Share

Hutang 12 B

Penulis: ananda zhia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-15 08:30:57

Arif menatap pria itu dengan rahang mengeras. Ia tidak mengenal orang ini. Namun, dari caranya berdiri dan tatapan matanya yang menusuk, pria itu jelas bukan orang sembarangan.

"Anda siapa?" tanya Arif akhirnya, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Pria itu tersenyum kecil, namun matanya tetap dingin. "Kalian yang seharusnya menjawab. Apa urusan kalian di sini?"

Dewi menyela dengan nada kesal, "Kami keluarga dari Arif, suami Amira! Kami ingin bicara dengan Amira!"

Pria itu melirik mereka satu per satu, seolah menilai mereka dari ujung kepala hingga kaki. Lalu, ia berkata dengan nada tenang namun tajam, "Sayangnya saya tidak mengenal siapa Amira! Saya sudah membeli rumah Amira kemarin lusa!" ujar lelaki itu tegas.

Arif mengepalkan tangannya. "Kamu jangan berbohong! Saya suaminya! Saya berhak berbicara dengannya!"

Pria itu mengangkat alisnya dan maju mendekat ke arah Arif.

"Benarkah kamu suaminya?! Rasanya aneh sekali kalau seorang suami justru tidak tahu kemana istr
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 13 B

    Amira menatapnya dengan penuh keyakinan. "Jika kita berhasil, Arif akan mendapatkan balasannya. Aku tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja setelah apa yang dia lakukan padaku."Handoko mengangkat cangkirnya, seolah bersulang. "Kalau begitu, kita mulai permainan ini.Amira tersenyum ke arah om Handoko. "Mereka akan merasakan pembalasan yang jauh lebih sakit daripada yang telah mereka lakukan pada ku dan ibu!" desis Amira. ***Rambut palsu rapi tersisir ke samping. Wajah bersih dari jenggot dan kumis. Sedikit foundation dan concealer menutupi pori-pori kasar. Handoko menatap bayangannya di cermin.“Nama gue sekarang… Reno,” gumamnya pelan. “Reno yang kalem, peduli, dan... ganteng dikit.”Ia membuka aplikasi Facebook di ponsel. Senyum miring muncul saat melihat profil Rita.“Ah, ini dia. Berteman sama Arif. Nggak susah nyari kamu, Sayang.”Ia mengetik pesan dengan hati-hati."Hai, Mbak Rita. Salam kenal, saya suka lihat postingan Mbak soal pertanian. Keren banget."Pesan terkirim.

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 13 A

    Beberapa waktu yang lalu, Amira duduk di pojok ruang tamu, laptop terbuka di hadapannya, kamera ponsel tergantung di tripod seadanya. Ia menarik napas panjang, lalu mendesah pelan."Aku butuh dua kamera," gumamnya, menatap layar dengan frustrasi. "Satu buat wide shot, satu buat close-up. Biar kelihatan profesional."Ia melirik ponsel lamanya yang sudah mulai lemot.“Kalau aja aku punya satu lagi yang layak pakai…”Pikirannya melayang ke kamar ibunya. Lemari tua di sudut ruangan. Laci paling bawah. Di sanalah ia menyimpan ponsel milik almarhum ibunya. Benda yang tak pernah ia sentuh lagi sejak pemakaman.Ia berdiri, langkahnya pelan tapi pasti menuju kamar itu.Beberapa menit kemudian, ia duduk bersila di depan laci, membuka perlahan dan mengangkat ponsel hitam yang penuh debu.“Semoga masih bisa nyala,” ucapnya lirih, lalu menancapkan kabel charger.Layar menyala redup. Amira menatapnya dengan jantung berdebar. Setelah beberapa detik, ponsel berhasil menyala. Ia membuka galeri.“Hah?

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 12 B

    Arif menatap pria itu dengan rahang mengeras. Ia tidak mengenal orang ini. Namun, dari caranya berdiri dan tatapan matanya yang menusuk, pria itu jelas bukan orang sembarangan."Anda siapa?" tanya Arif akhirnya, suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.Pria itu tersenyum kecil, namun matanya tetap dingin. "Kalian yang seharusnya menjawab. Apa urusan kalian di sini?"Dewi menyela dengan nada kesal, "Kami keluarga dari Arif, suami Amira! Kami ingin bicara dengan Amira!"Pria itu melirik mereka satu per satu, seolah menilai mereka dari ujung kepala hingga kaki. Lalu, ia berkata dengan nada tenang namun tajam, "Sayangnya saya tidak mengenal siapa Amira! Saya sudah membeli rumah Amira kemarin lusa!" ujar lelaki itu tegas. Arif mengepalkan tangannya. "Kamu jangan berbohong! Saya suaminya! Saya berhak berbicara dengannya!"Pria itu mengangkat alisnya dan maju mendekat ke arah Arif. "Benarkah kamu suaminya?! Rasanya aneh sekali kalau seorang suami justru tidak tahu kemana istr

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 12 A

    "Tidak... ini tidak mungkin..." gumamnya, sementara layar ponselnya terus menampilkan wajah Amira yang kini lebih tegas dari sebelumnya.Arif menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Ia sudah mencoba menghubungi Amira berkali-kali, tapi tak satu pun panggilannya direspons. Tangannya mengepal di atas meja, napasnya berat. Ia tahu Amira sengaja mengabaikannya.Dengan frustrasi, Arif akhirnya menyerah dan meletakkan ponselnya di atas meja kerja. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. Namun, saat ia mengangkat kepala, ia menyadari bahwa beberapa rekan kerjanya sedang menatapnya—bergantian antara ponsel mereka dan dirinya.Ruangan kantor terasa hening. Desas-desus mengenai viralnya kisah rumah tangganya sudah menyebar ke mana-mana. Ia bisa merasakan bisik-bisik lirih di sudut ruangan, tatapan tak percaya bercampur rasa ingin tahu dari rekan-rekannya.Arif berdehem, mencoba mengendalikan situasi. Ia tidak boleh terlihat lemah. Ia manajer di sini, dan mereka adalah bawahannya

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 11 B

    Arif mendecakkan lidah. "Ah, Ibu! Kayak nggak pernah muda saja!" ujar Arif ketus. Suasana hening sejenak."Kenapa sih punya anak itu ribet? Susah? Kenapa nggak perempuan aja yang urus anak? Kan suami udah capek cari uang!" protes Arif lagi. Sri menghela napas panjang. "Memang seharusnya perempuan yang lebih banyak urus anak. Waktu kamu kecil, Ibu juga ngurus kamu dan kakak-kakakmu sendirian. Bapakmu mana pernah bantu.""Nah, itu maksudku! Harusnya ya gitu! Aku juga udah kerja keras, kenapa masih harus ikut ngurus anak segala?" Arif semakin kesal.Sri menatap putranya dengan sorot mata lelah. "Tapi kamu tahu nggak, Nak? Itu capek banget! Ibu hampir gila karena ngurus kalian bertiga sendirian. Kadang pengen nangis, pengen marah, tapi nggak ada pilihan."Arif terdiam sejenak, tapi lalu menggeleng dengan keras. "Tetap aja, Bu. Aku nggak terima kalau harus ikut-ikutan urus anak. Harusnya Rita yang tanggung jawab!"Sri menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Ya sudah, kalau begitu.

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   hutang 11 A

    Teriakan tangis Irwan menembus sunyi malam, menyentak Rita dari tidurnya. Kepalanya masih berat, tetapi naluri seorang ibu membuatnya langsung terbangun dan menghampiri anaknya. Dengan langkah tergesa, ia mendapati Irwan meringkuk di lantai, menangis tersedu-sedu."Ya Allah! Irwan!" Rita menggendong anaknya, menenangkan tubuh mungil yang masih tersedu. Matanya langsung mencari Arif, suaminya, yang berdiri tak jauh dengan wajah penuh keraguan."Kenapa dia jatuh?!" Rita mendelik tajam.Arif menghela napas panjang, tampak kesal sekaligus lelah. "Anakmu itu susah dibilangin, Rita. Dari tadi udah aku suruh tidur, malah lompat-lompat di ranjang!""Anakmu?" Rita mengulangi dengan suara dingin. "Jadi karena dia bukan anak kandungmu, kau nggak peduli? Ini anak kita, Arif! Calon anak sambung kamu!""Jangan mulai lagi, Rita. Aku capek! Aku udah coba jaga dia, tapi dia bandel!"Mata Rita menyipit, amarahnya naik ke puncak. "Kau nggak sayang sama dia, ya? Itu sebabnya Tuhan nggak kasih kau anak ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status