“Duduk dulu, Mala. Kenapa harus berdiri disitu dan menatap tukang sadap,” titah Handoko menepuk sisi kosong di sebelah nya.
Dengan ragu, Nirmala segara mejatuh bokongnya pada bangku kayu yang di buat seadanya. “Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa kita harus kesini?” “Tenanglah, Mala. Mantapkan duduk mu, kenapa sepertinya cacing kepanasan saja.” “Tidak enak, Pak,” cicit Mala. “Tukang sadap itu tidak ada yang punya mulud julid seperti sembilan teman mu yang tadi,” gurau Handoko. “Tetap saja, aku merasa tidak enak. Takut mereka berpikir aku penggoda suami orang,” ungkap Mala sedikit berani. “Sebelum kamu di cap penggoda, kamu memang sudah menggoda ku, Nirmala.” Mala gelapan mendengar penuturan dari Handoko yang kini duduk di sebelahnya, pada bangunan tanpa dinding itu. Bangunan di tengah kebun karet yang hanya berdiri dengan empat tiang dan di beri atap dari asbes. Tergantung sebuah neraca untuk menimbang getah karet disana. “M- maksud nya apa ya, Pak?’ Handoko tersenyum penuh arti.” Aku tahu Mala, kamu menyimpan rasa kagum untukku. Diam-diam kamu sering melirik ke arah ku jika aku sedang mengontrol pekerjaan kalian. Aku kerap kali menangkap basah, meski kamu selalu membuang pandangan,” terang mandor gagah itu. Benarkah yang Handoko katakan. Apa selama ini Handoko juga memperhatikan dirinya. Isi pikiran Nirmala semakin ruwet dan menerka-nerka setiap bisikan pada hati kecil nya. “Kamu tidak usah malu begitu. Aku tahu juga. Suami lmu– Dinata itu orang nya pemalas tapi suka main judi,” ucap Handoko lagi Nirmala menatap Handoko. “Bagaimana Bapak bisa tahu?” “Semua tentang mu dengan mudah aku tahu,” pongah Handoko. “Beri tahu aku dari mana Bapak tahu.” Pinta Mala sekali lagi. Tawa jumawa dari bibir Handoko terlukis. “Kamu cantik, Mala. Kamu berhak bahagia. Aku juga yakin kamu tidak puas bukan dengan kinerja Dinata,” ucap lembut Handoko. Nirmala bergeming, ia terpaku di tempatnya. Lagi - lagi Handoko tahu rahasia ranjang nya. Wajah merah Nirmala tak bisa ia sembunyikan lagi. “Tidak usah malu seperti itu.” “Aku tidak malu, aku biasa saja,” dusta Nirmala. Padahal yang terjadi sebenarnya memang seperti yang Handoko katakan. “Menikahlah dengan ku, Mala,” ajak Handoko dengan cepat “Bapak gila?! Aku ini istri orang!” Nirmala sedikit meninggi kan nada bicaranya “Bercerai lah. Aku siap membuat mu bahagia tanpa perlu bekerja seperti ini.” Handoko meyakinkan Ajakan Handoko yang begitu tiba-tiba tentu membuat Nirmala tercenung, bagaimana bisa Handoko yang telah memiliki istri kini mengajak nya untuk menikah. “Aku suka kamu, Mala. Jadilah istri kedua ku.” Nirmala menggeleng cepat lalu bangkit.” Seperti aku harus kembali bekerja, maaf.” Tangan Nirmala kini dalam genggaman mandor. “ Duduk lagi, aku belum selesai bicara, Mala.” Nirmala patuh, ia duduk kembli dengan tangan masih di genggam oleh Handoko. Tangan nya begitu kokoh dengan otot-otot yang menonjol di balik kulit hitam manis si mandor. Mata Nirmala tak berhenti berkedip bahkan ia seperti— menikmati genggaman Handoko. “Aku tahu, kamu suka pada ku ‘kan?” tuding si mandor. Mala diam, menahan nafas. Merasakan ritme ucapan mandor yang ia sendiri tidak mengerti. Handoko tentu jauh lebih macho jika di bandingkan dengan Dinata yang bertubuh pendek, perut buncit dan pemalas. Nirmala melihat kata sempurna dalam diri sang mandor. Namun, ia juga tak bisa mengartikan apakah itu perasaan suka atau sekedar kekaguman semata. “.....Mala,” lirih Handoko. Kini tangan nya meraih dagu Nirmala agar kepalanya menoleh sehingga dua manusia beda kelamin itu bisa saling tatap. “Kamu cantik.” Handoko memuji Nirmala seketika membuang muka dengan cepat.” Cantik relatif, Pak.” “Jika kamu mau jadi istri kedua ku. Hidup mu akan aku jamin kebahagiaannya.” “Aku tidak mau jadi istri keduamu.” Nirmala menolak “Aku bisa adil, aku tidak mungkin bercerai dari istri pertamaku.” “Kalau begitu aku juga tidak akan bercerai dari Kak Dinata,” balas Nirmala. “Kamu panggil suamimu dengan sebutan itu? Manis juga. Aku juga ingin di panggil Kak atau Mas. Bila perlu—-- Nirmala menunggu Handoko melanjutkan kalimatnya yang menggantung, hingga keningnya berkerut lanjutan kata itu belum juga terlontar dari mulut Handoko. “Nungguin, ya?” ejek Handoko “Iyalah! Bila perlu apa? Bicara jangan setengah-setengah.” “Bila perlu panggil sayang aku tidak nolak” kelakar Handoko, tapi ucapannya serius. Nirmala mencebik. “Dasar perayu!” Handoko terkekeh kecil, melihat Nirmala yang salah tingkah. Dimata lelaki anak satu itu, Nirmala terlihat semakin menarik dan tentunya cantik. “Kenapa wanita yang memiliki hidung seperti Iis Dahlia harus punya suami seperti Dinata. Sayang sekali ya.” “Siapa yang seperti Iis Dahlia?” “Ya kamulah?” “Dilihat dari sedotan kali ‘ah.” “Ye nggak percaya, hadap sini sebentar.” pinta Handoko, kini mereka saling menatap satu sama lain. Tak peduli lagi pada beberapa karyawan laki-laki yang bertugas mengumpulkan getah karet. Dua sejoli itu tetap asyik saling pandang. Handoko mencolek hidung bangir milik Nirmala yang memang mirip hidung Iis Dahlia lagu penyanyi dangdut kondang di Indonesia. “Tuh ‘kan, kamu memang cantik. Jadi istri kedua ku ya. Mau nggak?” “Nggak usah colek - colek,” protes Mala. “Kamu nggak suka aku colek?” Mala menggeleng. “Kalau begini?” Handoko meringsek maju mengikis jarak dan memberikan kecupan singkat di pipi Nirmala. Sepersekian detik Mala mengusap pipinya yang basah, sisa kecupan dari Handoko. Entah dorongan dari mana, Nirmala malah mencubit gemas dada Handoko yang bidang. Bukan marah. Setelah puas mencubit, Nirmala juga berkali-kali memukul bahu Handoko dengan tangannya. “Berani sekali, ya. Bapak ini. Mesum!” “Ampun Mala, ampun!” Seru Handoko. “Suruh siapa kamu berani cium aku. Kalau ada yang laporan ke istrimu, aku yang bisa kena hajar dan mulut ibu-ibu itu akan semakin julid.” “Ya kalau begitu ayo kita nikah saja.” “Istri kedua?” Handoko manggut-manggut. “Nggak mau!” tolak Nirmala. “Kenapa nggak mau?” “Apa enaknya jadi istri kedua, pasti jadi gunjingan orang.” “Kenapa harus pusing mikiri omongan orang sih, yang penting aku mencintai dan memberikan kamu kebahagiaan. Tinggalkan Dinata, lelaki mokondo itu.” Ujar Handoko sembari membelai paha karyawan nya “Ihh! Apa sih! Sana tangan nya,” tolak Nirmala dengan suara semakin manja Handoko semakin gemas dan terbakar gairah di siang bolong, melihat tingkah manja wanita bersuami yang selama ini ia kagumi. “Mala.. ikut aku kesana sebentar, yuk,” ajak Handoko menunjuk semak belukar yang jarang di jamah oleh karyawannya. “Mau ngapain?” heran Nirmala “Sudah ikut saja. Susul aku jika aku sudah sampai disana, oke,” ujar Handoko seraya menyambar karung bekas gula yang ada di bawah bangku. Tak butuh waktu lama, Handoko pun sampai. Disusul Nirmala yang telah sampai pada tempat yang Handoko maksud. “Jangan berisik, Mala,” pinta Handoko menahan sebuah rasa“Sekalipun aku tidak hamil, orangtua Kak Din pasti akan keberatan,” cicit Mala Handoko melepaskan topi yang selalu berada di kepalanya.” Keberatan?” ulangnya. “Kenapa bisa begitu?” lanjutnya bertanya. Nirmala membuang nafas lelah.” Mertuaku sudah meminta aku dari mendiang keluargaku, mereka bilang aku adalah wanita yang cocok untuk menikah dengan Dinata.” papar Mala “Cocok? Yang benar saja! Yang ada Dinata tidak menafkahi kamu dengan baik,” cibir Handoko, cukup kesal dengan semua kelakuan rival cintanya.“Aku juga sudah tidak bisa berkata-kata lagi,” keluh Mala.“Jadi Dinata belum kerja sampai sekarang?”Nirmala hanya menggeleng sebagi jawaban.“Bagaimana jika aku tawarkan kerja sebagai penyadap getah di kebun?”“Penyadap? Artinya harus bangun pagi. Mana mampu Dinata melakukan itu semua,” sungut Mala jika mengingat semua sifat malas sang suami.“Ya dicoba dulu. Aku nggak bisa lihat kamu dalam kondisi hamil tapi masih di paksa terus kerja dengan alasan bantu ekonomi. Meskipun…seben
“Sudah keluar?!” heran Nirmala Dinata membersihkan cairan yang tumpah di paha sang istri menggunakan kausnya.” Iya, ternyata kamu masih seenak biasanya.”“Padahal baru banget masuk ujungnya dan sudah muntah saja,” gumamnya yang tentu masih didengar oleh Dinata.“Mungkin aku terlalu capek, Mal. Jadi cepat menuju puncaknya. Yang penting sama-sama enak ‘kan,” ucapan Dinata membuat Nirmala ingin menusuknya dengan belati detik itu juga. ‘sama-sama enak katamu? Sejak kapan aku enak berhubungan denganmu’ batin Nirmala geram.“Meski cepat keluar yang penting kecebongku sudah berhasil masuk dan membuahimu,” pongah Dinata, terlalu percaya diri dengan kelihaiannya yang ia pikir perkasa itu. Dinata membuka lemari pakaian. Lemari tersebut tak bisa berbohong bahwa isinya sudah melebihi pemiliknya terlihat dari kayu yang keropos dan memiliki banyak bubuk halus yang sering buat author mainan. Pasti kalian tahulah.“Kenapa diam saja, Mala?” tanya Dinata seraya mencari baju bersih dalam lemari lap
Hari itu Nirmala menuruti perintah Handoko untuk menempati rumah rahasia yang ada di sebuah kampung yang cukup terpencil. Berbekal sepada motor milik Handoko, Mala tiba di rumah yang masih semi permanen itu, tapi isi rumah tersebut sudah lengkap dengan segala furniture dan perabotan lainnya. “Aku juga sering kesini kalau sedang ribut dengan Darti atau lelah dengan urusan kebun,” ucap Handoko seraya merebahkan tubuhnya di sofa berwarna coklat itu. Nirmala mengedarkan pandangannya, ia pindai bangunan yang Handoko sembunyikan dari istrinya, tak begitu besar. Namun, itu terlihat nyaman. Jauh dari pemukiman warga yang padat serta dari hingar bingar suara kendaraan. “Rumahnya sejuk dan nyaman,” puji mNirmala“Memang. Apalagi sekarang ada kamu, jadi terasa semakin sejuk dan nyaman. Sini,” ajak Handoko menepuk pahanya kosong. Dengan sigap Mala meringsek maju duduk di paha Handoko dengan tangan bergelayut manja. Handoko pun mengecup pipi Nirmala, siang itu dua manusia tanpa status men
Langkah Nirmala terasa seperti diikuti oleh seseorang dari belakang. Tak berani menoleh untuk memastikan, Nirmala justru mempercepat langkahnya agar segera sampai di pemukiman warga. Sebab warung nasi langganan Handoko letaknya terpencil dari rumah warga, warung tersebut berdekatan dengan kebun karet milik negara itu.“Mbak! Tunggu!” seru pemuda itu. Bukan berhenti, Mala setengah berlari. Ia cukup takut.“Hei!” teriaknya.” Tunggu kubilang!” seru nya lagi.Nirmala benar-benar tidak mengindahkan perintah lelaki asing yang terus mengikutinya dari belakang.“Berhenti atau aku beberkan rahasiamu dengan mandor tadi,” ancamnya. Sepersekian detik kaki Nirmala bagai dirantai ke bumi. Tubuhnya terpaku, nafasnya memburu dan jantungnya berdegup lebih kencang. Pria itu seketika menyunggingkan senyum, tak menyangka ancamannya berhasil. Ketika pria itu telah berhadapan dengan Nirmala, mata Nirmala memincing, menelisik dan memindai pria yang baru saja mengancamnya.“Siapa kamu, kamu pasti bukan pe
Nirmala menoleh ke sisi kiri dan kanannya. Besar harapan Nirmala agar berita yang akan disampaikan ke Handoko tidak sampai di dengar oleh pemilik warung nasi langganan semua buruh perkebunan karet itu. Bisa fatal jika Ibu warung mendengar semuanya. Nirmala meremas jemari nya, matanya bergerak tak beraturan, tubuhnya sedikit tremor. Perlu keberanian yang banyak untuk membuat dirinya buka mulut didepan Handoko.“Sebenarnya ada apa, Mala? Apa yang ingin kamu sampaikan.” Handoko jadi tak sabar dibuatnya.“A-ku. Aku—.”“Aku apa? Bicara yang jelas!” desak Handoko. Nirmala mengikis jarak, wajahnya maju mencari keberadaan telinga Handoko.” Aku hamil,” cetus Mala. Mata Handoko membulat sempurna.” Ha—mil? Kamu hamil, Mala?” ulang sang mandor. “Ssssttttt! Pelankan suaramu.” Nirmala memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir. Masih dengan keterkejutannya, Handoko mencoba menelaah kalimat Nirmala. Mengapa Nirmala mendatangi dirinya dan berkata jika saat ini Nirmala teng
“Pak! Mau apa, Pak?” protes Mala “Diam lah,” lirih Handoko. “Pak! Jangan, Pak,” mulut Mala menolak. Namun, otak nya menginginkan Handoko melakukan lebih. Kecupan demi kecupan menghujani wajah manis Mala hingga pindah ke bagian leher nya juga. Handoko semakin berani, lantaran Nirmala hanya diam menikmati sentuhan yang ia beri.“Mala….,” bisik Handoko lembut. Siang itu, dibawah terik mentari. Handoko menggagahi Nirmala beralaskan sebuah karung. Tanpa perlu melepas semua pakaian, Handoko cukup mengeluarkan pusakanya lewat zipper celana hitamnya.“Pakai lagi celana mu, Mala,” titah Handoko setelah mengakhiri ‘kerja kerasnya’ Semak belukar di tengah kebun karet menjadi saksi perbuatan bejat dua manusia tanpa status jelas itu. Sebelum Mala mengenakan celana panjangnya, ia dahulukan membasuh jalan yang sudah dilalui oleh Handoko di sungai kecil dekat tempat mereka melepas cinta yang terpendam.“Kenapa kamu segagah ini,” aku Mala tersipu malu.Handoko tersenyum jumawa.” Pasti kamu b