MasukLama menunggu tetua Daeng Lambada, akhirnya Masayu merasa jenuh, apalagi dia juga sangat mengkhawatirkan keadaan Lintang.
Tidak mau terjadi sesuatu yang buruk terhadap sahabatnya, gadis itu memutuskan untuk memberitahu ayahnya agar membantu mencari Lintang.
“Benar juga, tugasku disini sudah selesai, biarkan paman Daeng yang mengurus penyusup itu, aku harus memberitahu Bopo tentang si Bodoh yang dari kemarin menghilang entah kemana.”
Masayu segera melesat menuju ke diaman ayahnya di puncak tertinggi gunung berapi, perlu waktu menuju kesana, jaraknya sekitar 2 kilo meter dari aula perguruan.
Dia melompat melewati beberapa atap bangunan komplek murid dalam, setelah itu Masayu berlari menaiki anak tangga menuju puncak gunung.
Sesaat kemudian, gadis itu sampai di depan sebuah bangunan besar dengan pelataran sangat luas yang terdapat taman bunga dan kolam ikan berwarna warni di dalamnya.
Tanpa mengetuk pintu, Masayu langsung masuk dengan berteriak keras memanggil Ki Ageng Jagat.
“Bopo? Bopo? Bopo …..?”
Lama memanggil, gadis itu tetap tidak mendapatkan jawaban, “Kemana perginya Bopo, mengapa dia tidak berada di rumah? apa mungkin ….”
Masayu selanjutnya melesat menuju taman belakang yang biasa dipakai dirinya berlatih kanuragan bersama sang ayah.
Taman itu menyimpan banyak kenangan saat Masayu memulai berlatih kanuragan bersama Lintang, sebelum akhirnya Lintang memutuskan berhenti dari latihan.
“Ah, mengapa si bodoh itu selalu saja membuatku cemas.” Masayu berdiri mematung seraya memandangi dua boneka kayu yang terlihat sudah lapuk termakan usia.
Satu dari boneka itu adalah miliknya, dan satu lagi adalah milik Lintang.
Beberapa tahun yang lalu kedua boneka itu selalu mereka pakai untuk latihan.
Taman di belakang kediaman Ki Ageng Jagat memang sangat luas, Masayu berjalan menuju sebuah gubuk tua tempat biasa ayahnya menghabiskan waktu.
Benar saja, ternyata Ki Ageng Jagat sedang berada di sana, dia tengah duduk bersila melakukan semedi.
Masayu tersenyum memandangi wajah Bopo-nya yang nampak tenang, namun senyum itu seketika menukik saat melihat sosok hewan buas yang tidak asing yang sudah seharian dirinya cari bersama pemiliknya.
Dia adalah seekor beruang besar berwarna hitam yang kini sedang bermain mengejar kupu-kupu, berlarian tepat di belakang Ki Ageng Jagat.
“Limo…!” Masayu berteriak memanggil beruang itu.
“Kwii, kwi , kwiii.”
Limo langsung berlari mendekati Masayu, layaknya kepada Lintang, dia juga senang mengeluskan kepalanya di kaki Masayu.
“Hahaha, ternyata kau berada di sini, dasar nakal,” Masayu menggetok kepala Limo dengan gagang pedang secara pelan.
“Kwiiiii,” beruang itu meringis dan segera mundur dua langkah menjauhi Masayu.
“Dimana tuanmu? apa dia juga di sini?” Masayu bertanya cepat, dia sangat kesal jika benar Lintang berada di tempat itu.
Sungguh merepotkan, dirinya mencari Lintang dari pagi buta hingga sampai dibatas hutan terlarang, ternyata pemuda bodoh itu berada di sini ditempat kediaman ayahnya sendiri.
Masayu menatap Limo tajam menunggu jawaban, membuat beruang gendut tersebut mundur ketakutan, sementara Masayu terus melangkah memberi ancaman, namun ….
Limo yang terlalu ketakutan malah lari terbirit-birit, melompat dan bersembunyi di belakang Ki Ageng Jagat, dia tidak mengerti kenapa sahabat tuannya tampak begitu marah.
Limo tahu, jika seorang gadis sudah marah, maka langit sekalipun tidak dapat menahannya.
Limo menggigil berlindung dibalik tubuh Ki Ageng Jagat.
“Bopo, cepat katakan dimana si bodoh kesayanganmu itu?” Masayu bertanya dengan nada kesal, auranya sungguh terasa benar-benar mengerikan.
Membuat Ki Ageng Jagat yang sedang bersemedi pun sampai terbatuk 2 kali, kemudian membuka sebelah mata seraya mengangkat tangan kanan menunjuk ke arah dapur di belakang kediamannya.
Melihat itu, Masayu sontak melesat menuju arah yang ditunjuk oleh ayahnya, dia tidak sabar ingin segera menghajar Lintang.
“Dasar gadis manja, dia masih saja tidak berubah, tapi kenapa dia terlihat sangat kesal?” Ki Ageng Jagat selanjutnya tertawa, menggeleng berpikir anak gadisnya kini sudah dewasa.
“Kwii, kwii, kwiiii.” Limo juga ikut bersuara namun Ki Ageng tidak mengerti entah apa yang diucapkannya.
“Kau sama saja dengan dia Limo, tidak pernah berubah.” Ki Ageng Jagat mengatai Limo dan Lintang yang menurutnya masih tetap polos, dimana yang mereka tahu hanya bermain dan makan saja.
“Kwiiiiii,” Limo mengelus-ngeluskan kepalanya di kaki Ki Ageng Jagat, membuat Ki Ageng Jagat tersenyum lembut seraya mengelus balik kepala Limo dengan tangannya.
Sementara di dapur kediaman Ki Ageng Jagat, Lintang nampak sedang memasak sup daging rusa hasil tangkapannya dari Hutan Larangan. Tepat setelah tak lagi menemukan Madu Lanang.
Sebelum ini, pagi ketika ia turun dari caruk tebing tempat dirinya bermalam bersama Limo dan Madu Lanang, Lintang tidak sengaja terpeleset jatuh menghantam keras bebatuan dasar tebing. Orang lain harusnya akan langsung mati dengan tubuh hancur tak beraturan. Namun anehnya, tubuh Lintang tidak terluka sedikitpun, bahkan dia tidak merasakan apa-apa.
Lintang amat heran tidak mengerti mengapa tubuhnya menjadi begitu kuat dan ringan. Padahal ia hanya manusia biasa tanpa bakat apapun di bidang kanuragan.
Serupa keajaiban, dalam beberapa hari ini, Lintang memang merasa tubuhnya mengalami perubahan. Dimulai saat kemarin bisa meloloskan diri dari kejaran Bangga Sora hingga sekarang jatuh tanpa luka.
Terdapat beberapa kejanggalan yang Lintang rasakan.
Lintang pikir waktu itu Bangga Sora tidak mengejarnya.
Tapi setelah di ingat-ingat, tidak mungkin pula Bangga Sora melepaskan buruannya.
Bangga Sora merupakan murid dalam yang sangat berbakat dan memiliki ilmu meringankan tubuh jauh diatas rata-rata. Tapi mengapa dirinya bisa lolos?
Kemudian, semua luka yang didapat dari serangan Silah dan kawan-kawan juga bisa sembuh hanya dalam waktu semalam, bahkan sampai tak meninggalkan jejak sedikitpun.
Padahal biasanya jika dia terluka, luka itu akan memerlukan waktu setidaknya 3 hari untuk pulih, itupun dengan bantuan ramuan obat racikannya sendiri.
Lintang benar-benar bingung tak kunjung menemukan pemahaman.
Lintang terus berpikir menerka-nerka.
Tanpa tahu bahwa Limo di atas tebing begitu panik mencemaskan keselamatannya.
Limo turun tergesa-gesa hanya untuk memastikan tuannya, takut Lintang celaka.
Namun ketika tiba, Limo pun amat terkejut karena Lintang ternyata tidak apa-apa, bahkan tidak mendapat lecet secuil pun.
Limo sempat tertegun memikirkan bagaimana itu bisa terjadi. Tapi kemudian dia langsung berlari menghampiri Lintang dengan raut amat bahagia.
Seperti biasa, Limo mengungkapkan perasaannya dengan menjilati wajah Lintang. Limo sangat senang karena tuannya sungguh baik-baik saja.
Sementara Lintang tidak menunjukan ekspresi apapun, masih tidak tidak habis pikir dengan apa yang dialami. Tapi bagaimanapun Lintang mencari, dia tetap tak menemukan titik terang.
Merasa penasaran terhadap batas tubuhnya saat ini. Lintang pun meminta Limo agar naik ke atas punggungnya, Lintang berniat membawa Limo berlari seperti apa yang dilakukannya ketika kabur dari kejaran Bangga Sora.
Menurutnya jika dia sungguh mampu belari cepat sembari menggendong Limo, maka kemungkinan memang tubuhnya telah berkembang jauh melebihi struktur tubuh manusia normal.
Awalnya Lintang juga sempat ragu, namun ketika Limo telah naik ke gendonganya, barulah Lintang yakin semua ini bukan mimpi.
“A-apa yang terjadi dengan tubuhku …? A-apa sekarang kau agak kurusan Limo? Mengapa tubuhmu serasa sangat ringan sekali?”
Lintang sungguh bingung dengan mengapa dia tidak bisa merasakan bobot Limo? Padahal beruang hitam miliknya itu berukuran dua kali tubuh manusia dewasa.
Biasanya, jangankan menggendong, menahan tindihan Limo saat bermain saja Lintang tidak sanggup. Tapi sekarang tidak lagi.
“A-apa mungkin ini efek dari ramuan pengeras tulang yang kubuat? Ta-tapi, rasanya tidak mungkin.”
Lintang semakin tak habis pikir dengan kondisi yang dia alami, dia tetap tidak mengerti entah dari mana sumber kekuatannya berasal.
Sementara Limo malah terlihat kegirangan, senang karena kini dia bisa berada di atas tubuh Lintang kapan pun ia mau tanpa harus lagi menghiraukan kondisi sang Tuan.
Sudah lama, sejak 3 tahun lalu terakhir Limo digendong Lintang, diajak bermain berlarian di atas gendongan, saat tubuh Limo masih belum sebesar sekarang.
Dan Limo selalu merindukan saat-saat itu. Namun Lintang sudah tak sanggup lagi melakukannya.
Kejadian ini sungguh membuat Limo bernostalgia tanpa peduli pada apa yang Lintang pikirkan.
“Hahahaha, sekarang aku bisa membawamu dengan mudah kapan pun kita dalam bahaya Limo” Lintang tertawa terbahak-bahak, memilih menerima perubahan pada dirinya tanpa lagi mau pusing memikirkan apa dan mengapa dan dari mana kekuatan itu berasal.
Dan untuk menguji semua itu, Lintang segera berlari secepat yang dia bisa, dan hasilnya sungguh mengejutkan karena kini, dia bisa berlari secepat angin menapaki pucuk-pucuk belukar dan rerumputan.
**
Rahasia asal usul Limo memang masih menjadi misteri, tiada yang tahu entah dari alam mana dia berasal.Jangankan orang lain, Lintang sendiri-pun yang memungut dan merawatnya sedari kecil tidak tahu menahu entah dari mana Limo berasal.Dia menemukan beruang itu tengah terluka parah di kedalaman hutan terlarang di wilayah perguruan Awal Selatan tempo dulu.“Apa mungki …!” gumam Lintang.“Aku juga berpikir demikian kakang,” ungkap Anantari.Keduanya saling berpandangan sebelum berakhir menatap Limo secara bersamaan.“Hahaha, sudah kubilang serangan kita pasti berhasil, benar kan Limo!” seru Asgar senang menepuk punggung Limo dengan ujung ekornya.“Kwi, kwi, kwiii,” ungkap Limo menanggapi Asgar.“Hahaha, aku tahu, aku tahu,” kembali Asgar tertawa.Mereka terlalu awal merayakan kemenangan yang sejatinya belum mereka dapatkan, di saat Asgar dan Limo sedang tertawa, kemudian Lintang dan Anantari sedang berbalik memandangi Limo, gurita raksasa yang marah dengan cepat melancarkan 7 serangan en
Seiring kemunculan 8 tentakel raksasa, gelombang air naik semakin besar membuat perahu yang di tumpangi Lintang terseret sejauh ratusan depa.Selanjutnya dari dalam air terdengar suara gauman sangat keras yang memekakkan telinga, hingga Lintang dan Anantari segera menutup telinganya menggunakan energi tenaga dalam.“Gumm, gummm!” suaranya begitu nyaring dan mengerikan.“Celaka, sepertinya dia hewan penjaga lain yang menghuni lautan,” ungkap Anantari.Sebelumnya memang Anantari telah menceritakan bahwa ada dua hewan penjaga dunia yang menghuni lautan, satu di antaranya ada kura-kura raksasa yang pernah mereka jumpai, dan satu lagi kemungkinan ini, hewan pemilik tentakel raksasa.“Sial, mengapa kita harus bertemu hewan seperti ini lagi,” umpat Asgar.“Kwii, Kwii, Kwii!” ungkap Limo.“Aku bukan penakut, berengssek! hanya saja ini akan sangat merepotkan.” bela Asgar, dia tidak mau kehilangan kewibawaan-nya di depan Limo.“Tidak kusangka ternyata dia berada disini, pantas saja tidak ada ya
Semburat Jingga mulai menyeruak di cakrawala pertanda pagi akan segera datang.Lintang bersama Anantari tengah berdiri berdampingan di geladak sebuah perahu layar di tengah lautan.Keduanya berangkat meninggalkan pulau Manarah sesaat setelah rembulan naik di atas kepala.“Kwii, kwii, kwii,” seekor beruang kecil berlari dari dalam kabin menghampiri mereka.“Hahaha, kesinilah Limo,” seru Lintang.“Dia jadi sangat lucu, kakang,” puji Anantari pada Limo.“Hahaha, kau benar, jika melihat wujudnya sekarang, aku selalu teringat saat pertama kali bertemu dengannnya di hutan terlarang perguruan Awan Selatan,” Lintang tertawa.“Kwii, Kwii, Kwii,” ujar Limo seraya naik keatas pundak Lintang.“Hahaha, aku tahu,” tanggap Lintang.Anantari hanya mengerutkan kening tidak mengerti entah apa maksud dari kata-kata yang Limo lontarkan.“Berapa lama kira-kira kita sampai di Kuil Teratai Putih, Kakang?” tanya Anantari.“Entahlah, sepertinya sekitar beberapa bulan,” jawab Lintang.Lintang memilih perjalana
Tidak ada yang tidak membelalakan mata saat melihat sosok kesatria Naga Gerbang Nirwana, termasuk Bawana.“Dia benar-benar layak menjadi seniorku, tidak kusangka kekuatan senior bisa jauh berkembang seperti itu hanya dalam waktu beberapa saat,” gumam Bawana terkagum.Saat pertempuran melawan pasukan iblis di wilayah gunung Merapi, Bawana memang tidak menyaksikan pertarungan Lintang karena dirinya tidak sadarkan diri setelah mendapatkan luka parah dari energi Anantari.Ki Cokro mematung tidak dapat berkata-kata, dia memandang Lintang layaknya seorang dewa, hatinya begitu bangga memiliki murid yang akan menjadi legenda.Dia percaya Lintang masih akan terus berkembang, andai Ki Ageng jagat masih hidup, orang tua itu juga pasti akan menangis haru mendapati Lintang telah mencapai apa yang menjadi harapannya.Beda Ki Cokro beda lagi dengan semua pendekar golongan hitam dan para pasukan kerajaan Manarah, nafas mereka tertahan menyaksikan Lintang.Keringat becucuran dan wajah tampak memucat,
Lintang dan dua panglima iblis bersaudara bertarung jauh di atas langit, dia melakukan itu karena tidak mau merusak kerajaan Manarah.Jika dia bertarung di daratan, maka tidak hanya kerajaan Manarah, semua orang yang ada di sana juga akan terancam bahaya.Maha Prabu Antareja menyaksikan pertarungan itu dengan perasaan harap-harap cemas, jika kedua panglima iblis yang menjadi pengawalnya kalah, maka habis sudah riwayat dirinya, dia sudah menyiapkan sebuah pisau kecil agar dirinya bisa langsung bunuh diri andai kedua panglimanya kalah.“Hahaha, kau memang sakti anak manusia, namun kesaktianmu tidak cukup untuk melawan kami,” Karpala tertawa, dia sesumbar menyombongkan kekuatan besarnya di hadapan Lintang.Sementara Gupala masih menimbang-nimbang sejauh mana kekuatan Lintang, dari tadi pemuda yang menjadi lawannya hanya bertahan saja dan tidak berbalik memberikan serangan. Membuat Gupala sedikit merasa risih, entah apa maksud dari kedatangannya kesini.Melawan dua panglima iblis yang sud
Bawana bertarung sengit dengan Ki Suta, meski kanuragan kakek tua itu tidak seberapa, namun jurus ilusinya sangat merepotkan.Dua kali Bawana tenggelam dalam ilusinya, saat ini dia sedang berada di dunia antah berantah yang di dalamnya terdapat banyak mahluk aneh berukuran besar.Memiliki kepala botak, dengan tubuh penuh bulu seperti kera, para mahluk itu tidak ada habisnya menyerang Bawana, dan yang paling sialnya, mereka tidak bisa di bunuh.Sekali mati, maka akan hidup lagi, lagi, dan lagi, membuat Bawana kewalahan dan hampir kehabisan energi.Jika Bawana tewas di dunia ilusi, maka akan tewas pula jiwanya, Bawana akan tamat selamanya, dia terus mencoba bertahan untuk menghemat energi.Di alam nyata, Ki Suta tertawa terbahak bahak mendapati musuhnya kembali terperangkap, bisa saja dia langsung membunuh Bawana dengan memenggal tubuh pisiknya, namun tidak dia lakukan karena ingin menyaksikan penderitaan lawan terlebih dahulu.“Dasar bodoh, tidak ada pendekar yang mampu menandingi ilus







