Gawai di meja berdering, aku mengambilnya. Telepon dari rumah. Siapa? Naya? Tidak mungkin. Lantas segera aku menerima panggilan itu."Hallo Tuan, ini simbok." "Ada apa?" "Maaf mengganggu di jam kerja. Habisnya simbok bingung.""Kenapa, Mbok?" "Non Naya nangis, jerit-jeritan, simbok khawatir.""Hah?! Dimana dia sekarang?""Di ruangan pribadinya. Pintunya dikunci. Takut kenapa-kenapa, Pak." Setelah dikabari hal itu aku jadi panik. Kuputuskan pulang dulu melihatnya. Bagaimana kalau dia sampai kenapa-napa? Aku menyetir pun tidak tenang rasanya. Kenapa lagi Naya?Langkah kaki memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Disambut Mbok Rum yang mengikuti di belakang. "Sekarang bagaimana?" "Sekarang sudah tidak berisik, Tuan. Tadi selain tangisan dan jeritan suara barang-barang dilempar pun terdengar."Aku semakin cepat melangkah dengan degup jantung yang kencang. Bagaimana kalau Naya melakukan hal yang ... Tidak. Aku menggeleng."Non terus sebut-sebut nama Akbar dan terus-terusan bilang maaf."
Satu bulan berlalu menjalani kehidupan masing-masing dengan Naya. Aku pikir dia akan sedikit berbaik hati, nyatanya rasanya semakin berjarak dan aku tidak dianggap suaminya sama sekali. Naya seperti orang asing yang menumpang hidup di rumahku. Dia asik sendiri dengan kegiatannya mengoleksi baju dan aku sibuk dengan pekerjaan. Kami sudah jarang makan bersama. Apa-apaan? Selera makanku malam ini mendadak hilang diterpa kesepian untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau terus sendiri begini. Aku sudah memberikan keringanan tidur pisah kamar. Setidaknya Naya mau menemaniku makan. Bukan malah semakin anteng dalam kesendiriannya. Sisa makanan di piring aku tinggalkan setelah meneguk minum. Langkah kaki membawaku pada kamar Naya yang tertutup rapat. Aku mengetuknya. "Naya?" Tidak ada sahutan, aku mengetuk lagi lebih keras. Saat mencoba membuka ternyata dikunci."Naya, buka!" Kesal sekali rasanya. Mau menemui istri sendiri saja kesulitan. Apalagi mengharap pelayanannya. "Kalau tidak aku dobrak
Dokter perempuan tengah memeriksa Naya yang sudah terbaring di tempat tidur. Mengukur tensi darah dari lengan tangan juga menekan-nekan stetoskop di dadanya. Aku berdiri resah tidak jauh dari mereka. Melihat jam di pergelangan tangan menyadari sudah terlambat ke kantor tapi juga hawatir dengan kondisi Naya. Telapak tangan kugosok-gosok guna menyingkirkan cemas. Bu dokter berdiri telah selesai melakukan pemeriksaan. Selimut Naya ia naikkan sedikit keperutnya. Aku menghampirinya. "Istri saya kenapa, Dok?""Dari gejala yang sudah disebutkan dan setelah saya melihat kondisinya, sepertinya istri Bapak hamil.""Hah? Hamil?!""Itu baru dugaan saya. Nanti bisa dicek lagi dengan tes urin dan hasil lab darah untuk lebih jelasnya. Bapak bisa membawa istri ke klinik atau rumah sakit." Dokter itu ramah menjelaskan. Dia melirik Naya seraya tersenyum. Aku juga meliriknya, tapi dengan keterkejutan. Benarkah?"Permisi, Tuan." Mbok Rum masuk ke ruangan. "Simbok menemukan ini di kamar mandi dapur. Sep
"Naya hamil." Kukatakan itu pada Firman saat kami beres makan siang. Aku tidak mempedulikan dia yang sedikit terkejut. "Yang bener, lo?" "Ya. Kami sudah memeriksanya ke dokter." Firman tergelak kecil. "Tokcer, ya, lo, baru satu kali hubungan langsung jadi." "Mungkin saat itu dia lagi masa subur." "Selamat deh, lo bakal jadi bokap lagi." Aku tersenyum dan menyeruput minumanku. "Etapi, dia gak marahkan?" Wajahku datar mendengar itu. "Harusnya dia senang, stempel mandul yang selama ini diberikan orang-orang padanya hilang. Tapi, hanya gue yang bahagia banget." "Sudah gue duga. Yaah, namanya juga orang belum lama ditinggal mati suami, hatinya masih kacau. Mungkin dia ngerasa bersalah dan jadi semakin ngerasa bersalah." "Sepertinya begitu.""Banyak-banyak sabar aja, Bro. Gue doain, moga nanti lahirannya lancar, bayi dan Ibunya sehat.""Thank's."Firman menepuk pundakku satu kali menyemangati. Aku tertunduk memikirkan Naya di rumah. Apa dia baik-baik saja? Seharian di kantor sampai
Perut Naya yang rata tampak berisi. Usia kandungannya sudah menginjak enam bulan. Selama ini aku kerap memperhatikannya. Meski tidak bebas menyentuh. Dia tidak menolak susu pemberian dariku saja sudah cukup rasanya. Kami masih tidur masing-masing. Namun, diam-diam aku sering menyelinap dalam kamarnya. Mengelus sebentar perut gendut Naya saat dia sudah terlelap. Kemudian aku akan tidur di karpet bawah. Sebelum subuh sudah bangun untuk pindah ke kamar sendiri. Hingga Naya tidak mengetahuinya. Ketika ada Mama dan Mela berkunjung. Aku senang bukan main. Aku bisa mencari-cari kesempatan untuk bisa berdekatan dengan Naya. Tentu saja sambil berlama-lama menyentuh perutnya. Seperti hari weekend sekarang mereka datang berkunjung lagi. Membawa aneka buah segar dan dihidangkan di hadapan Naya. Istriku menatap tersenyum pada buah-buahan itu. Di depan mereka dia tak akan menunjukkan wajah datar atau cuek, aku hafal itu. "Makasi ya, Ma. Sudah datang ke sini dan membawakan Nay buah." "Sama-sama
"Apa nomor privat itu masih meneror menghubungimu?" "Tidak." "Syukurlah." Aku bernapas lega sambil menikmati udara sejuk sekitar. Kemudian membenarkan dasi di kerah. Memandang perempuan yang kebetulan sedang berada di luar bersamaku. "Aku berangkat dulu." Naya melihat pada tanganku yang terulur. Ingin dia meraihnya dan mengecup. Ritual seperti ini jarang terjadi. Ingin membiasakan. "Doakan aku, agar selamat di jalan, dimudahkan pekerjaan, sampai pulang kembali." Bibirnya tidak mengucap apapun, tapi aku senang dia akhirnya mau menerima uluran tanganku meski enggan. Aku membalas mengecup keningnya lalu sedikit membungkuk mengusap anak kami yang masih dalam kandungan. "Papa berangkat dulu, ya, sayang." Kutinggalkan dia setelah mengucapkan salam yang dijawabnya pelan. Memasuki mobil mengemudikannya ke luar halaman. Tidak ada kata maaf atas tindakan perempuan itu sudah membuatku sakit tempo hari. Dia tidak pernah membahas dan melupakan begitu saja. Baginya semua itu salahku sendiri
Firman menyingkirkan tanganku dengan sekali hentakan kencang, kemudian berdiri. Aku ikut bangkit mensejajari tinggi tubuhnya. Dada ini bergemuruh naik-turun masih tak terima. "Tadi Naya pusing. Tubuhnya hampir limbung. Gue bantu dia duduk di sofa." Satu pukulan aku lemparkan lagi di wajahnya tanpa sempat dia mengelak. "Udah tau istri gue hamil besar dan rentan, lo mau nambah-nambah beban? Gak ada alasan yang lebih brillian lagi atas kedatangan lo ke sini? Lo cuma pengen ganggu Naya, ngaku aja!" Firman menghindar tatapanku. Dia melirik Naya yang duduk miring bersandar. Aku juga. Perempuan itu memejam seperti meredam pening. Dia memang ada anemia dalam masa kehamilannya. Harusnya aku tak boleh membiarkannya berkutat dengan mesin meski itu kesenangan untuknya. Dia harus bedres. Kembali kualihkan tatapan pada Firman. "Sentuhan lo berlebihan. Lo sengaja meluk." "Gak.""Lo pikir mata gue rabun? Jelas gue lihat.""Gue minta maaf."Aku memandangnya aneh. Merasa ada yang tidak beres deng
Syukurlah Evelyn tidak mengetahui. Tidak ingin dia menyapa, hawatir mengganggu Naya. Siapa yang sakit dan butuh tes lab? "Kenapa?" Naya di sebelah bertanya. Apa aku kelihatan sedang memikirkan sesuatu? "Gak apa-apa kok," jawabku tersenyum, berusaha menepis sedikit rasa penasaran di benak. Evelyn sudah bukan urusanmu, Sen."Jangan melamun kalo nyetir." "Iya, aku akan hati-hati. Aku gak mau orang-orang kesayanganku kenapa-kenapa." Perutnya kusentuh. Ada kehidupan lain bersamanya. Merekalah orang terkasihku. "Liat jalan di depan, fokus." Dia mengingatkan tegas sambil menyingkirkan tanganku."Iya, sayang." Aku beralih menjawil pipinya gemas."Sendy!" Melihatku tertawa kecil. Dia balas mencubit lengan atasku."Aww!" "Rasakan." Pelan dan penuh penekanan kalimatnya.Aku mengusap-usap bekas cubitannya. Wajah judes itu tak lantas membuatku berang. Aku merasa dia tidak benar-benar serius menyiksaku. Hanya becanda. "Kayak anak kecil deh meringis-ringis segala," cibirnya. "Gak benar-benar