Rendra berdiri tegap di depan pintu masuk Bangsal Raja, matanya awas menelusuri sekeliling. Ia membiarkan Arya Wuruk dan Alesha bersua sendiri di dalam, mengetahui bahwa momen itu terlalu pribadi untuk diganggu.
Alesha menatap sekeliling kamar dengan mata melebar. Meski seluruh bangunan terbuat dari kayu, ini sama sekali bukan gubuk orang miskin. Dindingnya dari kayu jati gelap yang dipoles halus, menyerap cahaya obor yang berderet di dinding. Lantai kayu mengeluarkan bunyi lembut setiap langkah, dan di langit-langit tinggi tergantung anyaman daun kelapa yang diukir dengan motif flora dan fauna, memberi kesan megah dan sakral. Di salah satu sisi ruangan, deretan lontar-lontar digulung rapi di rak kayu berukir, beberapa kotak kayu kecil berisi prasasti batu mini dan gulungan surat resmi dari kerajaan tetangga. Aroma dupa yang samar bercampur dengan wangi kayu jati menambah suasana misterius. Di tengah ruangan, sebuah dipan kayu dengan tikar anyaman, ditutupi kain sutra lembut berwarna cokelat tua, tampak menunggu siapa pun yang berhak beristirahat di sini. “Dimana ini?” suara Alesha terdengar panik, hampir berbisik. Arya Wuruk menatapnya, mencoba memahami kata itu. Ia mulai mengerti bahwa gadis ini menanyakan tempatnya—“dimana” adalah satu kata yang familiar di antara banyak gumaman Alesha sepanjang perjalanan. Sejauh ini, meskipun Arya menguasai bahasa Melaya, banyak ucapan Alesha yang tak bisa ia mengerti sepenuhnya. Hanya potongan kata-kata tertentu yang menempel di telinganya. “Kamu… berada di bangsal raja, di istana Majapahti,” jawab Arya Wuruk pelan, suara tenang tapi berwibawa. Alesha menatapnya, alis berkerut. “Ini… tidak masuk akal. Majapahti sudah tidak ada. Kerajaan ini—ini… abad ke-14!” Gumamnya hampir tak terdengar, tapi wajahnya memerah, antara marah, takut, dan bingung. Dalam keputusasaan dan kebingungan itu, Alesha menampar pipinya sendiri. “Awww… sakit!” teriaknya, tangan masih menempel di wajahnya yang kini memerah. Arya Wuruk hanya menatap dengan mata yang tajam tapi lembut, menahan senyum samar. Ia mencondongkan kepala sedikit, alisnya terangkat, mengekspresikan keheranan yang lembut—campuran antara ingin tertawa dan ingin memahami tingkah laku gadis asing ini. Matanya mengamati setiap gerakan Alesha, dari raut panik, tangan yang gemetar, hingga napasnya yang memburu. 'Hmm… kau benar-benar berbeda dari orang-orang biasa,' gumam Arya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Sorot matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam, tapi juga kewaspadaan. Ia tahu gadis ini bukan tamu biasa, dan intuisi raja tidak pernah salah. Alesha, di sisi lain, mulai merasakan perasaan aneh—antara takut, penasaran, dan heran. Ruangan yang megah, kayu jati yang berkilau lembut, lontar-lontar yang tersusun rapi, obor yang menari cahaya, semuanya terasa nyata namun menakutkan. Setiap sudut seakan menunggu rahasia terungkap. Hening sesaat mengisi kamar. Arya Wuruk membiarkan Alesha menenangkan diri, matanya tetap mengikuti setiap gerakannya. Baginya, gadis ini bukan hanya tamu dari dunia lain—ia mungkin kunci dari peristiwa yang takdirnya akan mengubah Majapahti selamanya. Alesha, perlahan menurunkan tangan dari wajahnya, masih terengah, menatap sekeliling lagi. Ia menyadari: ini bukan mimpi, ini nyata—dan ia telah memasuki dunia yang tak pernah dibayangkannya. Alesha merogoh saku roknya, harap-harap cemas. Jantungnya berdegup lebih kencang ketika tangannya tidak menemukan benda yang selalu menempel di hidupnya—ponselnya. Ia menatap Arya Wuruk seolah berharap dia bisa mengerti. “Eh… ponselku… di mana?” gumamnya cemas, tapi segera sadar bahwa laki-laki di depannya tampak sama sekali tak mengerti apa itu ‘ponsel’. Alesha menahan napas. Semua ini semakin tidak masuk akal. Dunia yang ia kenal—teknologi, telepon, listrik, jalan aspal—semua hilang. Hanya ada kayu, obor, dan suara gamelan yang samar. Dengan langkah gemetar, ia berjalan mendekati rak kayu di sudut ruangan. Gulungan lontar dan daluang tersusun rapi di atasnya, beberapa diikat dengan tali serat tanaman. Jantungnya berdegup kencang saat ia membuka salah satu gulungan, mata menatap aksara yang terukir rapi di permukaan daun lontar. “A… ini… seperti… seperti yang ada di foto-foto prasasti di buku sekolahku,” batin Alesha. Jarinya menyentuh permukaan daun yang halus, hampir seperti merasakan sejarah hidup yang tertinggal ribuan tahun. Setiap aksara tampak asing tapi juga anehnya familiar, seolah menghubungkan dia dengan dunia yang sudah ia tinggalkan. Paniknya semakin memuncak. Ia menoleh pada Arya, mata membesar. “Sekarang… hari apa… tanggal berapa?” tanyanya terbata-bata, berusaha keras agar maksudnya dimengerti. Arya menatapnya lama, menundukkan kepala, alis terangkat. “Tanggal…?” gumamnya, lalu menatap bingung. Kata itu asing baginya. Wajah Arya menunjukkan kebingungan yang tulus, seolah ia benar-benar tak mengerti maksud gadis ini. Alesha menelan ludah, paniknya bertambah. “T… tanggal…! Bukan… bukan… maksudku… tahun…!” Suaranya mulai meninggi, tangan gemetar. Kesadaran bahwa ia benar-benar berada di abad ke-14 menamparnya dengan keras. Dunia yang ia kenal, kehidupannya di masa depan, semua itu hilang. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya. Jika ini benar abad 14, ia tidak sedang mabuk, bukan mimpi, dan tidak ada jalan untuk kembali dengan mudah. Semua harapannya untuk “mengulang waktu” sebelum kesalahan fatal di kantor hanyalah ilusi. Ini jauh lebih ekstrem daripada kesalahan file confidential yang ia kirim—ia terlempar jauh, melewati masa, ke dunia yang sama sekali berbeda. Alesha menundukkan kepala, napasnya memburu. Tangan gemetar memegang gulungan lontar, seolah menempel pada satu-satunya bukti bahwa dunia nyata memang ada di sekitarnya, meski begitu asing. Ia menatap Arya lagi, mata penuh pertanyaan dan ketakutan. Arya, di sisi lain, tetap menatapnya dengan ekspresi campur aduk: heran, waspada, dan sedikit prihatin. Ia menyadari gadis ini membawa beban yang tak kasat mata—beban dari dunia lain, beban dari kata-kata dan benda yang tak ia mengerti. Tapi ia tak tahu harus mulai dari mana. Hening memenuhi kamar. Hanya suara obor yang menari, dan detak jantung Alesha yang terdengar nyaring di telinganya sendiri. Di sudut hatinya, Alasha sadar satu hal: permintaan mabuknya untuk mengulang waktu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang tidak ia pahami sama sekali.Suasana hutan mulai mereda. Burung-burung kembali bernyanyi setelah dentum panah berhenti, dan sinar sore menyelinap di antara dahan. Para pengiring sibuk mengangkut hasil buruan, sementara Arya Wuruk dan Gaja Mada menuntun kuda mereka perlahan keluar dari hutan.Angin sore menyapu wajah Alesha, tetapi jantungnya belum juga tenang. Ia masih bisa merasakan sisa hangat napas Arya di tengkuknya, seolah tadi bukan sekadar kebetulan.Dalam diam yang terasa menyesakkan, suara tenang Arya akhirnya memecah udara. “Pamong muda yang kini menjadi bendahara ibukota… tentu sudah memiliki rumah dinas, bukan?”Alesha menelan ludah. Pertanyaan menjebak… Dengan suara yang ia usahakan tetap datar, ia menjawab, “Hamba… masih tinggal di rumah dinas pamong muda, Paduka. Rumah dinas bendahara ibukota belum kosong. Keluarga bendahara sebelumnya masih bersiap pindah.”Arya melirik sekilas, matanya dalam dan sulit terbaca. “Begitu. Jadi, seorang bendahara ibukota masih tidur di rumah pamong? Kedengarannya
Suasana hutan sore itu seolah menahan napas. Bayangan pepohonan jatuh memanjang di tanah, angin membawa bau dedaunan basah. Seekor rusa terkapar, tubuhnya sudah tak bergerak, tapi ketegangan justru semakin memuncak.Arya menatap pemuda di hadapannya dengan penuh selidik. Gaja Mada—atau siapa pun dia sebenarnya—duduk di atas kuda yang begitu dikenalnya. Hatinya mendidih oleh kecurigaan, namun wajahnya tetap dingin.“Dari mana kau mendapat kuda ini?” tanya Arya lagi, nada suaranya tenang tapi tajam seperti bilah keris.Alesha berusaha mengendalikan napasnya, otaknya berpacu mencari jawaban. “Kuda ini…” ia menunduk sedikit lebih dalam, menyembunyikan mata yang hampir bergetar, “ayahku, Mahadeva, membelinya dari seorang pedagang yang katanya menerima langsung dari seorang gadis bangsawan.”Sejenak hening.Arya mengangkat sebelah alisnya, sorot matanya jelas menyiratkan ketidakpercayaan. Namun bibirnya melengkung tipis, pura-pura percaya. “Seorang gadis bangsawan, katamu?” ia mengulang per
Hutan perburuan di tepi Trowulan dipenuhi aroma tanah basah. Embun masih menggantung di ujung dedaunan, sementara sinar matahari pagi menembus celah-celah rimbunan pohon, membentuk garis cahaya yang berkilau. Suara burung dan gemerisik ranting patah menjadi irama yang tak pernah berhenti.Arya Wuruk, dengan pakaian sederhana seorang raja dalam balutan busana berburu, menunggang kudanya yang gagah. Di belakangnya, para pengawal dan bangsawan mengatur jarak, menjaga formalitas namun memberi ruang pada sang raja untuk bebas bergerak.Di sisi lain, Gaja Mada—yang sesungguhnya adalah Alesha—tampak menunduk penuh hormat sebelum menaiki kudanya. Jubah samar, penutup wajah, serta ikat kepala menutupi hampir seluruh identitasnya, hanya menyisakan sepasang mata dan kening yang sesekali terlihat saat angin menyingkap.Arya memalingkan wajah sekilas, menahan napas saat melihat kuda yang ditunggangi pemuda itu. “Kuda itu…” hatinya bergetar. Tak salah lagi—itu adalah kuda yang pernah ia hadiahkan p
Sore itu, Bangsal Raja dipenuhi aroma dupa yang masih mengepul dari sesaji siang tadi. Cahaya mentari yang merambat masuk melalui celah dinding kayu jati membuat ruangan berkilau temaram, membias di ukiran-ukiran naga dan kala pada pilar penyangga.Arya Wuruk duduk tegak di singgasana rendah berlapis kain beludru merah. Di hadapannya, beberapa abdi masih sibuk merapikan naskah lontar yang baru saja dibacakan. Namun sang raja tak beranjak—matanya tajam menatap Rendra yang berlutut, memegang gulungan papaosan panggalih yang berisi hasil penelusuran tentang seorang pamong muda: Gaja Mada.“Sudah genap sepekan sejak aku titahkan,” ujar Arya, suaranya berat namun terkontrol. “Apa yang kau dapati?”Rendra mengangguk dalam-dalam, lalu membuka lontar itu, suaranya mengalun jelas agar semua yang hadir dapat mendengar.“Daulat, Paduka. Hamba telah menelusuri asal-usul pamong muda bernama Gaja Mada itu. Menurut catatan desa dan keterangan para tetua, ia adalah anak campuran: ibunya seorang pribu
Pagi itu, matahari baru naik di atas Trowulan. Cahaya emasnya menimpa genteng tanah liat dan atap rumbia, membuat kota ibukota Majapahit berkilau seakan permata. Jalanan utama menuju balai bendahara sudah mulai ramai. Pedagang kecil dengan pikulan berisi beras, prajurit yang baru selesai ronda, dan kereta-kereta kayu yang membawa bahan logistik kerajaan berderak menuju gudang besar di belakang bangsal.Alesha—atau Gaja Mada di mata semua orang—berdiri sejenak di depan pintu bangunan megah itu. Balai bendahara, letaknya tak jauh dari alun-alun Trowulan, berdinding bata merah dengan pintu kayu jati tinggi menjulang. Lambang kerajaan terukir di atas gerbang: Surya Majapahit.Nafasnya terasa berat. Dalam hati ia berbisik,“Mulai hari ini, aku bukan lagi pamong muda biasa. Satu langkah salah… bisa jadi semua rahasiaku terbongkar.”Dua abdi dalem membungkuk hormat. “Selamat datang, Bendahara Muda,” ucap salah satunya, memberi jalan.Alesha mengangguk singkat, menahan detak jantung yang ter
Malam telah larut ketika Arya Wuruk akhirnya kembali ke istana. Langkah-langkahnya bergema pelan di koridor panjang berlampu obor, sementara wajahnya tetap tegang, menyimpan segala gejolak yang tadi ia rasakan. Hatinya masih berdebar oleh sorot mata itu—mata pemuda bernama Gaja Mada, yang begitu mirip dengan mata yang selama ini menghantui tidurnya: Alesha.Sesampainya di bangsal raja, ia menanggalkan ikat kepala samaran, mengganti dengan pakaian kerajaan yang lebih sederhana, lalu duduk di kursi kayu berukir naga. Api obor menari-nari di dinding, menciptakan bayangan panjang di wajahnya. Ia memanggil Rendra, abdi setia yang sudah lama menemaninya.“Rendra,” suara Arya dalam dan mantap, meski sarat beban. “Sendika dawuh, Paduka,” Rendra segera berlutut memberi sembah.Arya menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam. “Aku ingin kau mencari tahu lebih dalam tentang seorang pemuda bernama Gaja Mada.”Alis Rendra langsung terangkat tinggi. “Gaja… Mada? Siapakah dia