Share

MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU
MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU
Author: Lailai

BAB 1

Author: Lailai
last update Huling Na-update: 2025-07-19 16:44:16

“Kak, Dinata. Kak.” Nirmala mengguncang pelan tubuh sang suami yang masih berselimut tebal di atas tempat tidur.

“Hmmm …,” sahut Dinata malas tanpa bergerak sedikit pun.

“Bangun dulu, hei.” Nirmala menarik bahu sang suami yang meringkuk membelakangi dirinya.

“Apa sih, Mala. Aku masih mengantuk,” keluh Dinata, kemudian ia tarik kembali selimut yang baru saja Nirmala s***k.

“Aku mau berangkat kerja, Kak. Jangan lupa tutup lagi pintunya.”

Dinata kembali terbuai dalam mimpi di subuh yang begitu dingin itu. Kumandang adzan bersahutan menjadi lagu nina bobo baginya untuk melanjutkan tidurnya sampai siang, bahkan dengkuran halusnya lolos begitu saja.

“Mala, cepat! Ayo berangkat, azan Subuh sudah selesai dan kamu belum keluar juga?” seru Meni dari luar

Suara bisik-bisik dari rekan kerja Mala masuk ke indra pendengaran Mala yang masih berusaha membangunkan Dinata. Mala gelisah, ia sudah ditunggu rekannya. Namun, kedua mata Dinata masih saja terpejam rapat. Tidak mungkin ia pergi bekerja dengan pintu terbuka lebar. Sebab pintu rumah milik Nirmala tidak bisa tertutup sendiri layaknya pintu rumah-rumah mewah milik tetangganya.

“Tunggu sebentar.” Nirmala yang sudah siap dengan segala perbekalannya menyapa rekan kerjanya lebih dahulu. Berharap dirinya tidak di tinggal berangkat ke kebun karet lebih dulu.

“Ayolah, Mala. Keburu siang. Nanti panas,” saran Meni.

“Sabar, aku bangunkan suamiku dulu. Biar dia menutup pintu.” Nirmala melesat masuk dan kembali dengan Dinata yang terpaksa harus bangkit dari mimpinya guna mengunci pintu.

“Ayo kita berangkat!” ajak Nirmala.

Mereka berjalan menapaki jalan setapak, membelah atmosfer dingin. Bisa dibayangkan, bagaimana bekunya hawa di kampung yang memiliki perkebunan karet ratusan hektar milik pemerintah itu.

“Mala kamu kok mau sih ikut kita begini?” tanya Meni di sela-sela langkah kakinya yang besar.

“Lho memangnya nggak boleh, Men?” Nirmala malah bertanya balik.

“Kamu ‘kan punya suami, beda sama kita. Kalau kita-kita ini kan kebanyakan janda. Jadi mau nggak mau harus mencari makan dan kehidupan sendiri,” papar Meni.

“Heleh, lagi-lagi pertanyaan ini, nggak ada pertanyaan lain?” sahut Nirmala yang sesungguhnya sudah merasa bosan mendengar pertanyaan dari rekan-rekannya yang sering kali diulang.

“Ya aku heran aja. Suamimu masih gagah, masih kuat buat nafkahin kamu.”

Untuk sejenak Nirmala terdiam, mencoba untuk menerima apa yang baru saja dikatakan oleh Meni. Tidak dapat dipungkiri jika yang dikatakan olehnya itu adalah benar. Dinata adalah seorang lelaki bertubuh sehat, tentunya tidak sulit baginya untuk mencari kerja, bukan malah istrinya yang disuruh bekerja.

“Jangan gitu, Men. Lihat aja itu Lastri. Suaminya ada, sawahnya luas, punya kebun juga. Namun, dia juga masih ikut jadi buruh. Apalagi aku, Men. Hidupku pas-pasan, dan kamu juga tahu sendiri bagaimana sifat suamiku.”

“Pemalas? Alias tukang berpangku tangan?” sahut Meni yang diiringi oleh kekehan kecil.

“Ah, sial! Kamu bisa aja cari peribahasa yang cocok,” sahut Mala santai.

“Lagian kenapa juga kamu pertahankan lelaki mokondo macam Dinata? Mending jadi janda seperti aku aja sekalian. Mumpung belum punya anak. Kamu bisa cari lelaki yang mau kerja, Mal. Ya … syukur-syukur kamu bisa dapat duda kaya,” kelakar Meni.

“Husstt! Pamali, Meni!”

Setelah melewati kebun milik warga, kini beberapa wanita buruh perkebunan karet itu telah sampai pada titik lokasi yang sudah ditentukan oleh mandor di hari sebelumnya. Masih dengan udara dingin dan cahaya matahari yang mulai mengintip dari arah timur membuat mereka segera menyelesaikan tugasnya, sebelum sang mandor tiba, mereka harus bisa membabat rumput tinggi seluas 500m² atau sekitar setengah hektar.

“Men! pinjam asahan,” pinta Mala

Meni langsung mencari keberadaan benda persegi panjang dengan permukaan kasar itu untuk Nirmala. Mala menyambut benda itu dan mulai menggesek-gesekkan di alat babatnya, senjata tajam yang sering orang sebut dengan arit.

“Terima kasih, Men.” Mala mengembalikan benda yang baru saja ia pinjam. “Taruh mana ini?” tanya Mala lagi.

“Masukkan dalam tasku aja, Mal,” jawab Meni yang masih memasang sarung tangan.

Perlengkapan babat sudah siap, arit yang tajam serta sarung tangan yang sudah lusuh siap membantu memudahkan pekerjaan para wanita itu.

“Ayo, kita mulai. Sebelum matahari semakin merangkak naik,” ujar wanita yang paling tua diantara para buruh.

Meskipun pohon karet itu sudah menjulang tinggi serta daun nya yang kecil dan lebat. Membuat siapa saja yang ada dibawahnya pasti merasa sejuk. Namun, tetap saja mereka harus menyelesaikan tugas dari mandor tepat waktu.

“Ini rumput apaan, bisa tingginya begini,” ucap Mala heran di sela-sela aksi membabatnya.

“Rumput merdeka ini namanya,” jawab Meni.

“Kata siapa?”

“Kataku, lah,” sahut Meni lagi.

“Kok bisa disebut rumput merdeka?” tanya Mala polos.

“‘Kan dia tinggi dan tingginya melebihi kita. Jadi dia rumput merdeka,” jawab Meni asal.

“Mulai ngawur, deh!” sergah Mala.

“Mulutmu, Mal. Lama-lama aku babat juga,” kelakar Meni.

“Bercanda. Hahahhaah.” Gelak tawa pun terdengar jelas, keluar dari mulut Nirmala.

“Kerja lagi cepat. Jangan sampai Handoko datang dan kita belum dapat separo acan, bisa-bisa ngomel kayak emak-emak yang sen kanan belok kiri.”

“Sudah salah malah nyolot, gitu kan maksudmu?”

“Ya begitulah mandormu!”

“Mandormu juga.”

Dalam waktu tiga jam, sepuluh wanita itu mampu membabat rumput yang menjulang tinggi menjadi roboh semua. Terasa terang dan terbebas dari gulma yang menggangu kelangsungan hidup pohon dengan getah berwarna putih seperti s u s u.

“Istirahat dulu, yuk,” ajak Lastri.

“Iya, kita sudah dapat luas lho ini bersihin rumputnya. Handoko nggak akan ngomel kalau sampai ke sini nanti,” ujar wanita paling sepuh.

Benar saja, tak lama kemudian suara langkah berat dan irama gesekan sepatu boot dengan tanah basah terdengar mendekat. Para buruh serempak menoleh.

“Ehem.”

Handoko. Mandor kebun. Berdiri diam beberapa detik, menatap tajam ke arah sekeliling, lalu menurunkan pandangannya pada rumput yang telah habis dibabat dan beberapa buruh yang masih menggenggam botol minuman.

“Mala,” ucapnya pelan, tapi cukup tajam.

Nirmala menoleh. Tatapan pria itu menusuk. Kali ini bukan sekadar urusan rumput.

“Ngobrolnya seru, ya?” tanyanya pelan. Tidak keras, tapi mengandung sesuatu. Meni mencolek tangan Nirmala pelan, memberi isyarat agar tidak menjawab sembarangan.

Tiba-tiba, suara notifikasi pesan dari ponsel Handoko berbunyi. Ia mengambilnya cepat, membuka layar dan membacanya sebentar, dan wajahnya seketika berubah menjadi tegang.

“Kamu ikut saya sebentar. Sekarang,” pinta Handoko

Semua mata tertuju pada mereka.

Mala menelan ludah. Degup jantungnya memburu tak beraturan. Tangannya refleks menggenggam erat pegangan arit di sampingnya. Meni melirik panik, sementara Lastri menahan napas.

“A-ada apa, Pak?” cicit Mala. Namun, langkahnya tetap mengikuti Handoko pergi

“Handoko mau apakan Mala ya, Las?” bisik Meni dengan mata mengiringi kepergian Mala dan mandor nya ke sebuah bangunan untuk menimbang getah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Lailai
kerjaan seberat apapun akan terasa ringan jika tidak di kerjakan
goodnovel comment avatar
Srie Rahayu
waduh, Mala mau diapain tuh sama pak mandor.. ...🫢
goodnovel comment avatar
Srie Rahayu
kerjaan seberat apapun akan terasa ringan kalo dikerjakan bersama-sama dan sambil bersenda gurau.. ...
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 5

    Langkah Nirmala terasa seperti diikuti oleh seseorang dari belakang. Tak berani menoleh untuk memastikan, Nirmala justru mempercepat langkahnya agar segera sampai di pemukiman warga. Sebab warung nasi langganan Handoko letaknya terpencil dari rumah warga, warung tersebut berdekatan dengan kebun karet milik negara itu.“Mbak! Tunggu!” seru pemuda itu. Bukan berhenti, Mala setengah berlari. Ia cukup takut.“Hei!” teriaknya.” Tunggu kubilang!” seru nya lagi.Nirmala benar-benar tidak mengindahkan perintah lelaki asing yang terus mengikutinya dari belakang.“Berhenti atau aku beberkan rahasiamu dengan mandor tadi,” ancamnya. Sepersekian detik kaki Nirmala bagai dirantai ke bumi. Tubuhnya terpaku, nafasnya memburu dan jantungnya berdegup lebih kencang. Pria itu seketika menyunggingkan senyum, tak menyangka ancamannya berhasil. Ketika pria itu telah berhadapan dengan Nirmala, mata Nirmala memincing, menelisik dan memindai pria yang baru saja mengancamnya.“Siapa kamu, kamu pasti bukan pe

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 4

    Nirmala menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Besar harapan Nirmala agar berita yang akan disampaikan ke Handoko tidak sampai di dengar oleh pemilik warung nasi langganan semua buruh perkebunan karet itu. Bisa fatal jika Ibu warung mendengar semuanya. Nirmala meremas jemari nya, matanya bergerak tak beraturan, tubuhnya sedikit tremor. Perlu keberanian yang banyak untuk membuat dirinya buka mulut didepan Handoko.“Sebenarnya ada apa, Mala? Apa yang ingin kamu sampaikan.” Handoko jadi tak sabar dibuatnya.“A-ku. Aku—.”“Aku apa? Bicara yang jelas!” desak Handoko. Nirmala mengikis jarak, wajahnya maju mencari keberadaan telinga Handoko.” Aku hamil,” cetus Mala. Mata Handoko membulat sempurna.” Ha—mil? Kamu hamil, Mala?” ulang sang mandor. “Ssssttttt! Pelankan suaramu.” Nirmala memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Masih dengan keterkejutannya, Handoko mencoba menelaah kalimat Nirmala. Mengapa Nirmala mendatangi dirinya dan berkata jika saat ini Nirmala teng

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 3

    “Pak! Mau apa, Pak?” protes Mala “Diam lah,” lirih Handoko. “Pak! Jangan, Pak,” mulut Mala menolak. Namun, otak nya menginginkan Handoko melakukan lebih. Kecupan demi kecupan menghujani wajah manis Mala hingga pindah ke bagian leher nya juga. Handoko semakin berani, lantaran Nirmala hanya diam menikmati sentuhan yang ia beri.“Mala….,” bisik Handoko lembut. Siang itu, dibawah terik mentari. Handoko menggagahi Nirmala beralaskan sebuah karung. Tanpa perlu melepas semua pakaian, Handoko cukup mengeluarkan pusakanya lewat zipper celana hitamnya.“Pakai lagi celana mu, Mala,” titah Handoko setelah mengakhiri ‘kerja kerasnya’ Semak belukar di tengah kebun karet menjadi saksi perbuatan bejat dua manusia tanpa status jelas itu. Sebelum Mala mengenakan celana panjangnya, ia dahulukan membasuh jalan yang sudah dilalui oleh Handoko di sungai kecil dekat tempat mereka melepas cinta yang terpendam.“Kenapa kamu segagah ini,” aku Mala tersipu malu.Handoko tersenyum jumawa.” Pasti kamu b

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 2

    “Duduk dulu, Mala. Kenapa harus berdiri disitu dan menatap tukang sadap,” titah Handoko menepuk sisi kosong di sebelah nya. Dengan ragu, Nirmala segara mejatuh bokongnya pada bangku kayu yang di buat seadanya. “Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa kita harus kesini?” “Tenanglah, Mala. Mantapkan duduk mu, kenapa sepertinya cacing kepanasan saja.”“Tidak enak, Pak,” cicit Mala.“Tukang sadap itu tidak ada yang punya mulud julid seperti sembilan teman mu yang tadi,” gurau Handoko.“Tetap saja, aku merasa tidak enak. Takut mereka berpikir aku penggoda suami orang,” ungkap Mala sedikit berani.“Sebelum kamu di cap penggoda, kamu memang sudah menggoda ku, Nirmala.” Mala gelapan mendengar penuturan dari Handoko yang kini duduk di sebelahnya, pada bangunan tanpa dinding itu. Bangunan di tengah kebun karet yang hanya berdiri dengan empat tiang dan di beri atap dari asbes. Tergantung sebuah neraca untuk menimbang getah karet disana.“M- maksud nya apa ya, Pak?’ Handoko tersenyum penuh arti

  • MEMBESARKAN BENIH MANDOR BERSAMA SUAMIKU    BAB 1

    “Kak, Dinata. Kak.” Nirmala mengguncang pelan tubuh sang suami yang masih berselimut tebal di atas tempat tidur.“Hmmm …,” sahut Dinata malas tanpa bergerak sedikit pun.“Bangun dulu, hei.” Nirmala menarik bahu sang suami yang meringkuk membelakangi dirinya.“Apa sih, Mala. Aku masih mengantuk,” keluh Dinata, kemudian ia tarik kembali selimut yang baru saja Nirmala sibak.“Aku mau berangkat kerja, Kak. Jangan lupa tutup lagi pintunya.” Dinata kembali terbuai dalam mimpi di subuh yang begitu dingin itu. Kumandang adzan bersahutan menjadi lagu nina bobo baginya untuk melanjutkan tidurnya sampai siang, bahkan dengkuran halusnya lolos begitu saja.“Mala, cepat! Ayo berangkat, azan Subuh sudah selesai dan kamu belum keluar juga?” seru Meni dari luar Suara bisik-bisik dari rekan kerja Mala masuk ke indra pendengaran Mala yang masih berusaha membangunkan Dinata. Mala gelisah, ia sudah ditunggu rekannya. Namun, kedua mata Dinata masih saja terpejam rapat. Tidak mungkin ia pergi bekerja d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status