Shift kerja Andara sudah berakhir. Tapi ia merasa malas untuk pulang ke rumah. Andara tidak ingin dikurung lagi. Rumah itu, orang-orang di dalamnya, adalah orang-orang yang membuat Andara trauma. Andara pikir Marcella tidak sekejam Ananta. Tapi setelah tamparan perempuan itu padanya, Andara berubah pikiran. Marcella tidak ada ubahnya dengan Ananta.Andara ingin kabur. Tapi ke mana?Ia tidak mungkin ke rumah kakaknya karena Ananta akan dengan gampang menemukannya."Sombong ya sekarang. Chat aku nggak dibalas."Suara itu menggilas habis lamunan Andara. Tian sudah berada di dekatnya."Apa sih, Yan? Sombong apanya?""Buktinya aku chat dua kali nggak dibalas."Andara lantas teringat pada ponselnya yang disita Ananta. "Hpku ketinggalan di rumah." Andara membuat alasan."Tumben?" heran Tian. Ia tahu persis bahwa Andara adalah orang paling teliti yang pernah dikenalnya."Tadi karena buru-buru jadinya ketinggalan deh.""Oh." Mulut Tian membulat."Emangnya tadi kamu bilang apa?" Andara penasa
Ada dunia kecil di dalam mal yang luput dari perhatian. Dunia di balik pintu gelap dan dentuman suara speaker, di mana kehidupan berputar dalam reel selama dua jam atau kurang. Dunia tersebut bernama bioskop.Dari luar dia hanya tampak seperti pintu besar dengan poster-poster mencolok–wajah-wajah aktor berpose gagah, aktris berparas manis, judul-judul yang dicetak tebal, dan embel-embel 'Now Showing'. Tapi, begitu melangkah masuk ke dalam, ada perubahan atmosfer yang tidak bisa dijelaskan. Seolah gravitasi lain sedang bekerja di sana.Pintu kaca otomatis terbuka. Aroma karamel popcorn langsung menyambut. Harum gurih manis itu menjadi bau resmi bioskop.Di balik loket, para petugas bekerja dengan seragam rapi. Ada yang berdiri di pintu hall menjaga tiket. Ada yang membersihkan studio sebelum film selanjutnya diputar. Ada penjaga stand popcorn dan makanan lain. Dan tentu saja ada penjaga tiket seperti Andara.Ia saat ini sedang duduk dengan senyum separuh tulus dan separuh lelah. Matan
Dunia seakan berhenti berputar. Andara menatap pria itu tidak percaya. Napasnya tercekat. Bola matanya melebar. Tidak percaya bahwa suaminya sendiri tega meragukannya. Kata-kata Ananta barusan membentur dinding hatinya yang sudah retak sejak lama."Apa maksud Mas bilang begitu?" Suaranya bergetar.Ananta melengkungkan senyum miring. Sikapnya tetap tenang tapi penuh tekanan. Tangannya terselip di saku celana. Dagunya terangkat angkuh."Aku bilang, 'kamu yakin dia anakku?'" Ananta mengulangnya dengan nada datar. "Dalam waktu dua bulan kamu bisa tidur dengan siapa saja. Dengan Tian mungkin? Atau siapa lagi? Aku bahkan nggak tahu kamu pulang ke mana setiap hari. Kamu pikir aku bodoh?"Andara memundurkan tubuh. Rasa kecewa yang sangat semakin dalam menggerogoti hatinya."Mas pikir aku selemah itu? Serendah itu? Setelah Mas perkosa aku, hancurin hidup aku, sekarang dengan teganya nuduh aku tidur dengan laki-laki lain?"Ananta kembali mendekat, mempersempit jarak di antara mereka. "Jangan pl
Tamparan itu membuat wajah Andara terputar ke samping. Pipinya langsung memerah, perih dan terasa panas. Seumur-umur baru kali ini ada orang yang berani melakukan fisik padanya. Mirisnya orang itu bukan siapa-siapanya. Bahkan orang tua dan kakaknya tidak pernah menyakitinya satu kali pun. Mereka sangat menyayangi Andara.Marcella menggeram. Tangannya masih menggantung di udara. Napasnya memburu. Ia tidak menyangka kalau Andara berani berkata seperti tadi padanya."Beraninya kamu ngomong gitu ke aku. Udah dibaik-baikin malah kurang ajar. Kamu pikir kamu siapa? Kamu cuma beban di hidup Ananta!" hardik perempuan itu.Andara memejamkan mata sejenak. Ia tidak tahu mendapat kekuatan dari mana sampai bisa berkata seperti tadi. Ia hanya menyampaikan apa yang terasa di hatinya. Kemudian ia membuka lagi matanya ketika mendengar Marcella mengatakan, "Masih untung kamu aku kasih makan. Kalau nggak, kamu akan mati kelaparan.""Nggak apa-apa. Aku lebih baik mati kelaparan," balas Andara pelan, tan
Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui tirai yang tidak sepenuhnya tertutup. Cahaya itu menerpa tepat wajah Andara yang berbaring di lantai di dekat pintu.Ia menggeliat pelan. Kelopak matanya terbuka perlahan. Tubuhnya terasa dingin, pegal dan kaku. Satu sisi pipinya terasa kesemutan karena semalaman bersandar ke lantai tanpa alas.Matanya memandang langit-langit dengan tatapan kosong. Untuk sesaat ia hampir lupa di mana dirinya. Tapi rasa perih di sendi-sendi tubuhnya segera mengingatkan. Ia masih di sini. Di kamar ini. Di dalam penjara ciptaan suaminya sendiri.Semalam ia sempat berpikir, kalau semua ini adalah mimpi, ia berharap akan terbangun di tempat lain. Entah di rumah kakaknya atau di samping pusara orang tuanya. Yang penting bukan di sini.Tangannya meraba sekitar. Mencari sesuatu untuk berpegangan saat mencoba bangkit. Namun yang ia temukan hanya udara.Ia duduk perlahan. Menyandarkan punggung ke pintu yang dingin. Pandangannya yang kosong lurus ke depan.Perutnya la
Andara terus memukul-mukul pintu hingga kepalan tangannya memerah. Namun Ananta tetap tidak peduli. Napasnya tersengal-sengal. Bahunya naik turun menahan tangis yang belum ia izinkan jatuh. Kakinya lemas.Andara akhirnya menyerah. Ia akhirnya menjatuhkan diri ke lantai seperti boneka yang talinya dipotong.Di antara irama napas dan kecamuk di dadanya, Andara memindai sekeliling kamar. Ruangan yang sebelumnya adalah tempat istirahat dan berteduh baginya sekarang adalah penjara tempatnya dikungkung.Sadar dirinya belum berbusana, Andara merangkak mengambil pakaiannya yang teronggok di lantai setelah tadi Ananta membukanya dengan paksa. Ia memakai bajunya kemudian menyeret langkah ke kamar mandi untuk membersihkan dir.Air dingin terasa menusuk, membasahi inci demi inci bagian tubuh dan lipatan kulitnya. Seolah sedang menghapus jejak perlakuan yang tidak akan bisa ia lupakan seumur hidup.Andara baru sadar ponselnya tidak lagi di tempat ketika keluar dari kamar mandi. Ia mencari benda i