak tangga dan meregangkan kakinya untuk sesaat, sebelum kemudian melanjutkan kembali perjalanan.

Akhirnya Galuh Tapa mendekati tangga yang terakhir, dengan cepat dia melangkahkan kakinya untuk melewati tangga tersebut.

Pemuda itu merebahkan tubuhnya, merentangkan dua tangan dan menatap langit yang berteman awan putih. Sinar matahari tajam tidak membuat matanya terasa silau.

"Aku penasaran, bagaimana Arya menaklukan tangga ini hanya dalam setengah hari saja?" gumam pemuda itu.

Setelah tiba di puncak bukit tengkorak, Galuh Tapa merasa lega namun tak nampak ada seorang manusia di sana, kecuali hanya kerangka tulang belulang manusia.

Terlihat kecil di kejauhan, rupanya puncak Bukit Tengkorak begitu luas, dengan banyak pohon-pohon yang tinggi.

"Dimana rumah Ki Santa?" ucap Galuh Tapa, sambil mencari petunjuk keberadaan tabib hebat tersebut.

Namun, setelah cukup lama berputar-putar di antara pohon-pohon besar, Galuh Tapa tidak menemukan apapun. Tidak ada orang tua, atau pula rumah seperti yang dikabarkan oleh Arya kepada dirinya.

Dengan raut wajah kecewa, dia pun akhirnya menghempaskan bokong di atas batu sambil bergumam tidak jelas. Setidaknya cara ini dapat menghilangkan rasa letih, meski hanya sedikit.

Setelah beberapa menit beristirahat, Galuh Tapa mencoba peruntungan sekali lagi, dengan mengelilingi puncak bukit Tengkorak ini. Jika memang tidak menemukan sedikitpun petunjuk, dengan berat hati, dia akan meninggalkan bukit tersebut.

Dan akhirnya!

"Gubuk!" Galuh Tapa setengah berteriak, setelah berkeliling beberapa kali, kini akhirnya dia melihat sebuah gubuk kecil di depan matanya.

Dengan perasaan yang bercampur aduk, antara lelah, kesal, dan senang yang menjadi satu, pemuda itu perlahan mendekati gubuk tersebut.

"Permisi, adakah orang di dalam gubuk ini?" Galuh Tapa mengetuk pintu gubuk beberapa kali. "Permisi, apakah ini benar rumah Ki Santa?"

Namun, tidak ada sahutan dari dalam gubuk tersebut. Sekali lagi, Galuh Tapa berpikir, apakah benar Ki Santa tinggal di gubuk ini.

Setelah beberapa kali mengetuk pintu, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang.

"Apa yang membawamu ke tempat ini, Anak Muda?" 

Rupanya, orang di belakang Galuh Tapa merupakan sosok tua renta, tapi memiliki pancaran wibawa yang memikat bagi siapapun yang melihatnya.

Hanya dengan mendengar dan melihat wajahnya saja, Galuh Tapa merasakan bahwa sosok orang tua ini, adalah Ki Santa.

"Tidak banyak pemuda yang datang ke tempat ini, kecuali mereka tersesat, atau meminta bantuanku untuk mengobati seseorang, tapi tampaknya kau tidak termasuk dari dua golongan tersebut, anak muda."

"Maafkan atas kelancanganku, tapi jika boleh aku menebak, Tuan ini pasti yang bernama Ki Santa, bukan?" jawab Galuh Tapa.

Suara tawa kecil keluar dari mulut pria tua tersebut, "kau tampaknya pemuda  yang cerdas, benar, aku adalah Ki Santa, kenapa kau datang mencariku, anak muda?"

Sungguh, sesungguhnya Ki Santa telah mengenal Galuh Tapa, dan tahu jelas kenapa pemuda itu datang ke tempat ini, bahkan sebelum pemuda itu memijakkan anak tangga pertama sebelumnya.

Galuh Tapa pada akhirnya menceritakan prihal yang menimpanya beberapa hari yang lalu,  bahkan dia mengatakan bahwa saudaranya Arya, meminta bantuan Ki Santa untuk mengobatinya.

"Kedatanganku ke sini, untuk berterima kasih kepada Ki Santa," ucap Galuh Tapa.

Namun sayangnya, kakek tua itu seolah tidak mendengar cerita Galuh Tapa, dia hanya diam dengan senyum tipis di bibirnya.

Merasa kakek tua ini tidak merespon ucapannya, raut wajah Galuh Tapa terlihat kesal.

"Apa hanya karena itu kau datang ke tempat ini, anak muda?" tanya Ki Santa lagi.

Galuh Tapa belum menjawab, dia menggaruk kepalanya beberapa kali, mencoba menemukan kalimat yang bagus untuk diungkapkan.

"Begini Ki," ucap Galuh Tapa, sedikit ragu. "Jika kau mengizinkan, kiranya bolehkan aku belajar ilmu kanuragan kepada dirimu."

Mendengar hal itu, Ki Santa malah tertawa kecil. Dia berjalan dengan dua tangan di belakang punggungnya, lalu membuka pintu rumah yang jelas tidak terkunci.

Melihat hal tersebut, Galuh Tapa menjadi bingung, apakah orang tua ini menerimanya menjadi murid atau malah menolaknya? 

"Ki, apakah kau menolakku?" tanya Galuh Tapa.

"Sepertinya kau bukan pemuda yang sabar," jawab Ki Santa, lalu tertawa kecil. "Apa kau serius ingin berguru denganku?"

"Aku serius, Ki."

"Hehehehe ...dahulu ada satu pemuda yang datang kepadaku, mengatakan hal yang sama seperti yang kau katakan hari ini, tapi pemuda itu akhirnya tidak berhasil memenuhi syarat yang kuberikan."

"Boleh aku tahu, sarat apa yang kau inginkan dariku, Ki?" tanya Galuh Tapa.

"Apa kau sanggup memberikan hal berharga kepada diriku?" tanya Ki Santa.

"Aku tidak memiliki barang berharga apapun, Ki," jawab Galuh Tapa, "tapi mungkin hanya pedang ini yang aku miliki, jika kau menginkannya, aku tidak keberatan untuk memberikannya kepadamu."

"Pedang ini, hanyalah tempaan dari seorang empu, tiada arti bagi diriku, anak muda!" jawab Ki Santa sambil tersenyum penuh arti. "Benda mati yang menjadi rebutan para pendekar, hanya akan menimbulkan malapetaka di kemudian hari, apa kau pikir aku menginginkan hal seperti itu?"

Galuh Tapa menjadi bingung, dia tidak tahu apa yang ingin disampaikan oleh Ki Santa. Mengenai barang berharga, Galuh Tapa jelas tidak memilikinya kecuali pedang Lintang Kuning ini, tapi Ki Santa menolak hal tersebut.

'Aku tidak memiliki apapun kecuali hidupku sendiri,' gumam Galuh Tapa, tapi kemudian dia tersadar, 'Hidupku? apa Ki Santa menginginkan hidupku?'

"Sepertinya kau tidak tahu apa yang kumaksud, Anak muda," ucap Ki Santa berniat lagi masuk ke dalam gubuknya, "Pergilah, sebelum hari menjelang malam!"

"Tunggu, Guru!" ucap Galuh Tapa. "Jika kau menginginkan hidupku, maka aku akan memberikannya, lagipula aku mungkin sudah mati tanpa pertolongan dirimu!"

Dengan pikiran yang mantap, Galuh Tapa menarik pedang Lintang Kuning dari sarungnya, dan mulai meletakan mata pedang itu pada batang lehernya sendiri.

"Mungkin, aku tidak layak untuk hidup, dan mungkin pula hanya inilah yang bisa aku berikan kepada dirimu, Guru!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status