“Maaf, Mas. Saya beneran gak paham. Saya gak pernah ikut undian!” Aku menatap lelaki itu. Bukan tak senang, tapi siapa juga yang tak takut. Tiba-tiba orang ngirim sepeda motor ke rumah. Kemarin iseng saja padahal kuberi alamat biar panggilan cepat selesai. Itu pun kukasih alamatnya tidak lengkap. Harusnya berhenti di perempatan saja. “Waduh, Mbak! Kalau itu, coba telepon saja ke kantor. Saya tugasnya cuma nganter.” Petugas dealer itu tampak kebingungan. “Lagian, Mas. Saya kan ngasih alamatnya gak lengkap. Kok bisa ketemu, sih?” telisikku heran. “Tadi kami pun nyasar. Telepon ke nomor Mbaknya gak diangkat. Tapi tadi nanya orang yang punya rumahnya deket perempatan, jadi ngasih tahu ke rumah ini.” Dia menjelaskan. Aku bergeming. Bingung. Kugaruk kepala yang terbungkus kerudung segi empat ini. Tiba-tiba kurasa seseorang berdiri di sampingku. “Butuh tanda tangan di mana, Mas?” Suara Pak Banyu terdengar. “Di sini, Pak!” tukasnya sopan.Tanpa babibu, Pak Banyu maen tanda tangan saja.
Aku terduduk sambil menatap dua buah sepeda motor yang kini memenuhi ruang tengahku. Satu sepeda motorku, satu lagi yang baru. Pak Banyu tak menjelaskan apapun. Tadi sehabis membeli jam tangan langsung membeli satu set perhiasan dan juga cincin. Bukan buat aku. Untung tadi tak sok-sokan menolak. Satu set perhiasan itu dibawanya pulang, katanya pesanan Bu Fera. “Bu, tadi Pak Banyu bilangnya apa?” Aku menoleh pada Ibu yang baru saja keluar dari kamar. Ruang tengah ini masih menyisakkan tempat duduk, hanya makin sempit saja. “Gak bilang apa-apa. Cuma bilang ini motor kamu.” Aku menghela napas kasar. Dia tak juga mau menceritakan. Hanya sedikit candaan tentang mahar yang membuatku menerka, jika sepeda motor itu darinya. Sepulangnya dari test drive tadi. Aku ke dalam untuk membuatkannya minum. Sudah perjalanan jauh, takutnya haus. Namun, pas keluar, dia sudah pulang. “Orang aneh.”Aku menggeleng kepala. Entah, apa yang ada dalam benaknya Pak Banyu. Suka-suka datang, suka-suka pergi. Ng
“Kalau begitu … silakan Bu Vamela pulang saja. Bukan saya ngusir, ya, maaf-maaf. Hanya saja … rasanya Bu Vamela yang luar biasa ini, tak pantas berada di pernikahan yang serba biasa.” Ibu terdengar tegas.“Maaf, Bu Nilam. Saya masih harus di sini sampai akad selesai. Setidaknya saya yakin, kalau Bu Nilam tak mengada-ada.” “Baiklah, silakan saja … tapi maaf jika jamuan kami tak memuaskan.” Ibu terdengar tenang dan tak terlihat terintimidasi. Aku memutar tubuh sebelum Ibu melihatku. Sengaja tak mau menunjukkan wajahku di depan Tante Vamela. Kasihan, takut dia tertular oleh kehidupanku yang serba biasa.Imelda masih di tempatnya ketika aku kembali. Aku duduk pada kursi yang tersedia, tak mungkin duduk lesehan karena kebaya yang aku kenakan. “Selfie dulu, yuk, Bestieku!” Imelda bangun. Tanpa babibu, dia langsung mendekat dan mengarahkan kamera ke arah kami.“Jangan posting dulu di SW, ya! Dari sekolah gak ada yang diundang soalnya. Gak enak.” Aku bicara padanya. “Aish, iya, lupa. Yahhh
Keramaian yang terjadi hanyalah sampai sore. Usai Pak Panghulu pergi dan tim MUA selesai mencobot semua riasanku. Para tetangga yang tak banyak itu pun berangsur pulang. Setelah itu, aku sibuk membantu Ibu membereskan sisa semua kekacauan hari ini. Piring, gelas dan semua panci kotor yang berserakan sibuk kami bereskan. Imelda, sudah sejak sore pulang. Mana mau dia membantu urusan seperti ini. Tangannya terlalu berharga untuk berkenalan dengan sabun pencuci piring.Bu Fera pun sudah pulang bersama Aluna dan rombongan. Meski tadi ada sedikit drama, Aluna mau di sini bareng Papanya. Namun Bu Fera membisiki entah apa, hingga Aluna bersemangat pulang. Kini hanya tertinggal satu lelaki asing di sini yang semenjak akad nikah tadi, lebih banyak diam. Mungkinkah dia menyesal? Entahlah … aku tak bisa menebak isi hatinya.“Jingga, sudah … ini biar Ibu saja. Kamu temani suami kamu.” Ibu bicara sambil menata piring-piring yang sudah bersih pada rak piring. Hanya untuk ditiriskan seaat pastinya.
Aku mulai menyuap dan berkenalan dengan sensasi rasa baru yang kurasa cukup unik ini. Namun, keindahan dan kedamaian ini tak berlangsung lama karena sebuah keributan yang tiba-tiba terjadi di meja pojokan. Aku dan Pak Banyu menoleh ke asal suara. Mencari tahu apa yang sedang terjadi di sana.“Fu*k kamu, Mas! Jadi ini yang kamu bilang ada side job!” Histeris terdengar suara seorang perempuan. “Sayang, dengerin dulu penjelasanku!” Suara seorang lelaki yang membela diri. Plak!“Mbak, kamu berani nampar aku?!” Terdengar suara perempuan lainnya. “Kamu! Lont*! Jal*ng! Aku pecat kamu sekarang!” Aku dan Pak Banyu saling lempar pandang. Karena beberapa pegawai hotel berkerumun untuk memisahkan, jadinya tak terlihat jelas wajah para pelaku yang terlibat keributan.“Jangan gitu dong, Sayang! Dia itu manager aku.”“Pokoknya! Aku gak mau tahu! Kamu pecat dia, Mas! Kamu itu tunangan aku sekarang! Dia itu cuma manager kamu!” Suara itu terdengar histeris. Beradu dengan suara para pegawai restoran
“Shalat dulu.” Aku kembali hendak beringsut pergi. Sepasang matanya terbuka lalu menatapku dengan sayu. “Maaf untuk sore tadi. Apa kamu marah?” Aku bergeming. Kukira dia tak sadar akan perubahan sikapku. Rupanya dia pun tahu. Namun aku ingin mendengar versi lengkapnya.“Maaf untuk apa?” tanyaku sok polos dengan memasang wajah tanpa dosa. Namun bukannya jawaban yang kuterima, tapi sebuah kecupan yang dia labuhkan pada keningku dengan pelukan yang kian erat. “P--Pak, saya engap.” Aku berusaha mendorong dada bidangnya. Dia terkekeh lalu melepas bibirnya yang sejak tadi menempel lama pada keningku. “Maaf.”Hanya itu kata yang dia ucapkan sebelum akhirnya pelukannya perlahan dia urai. Aku pun segera menarik diri. Jujur, senyum tak bisa kusembunyikan. Rasanya perlakuannya barusan benar-benar membuatku merasa bahagia. Sayangnya, dia tak seperti Bara yang ekspresif. “Ah … Bara lagi. Buat apa pula pandai mengungkapkan kata-kata cinta dengan ucapan, kalau faktanya menyakitkan. Heyyy, move o
Aku melongo dibuatnya. Tak menyangka kalau dia datang ke sini hanya untuk mendukung aku kembali dengan Bara. Lalu, dia sebahagia itu mendengar adik sepupunya mau bercerai? Kakak macam apa sebetulnya dia? “Terima kasih atas perhatiannya, Bu Misye. Cukup kaget juga, saya kira Bu Misye sedih kalau sepupunya berpisah, rupanya malah mendukung saya dengan orang yang sedang saya lupakan. Hmmm ... apa ada lagi yang ingin dibicarakan, saya buru-buru soalnya.” Aku sudah berdiri ketika mengucapkan kalimat itu. Semoga dia paham membaca gesture tubuh. Aku tak ingin berlama-lama dengannya. Namun dia malah bicara lagi. "Saya hanya kasihan dengan Rani saja. Dia hanya memiliki raga suaminya, tapi hatinya milik mantannya."Aku tertegun sejenak. Gak nyangka dia akan bicara seperti itu."Setiap orang punya masa lalu, tapi hidup tak berjalan mundur. Sebaiknya semua orang bertanggungjawab atas pilihan hidupnya masing-masing. Termasuk, Bara, Rani, Bu Misye dan Saya. Hmmm, saya buru-buru, permisi."Hanya
“Astagaaa!” Aku yang sadar kalau hanya mengenakan lilitan handuk, hendak masuk kembali ke kamar mandi. Namun, suaranya menghentikkan langkahku. “Jingga … s--saya ….” Suaranya menggantung, membuatku menoleh kembali dan menatap wajahnya. Dia berjalan mendekat dengan tatapan mata yang membuatku berdebar hebat. “Nanti saja bicaranya, Pak. Saya dingin, belum pake baju.” Aku hendak menarik pintu kamar mandi ketika dia menahanku. “Jingga, bolehkah?” Suaranya kudengar sedikit parau. Kulihat dia tak berkedip menatapku dengan napas yang sedikit memburu.Glek!Aku menelan saliva. Aku bukan orang yang begitu polos sehingga tak paham arti tatapannya saat ini. Namun, logikaku menolak. Jangan-jangan dia hanya menginginkannya karena tak kesampaian dengan mantannya itu. Mereka kan habis pergi bareng tadi. Hanya saja, belum sempat aku mengatakan apa-apa. Jarak sudah terpangkas habis. Bibir itu terasa lembut menyentuh kulit polosku.“P--Pak, t--tolong, jangan sekarang.” Aku berusaha memberontak. Namu