Beberapa waktu lalu Kencana Emas yang melesat kedalam hutan, rupanya berusaha menyelinap kembali kedesa untuk mengambil Pedang Pusaka yang tertinggal dirumahnya. Tidak butuh waktu lama Kencana Emas sudah berada tepat didepan pintu rumahnya tetapi belum sempat hendak melangkah, Kencana Emas dikejutkan oleh seseorang yang datang.
Kencana Emas bertanya-tanya ada perlu apa sepuh tua ini datang kepadanya malam-malam begini, Kencana hanya menduga-duga sebelum sepuh itu mulai berbicara.” Maaf menggangumu, tetapi ada sesuatu yang harus aku sampaikan mengenai Gianjoyo kau tau kan?”
Kencana Emas tidak langsung menjawab tetapi membiarkan sepuh itu menyelesaikan kata-katanya, Kencana juga bingung dirinya tidak punya urusan dengan keluarga Gianjoyo tetapi Kencana menduga jika kedatangan sepuh tua adalah untuk meminta tolong.
“Ah sudahlah, mereka sedang dalam masalah, kau harus membantunya…” Sepuh itu kembali melanjutkan kalimatnya ketika Kencana tidak member respon yang baik. Kencana sedikit menaikkan alisnya ketika mendengar perkataan sepuh itu, dugaan Kencana tidak meleset tetapi kini perasaan buruk mulai menjalar dipikirannya.
Kencana Emas yang semula terdiam dan berusaha mencerna keadaannya tetapi tidak pernah diduga ternyata Kencana Emas seolah tidak peduli dan meneruskan langkahnya masuk menuju kedalam rumah.
Melihat sikap yang diberikan Kencana Emas kepadanya, sepuh tua itu hanya bisa pasrah dan menggelengkan kepalanya pelan lalu meninggalkan rumah Kencana Emas sambil berkata. “Sungguh malang, besok aku akan memberikan pemakaman yang layak buat kalian…”
Namun baru beberapa langkah sepuh desa hendak pergi Kencana Emas keluar dengan sebilah pedang digenggamnya. Pedang itu terlihat sangat kuat, sarungnya terbuat dari besi utuh dan gagangnya terbuat dari batu Giok berbentuk kepala Naga.
Pedang Pusaka peninggalan gurunya menjadi teman Kencana Emas dalam mengarungi dunia persilatan tetapi Kencana Emas lebih memilih tidak menggunakannya jika belum begitu perlu. Namun kali ini Kencana Emas tampaknya Pedang Pusaka harus digunakan untuk menghadapi Gamya sedangkan muridnya yang tersisa tidak menjadi hitungan.
Kencana Emas sedikit tehenti ketika melewati sepuh yang masih berada tidak jauh dari rumahnya, lalu mengucapkan terima kasih kepadanya tanda perpisahan. Kencana Emas berniat pergi dari desa jika dirinya masih bisa hidup. Sepuh desa tersenyum penuh makna kepada Kencana Emas dirinya mengenang semangat sewaktu dirinya muda, dan bertarung pada puncak kejayaan pendekar aliran putih.
Kencana Emas berlari menggunakan jurus meringankan tubuh miliknya meski tidak begitu tinggi tetapi itu lebih dari cukup, dalam beberapa tarikan nafas Kencana Emas sudah tiba dirumah Gianjoyo.
“Sepertinya aku terlambat…” batin Kencana Emas lirih ketika melihat pemandangan yang tidak sedap untuk dilihat mata. Aroma amis darah menyebar diudara tampak Gianjoyo dan Kirana sudah tak bernyawa, tidak ada orang lain disana Kencana berusaha mencari Lengkukup berharap Lengkukup masih hidup.
Beberapa menit berlalu Kencana mencari kesegala arah, Kencana bertanya-tanya siapa ayng telah membunuh keluarga Gianjoyo. Namun belum sempat mencari tau lebih lanjut datang seorang pria berlari kearah Kencana Emas sambil meminta pertolongan kepada Kencana Emas.
“Tuan, tolong… tolong Lengkukup anaknya Gianjoyo dia sedang dalam masalah” pria itu terputus kalimatnya karena melihat Gianjoyo sudah terbunuh terlebih Kirana yang kepala dan tubuhnya terpisah membuat pria itu langsung muntah-muntah.
Kencana Emas tidak begitu menanggapi tetapi meminta sedikit arah kemana dia harus pergi, pria itu tidak menjawab Kencana tetapi jarinya menunjuk kearah selatan tepat diarah Lembah Siluman berada. Tanpa membuang waktu Kencana melesat kearah yang dimaskut, tidak perlu waktu lama Kencana sudah menemukan lokasi yang dimaskut.
Tampak Gamya juga sudah berada dilokasi yang sama dirinya tertawa dengan lantang melihat Kencana Emas menyusulnya. “Seorang pendekar aliran putih memang tidak bisa melihat rekannya dalam bahaya…” ucap Gamya menyeringai.
Kencana Emas berusaha tenang, dirinya memang sudah terlambat tetapi itu semua adalah takdir. Kini Kencana Emas berharap bisa menyelamatkan Lengkukup dengan pertaruhan hidup dan mati Kencana Emas berharap datang keajaiban karena untuk mengalahkan Gamya tidak semudah membalikkan telapak tangan, jurus ilusinya menjadi andalan Gamya dalam pertarungan jarak dekat maupun jauh.
Kencana Emas menoleh kearah Lengkukup dirinya berpendapat jika Lengkukup sudah terkena jurus ilusi milik Gamya. Terlihat Lengkukup berjalan perlahan mendekati Xue yang saat itu menanti kedatangan Lengkukup. Xue sebenarnya dapat dengan mudah membunuh Lengkukup namun karena gurunya, Xue tidak ingin mendapatkan masalah dengannya.
Disisi lain Gamya menebak jika Kencana Emas tidak akan kabur setelah mendapatkan sandera. Gamya merasa dirinya menang dan berharap mendapatkan Pusaka Langit dari tangan Kencana Emas. Setibanya Kencana Emas dilokasi harapan kembali timbul dibenak Lengkukup, dirinya masih melihat dengan jelas kedatangan Kencana Emas namun Lengkukup sedikitpun tidak bisa menggerakkan tubuhnya.
Jarak antara Lengkukup dan Xue hanya tinggal beberapa langkah lagi, Kencana Emas tidak memiliki pilihan selain bertarung dirinya kemudian mencabut Pedang Pusaka dari warangkanya terdengar suara yang sangat menyilukan ditelinga. Pedang itu bercahaya kebiruan memancarkan pamornya, Kencana Emas lantas menghunusnya kearah Xue.
Gamya yang melihat serangan tak terduga Kencana Emas hampir tersedak nafasnya sendiri. Gamya tidak pernah berfikir jika Kencana Emas akan melakukan tindakan yang sangat ceroboh, “berhenti! apa kau ingin nyawa anak ini melayang?” Xue memerintah.
“Aku tidak perduli…” Kencana Emas menebaskan pedang pusaka miliknya seketika kilatan cahaya terbentuk dari tebasan itu dan melesat sangat cepat kearah Xue.
Kecepatan yang luar biasa, hampir 2 detik. Tidak, mungkin 1 detik lebih cepat serangan itu mengarah kepada Xue yang hampir tidak melihat serangan Kencana Emas. Xue hanya menebak dan menangkis serangan Kencana Emas secara acak dengan golok miliknya.
Beruntung Xue dapat menghindari serangan Kencana Emas tepat waktu jika tidak nyawa Xue mungkin sudah melayang. Disisi lain Gamya terperanga melihat serangan Kencana Emas barusan, dirinya tidak pernah melihat serangan semacam itu. Bahkan pendekar tingkat tinggi sekalipun akan kesulitan melakukannya.
Namun karena Xue menghindari serangan Kencana Emas kini jarak dirinya dan Lengkukup malah menjauh. Xue menyadari hal itu tetapi tampaknya sudah sedikit terlambat, Kencana Emas yang melihat peluang tentu tidak menyiakannya dan segera menyelamatkan Lengkukup.
Gamya sempat mengumpat dengan tindakan Kencana Emas namun seorang Gamya tidak mungkin bisa dikalahkan dengan mudah apalagi membiarkan Kencana Emas kabur begitu saja. “Jangan harap kalian bisa kabur dari sini…” Gamya bergumam namun kalimatnya masih sedikit terdengar.
Gamya kemudian mengeluarkan jurus ilusinya kembali untuk mempengaruhi Kencana Emas. Namun kali ini serangannya tampak tidak menimbulkan efek apapun, rupanya Kencana Emas sebelumnya berpendapat jika serangan ilusi itu hanya berpengaruh jika orang itu mendengarnya, Kencana Emas kemudian menutup kedua telinganya dengan tangan dan terbukti serangan ilusi Gamya tidak berdampak apa-apa.
Melihat hal itu, Xue tentu tidak tinggal diam melihat Kencana akan kabur bersama Lengkukup dirinya melempar golok miliknya dengan dialiri tenaga dalam yang tinggi, serangan Xue dikombinasikan dengan jurus ilusi milik Gamya.
Sebuah golok api tercipta dari serangan kombinasi itu, Kencana Emas dapat melihat dengan jelas, memang itu tampak bukan seperti ilusi serangan Xue mengarah kearahnya. Kencana Emas tidak perduli dan terus berlari kearah selatan sambil menggendong Lengkukup, sesaat serangan Xue akan mengenai tubuhnya, Kencana Emas berkelak namun sayangnya akibat gerakan tersebut, Lengkukup menjadi sasaran “Celaka!” ucap Kencana.
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya