"Berani ya kamu sama suami, hah?!"
"Sudah. Aku malas berdebat." Ani tampak kelelahan sekali. Dia sepertinya malas berdebat denganku.
Ini semua harus dibicarakan. Kenapa dia tampak berubah sekali sekarang? Padahal dulu bahkan sebelum Ani hamil, dia cantik sekali, dia juga lemah lembut. Tidak mau membantah suami. Lalu sekarang?
"Kamu kok berubah banget, sih?" tanyaku kesal. Aku tidak suka dengan sikap Ani yang begini. Menyebalkan.
Dia hanya melirikku sekilas. Kemudian melangkah meninggalkanku sendirian. Astaga. Bicara dengannya, seperti bicara dengan patung. Menyebalkan sekali, aku mengusap dahi, kemudian menoleh ke ponsel Ani yang diletakkan di atas meja.
Ponsel jadul yang dulu aku belikan. Tidak ada yang menarik, aku hanya membuka bagian pesannya. Nomor tidak dikenal.
[Besok kita ada jadwal, Bu.]
Keningku terlipat. Apa maksud pesan ini? Jadwal apa?
Hmm. Ini harus segera diselidiki. Pasti ada yang disembunyikan oleh Ani.
***
"Ini makan apa?" tanya Ibu sambil menatap ke arahku.
Mana aku tau. Sepagi ini belum ada makanan sama sekali. Ani ini entah bagaimana, sudah tau ada Ibu di rumah. Dia memang mencari kesalahan terus.
Haduh, Ibu juga marah-marah terus, bukannya malah memarahi Ani yang melakukannya, malah marahin aku. Menyebalkan. Aku juga bingung menyikapinya bagaimana, Ani juga tampak tidak peduli sama sekali, sikapnya aneh.
"Mana si Ani itu? Ibu udah lapar banget. Di sini bukannya hidup mewah, makan enak, semuanya udah tersedia, gak perlu ngapa-ngapain, malah lebih susah dari pada di rumah sendiri."
Nisa mengiyakan perkataan Ibu, sementara aku menghela napas pelan. Ibu saja baru sehari di sini sudah mendumal tidak jelas, semuanya dipermasalahkan. Bagaimana kalau beberapa minggu atau beberapa bulan? Sepertiku yang bertahun-tahun bersama Ani.
"Mana? Kamu panggil istri kamu itu, Reyhan! Suruh dia masak, jangan malas-malasan gitu aja."
Aku menganggukkan kepala, buru-buru masuk ke dalam kamar. Sampai di kamar, aku mengernyitkan dahi, mengecek kamar mandi. Dia tidak ada.
"Haduh, kemana lagi wanita itu?" gumamku kesal.
Memang menyebalkan sekali. Ani tidak ada di mana-mana. Aku sudah berusaha mencarinya, kemana sepagi ini dia pergi? Aku mengacak rambut, kembali keluar kamar.
"Dia gak kabur, kan?" tanya Ibu kesal saat aku menjelaskan semuanya.
Aku langsung menggengkan kepala. Tentu saja tidak. Bayi kami saja tidak dia bawa. Pakaian juga masih utuh di dalam lemari. Juga Ani pasti tidak akan sanggup hidup tanpa aku, mau makan apa dia?
"Mungkin ke warung. Dia biasanya gitu." Memang biasanya kalau pagi, Ani ke warung. Entah ngapain setiap pagi. Padahal biasanya pulangnya jarang membawa barang.
"Yaudah. Kamu susul sana." Ibu kembali ke dapur mengambil air minum.
Aku menganggukkan kepala. Kalau Ibu sudah di rumah, tidak mungkin aku malas-malasan. Untung saja jam masuk kantor masih agak lama.
Sampai di dekat warung yang biasanya dimampiri oleh Ani setiap pagi, aku memelankan langkah. Ani sedang mengobrol dengan pemilik warung.
"Nanti siang jangan lupa ambil kue saya lagi, ya, Bu. Bu Ani kalau jualan hebat banget."
Langkahku terhenti mendengar perkataan itu. Ternyata, ada yang mengajari Ani berjualan tidak jelas begitu.
"Heh, Ani!" Aku membentaknya, membuat Ani dan penjual itu tampak kaget.
Buru-buru aku mendekatinya yang tampak terkejut. Di tangan dia ada tempe dan tahu. Apa dia tidak bisa membeli daging atau makanan lain? Aku bosen dan muak dengan tempe dan tahu. Lama-lama aku juga bosan dengan Ani.
"Di tunggu di rumah, malah di sini." Aku mengatakannya sedikit kasar.
"Abis belanja." Dia menjawab singkat. Ani menunjukkan tempe dan tahu di tangannya. Aku juga sudah tau, tapi tidak bisakah dia belanja yang lain?
"Halah, banyak alasan aja kamu itu. Sana pulang, cepetan." Aku mendorong pundak Ani untuk lebih cepat.
Ani menganggukkan kepala. Kemudian pamit pada tetangga kami yang menatapku aneh. Ibu ini memang memberikan pengaruh buruk pada Ani sepertinya.
Setelah Ani melangkah agak jauh, aku membalikkan punggung, menatap penjual yang mengajari Ani. "Bu, saya minta ke Ibu jangan nyuruh Ani jualan lagi, ya. Buat apa jualan kayak gitu, buat malu doang."
"Pak Reyhan ini kayaknya tipe suami yang aneh. Pak, Bu Ani itu pas minta jualan sama saya, dia cerita gak ada uang buat menuhin kebutuhan rumah tangganya. Itu aja buat beli tempe sama tahu, pakai uang hasil jualannya. saya heran, deh. Uang gaji Bapak itu kemana aja? Padahal manager, tapi kebutuhan sehari-hari istri yang penuhi."
Eh? Aku menatap Ibu ini terkejut. Dari mana penjual ini cerita tidak benar itu?
"Ibu siapa ngurusin rumah tangga saya? Udah, ya. Jangan lagi Ibu kasih kerjaan si Ani buat jualan. Malu-maluin saya aja. Sampai saya lihat Ani jualan lagi, saya buat kue Ibu di rumah hancur semua."
"Ih, suami yang gak peduli sama istri ya gitu. Awas istrinya gak tahan, Pak!"
Aku mengibaskan tangan. Meninggalkan tetanggaku yang menyebalkan itu. Jadi, selama ini Ani bicara soal rumah tangga kami ke orang lain? Dia itu memang menyebalkan sekali.
Awas saja kamu, Ani!
***
Terdengar piring pecah. Aku bergegas masuk ke dalam rumah, menatap kekacauan yang terjadi.
"Istri kamu itu gak bisa apa masak yang enak sedikit? Tahu tempe terus. Kayaknya, dia gak bisa ngelola keuangan."
Mata Ani tampak memerah. Aku menghela napas pelan, bisa dipastikan itu bukan tanda dia akan menangis, tapi tanda dia marah. Ani tidak pernah menangis kalau ada Ibu di rumah. Dia juga tidak pernah marah. Aku tidak tau kenapa dia begitu.
"Ibu saja yang beli makanannya. Ani hanya bisa menyajikan itu."
Setelah mengatakan itu, Ani melangkah pergi. Aku menghela napas pelan, mengusap kening. Pusing juga lama-lama.
"Kamu bilangin istri kamu itu. Jadi menantu kok gitu."
"Iya. Nanti aku bilangin sama dia."
Aku membelikan Ibu dan Nisa makanan siap saji saja. Biar tidak ada keributan lagi di rumah. Pusing aku mendengarnya. Menyebalkan sekali.
"Kamu mau kemana?" tanyaku pelan saat memasuki kamar.
Dia menoleh. Tangannya sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas. Bayiku sedang tidur, tidak bisakah Ani menurunkan egonya sedikit?
"Kamu itu jadi istri harusnya patuh sama suami, sama mertua. Kenapa jadi kayak gini? Segala omongan aku, gak ada yang kamu lakuin. Kamu anggap aku ini apa? Suami bukan, hah?!"
Matanya masih memerah. Dia hanya menggelengkan kepala. Enggan menjawab perkataanku.
"Rapikan lagi pakaian kamu itu."
"Aku mau pergi saja. Tidak tahan aku di sini."
"Ani!" Aku setengah membentaknya. "Kamu mau pergi kemana, hah?! Ke kolong jembatan? Atau kemana?"
Gerakan tangannya terhenti. Dia kemudian menoleh padaku.
"Kemana saja. Asal jangan di tempat ini."
Aku tertawa mendengarnya.
"Serius kamu mau pergi?" Aku memiringkan kepala. "Kamu ingat perjanjian kita apa?"
***
"Boleh aku masuk, Mas?!" tanya Ani membuatku menelan ludah. Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau kalau Ani sampai ketemu dengan Mama dan Mama malah meminta uang pada nya. Tau sendiri kan Mama itu bagaimana watak nya. Aku sudah lelah menghadapi Mama. Apa lagi Ani. Pasti Mama juga akan melakukan hal itu pada Ani. Meskipun saat ini, Mama sudah tau kalau Ani bukan lah istriku lagi, tetapi tetap saja. Pasti dia akan melakukan hal yang aneh-aneh pada Ani dan aku tidak mau kalau hal tersebut sampai terjadi. "Eh?! Aku tidak boleh masuk ke rumah kamu, Mas?!" tanya Ani dengan tatapan terkejut. Tatapanku terhenti ke Ani. Kemudian menggelengkan kepala kembali. Ya, Ani tidak boleh sampai masuk ke dalam rumahku. Ani tampak sekali kalau kebingungan. Akhir nya, aku keluar dari rumah, kemudian menutup pintu rumah. Kami mengobrol di luar. Sebenarnya tujuan Aku adalah agar Mama tidak mendengar percakapan aku dan juga Ani saat ini. "Apa yang terjadi, Mas?" tanya nya pelan. "Aku tidak
"Kamu bisa kan bicara dengan aku besok, Rey? Ini penting banget. Aku butuh banget buat bicara sama kamu."Huft, baik lah, aku akhir nya menganggukkan kepala, bisa saja sih aku menuruti kemauan nya Abdul untuk bertemu besok. Meskipun sejujur nya aku tidak tau apa yang ingin dibicarakan oleh Abdul padaku, apa lagi ini kata nya tentang si Ani. Memang nya dia mau membahas apa soal Ani? Apa kah ada yang mendesak sekali ya?"Rey? Kok kamu malah diam sih? Aku benar-benar butuh jawaban kamu, Rey.""Iya, aku bisa. Kamu kabarin aja besok gimana nya.""Bagus deh kalau kayak gitu, soal nya ini penting banget dan jujur aja aku takut kalau kamu nanti malah jadi gak dapat informasi tentang ini."Sepenting apa berita yang ingin dibicarakan oleh Abdul? Hmm, jujur saja aku penasaran sekali, tetapi ya sudah lah. Memang sudah seharus nya kami bertemu dulu. "Boleh deh, kita langsung ketemuan saja besok ya. Aku bakalan usahain buat langsung ketemu sama kamu."Ya semoga saja besok tidak terlalu banyak ke
"Abang sakit keras? Dan gak bilang ke Nisa? Kenapa, Bang?""Nis, kamu—""Apa, Bang? Abang mau nyembunyiin semuanya dari aku?" Ah, aku tidak sanggup menatap Nisa. Dia menggelengkan kepala, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggigit bibir, apa lagi yang harus aku jelaskan pada Nisa?Surat hasil pemeriksaan itu ada di tangan Nisa. Aku mengembuskan napas pelan, tidak ada gunanya lagi membela diri sendiri. Nisa sudah tahu semuanya sekarang. Bahkan, sebelum aku memberitahukannya sendiri. Semuanya sudah terungkap, secepat ini."Apa?! Abang mau bela diri kayak mana lagi? Surat ini udah ada di tangan aku, Bang. Hasil pemeriksaan yang betul-betul menerangkan kalau Abang sakit keras!""Ssttt ..." Aku langsung menoleh ke pintu, takut Mama mendengar teriakan Nisa. Semoga saja Mama tidak mendengarnya. "Kenapa sih, Bang? Abang kenapa? Kenapa nyembunyiin ini semua dari Nisa? Dari Mama?"Kenapa? Aku menggelengkan kepala. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku seka
"Hah? Menikah?!"Tubuhku seketika kaku mendengar perkataan Bang Ariel. Dia serius atau sedang bercanda? Pandanganku teralih ke Ani yang terdiam. Dia serius akan menikah dengan orang lain? Kenapa dia tega sekali padaku? Padahal awalnya dia sudha berjanji akan memikirkan tentang aku yang menawarkan untuk rujuk. "Kamu—""Iya. Aku akan segera menikah, Mas. Itu undangannya, kamu bisa lihat sendiri." Ani langsung memotong ucapanku. Sungguh aku tidak menyangka dengan ucapan Ani. Aku menatapnya, kemudian pandanganku teralih ke undangan yang diletakkan di atas meja, mengambilnya. "Ini, ambil undangannya, Mas."Ani tersenyum padaku. Dia seperti tidak punya beban memberikan undangan itu padaku. Aku menghela napas pelan, kemudian perlahan mengambil undangan yang diberikan oleh Ani. "Sudah dari kemarin aku hendak mengantarkannya ke kamu, Mas. Hanya belum ada waktu, tadi niatnya mau ke rumah kamu, ternyata kita malah ketemu di sini."Aku menatap undangan yang diberikan Ani. Gino nama calon sua
Karma? Aku mengembuskan napas pelan, apakah benar karma itu ada? Kalau benar karma itu ada, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku menatap datar ke depan, ini benar-benar di luar dugaan. "Pak?""Eh iya." Aku langsung terkejut mendengar panggilan dokter. Kemudian tersenyum tipis. "Jadi saya harus bagaimana ya, Dok?" tanyaku pelan, aku sendiri tidak yakin apa yang harus aku lakukan sekarang. Dokter menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Dapat uang dari mana untuk semua pengobatan ini? Aku menghela napas pelan, ini benar-benar buruk. "Terima kasih, Dok." Aku tersenyum tipis, beranjak dari kursi. Langkahku lunglai sekali sekaranf, sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Biaya rumah sakit kalau aku melakukan pengobatan akan mahal sekali. Kalau tidak diobati, kasian Mama dan Nisa. Bagaimana mereka akan hidup tanpaku nanti? Ah, aku mengusap wajah kasar, kesal dengan keadaan sekarang. Kenapa pula penyakit ini muncul di saat yang tidak tepat?Bru
"Aku ingin rujuk kembali denganmu, Ani.""Hah?!" Ani tampak terkejut sekali mendmegar perkataanku barusan. Dia sepertinya tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. "Apa jaminan kamu mengatakan itu, Mas? Sementara ada kehidupan yang lebih baik dari pada bersama kamu?" tanya Ani pelan, dia menundukkan kepalanya. Aku mengembuskan napas pelan, mau bagaimanapun juga aku tidak akan bisa memaks Ani untuk kembali lagi padaku. Namun, aku masih mencintainya dan aku ingin dia kembali padaku. "Ani?" Aku menggenggam tangannya, ada sentakan halus yang terjadi saat tanganku menyentuh tngannya. "Kamu kaget?" tanyaku pelan. "Sedikit." Dia mengembuskan napas pelan. Jantungku berdetak kencamg, aku ingin berubah dengan memperbaiki hubungan ini. Memperbaiki rumah tangga kami. "Aku butuh jawaban kamu, Ni."Perlahan, Ani mengangkat pandangannya, menatapku. Ada raut sendu di wajahnya. "Apa jaminan kalau aku kembali padamu, Mas?" tanyanya pelan. Jaminannya? Aduh, aku tidak memikirkan hal itu seb