LOGINAngin malam berhembus kencang, menyisir dedaunan yang bergesekan di pepohonan tinggi. Aroma tanah lembab bercampur asap obor menyengat hidung, tercium hingga jauh sebelum gerombolan kuda muncul. Denting gamelan terdengar samar, membelah keheningan malam, seperti gema dari dunia lain yang asing dan menakutkan.
Arya Wuruk menundukkan tubuh Alesha lebih rapat ke pelukannya, menarik kain besar yang menutupi hampir seluruh wajah dan tubuhnya. Kudanya melaju cepat di jalan setapak yang hanya diterangi obor berjajar, tapak besi menapak tanah dengan ritme berat, menghentak dada Alesha yang kini bergetar ketakutan. “Lepaskan aku! Hei! Ini penculikan!” teriak Alesha, suaranya memecah malam, sementara tangannya meronta-ronta mencoba menyingkap jubah yang menyesakkan. Arya menundukkan wajahnya, mata menatap lurus ke depan, tanpa sepatah kata pun kecuali satu: “Diam.” Suaranya berat, dalam, tegas—logat kuno yang asing dan dingin di telinga Alesha. Sekejap saja, darah Alesha berdesir dingin. Nada itu bukan main-main; membuatnya spontan terdiam, memegang kain dengan erat agar tidak terpelanting jatuh dari kuda. Di sekeliling, pohon-pohon raksasa menjulang gelap, dedaunannya saling menutupi hingga hanya menyisakan remang cahaya obor di kejauhan. Sesekali, bayangan prajurit yang membawa obor melintas, tampak seperti siluet hantu di kegelapan hutan. Alesha terus berbisik di dalam hati, campuran rasa takut dan kebingungan: Kenapa orang-orang ini pakai kuda segala? Dan… hutan apa ini? Kenapa nggak kelihatan jalan raya? Mana aspal, mana beton, bahkan jalan kampung pun nggak ada… Dan… lampu? Hanya obor? Dimana aku sebenarnya? Keringat dingin mengalir di pelipisnya, basah membasahi rambut yang menempel di wajah. Semakin lama, hutan yang mereka lalui terasa lebih asing, lebih gelap, dan lebih menekan. Alesha sadar, ini bukan sekadar pelosok desa—ada sesuatu yang jauh lebih besar, misterius, dan menakutkan menantinya. Tak lama kemudian, pepohonan mulai jarang. Sebuah alun-alun luas muncul di depan mereka, diterangi deretan obor dan lentera minyak. Dari tengahnya menjulang Gapura Paduraksa, gerbang beratap tinggi, dengan ukiran rumit bergambar makhluk mitologi—Kala, naga, dan dewa-dewa. Bayangannya tampak menakutkan dalam cahaya api yang menari-nari. Alesha menelan ludah. Gerbang itu tampak seperti portal ke dunia lain, membawa dirinya ke masa yang tak pernah ia bayangkan. Kuda Arya melesat melewati prajurit penjaga, dan serentak semua menunduk, tidak berani menatap. Rendra, menunggang kuda di belakang, sesekali memberi aba-aba agar pasukan berjaga tetap menyingkir, memastikan perjalanan mereka tak mengundang perhatian. Alesha mencoba mengintip dari balik kain, tapi cahaya obor menusuk matanya. Sekilas ia melihat: tembok bata merah menjulang, ukiran kala raksasa di atas gapura, dan di dalamnya, bangunan besar dengan atap bertingkat dari kayu gelap dan genteng tanah liat, seperti mimpi yang hidup. Suara gamelan kini lebih jelas, bercampur dengan aroma dupa dari pendapa, dan gemerincing gelang prajurit yang menunduk setiap mereka lewat. Jantung Alesha berdegup semakin kencang. Apa-apaan ini… ini… ini istana jaman kerajaan kuno… ini tidak mungkin studio lokasi syuting… Dan tidak mungkin mereka penduduk adat pedalaman, kalau ada komplek istana sebesar ini… pikirnya, terengah. Arya menarik kudanya hingga berhenti di halaman Bangsal Raja. Prajurit penjaga di pintu segera berlutut, kepala menunduk sampai hampir menyentuh lantai. Rendra turun lebih dulu, memeriksa sekeliling, lalu mengangkat tangan memberi isyarat agar pelayan menjauh dan halaman tetap sepi. Dengan gerakan sigap, Arya menurunkan Alesha dari kudanya. Sentuhan tangannya kuat, namun lembut. Dengan cepat ia menutup kain penutup, lalu menggendong Alesha di punggung seperti karung beras, melewati pintu samping bangsal yang gelap. Hanya suara detak jantung Alesha yang bergema di telinganya, bercampur bisik-bisik takut: Dimana aku? Siapa mereka? Kenapa semua orang tunduk pada lelaki ini? Apa aku akan selamat malam ini? Langkah kaki mereka bergema di lantai kayu bangsal, setiap hentakan menimbulkan getaran di tulang belakang Alesha. Ia menggigil, memeluk tubuh sendiri, berusaha menahan panik. Pintu besar di belakang mereka akhirnya tertutup rapat. Malam itu, tanpa ia sadari, Alesha telah resmi memasuki pusat rahasia terbesar di tanah Majapahti—dan menandai awal dari takdir yang tak pernah ia bayangkan. Arya menurunkan Alesha ke lantai, meletakkannya di kursi bambu panjang. Ia menatapnya dengan sorot mata tegas namun tak kasar, lalu berkata pelan: “Tenang, sira. Tidak ada yang akan menyakitimu di sini. Aku sendiri yang membawamu.” Alesha hanya bisa menatap, tubuhnya masih gemetar. Kain besar yang menutupi wajahnya menempel basah oleh keringat dan udara malam. Perlahan, ia menyadari—meski takut, ada rasa aneh yang membuatnya ingin percaya: pria di depannya bukan sembarang orang. Di balik bayangan gelap bangsal, suara gamelan dan obor yang menari seakan menandai, malam itu adalah awal dari perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya.Rendra, dengan napas terengah-engah dan jantung berdebar kencang, berlari secepat mungkin melewati koridor Istana. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar pribadi Raja Arya Wuruk, di mana ia tahu Rajanya sedang bersama Mahapatih. Ia mengetuk pintu dengan tergesa-gesa, mengabaikan etika dan jam istirahat malam.Pintu terbuka. Arya Wuruk berdiri di sana, hanya mengenakan kain sarung yang diikatkan di pinggang, rambutnya sedikit acak-acakan. Di belakangnya, Alesha (masih dalam pakaian tidurnya) mengintip."Ada apa kau Rendra? Wajahmu pucat sekali, seperti melihat mayat bangkit dari kematian," tanya Arya, nada suaranya tajam karena terganggu.Rendra membungkuk, berusaha mengatur napas, suaranya tercekat karena panik."Ampun Paduka Raja! Ampun Mahapatih!" Rendra segera berlutut di ambang pintu. "Hamba... hamba baru saja berpapasan dengan Kebo Iwa."Alesha dan Arya langsung bertukar pandang yang dipenuhi ketakutan. Ketenangan mereka setelah insiden di pelabuhan seketika hancur."Apa?! Baga
Sore hari di Istana Wilwatikta memancarkan keindahan yang tenang. Bayangan dari arsitektur bata merah membentang panjang di halaman. Kebo Iwa, setelah beristirahat sejenak, memutuskan untuk mengikuti tawaran Raja Arya. Ia keluar dari kompleks tamu dan berjalan santai menyusuri taman-taman Istana yang asri, dan kemudian memberanikan diri melangkah keluar dari gerbang utama.Di luar tembok Istana, kehidupan di ibu kota Trowulan berdenyut. Kebo Iwa berjalan di antara kedai dan pasar kecil. Ia mendengarkan pembicaraan warga, ingin memahami bagaimana sesungguhnya Majapahit di mata rakyatnya. Hampir di setiap pembicaraan yang ia dengar, ada nada pujian yang tulus untuk Raja Arya Wuruk."Panen tahun ini berlimpah berkat saluran air Raja!""Raja kita sungguh bijaksana, dia memastikan tidak ada yang kelaparan.""Bahkan Mahapatih Gaja Mada kita pun hebat, meski wajahnya tertutup, otaknya tak tertandingi."Kebo Iwa menyimak semuanya. Ia mencari Lestari, tetapi ia hanya menemukan kesejahteraan da
Perjalanan dari pelabuhan ke Istana Wilwatikta terasa mencekam. Kebo Iwa menunggangi kuda di belakang Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, matanya terus mengamati setiap detail ibu kota Majapahit—dari arsitektur bata merah yang megah hingga keteraturan prajurit yang berbaris di jalanan. Pikirannya dipenuhi kekacauan. Ia datang mencari Lestari, tetapi yang ia temukan adalah Raja dan Mahapatihnya, dan ia masih belum bisa melepaskan perasaan aneh bahwa mata Mahapatih itu terasa sangat familiar.Setibanya di Istana, Kebo Iwa segera dibawa ke kompleks khusus tamu kerajaan. Itu adalah bilik mewah, dilengkapi perabotan kayu jati ukir, yang membuat penginapan terbaik di Bali terlihat sederhana.Kebo Iwa meletakkan buntalan kain lusuh yang berisi beberapa pakaian dan perbekalannya di lantai kamar tamu itu. Ia merasakan kehangatan keramahan Majapahit, tetapi di saat yang sama, ia merasakan udara tipis di lehernya. Ia tahu, ia sedang berada di sarang musuh."Tuan Patih," ujar Arya Wuruk dengan se
"ASTAGA, ARYA! Ada Kebo Iwa! Lihatlah di arah sana, di kerumunan dekat tiang bendera! Dia ada di Wilwatikta!" bisik Alesha, suaranya tercekat di balik penutup kain Mahapatih Gaja Mada.Rahang Arya Wuruk sempat mengeras hebat. Ini bukan hanya kejutan; ini adalah tindakan yang setara dengan invasi rahasia. Kebo Iwa datang tanpa diundang, tanpa utusan, dan tanpa jaminan keselamatan. Arya merasakan darahnya mendidih, tetapi ia segera mengendalikan diri. Sebagai seorang Raja, ia harus bertindak dengan perhitungan, bukan emosi."Maka kita harus menyambutnya," ucap Arya, suaranya tenang namun mengandung ancaman tersembunyi. "Kita harus menyambutnya sebagai Raja dan Mahapatih dengan baik."Arya menoleh kepada Laksamana Nala. "Laksamana Nala, uji coba kapal kita lakukan di lain waktu. Sekarang aku ada urusan mendadak dan harus menyambut seorang tamu yang sangat penting," ujar Arya, menunjuk sekilas ke arah kerumunan. "Kita harus menyambut Patih Bali, Kebo Iwa."Laksamana Nala agak terkejut. Ia
Kebo Iwa berjalan menyusuri pelabuhan, kakinya yang besar menginjak tanah Jawa, merasakan atmosfer Majapahit yang sangat berbeda dari Bali. Matanya terus waspada, mengamati kapal-kapal dagang yang padat dan prajurit berseragam di mana-mana. Ia mencari penginapan, namun langkahnya terhenti oleh desas-desus yang menyebar cepat di antara para buruh pelabuhan."Lihat! Di sana! Kapal Jung Jawa! Kabarnya Raja Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada sendiri yang datang melihatnya!""Mahapatih Gaja Mada? Yang terkenal sakti itu?""Iya! Mereka sedang berada di atas kapal besar yang baru selesai itu!"Mendengar nama Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada, rasa ingin tahu Kebo Iwa, yang memang seorang Panglima Perang, langsung memuncak. Ia penasaran ingin melihat secara langsung wajah Raja yang kebijaksanaannya dipuji-puji oleh Lestari, dan ingin tahu seperti apa sosok Mahapatih yang memimpin Majapahit menuju kejayaan.Kebo Iwa bergegas mengikuti arah desas-desus. Ia harus menembus kerumunan warga dan pr
Beberapa bulan telah berlalu sejak kepulangan Alesha dari Bali dan ledakan kecemburuan yang hampir membakar kamar Raja. Hubungan mereka kembali harmonis, diwarnai strategi politik yang kini difokuskan pada pemanfaatan kelemahan Kebo Iwa dan negosiasi diplomatik yang hati-hati dengan Pajajaran (yang kini ditangani langsung oleh Alesha, tentu saja).Pagi yang cerah itu, saat Arya Wuruk dan Mahapatih Gaja Mada (Alesha) sedang membahas logistik pangan untuk ekspedisi berikutnya, Laksamana Nala tiba-tiba menghadap. Wajahnya yang biasanya tenang, kini dipenuhi senyum puas dan bangga."Paduka Raja, Mahapatih," lapor Laksamana Nala, membungkuk dalam. "Hamba datang membawa kabar sukacita. Kapal agung itu... Kapal yang Paduka perintahkan dengan desain khusus dari Mahapatih, telah selesai dibuat."Mendengar berita itu, Arya dan Alesha sontak bangkit dari duduk mereka. Rasa lelah, ketegangan politik, dan drama pribadi seketika sirna, digantikan oleh antusiasme murni."Sudah selesai?" tanya Arya,