Share

03. Menyerahkan Diri?

Noah sadar akan apa yang telah ia perbuat, dengan cepat ia membawa wanita yang tidak sengaja ia tabrak itu ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Noah menyuruh para tim medis segera bertindak. Setelah memastikan wanita itu dalam pertolongan dokter, Noah segera menghubungi Papa dan Mamanya.

"Ma ... Noah sekarang ada di rumah sakit aunty Laura," ujar Noah dengan lirih. Laura adalah istri Simon yang bekerja sebagai dokter bedah di rumah sakit ini.

Di seberang sana, Liana sangat panik. "Ada apa? Apa yang terjadi?"

"Aku baik-baik saja, Ma. Hanya saja, aku tidak sengaja menabrak seorang wanita." Noah bukanlah lelaki pengecut, ia juga berencana akan menyerahkan diri pada polisi.

Hidup di bawah didikan Aidan, membuat Noah menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Jika ada kesalahan, ia harus menanggungnya sendiri, tidak ada campur tangan sang Papa. Aidan pun dengan tegas sudah mengatakan jika Noah membuat kekacauan ia tidak akan membantu putranya itu lari dari hukuman.

"Tunggu di situ, jangan ke mana-mana. Mama sama Papa ke sana sekarang!"

Setelah itu sambungan telepon terputus. Noah menghela napasnya, ia menatap ruang UGD dengan kedua mata yang sayu. Di dalam hati, ia berharap wanita itu selamat.

Belum selesai kekhawatiran Noah pada wanita yang ia celakai. Dokter dan perawat dengan tergesa-gesa keluar dari UGD dengan mendorong bangsal.

"Apa yang terjadi?" tanya Noah ikutan panik.

"Nanti Tuan, jangan diganggu. Cepat bawa ke ruangan Operasi!" titah sang dokter laki-laki yang menangani wanita itu.

Noah tentu saja mengejar mereka hingga ke ruangan operasi. Ia berhenti di depan pintu, hanya sampai di situ. Jelas saja ia tidak diperbolehkan masuk.

Noah merasakan ponselnya bergetar di saku celananya, dengan cepat ia mengeluarkan benda pipih itu. Sebuah pesan dari sang Mama yang menanyakan di mana ia berada. Dengan cepat Noah membalas ia berada di operasi di lantai lima.

Lima menit kemudian Aidan dan Liana datang dengan napas putus-putus karena berjalan dengan cepat, bahkan bisa dikatakan berlari kecil.

Liana mengusap wajah Noah dengan cemas, meneliti wajah sang putra dan untungnya tidak terdapat luka apapun.

"Kenapa bisa menabrak orang?" tanya Aidan, nada suara pria berusia empat puluh delapan tahun itu tersirat penuh amarah.

"Jalanan sepi, dan aku menancap gas dengan kencang. Tidak sadar kalau ada wanita itu yang sedang menyeberang. Lampu jalan di jalan itu juga berjarak cukup jauh jadi aku tidak sadar kalau ada yang menyeberang, tidak terlihat bayangannya. Maaf, Pa," sesal Noah.

Liana menatap sang suami dengan cemas. Berbagai pemikiran buruk bersarang di dalam benaknya. Ia juga khawatir dengan sang korban, ia takut wanita itu meninggal dunia. "Bagaimana ini, Aidan?"

"Kamu tahu 'kan konsekuensinya?" tanya Aidan penuh ketegasan.

Noah mengangguk mantap. "Aku akan menyerahkan diri pada polisi, ini semua salahku, Pa."

Liana menggeleng cepat ia memegang erat kedua lengan suaminya, kepanikan jelas terlihat di wajahnya. "Kita bisa meminta maaf. Bukan, aku tidak bermaksud jahat atau apapun. Tapi aku tidak bisa melihat Noah dipenjara!"

"Ma, tidak apa. Ini kesalahanku." Noah berusaha berlapang dada dan menerima konsekuensi atas perbuatannya.

"Kita tunggu sampai ia sadar atau paling tidak ia telah selesai ditangani oleh dokter," putus Aidan.

Noah mengangguk pasrah.

***

Dokter laki-laki yang menangani Naira telah keluar dari ruangan operasi. Entah apa yang dioperasi oleh sang Dokter, Noah pun tidak tahu.

"Pasien akan segera di pindahkan ke ICU, kondisinya sangat kritis. Terlalu banyak darah yang keluar dari kepalanya. Kaki kanan pasien patah dan tadi kami sudah melakukan operasi pada kakinya," ujar sang Dokter.

Liana mendengar hal itu, merasa ngilu sendiri. Begitu pula dengan Noah, rasa bersalahnya semakin membesar.

"Apakah ia akan selamat?" tanya Liana penuh harap.

"Kita percayakan saja semuanya pada Tuhan."

Dokter itu menjelaskan beberapa hal pula hingga akhirnya pamit. Bangsal Naira didorong keluar dari ruangan Operasi menuju ruangan ICU. Saat proses pemindahan itulah Noah dapat melihat dengan jelas siapa yang ia tabrak.

Seorang gadis muda. Bukan wanita berusia tiga puluh tahunan seperti yang ia kira sebelumnya. Tentu saja ia tidak dapat mengenali wajah Naira, karena wajah gadis itu dipenuhi oleh darah segar saat Noah membawanya ke rumah sakit.

Noah merasa sangat bersalah. Bisa-bisanya ia berkendara dengan kecepatan tinggi dan menyebabkan seorang gadis terluka.

***

Tengah malam, pada pukul dua Noah dikejutkan oleh seorang perawat wanita.

Noah mengucek matanya dan menatap perawat itu dengan bingung. "Ada apa?"

"Pasien berhasil melewati masa kritis, dan sekarang kondisinya sudah normal. Esok hari bisa dipindahkan ke kamar inap, Tuan."

Mendengar itu, Noah menghela napas lega. "Syukurlah. Terima kasih."

Perawat itu mengangguk lalu pamit undur diri. Noah menegakkan tubuhnya dan meregangkan otot-ototnya. Tanpa sadar ia tertidur di kursi tunggu yang ada di luar ruangan ICU.

Kantuk Noah sudah lenyap. Lelaki itu teringat dengan kedua orangtuanya, dengan cepat ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Noah mengetikkan pesan singkat untuk sang Papa. Memberitahu kalau semua sudah baik-baik.

Tanpa diduga, Aidan membalas pesannya dengan cepat. Padahal ia kira Papanya itu sudah tidur.

Papanya mengatakan akan ke rumah sakit esok pagi dengan sang Mama. Noah merasa lega, setidaknya orangtuanya mendukung dan menemaninya.

Noah bangkit dan berjalan menuju pintu ICU. Dari jendela bulat yang sangat kecil, ia mengintip. Gadis itu masih terbaring di bangsal dengan masih banyak alat terpasang di tubuhnya.

Drrtt... Drrttt...

Noah mengangkat ponselnya dan melihat nama yang tertera. Keanu.

Noah mendengus kasar. Mau apa lagi sahabat Pengkhianat nya itu?!

Insiden yang ia alami malam ini telah berhasil membuatnya lupa dengan masalah perselingkuhan kekasih dan sahabatnya. Namun setelah melihat nama Keanu yang terpampang di layar ponsel, membuatnya kembali marah.

Noah menekan icon merah lalu memencet nomor Keanu dengan lama dan memilih opsi blokir. Alaina ataupun Keanu, adalah musuhnya sekarang. Ia tidak akan menganggap mereka ada lagi.

Di pagi harinya, Noah dengan tidak sabar menunggu sang dokter tiba dan melihat proses pemindahan gadis itu ke kamar inap.

Kemarin semua urusan administrasi rumah sakit telah diselesaikan oleh Aidan. Jadi semua sudah beres, gadis itu mendapatkan fasilitas kamar super lengkap dan nyaman.

Seorang dokter laki-laki dan tiga orang perawat tiba. Noah membiarkan mereka masuk untuk memeriksa keadaan gadis itu.

Hingga sepuluh menit kemudian pintu ICU terbuka lebar dan bangsal di dorong keluar. Perlahan, Noah mengikuti langkah mereka yang menuju lantai tujuh rumah sakit. Hingga tiba di sebuah kamar VIP.

"Bagaimana kondisinya dok?" tanya Noah pada dokter itu.

"Sudah lebih baik, syukurlah ia dapat melewati masa-masa sulit. Jika ia sudah bangun, beritahu perawat dan saya akan datang memeriksa lagi."

Noah mengangguk patuh. "Baik, Dok. Terima kasih."

Dokter dan perawat itu undur diri dan keluar. Sedangkan Noah memilih duduk di sebuah kursi yang berada di sebelah bangsal.

Tiga puluh menit berlalu, Noah menunggu gadis itu sadar dengan bosan. Noah lupa nama siapa, kemarin ada tanda pengenal di dalam tas yang dikenakan gadis itu. Tapi sekarang entah ke mana kartu penduduknya, kemungkinan ada bersama Papa nya. Sebab, kemarin semua hal diurus oleh Aidan.

"Nghh..."

Noah terkesiap, kedua matanya menatap dengan serius pada gadis di depannya. Noah sudah mempersiapkan diri jika nanti gadis itu mengamuk padanya. 

Perlahan kedua kelopak mata gadis itu terbuka dengan lebar. Untuk beberapa saat, terlihat ia mengedipkan mata beberapa kali. 

Noah yang semula memantau gadis itu jadi mengernyitkan dahi ketika gadis itu memegang kepalanya yang berbalut perban. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

Gadis itu terkesiap dan menoleh pelan. "Siapa kau?"

Belum lagi Noah menjawab, gadis itu sudah bersuara lagi. "Kenapa aku tidak bisa merasakan kaki ku?" gumamnya pelan, namun dapat di dengar jelas oleh Noah.

Kedua mata Noah membelalak kaget. "Aku akan memanggil dokter."

Noah berdiri dan berjalan cepat keluar. Tepat saat ia membuka pintu, Papa dan Mamanya muncul.

"Apa dia sudah sadar?" tanya Liana langsung.

"Sudah, Ma. Tapi aku mau memanggil dokter dulu," sahut Noah buru-buru.

Tanpa mengucapkan apapun lagi, Noah kembali berjalan cepat memanggil perawat agar memanggilkan dokter.

Beruntung Dokter cepat tiba, Noah dan dokter itu berjalan bersisian menuju kamar inap.

"Katanya dia tidak bisa merasakan kakinya dok," lapor Noah cepat.

Dokter itu mengangguk paham dan tetap berjalan cepat menuju kamar inap tanpa mengucap sepatah kata.

Setibanya di kamar, Noah sudah melihat gadis itu menangis di pelukan Mamanya. Sementara sang Papa berdiri di sebelah Mamanya.

"Dia bilang tidak bisa merasakan kakinya, Dokter," adu Liana iba.

"Apakah ... aku lumpuh?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status