"Reyhan! Buka pintunya! Aduh, berat banget ini kopernya."
Aku menepuk dari mendengar suara keriburab di luar. Haduh, ibu kenapa pakai datang sekarang, sih? Kenapa tidak nanti saja?
Batal sudah aku mendengarkan pembicaraan mereka. Buru-buru aku keluar dari persembunyian, tidak mungkin aku terus menguping, membuat mereka curiga padaku. Kemudian membukakan pintu untuk Ibu.
"Kamu itu bukain pintu doang lama banget." Ibu terlihat kesal denganku karena lama membukakan pintu.
"Maaf. Mana koper Ibu?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan. Aduh, ini benar-benar menyebalkan. Padahal tadi aku hampir saia mendengarkan apa rencana mereka. Entah apa yang sedang mereka rencanakan.
Sementara adikku terlihat kesal juga. Dia langsung masuk, tanpa bilang padaku. Aku menghela napas kesal, buru-buru mengambil koper yang mereka bawa.
"Eh, ini siapa?" tanya Nisa membuatku menoleh ke Abdul yang diam saja. Juga istri Abdul terlihat biasa saja.
"Teman kantornya Reyhan. Yaudah, gue pamit dulu, Han. Makasih buat air putihnya." Abdul menatapku sambil tersenyum tipis
Buru-buru aku menganggukkan kepala. "Iya. Main-main aja kesini."
Dia menganggukkan kepala. Kemudian menggandeng tangan istrinya. Aku melirik Ani yang diam saja. Astaga, belum saja aku mendengar apa saja rencana mereka, malah sudah pergi duluan. Kira-kira apa ya?
"Bawa masuk itu koper kami, Ani. Jadi menantu jangan cuma diam aja bisanya." Ani terlihat biasa saja mendengar perkataanku.
Aku masuk lebih dulu, membiarkan Ani membawa dua koper dan barang yang dibawa oleh Ibu dan Nisa. Itu memang tugas dia, harusnya dia itu jadi istri yang baik untukku.
Entah kenapa, aku merasa ada yang disembunyikan oleh Ani dan ada yang ganjil dengan Abdul tadi. Hmm, aku harus segera mencari tau itu semua.
Apa yang mereka sembunyikan dariku?
***
"Itu gimana ceritanya gak ada makanan apa-apa di dapur? Kopi atau teh juga gak ada, gula gak ada." Ibu berkacak pinggang, menatapku kesal.
"Ani belum belanja, Bu." Aku menjawab pendek. Memang wanita itu belum belanja, entah kenapa. Harusnya dia itu membelikan makanan untuk kami, istri tidak becus.
"Lah, kemana semua uang yang kamu kasih ke dia? Jangan-jangan masuk ke kantong pribadi dia semua lagi." Ibu menatapku kesal.
Aku langsung menggelengkan kepala. Jelas saja sebagian besar gajiku masuk ke kantong Ibu. Beberapa aku yang pegang. Ani hanya kebagian sedikit. Biar dia tidak boros.
Eh, malah tidak ada yang dibeli. Aku juga heran kemana uang-uang yang aku berikan pada dia. Makan hanya tahu dan tempe setiap hari. Menyebalkan sekali dia.
Bukannya menjadi istri yang baik, dia malah melakukan hal itu. Aku menghela napas kesal, aku juga tidak betah lama-lama di sini. Makan hanya sederhana. Malah Ani yang berjualan keliling tidak jelas itu.
"Kayaknya istri kamu itu gak pintar mengelola keuangan. Biar Ibu aja yang pegang seluruh uang kamu bulan besok." Ibu juga menyebalkan sekali, apa maksudnya? Padahal hampir semua gajiku memang Ibu yang memegang.
"Ya, yang Reyhan kasih sekarang itu gaji Reyhan, Bu." Aku mengusap dahi. Apa Ibu tidak mengerti juga?
Ibu mengerutkan dahi, membuatku menghela napas kesal. "Masa sih? Mana panggil si Ani. Ibu mau bicara sama dia."
Aku beranjak untuk memanggil Ani. Kalau Ibu tidak dituruti pas urusannya akan semakin panjang. Saat membuka pintu kamar, aku melihay wanita itu sedang tiduran, membelakangi pintu kamar. Aku melangkah mendekatinya.
Mataku menyipit menatap wajah Ani yang terlihat sembab, juga matanya yang terlihat sedih. "Haduh, nangis lagi. Capek aku lihat kamu cengeng. Ingat, ya. Aku gak suka sama cewek cengeng."
Dia melirikku. Kemudian mengusap pipinya. Dia tidak pernha ingin terlihat menangis di hadapanku. Entahlah, dia terlihat berusaha lebih kuat kalau sedang denganku. Wanita itu beranjak dari posisi tidurannya.
"Mau apa?" tanyanya pelan. Ani sudah terlihat biasa saja, tidak lagi menangis, meskipun tadi malah terisak.
"Dipanggil Ibu. Mau bilang sesuatu." Aku melipat kedua tangan di depan dada, menatap Ani.
Ani menganggukkan kepala. Kemudian melangkah meninggalkanku sendirian di kamar. Aku masih penasaran sekali. Apa yang dibicarakan oleh Abdul dan istrinya pada Ani tadi. Awas saja kalau mereka macam-macam.
Sampai di ruang tamu untuk menyusul Ani, aku langsung duduk di sebelah Nisa yang sibuk dengan ponselnya. Ibu dan Ani sudha berhadapan.
"Duduk kamu di bawah." Ibu terlihat memerintah istriku.
Istriku itu tampak pasrah, dia duduk di lantai yang cukup dingin. Mendongak menatap Ibu yang tampak berkuasa sekali. Aku hanya menatap mereka, seperti pembantu dan majikannya.
"Kemana semua uang yang dikasih sama Reyhan ke kamu? Jangan-jangan kamu ambil semua uangnya, ya?"
Ani tidak menjawab. Dia menoleh sekilas ke aku. Kemudian menganggukkan kepala, membuatku menatapnya heran. Bukankah harusnya dia menggelengkan kepala? Kenapa dia malah mengangguk?
"Ya. Saya ambil semua uangnya."
"Dasar menantu tidak ada gunanya. Bukannya dipakai untuk kebutuhan dapur, malah untuk kebutuhan sendiri."
Hei! Aku menatap Ani heran. Kenapa dia malah menganggukkan kepala? Benar-benar di luar dugaanku. Dia tidak menjawab lagi. Hanya mendengarkan dumelan ibu.
"Mimpi apa punya menantu miskin kayak gini. Bisanya habisin uang suami lagi. Apa bisa kamu itu? Gak dibutuhkan sama sekali."
"Iya. Mendingan uangnya buat aku belanja. Abang terlalu percaya sama dia, sih."
Uang yang aku berikan ke Ani saja tidak sampai tiga ratus ribu satu bulan. Aku cukup heran dengan sikap Ani. Astaga, sebenarnya apa yang sedang direncanakan oleh Ani?
"Kamu itu salah milih istri. Haduh, Ibu capek lihat istri kamu yang satu ini, Rey." Ibu tampak kesal sekali.
"Tapi, Bu—" Aku menggaruk kening, agak bingung juga. Mau membela tapi memang Ani tidak oantas untuk dibela.
"Setiap hari kamu makan apa?" tanya Ibu sambil menatapku kesal, aku jadi ikut kena marah Ibu.
"Tempe sama tahu." Aku menjawab singkat.
"Nah, kan. Uang kamu itu jelas-jelas udah dimanfaatin sama dia."
Aku hanya bisa diam saja melihat Ibu dan Nisa memarahi Ani. Memang dia yang salah. Aku malas juga membelanya. Biarkan saja dimarahi oleh Ibu. Siapa suruh juga dia menganggukkan kepala tadi.
"Jangan sampai dia ngelunjak lagi."
Ibu beranjak ke kamar. Diikuti oleh Nisa. Aku menghela napas pelan, kemudian melangkah mendekati Ani yang juga ikut beranjak.
Haduh, ini menyebalkan sekali. Aku mengikuti Ani dari belakang.
"Ani."
Dia menoleh. Kemudian melepaskan tangannya dari peganganku. Teringat tadi siang dia menangis. Tiba-tiba rasa bersalah menyelinap di hatiku.
Apakah Ani betulan sakit?
Ah, atau jangan-jangan dia hanya pura-pura untuk dapat simpati dariku? Agar aku memberikannya uang lebih banyak setiap bulan?
Sepertinya begitu.
"Apa yang dibicarakan oleh Abdul tadi?"
"Bukan urusanmu."
***
"Boleh aku masuk, Mas?!" tanya Ani membuatku menelan ludah. Buru-buru aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau kalau Ani sampai ketemu dengan Mama dan Mama malah meminta uang pada nya. Tau sendiri kan Mama itu bagaimana watak nya. Aku sudah lelah menghadapi Mama. Apa lagi Ani. Pasti Mama juga akan melakukan hal itu pada Ani. Meskipun saat ini, Mama sudah tau kalau Ani bukan lah istriku lagi, tetapi tetap saja. Pasti dia akan melakukan hal yang aneh-aneh pada Ani dan aku tidak mau kalau hal tersebut sampai terjadi. "Eh?! Aku tidak boleh masuk ke rumah kamu, Mas?!" tanya Ani dengan tatapan terkejut. Tatapanku terhenti ke Ani. Kemudian menggelengkan kepala kembali. Ya, Ani tidak boleh sampai masuk ke dalam rumahku. Ani tampak sekali kalau kebingungan. Akhir nya, aku keluar dari rumah, kemudian menutup pintu rumah. Kami mengobrol di luar. Sebenarnya tujuan Aku adalah agar Mama tidak mendengar percakapan aku dan juga Ani saat ini. "Apa yang terjadi, Mas?" tanya nya pelan. "Aku tidak
"Kamu bisa kan bicara dengan aku besok, Rey? Ini penting banget. Aku butuh banget buat bicara sama kamu."Huft, baik lah, aku akhir nya menganggukkan kepala, bisa saja sih aku menuruti kemauan nya Abdul untuk bertemu besok. Meskipun sejujur nya aku tidak tau apa yang ingin dibicarakan oleh Abdul padaku, apa lagi ini kata nya tentang si Ani. Memang nya dia mau membahas apa soal Ani? Apa kah ada yang mendesak sekali ya?"Rey? Kok kamu malah diam sih? Aku benar-benar butuh jawaban kamu, Rey.""Iya, aku bisa. Kamu kabarin aja besok gimana nya.""Bagus deh kalau kayak gitu, soal nya ini penting banget dan jujur aja aku takut kalau kamu nanti malah jadi gak dapat informasi tentang ini."Sepenting apa berita yang ingin dibicarakan oleh Abdul? Hmm, jujur saja aku penasaran sekali, tetapi ya sudah lah. Memang sudah seharus nya kami bertemu dulu. "Boleh deh, kita langsung ketemuan saja besok ya. Aku bakalan usahain buat langsung ketemu sama kamu."Ya semoga saja besok tidak terlalu banyak ke
"Abang sakit keras? Dan gak bilang ke Nisa? Kenapa, Bang?""Nis, kamu—""Apa, Bang? Abang mau nyembunyiin semuanya dari aku?" Ah, aku tidak sanggup menatap Nisa. Dia menggelengkan kepala, tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan. Aku menggigit bibir, apa lagi yang harus aku jelaskan pada Nisa?Surat hasil pemeriksaan itu ada di tangan Nisa. Aku mengembuskan napas pelan, tidak ada gunanya lagi membela diri sendiri. Nisa sudah tahu semuanya sekarang. Bahkan, sebelum aku memberitahukannya sendiri. Semuanya sudah terungkap, secepat ini."Apa?! Abang mau bela diri kayak mana lagi? Surat ini udah ada di tangan aku, Bang. Hasil pemeriksaan yang betul-betul menerangkan kalau Abang sakit keras!""Ssttt ..." Aku langsung menoleh ke pintu, takut Mama mendengar teriakan Nisa. Semoga saja Mama tidak mendengarnya. "Kenapa sih, Bang? Abang kenapa? Kenapa nyembunyiin ini semua dari Nisa? Dari Mama?"Kenapa? Aku menggelengkan kepala. Aku juga tidak tahu ada apa dengan diriku seka
"Hah? Menikah?!"Tubuhku seketika kaku mendengar perkataan Bang Ariel. Dia serius atau sedang bercanda? Pandanganku teralih ke Ani yang terdiam. Dia serius akan menikah dengan orang lain? Kenapa dia tega sekali padaku? Padahal awalnya dia sudha berjanji akan memikirkan tentang aku yang menawarkan untuk rujuk. "Kamu—""Iya. Aku akan segera menikah, Mas. Itu undangannya, kamu bisa lihat sendiri." Ani langsung memotong ucapanku. Sungguh aku tidak menyangka dengan ucapan Ani. Aku menatapnya, kemudian pandanganku teralih ke undangan yang diletakkan di atas meja, mengambilnya. "Ini, ambil undangannya, Mas."Ani tersenyum padaku. Dia seperti tidak punya beban memberikan undangan itu padaku. Aku menghela napas pelan, kemudian perlahan mengambil undangan yang diberikan oleh Ani. "Sudah dari kemarin aku hendak mengantarkannya ke kamu, Mas. Hanya belum ada waktu, tadi niatnya mau ke rumah kamu, ternyata kita malah ketemu di sini."Aku menatap undangan yang diberikan Ani. Gino nama calon sua
Karma? Aku mengembuskan napas pelan, apakah benar karma itu ada? Kalau benar karma itu ada, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku menatap datar ke depan, ini benar-benar di luar dugaan. "Pak?""Eh iya." Aku langsung terkejut mendengar panggilan dokter. Kemudian tersenyum tipis. "Jadi saya harus bagaimana ya, Dok?" tanyaku pelan, aku sendiri tidak yakin apa yang harus aku lakukan sekarang. Dokter menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Dapat uang dari mana untuk semua pengobatan ini? Aku menghela napas pelan, ini benar-benar buruk. "Terima kasih, Dok." Aku tersenyum tipis, beranjak dari kursi. Langkahku lunglai sekali sekaranf, sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Biaya rumah sakit kalau aku melakukan pengobatan akan mahal sekali. Kalau tidak diobati, kasian Mama dan Nisa. Bagaimana mereka akan hidup tanpaku nanti? Ah, aku mengusap wajah kasar, kesal dengan keadaan sekarang. Kenapa pula penyakit ini muncul di saat yang tidak tepat?Bru
"Aku ingin rujuk kembali denganmu, Ani.""Hah?!" Ani tampak terkejut sekali mendmegar perkataanku barusan. Dia sepertinya tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. "Apa jaminan kamu mengatakan itu, Mas? Sementara ada kehidupan yang lebih baik dari pada bersama kamu?" tanya Ani pelan, dia menundukkan kepalanya. Aku mengembuskan napas pelan, mau bagaimanapun juga aku tidak akan bisa memaks Ani untuk kembali lagi padaku. Namun, aku masih mencintainya dan aku ingin dia kembali padaku. "Ani?" Aku menggenggam tangannya, ada sentakan halus yang terjadi saat tanganku menyentuh tngannya. "Kamu kaget?" tanyaku pelan. "Sedikit." Dia mengembuskan napas pelan. Jantungku berdetak kencamg, aku ingin berubah dengan memperbaiki hubungan ini. Memperbaiki rumah tangga kami. "Aku butuh jawaban kamu, Ni."Perlahan, Ani mengangkat pandangannya, menatapku. Ada raut sendu di wajahnya. "Apa jaminan kalau aku kembali padamu, Mas?" tanyanya pelan. Jaminannya? Aduh, aku tidak memikirkan hal itu seb
Meskipun harus merelakan semuanya, aku tetap bersyukur, karena Mama bisa tertolong dengan bantuan Ani. "Bang, Mbak Ani baik, ya."Iya. Dia memang baik. Aku menatap Nisa, kemudian menganggukkan kepala. "Gak kebayang kalo gak ada Mbak Ani. Mama pasti—""Sstt ... kamu jangan kasih tau apa-apa ke Mama dulu, ya nanti. Jangan sampai kabar buruk ini sampai ke telinga Mama di kondisi yang gak baik kayak gini."Adikku itu terdiam. Dia akhirnya menganggukkan kepala. Beberapa detik, aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke kursi. Ini berat sekali. Persyaratan yang diberikan Ani benar-benar menyiksa. Namun, aku tidak bisa apa-apa. Aku memang tidak berguna."Maafkan aku, Ani, Ma."***"Mama kenapa di sini?" Aku berdiri, mendekati Mama yang tampak kebingungan. "Mama sakit.""Terus? Aduh." Mama meringis, membuatku membantunya beranjak dari posisi tiduran. Mama tidak banyak berbicara. Sekarang justru tampak aneh. Aku menoleh ke Nisa yang sibuk dengan ponselnya. "Mama mau
"Kita berangkat sekarang, Bang."Aku mengambil tas di atas meja. Kemudian merapikan pakaian. Yakin sekali ini akan menjadi momen menarik. "Masih gak nyangka adek Abang punya ide seebat ini."Bang Ariel mengacak rambutku. Kami melangkah keluar rumah. Mama pasti sudah tidur, tidak usah pakai izin. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung. Mas Reyhan sudah mengirimkan alamat rumah sakit padaku. Pasti dia juga tidak akan percaya dengan pemikiranku yang hebat ini. "Abang gak sabar liat ekspresi dia."Sebenarnya, ini tidak ada di rencana kami, tapi sudah terlanjur. Sekalian saja. Ini lebih mudah sebenarnya. "Sama. Dia bakalan ngerasain apa yang aku rasain, Bang."Ya. Mas Reyhan harus merasakannya. Tenang saja, Mas, permainan baru saja dimulai. ***"Akhirnya Mbak datang juga. Aku dari tadi nungguin Mbak."Aku tersenyum ke Nisa. Dia sudah baik sekali padaku. Meskipun aku tidak akan membantu dengan mudah, tapi kalau tidak ada Nisa, mungkin aku tidak akan mau menawarkan penawaran
Lucu sekali dia. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Sudah pasti ada alasan lain. Tidak mungkin dia murni ingin bertemu dengan bayiku. Ah, lelucon yang wow. Aku menghela napas pelan. Menatap bayiku yang tenang di gendongan pria yang masih berstatus suamiku itu. "Kamu betul gak mau kembali lagi bersamaku, Ni?" tanyaku pelan. "Sudah kubilang berapa kali? Itu hanya ada di mimpi."Sudah waktunya. Aku melirik jam tangan. Kemudian menoleh ke anak buah Bang Ariel. Mereka mengambil bayiku dari gendongan Mas Reyhan. "Eh? Apa-apaan ini, Ani?" tanyaku sambil melotot padanya. "Waktunya sudah selesai, Mas. Kamu tidak akan bisa membujukku untuk memberikan waktu lagi."Aku melangkah pergi, sementara Mas Reyhan terus memanggil, membuat beberapa pengunjung lain menatap kami. Bodo amat. Aku terus melanjutkan langkah. Bang Ariel sudah ada di dalam mobil. Kami meninggalkan restoran itu. "Apa yang dia mau dari kamu?" tanya Bang Ariel sambil memakai kacamatanya. "Banyak. Termasuk bayi ini."Bang