Setelah berhari-hari dilanda kebingungan, ingatan milik Kusha pun akhirnya kembali berdatangan membuat Lintang semakin mengerti akan siapa dan di mana dia sekarang.
Termasuk ingatan memilukan saat Kusha terperosok ke dalam sumur.
Lintang kini tahu bahwa kecelakan yang menimpa Kusha tempo hari ternyata bukanlah sebuah kebetulan di mana ada beberapa anak lain yang sengaja ingin membunuh Kusha atas perintah seseorang.
Hal itu tentu membuat Lintang sangat marah hingga gigi-giginya bergemertak sembari mengepalkan tangan.
“Mereka tidak bisa kubiarkan!” ucap Lintang dingin.
“Mereka? Apa maksudmu, Kusha?” tanya Balada mengerutkan kening.
Lintang sebelumnya tengah termenung sendiri di taman belakang, dia tidak sadar bahwa sedari awal Balada mengikutinya.
Sehingga saat mendengar suara Balada, Lintang langsung melompat kaget sembari memasang kuda-kuda bertarung.
“Hahahaha, apa yang kau lakukan, Kusha? Kau bukan seorang pendekar,” Balada tertawa tidak kuasa menyaksikan tingkah lucu adiknya.
“Kakak! Kau mengagetkan aku saja,” teriak Lintang kesal.
“Hahahahaha! Baiklah-baiklah maafkan aku. Tapi itu juga salahmu karena terus melamun di sini,” ujar Balada dengan masih tertawa.
Padahal jauh di dalam hatinya, Balada sangat merasa sedih mendapati adiknya menjadi pendiam seperti itu.
Balada merasa bersalah karena telah meninggalkan Kusha, di mana dahulu, adiknya merupakan anak yang periang, selalu tertawa dan tidak pernah mengeluh apalagi melamun sendiri di tempat sepi.
“Apa yang sedang kau pikirkan Kusha?” tanya Balada serius.
Sebagai kakak, dia bertanggung jawab menjaga sang adik apa pun yang terjadi.
Meski usianya masih 14 tahun, tapi Balada memiliki kedewasaan di atas anak-anak seusianya.
Dia tahu saat ini Kusha sedang memiliki masalah yang entah apa sehingga Balada terus mendekatinya berusaha menggali informasi untuk membantu adiknya tersebut.
“Tidak apa kak, aku hanya berpikir hari-hariku akan kembali sepi setelah kakak kembali kepadepokan nanti,” jawab Lintang berbohong.
“Hahahahahaha, dasar cengeng. Di sinikan ada ibu dan ayah. Mereka tidak akan lagi berdagang keluar wilayah katumenggungan karena ingin menjagamu, Kusha. Aku juga di padepokan tidak akan lama. Aku akan kembali setiap 6 bulan sekali untuk menjengukmu,” tutur Balada menjelaskan.
Lintang hanya menyeringai mendengar itu di mana sebetulnya bukan itu yang Lintang pikirkan.
“Kakak memang baik, hihihihihi,” Lintang berusaha tertawa.
“Sudahlah, besok lusa aku akan berangkat lagi ke padepokan. Sekarang bagaimana kalau kita bermain ke pasar?” ajak Balada menghibur.
“Ke pasar kak?” Lintang terlihat ragu.
“Benar! Kau tenanglah Kusha. Selama ada aku, tidak akan ada yang berani mengganggumu,” ujar Balada.
Dia mengucapkan itu dengan sunguh-sungguh karena sejatinya niat Balada menimba ilmu pun hanya untuk melindungi adik dan keluarganya.
Balada sadar, dunia tidak sedamai kelihatannya. Apalagi dunia persilatan, sehingga dia berpikir harus ada salah satu anggota keluarga yang menjadi pendekar untuk berjaga-jaga.
“Jika kakak memaksa, baiklah,” angguk Lintang.
“Hahahahaha, tentu saja,” Balada menepuk lembut pundak adiknya.
Setelah itu, kedua anak tersebut lantas berpamitan kepada orang tua mereka.
“Begitu rupanya, baiklah! Ayah akan memita paman Bakung dan Ki Jara untuk menjaga kalian,” ungkap Weda Warta.
Dia berniat memanggil dua pelayan kekar untuk menjaga Kusha dan Balada karena di pasar kerap terdapat banyak preman.
Sebagai seorang saudagar kaya, Weda tentu memiliki beberapa pelayan kuat yang merupakan seorang pendekar.
Mereka bertugas mengawal perjalanan saat berdagang dan sebagian menjaga kediaman agar tidak disatroni perampok.
Sehingga ketika mendengar Balada ingin jalan-jalan ke pasar, Weda pun tidak mungkin membiarkan kedua putra kecilnya berkeliaran sendiri.
“Tidak ayah, Balada juga sekarang sudah bisa melindungi diri. Balada berjanji akan selalu melindungi Kusha,” tolak Balada sopan.
Mendengar itu, Weda langsung terdiam berpikir entah harus menjawab apa.
Dia tahu Balada sekarang memang sudah menjadi pendekar, dan usianya telah memasuki pase remaja.
Tapi keadaan pasar tetaplah berbahaya. Namun ketika melihat Ratna Kianti mengangguk, Weda pun terpaksa mengizinkan mereka.
“Baiklah! Tapi kalian harus berjanji akan segera pulang jika sudah selesai,” ucap Weda.
“Tentu ayah, kami berjanji,” angguk Balada dan Lintang secara bersamaan.
“Jaga adikmu dengan baik, Nak. Dan jangan buat masalah,” pesan Kianti kepada Balada.
“Baik ibu,” angguk Balada.
“Hati-hati ya, Nak,” Kianti memeluk Kusha.
“Mmmm,” Lintang mengangguk senang kerena dia sendiri sangat penasaran ingin tahu bagaimana kehidupan masyarakat katumenggungan Surapala.
Akhirnya, Lintang dan Balada pun berangkat menuju pasar. Keduanya menunggangi seekor keledai jantan milik Balada.
Sebetunya Balada memiliki seekor kuda yang sangat bagus. Tapi dia sedang ingin membawa keledainya karena sudah lama tidak pernah bermain bersama.
Lintang duduk tenang di belakang Balada, mereka berjalan menuju selatan melewati beberapa perkampungan warga.
Banyak mata yang menatap jijik kepada Lintang, tapi dia tidak peduli kerena bagi Lintang, hinaan adalah sikap kagum dengan cara pandang yang berbeda.
Lintang tidak menilai wujud Kusha buruk, tapi malah menganggapnya sebagai berkah karena dengan memiliki perbedaan, dia akan menjadi pusat perhatian dan mudah dikenali orang.
Sedangkan Balada sendiri terlihat sangat kesal dengan sikap para penduduk, dia ingin sekali turun dari keledai untuk menghajar mereka. Namun Lintang segera mencegahnya.
Setelah melewati perjalanan selama 3 jam, kedua bocah itu pun akhirnya tibak di gerbang pasar.
Balada dan Lintang dapat masuk dengan mudah karena memiliki lencana perak sebagai simbol keluarga Warta.
Bahkan para penjaga gerbang pasar besikap sangat baik di mana mereka menghormati Weda sebagai saudagar terpandang di wilayah katumenggungan.
Balada menitipkan keledainya di gerbang pasar. Setelah itu, dia mengajak Lintang berjalan kaki menyusuri jalan besar yang saat itu penuh dengan hiruk-pikuk penduduk.
Berbagai dagangan dijajakan pada kios-kios sederhana dipinggir jalan. Ada juga penjual yang menjajakan dagangannya di lantai tanah dengan hanya menggunakan alas meja bambu.
Senjata, buah-buahan,sayuran, ikan, pakaian, makanan, gerabah dan berbagai dagangan lain bertengger lengkap di pasar itu.
Tetapi Lintang tidak peduli, dari pada memperhatikan barang-barang, dia lebih tertarik dengan kehidupan dan kebudayaan penduduk.
Namun kesukaannya di masa lalu terhadap makanan lezat serta berbagai tumbuhan obat masih melekat di diri Lintang, membuat pandangannya terus bergilir ke sana kemari memperhatikan dagangan tersebut.
“Apa kau ingin membeli makanan, Kusha?” tanya Balada.
“Tidak kak, aku hanya ingin berjalan-jalan saja bersama kakak,” jawab Lintang sembari tersenyum lebar.
“Bagaimana dengan tumbuhan obat? Aku melihat dirimu terus memperhatikan kios obat yang di sana. Apakah kau tertarik?” Balada kembali bertanya sembari menunjuk ke arah toko besar di sebrang jalan.
“Hihihi, aku mau kak, aku mau,” angguk Lintang seraya terkekeh senang.
Keadaan bertambah genting saat salah satu cacing raksasa berhasil menerobos dinding perisai.Sementara dasar batu juga sudah mulai mengalami keretakan karena terus dihantam oleh cacing yang lain dari dalam tanah.Sedangkan energi semua pasukan sudah mencapai batas sehingga mereka tidak mampu lagi mengalirkan energi.Prabu Kancradaka bersama semua pasukannya segera melesat menahan pergerakan cacing yang tadi masuk.Mereka sekuat tenaga memegang setiap duri pada tubuh cacing tersebut agar tidak bergerak memangsa para pasukan.Sakit? Tentu saja terasa amat sakit karena duri-duri cacing raksasa sangat tajam membuat telapak tangan semua pasukan bangsa Yada seketika robek mengucurkan banyak darah.“Sial! Bertahanlah semua!” teriak prabu Kancradaka dengan bahasanya.Tapi seakan tidak berguna, semakin lama, genggaman tangan mereka semakin memudar seiring kulit telapak tangannya terkelupas digerus duri-duri cacing raksasa.Semua orang sangat panik menyaksikan itu, sementara mereka tidak memili
Dorongan tekad yang kuat demi ingin terlepas dari kata beban membuat putri Widuri kehilangan akal sehatnya.Sementara godaan hasrat yang begitu mempesona membuat Lintang lupa diri terhadap etika seorang pendekar.Dia bahkan lupa dengan usia Kusha yang masih remaja sehingga tragedi hitam pun terjadi tidak mampu dielakan.Jerit teriakan kesakitan putri Widuri menandai tertembusnya kesucian diri, membuat dua insan tenggelam pada kenikmatan semu yang tidak akan terlupakan.Darah dari dinding selaput dara menjadi saksi bisu terjamahnya jurang cinta yang dangkal, menjadikan jalan bertemunya dua energi yang kini menjadi saling menyatu.Setelah itu, permainan indah pun dimulai bahkan sampai berkali-kali hingga keduanya berakhir lunglai di dalam genangan bening kenikmatan.Energi asing bergejolak di dalam inti tubuh putri Widuri, begitu juga Lintang. Namun keduanya tidak mampu bergerak terbaring saling berpegangan tangan.“Ma-ma—maafkan aku,” ucap Lintang lirih menyesali apa yang diperbuatnya.
“Heeeuuuug! Aaaah!”Lintang bangkit dari pingsannya, membuat putri Widuri sangat bahagia.Gadis itu langsung memeluk Lintang penuh haru, dia menangis lirih di dada Lintang, bersyukur Lintang tidak jadi mati.“Aku baik-baik saja Widuri, sudahlah,” Lintang membelai lembut rambut putri Widuri untuk menenangkannya.“A-a—aku takut kehilanganmu Ku-kusha,” air mata putri Widuri berderai membasahi dada Lintang.“Setiap mahluk pada akhirnya akan hilang, Widuri. Kau harus tahu itu,” ucap Lintang.“Ta-tapi aku tidak mau,” putri Widuri menggeleng.“Hihihihihi, maka kau akan terus terjebak dalam rasa khawatir,” Lintang terkekeh.Mendengar itu, putri Widuri langsung melepaskan pelukannya. Dia menatap tajam mata Lintang sebelum kemudian menggeleng sembari berkata “Biarkan saja, aku lebih baik selalu mengkhawatirkanmu dari pada kehilanganmu.” Tegasnya.“Haih dasar gadis keras kepala,” Lintang juga malah ikut menggeleng.“Ka-kau menyebalkan Kusha,” ketus putri Widuri.Lintang hanya tersenyum mendengar
Di dalam sebuah ruangan berbau asam, putri Widuri menangis sejadi-jadinya.Dia mengguncang-guncangkan tubuh Lintang meminta pemuda itu bangun. Namun setelah sekian lama, Lintang tetap tidak bergerak sementara darah dari punggungnya terus mengalir membasahi lahunan putri Widuri.“Kusha, cepat bangunlah! Jangan tinggalkan aku sendiri,” lirih putri Widuri.Sedangkan seruling surga telah kembali kebentuk semula, dia terletak di sisi putri Widuri seperti seruling bambu biasa.Perut cacing raksasa begitu sangat luas, tapi hampir semua permukaannya berupa kolam cairan. Sementara dinding ujung berut makhluk tersebut tidak terlihat karena tertutupi asap tebal yang berasal dari dasar kolam.Putri Widuri dan Lintang saat ini sedang berada di salah satu atap bangunan yang belum hancur.Atap itu terbuat dari kayu sehingga mampu mengambang. Tetapi putri Widuri tidak tahu entah terbuat dari kayu apa di mana kayu-kayu lain tetap hancur tenggelam ke dalam kolam.Terlebih mana mungkin putri Widuri pedu
Panglima Siahan dan Hala dengan cepat beradu punggung karena tidak tahu entah akan dari sisi mana panglima Alpere menyerang mereka.“Hahahahaha, bodoh! Mati kau sialan!” tawa panglima Alpere terdengar lantang dan arahnya datang dari atas.“A-apa? Sial!” panglima Siahan dan Hala sama-sama mengumpat tidak percaya.Mereka serentak menyilangkan senjata berniat menahan serangan lawan. Tetapi keduanya melakukan itu sembari menutup mata karena tidak yakin akan selamat.“Hahahahahaha, jurus tapak peremuk jagat! Matilah!” panglima Alpere meluncur cepat berniat menghantam tubuh panglima Siahan dan Hala dengan jurus tertingginya.Tubuh lelaki itu memancarkan cahaya merah dengan aura membunuh yang sangat pekat.Tidak ada yang pernah selamat dari jurus tersebut bahkan jika pendekar tingkat tinggi sekali pun membuat panglima Siahan dan Hala tidak memiliki kesempatan.Wush!Panglima Alpere semakin mendekat, dia sangat yakin bahwa dirinya akan mampu menghabisi panglima Siahan dan Hala dalam satu sera
Deg!Jantung Prabu Mangkukarsa dan Raja Manggala seakan terhenti ketika mendapatkan informasi memilukan tentang Lintang.Terlebih Lintang gugur bersama putri Widuri, bahkan Adipati Agung Triat Mojo juga sampai jatuh berlutut lemas hingga hampir terkena tebasan musuh.Beruntung di sana masih ada panglima Kuncoro yang melindunginya.Sesaat Prabu Mangkukarsa kehilangan harapan dan ingin rasanya pasrah menerima kekalahan.Namun Raja Manggala kembali menguatkannya dengan mengatakan bahwa Kusha sudah berjuang mati-matian membela kerajaan, dan sekarang ketika dia gugur pemilik kerajaan tersebut malah akan menyerah? Ini sungguh hal bodoh karena menyia-nyiakan pengorbanan Kusha.Tidak ada yang tidak bersedih ketika pemimpin tertinggi pasukan gugur, terlebih dia adalah orang yang telah beberapa kali berjasa menyelamatkan kerajaan.Namun jangan pernah jadikan kesedihan itu sebagai alasan untuk menyerah karena gugurnya Kusha juga demi keberlangsungan perjuangan pasukan.Raja Manggala malah sampai