Ils n'auraient jamais dû se croiser... pourtant le destin en a décider autrement. Livraison Moreau tente désespérément de fuir l'ombre oppressante d'un père qu'elle hait et d'un passé qui la poursuit comme une malédiction. Lorsqu'un drame bouleversé son existence, elle croit entrevoir une échappatoire... jusqu'au jour où un accord inattendu la plonge au cœur de l'univers sombre et périlleux de Raphaël Valcourt. Froid, implacable et prisonnier de ses propres ténèbres, Raphaël s'est toujours refusé à croire à l'amour. A ses yeux, Livia n'est qun simple pion dans une partie d'échecs où pouvoir et vengeance s'entrelacent. Mais l'orque la passion s'invite entre eux, les masques tombent et leurs cœurs s'embrasent, les entraînant vers une vérité capable d'anéantir leurs mondes. Dans un univers où la trahison est monnaie courante, auront-ils la force de briser leurs chaînes...ou seront-ils consumer par leur propre désir ?
Lihat lebih banyakMusiknya membuat ngantuk. Beberapa kali mengundang kuap yang terpaksa Delotta tahan. Sudah lebih dari satu jam, tapi rasanya sang papa belum juga bosan bercengkrama dengan koleganya.
Delotta sudah berkeliling corner yang menyediakan aneka makanan lezat. Mulai dari appetizer hingga dessert sudah dia coba. Mencicipinya sedikit lalu ditinggal begitu saja.
Seandainya pesta ini ditujukan untuk kaum muda, gadis dengan rambut cokelat bergelombang itu tidak akan sebosan ini.
Suara denting gelas yang beradu diiringi tawa aneh sudah sering Delotta dengar beberapa kali. Belum lagi sapaan hangat para tamu seolah-olah sudah lama tidak bertemu. Dan, musik klasik ini. Bisa tidak diganti musik rock saja?
Gadis yang memiliki mata bulat itu meniup helaian rambutnya yang mulai jatuh menutupi mata. Tatanan rambutnya mulai sedikit berantakan.
"Delotta, kamu di sini rupanya. Papa mencari kamu."
Delotta yang sedang meminum sirup nyaris tersedak saat tiba-tiba saja tangannya ditarik. Dia berjalan tersaruk-saruk mengikuti langkah papanya.
"Jangan jauh-jauh dari papa. Kamu mau dapat tempat magang nggak?" omel Ricko. Pria berbadan tinggi dengan sedikit jambang di area rahang dan dagu itu ayah Delotta. Yang memaksa gadis 22 tahun itu ikut ke pesta para bapak.
Serius, Delotta belum melihat satu pun pemuda yang seumuran dengannya atau paling tidak beberapa tahun di atasnya.
"Ini putri saya, Pak Rafly. Namanya Delotta." Ricko memperkenalkan putrinya pada salah seorang pria berjas abu-abu dan berkepala botak.
Delotta bisa menaksir usianya tidak jauh beda dengan Darco, kakeknya.
"Wah! Cantik, saya tidak menyangka Pak Ricko punya putri secantik Delotta," puji lelaki itu dengan mata... Jika tidak salah lihat, Delotta merasa lelaki tua itu bermain mata dengannya. Dasar tua bangka.
Delotta hanya tersenyum tipis merespons pujian itu. Kalau boleh, dia malah ingin menendang pria itu.
"Jadi, Delotta ini baru lulus kuliah dan sedang mencari tempat magang? Kenapa tidak di perusahaan ayahnya saja?" tanya si kepala botak.
"Kalau dia mau, sudah saya suruh kerja di sana, Pak. Tapi Delotta ini maunya di tempat kerja orang lain. Yang nggak ada papanya." Ricko berbicara sambil menunjukkan raut kecewa yang dibuat-buat. "Kalau ada posisi yang cocok buat Delotta di perusahaan Pak Rafly bolehlah putri saya magang di sana."
"Oh, tentu, Pak Ricko. Selalu ada tempat buat wanita cantik di perusahaan saya. Anda tenang saja. Mungkin Delotta bisa kirim CV lewat email." Pria bernama Rafly itu menyeringai kepada Delotta. Pandangannya sempat melirik gaun Delotta yang membungkus tubuhnya begitu pas dan elok.
Gaun berwarna abu-abu dengan glitter silver itu sedikit menonjolkan lekuk tubuh gadis itu. Meskipun baru 22 tahun, Delotta memiliki tubuh yang seksi dan berisi. Sangat serasi dengan wajahnya yang cantik.
Dipandang seperti itu Delotta tampak risih, dan segera berbisik ke dekat telinga Ricko.
"Pa, aku mau ke toilet. Dan jangan lupa bilang sama si Botak, kalau aku nggak tertarik bergabung di perusahaannya." Setelah mengatakan itu Delotta langsung melenggang pergi. Dia sempat melihat wajah merah papanya, tapi tidak memberi kesempatan kepada lelaki 47 tahun itu untuk mengomel.
Entah seberapa jauh Delotta berjalan menjauhi tempat pesta, tapi toilet yang dia cari tak kunjung ketemu. Bahkan gadis yang mewarisi kecantikan ibunya itu harus melepas heels yang menyiksa tumit kakinya.
"Rumah papa juga gede, tapi nggak segede ini juga. Masa nyari toilet aja nggak nemu-nemu. Kalau ketemu pemilik rumah bakal aku saranin buat bikin papan petunjuk arah," omel Delotta sambil berjalan mengangkat rok dan menjinjing heels.
"Hei, Nona. Anda mau ke mana?"
Sebuah sapaan membuat langkah Delotta terhenti seketika. Dia menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan seragam serba navy menghampirinya. Gadis itu bisa menebak pria itu hanya seorang security.
"Saya mau ke toilet. Di mana sih, Pak, toiletnya? Rumah ini dinding semua."
Ya, sepanjang mata memandang hanya dinding saja yang Delotta lihat. Jangankan jendela, pintu pun tak ada.
"Kalau mau ke toilet jangan lewat sini, Nona. Anda salah jalan. Seharusnya tadi Anda belok kanan."
"Jadi, saya harus ke mana?"
"Baiklah. Nona bisa ambil jalan di depan sana. Terus belok kiri dan lurus ke depan, ada toilet di situ."
"Oke, oke."
Setelah mengucapkan terima kasih, Delotta bergegas mengayunkan kaki menapaki lantai yang keseluruhannya terbuat dari marmer.
Namun, gadis berhidung runcing itu kebingungan lagi. Dia sangat yakin sudah berjalan sesuai petunjuk security itu, tapi lagi-lagi yang dia temukan hanya dinding putih tanpa pintu.
"Sebenarnya model apa sih rumah ini?"
Delotta nyaris putus asa saat tangannya tanpa sengaja menyentuh dinding dan menyebabkan dinding itu bergerak terbuka. Dia terkejut bukan main melihat dinding itu saling menjauh dan menampilkan sebuah ruangan lain yang tersembunyi.
Karena penasaran, Delotta masuk ke ruangan itu. Dan hal pertama yang dia lihat adalah tempat tidur super mewah dengan duvert cover serba dark blue.
"Ini kamar?" tanyanya pada diri sendiri. Kaki telanjangnya menyentuh karpet empuk yang mengalasi lantai. Tepat saat itu dia kembali terkesiap ketika dinding di belakangnya menutup kembali. Dan ajaibnya, Delotta melihat sebuah pintu di sana. Harusnya Delotta lekas keluar dari kamar mewah itu. Namun, dia malah menyisir, berkeliling mencari toilet.
"Nggak mungkin kamar semewah ini nggak ada kamar mandinya," gumamnya sambil menahan hasrat ingin pipis.
Bibirnya melengkung lebar saat akhirnya menemukan sebuah pintu yang diduga sebagai akses masuk ke kamar mandi. Delotta menekan tangkai pintu yang ada di sana, dan benar, sebuah kamar mandi mewah pun tampak.
"Gila. Kamar mandi papa sudah cukup keren menurutku, tapi ternyata ada yang lebih keren lagi."
Selain marmer, dinding kamar mandi juga dihiasi batuan alam yang Delotta yakin didatangkan langsung dari sungai di pegunungan. Terlihat begitu alami. Yang lebih membuat dia takjub ada sudut yang didesain seperti sumber mata air di daerah tropis. Delotta berdecak kagum hingga lupa tujuannya ke kamar mandi.
Dia baru sadar ketika ponselnya berdering dan menampilkan nama sang papa. Buru-buru gadis itu menyelesaikan tujuannya lalu bergegas keluar lagi.
Namun, ketika hendak keluar dia berbalik dan tersenyum sendiri. "Aku fotoin dulu, ah."
Meskipun dia anak orang kaya, tapi tetap saja bisa norak. Setelah mengambil beberapa foto, Delotta bergerak keluar. Dan ketika berhasil keluar ....
"Aaaargh!"
Delotta menjerit kencang dan segera menutup matanya dengan telapak tangan ketika tanpa sengaja melihat sesosok pria yang hanya mengenakan celana boxer.
Pria itu pun tampak terkejut dan segera menyambar handuk, lalu melilitkannya dengan asal ke pinggang.
"Kamu siapa?! Kenapa telanjang di sini?!" seru Delotta masih menutup mukanya dengan tangan.
"Harusnya saya yang tanya, kenapa kamu ada di kamar saya?" tanya pria itu dengan tampang waspada.
"Ka-kamar kamu?"
"Iya, ini kamar saya. Gimana bisa kamu masuk?"
"Maaf, tadi sa-saya numpang ke toilet." Delotta mengintip dari balik jarinya, dan ketika melihat pria itu sudah mengenakan handuk, pelan dia menurunkan tangan. Delotta cukup terperangah dengan paras pria itu, apalagi body-nya.
"Jadi, gimana cara kamu masuk ke sini? Kamu tau, ini adalah privat room," tanya pria itu dengan pandangan menyipit. Matanya berwarna biru, hingga rasanya Delotta ingin menyelam di sana.
Delotta tergagap. Mendadak dia terserang gugup. Pria itu luar biasa tampan. Mungkin usinya sekitar 30-an, yang jelas dia terlihat matang. Bahunya yang lebar serta dada bidangnya membuat Delotta menelan ludah.
"Sa-saya nyasar, Pak," sahut Delotta sambil meringis kaku.
Livia poussa la porte de son appartement avec la sensation qu’elle basculait au bord d’un gouffre invisible. Les murs, jadis familiers, semblaient se refermer sur elle, étouffant les souvenirs heureux d’une vie qui s’étiolait. Elle déposa son sac avec un soupir lourd, laissant échapper un éclair de fatigue pure. Les volets étaient tirés. La pièce baignait dans une semi-obscurité où se mêlaient l’odeur du café renversé et la poussière accumulée.Elle erra jusqu’à la fenêtre, laissa ses doigts effleurer le rebord froid. Dehors, la lumière jaune des lampadaires léchait le trottoir humide, tandis qu’une fine bruine tombait sans pitié. Chaque goutte semblait murmurer la même question : Où trouver un sens à tout ça ?Dans un sursaut, la sonnerie de l’interphone la ramena à la réalité. Livia ne fit aucun geste. Quelques secondes s’égrenèrent, intenses, puis un nouveau bip retentit. Ce fut Victor, implacable dans son professionnalisme, qui se présenta à l’écran.— Mademoiselle Moreau, Raphaël
Le brouhaha feutré du café du quartier Saint-Germain enveloppait Livia et Raphaël alors qu’ils s’installèrent dans un recoin isolé, à l’écart du passage. Le parquet grinça sous leurs pieds, la fumée légère des machines à expresso tissant un voile presque mystique dans l’air humide. Livia, la mâchoire serrée, n’osait croiser son regard. Raphaël sortit doucement un dossier relié de cuir, son nom — Livia Moreau-Valcourt — embossé en lettres discrètes sur la couverture.Elle sentit son cœur se suspendre. Il posa le dossier sur la table, chaque mouvement mesuré, presque cérémonial.— Je... je ne voulais pas que tu l’apprennes ainsi, murmura-t-il.Elle inspira lentement, ses doigts effleurant la bordure du dossier.— Alors explique-moi, ordonna-t-elle, la voix rauque.Raphaël fit glisser le cuir souple et ouvrit la première page. Des documents officiels, des extraits de testaments, des relevés de propriétés… Tout portait le sceau de Valcourt Industries et la signature de sa mère, suivie de
La rue était silencieuse, comme retenue dans un souffle, lorsque Livia frappa à la porte de l’appartement de son oncle. Le portail en fer forgé grinça sous son passage, et le léger crépitement de ses talons résonna dans la cour pavée, dessinant une musique discrète dans le calme du soir. D’un geste hésitant, elle frôla la poignée et entra, découvrant l’intérieur chaleureux baigné d’une lumière dorée.Son oncle, Pierre Moreau, se tenait près de la cheminée, une tasse de thé fumant entre ses mains. Ses traits étaient graves, marqués par les années et les secrets. Quand il aperçut Livia, un sourire doux se dessina sur son visage, avant de s’effacer rapidement, cédant la place à une inquiétude palpable.— Ma chérie, souffla-t-il, en posant sa tasse et en s’avançant vers elle. Qu’est-ce qui t’amène si tard ?Livia referma la porte derrière elle, jetant un coup d’œil aux étagères chargées de livres et aux photographies anciennes qui ornaient les murs. Elle serra le sac contre sa poitrine.—
De retour à Paris, le crépuscule peignait la Seine d’un rose pâle lorsque Livia sortit du TGV, le cœur battant. Chaque pavé, chaque réverbère semblait danser sous le poids de ses pensées. À ses côtés, Raphaël demeurait silencieux, enveloppé dans son manteau sombre, son regard noir scrutant l’horizon comme une sentinelle hantée.Le taxi la déposa devant son immeuble du Marais. Livia ouvrit la portière en premier et, sans un mot, gravit les marches de l’entrée, ses talons résonnant en échos solitaires. Raphaël la suivit, la mâchoire contractée. Une fois à l’intérieur, elle se retourna, l’éclat doré des appliques jetant des ombres dansantes sur les murs tapissés.— Pourquoi, Raphaël ? demanda-t-elle d’une voix brisée.Il s’arrêta à quelques pas, les mains enfoncées dans les poches.— Je n’avais pas le choix, souffla-t-il.Elle secoua la tête, la poitrine serrée.— Pas le choix ? Tu m’as privée de mes souvenirs, de ma vie. Tu as décidé à ma place.Raphaël leva les mains, le visage empli d
Un coup de feu claqua dans le hall, net, implacable, et tout bascula. Livia n’eut pas le temps de réagir : Raphaël la saisit par le bras et la jeta violemment au sol, son propre corps la recouvrant telle une muraille humaine. Le monde sembla se figer pendant une milliseconde : le feu incandescent dans la chambre d’hôtel, le velours cramoisi des fauteuils de réception, tout devint flou et distant, étranger à cette explosion de violence. Livia sentit la froideur du carrelage contre sa tempe, ses doigts agrippant nerveusement le tissu de son vêtement.— Reste à terre ! ordonna Raphaël, la voix rauque et grave, retentissant comme un ordre de combat.Mais la riposte était déjà en route. En un mouvement coordonné, Victor et deux agents de sécurité surgirent du vestibule, armes braquées. L’assaillant masqué, hurlant dans un râle sourd, pointait encore son arme à bout de bras, comme défiant tout et tous. Son masque noir, désormais taché de sueur et de poussière, voilait un visage déformé par
Le hall de l’hôtel cinq étoiles était désert, la moquette épaisse étouffant chaque pas. Livia, pieds nus, gravit les quelques marches menant aux suites les plus exclusives, le cœur lourd. Derrière elle, Raphaël referma la lourde porte en bois, verrouillant le monde extérieur. Le contraste entre le luxe feutré de l’entrée et l’atmosphère tendue entre eux ne pouvait pas être plus saisissant.Sans un mot, Livia se détourna et se dirigea vers la salle de bains attenante. Les murs en marbre blanc et le miroir éclairé aux néons doux formaient une alcôve isolée du reste de la suite. Elle ferma la porte dans un claquement sec, libérant un soupir chargé de fatigue et de frustration.Livia s’adossa au mur, ses mains crispées sur le lavabo. Les effluves d’eucalyptus et de jasmin enveloppaient l’air, mais elle ne sentait plus rien. Son esprit rebondissait contre chaque souvenir récent : l’intrus masqué, l’avion, la menace, les non-dits de Raphaël. Elle tremblait, non pas de froid, mais d’un mélan
Bienvenue dans Goodnovel monde de fiction. Si vous aimez ce roman, ou si vous êtes un idéaliste espérant explorer un monde parfait, et que vous souhaitez également devenir un auteur de roman original en ligne pour augmenter vos revenus, vous pouvez rejoindre notre famille pour lire ou créer différents types de livres, tels que le roman d'amour, la lecture épique, le roman de loup-garou, le roman fantastique, le roman historique et ainsi de suite. Si vous êtes un lecteur, vous pouvez choisir des romans de haute qualité ici. Si vous êtes un auteur, vous pouvez obtenir plus d'inspiration des autres pour créer des œuvres plus brillantes. De plus, vos œuvres sur notre plateforme attireront plus d'attention et gagneront plus d'adimiration des lecteurs.
Komen