Aku terbangun saat mendengar suara klakson kapal, sebagai pertanda bahwa kapal sebentar lagi bersandar. Cukup lama aku tertidur, hampir satu jam. Aku sedikit menggerakkan badan, menghilangkan penat di badan karena duduk cukup lama.
Aku tak begitu mempedulikan Gus Nadzim yang duduk di sebelahku. Hatiku masih terluka karena kata-katanya beberapa waktu lalu. Sekali lagi kutegaskan pada otak dan hatiku jika pria yang saat ini duduk di sebelahku hanyalah partner kerja.
Setiap orang punya masa lalu, tapi ia harus tetap hidup menjalani hari-harinya. Masih harus tetap merajut mimpi dan harapan. Meskipun selama lima tahun ini aku tak mampu melakukan itu. Mulai hari ini aku bertekad harus bisa meninggalkan bayangannya sebagai masa laluku. Aku tak perlu lagi mengkhawatirkan kebahagiaannya, ataupun keadaannya. Aku bukan siapa-siapanya.
Aku meninggalkan kursi penumpang lebih dulu. Keluar menuju tempat parkir pelabuhan. Alfan dan Zaenal sudah menunggu di dekat sebuah mobil Pajero silver. Aku buru-buru mengambil tempat duduk di sebelah sopir. Sengaja menghindari duduk di jok penumpang bersama Gus Nadzim.
"Kuncinya mana? Biar aku saja yang nyetir," kata Gus Nadzim sambil menyodorkan ranselnya ke Zaenal.
"Tapi Gus ?" Zaenal tak melanjutkan kalimatnya karena Gus Nadzim telah mengambil kunci mobil dari tangannya.
Aku hanya bisa menarik napas panjang dan memegang kepalaku yang mulai pusing.
***
Aku terbangun oleh gedoran di pintu kamarku. Masih setengah tersadar kutarik handle pintu. Sebuah wajah panik segera menerobos masuk ke kamarku.
"Kamu sudah ditunggu tim tour. Hampir satu jam kami menunggu. Ponselmu tidak bisa dihubungi," kata Adlina panik. Aku baru ingat, setelah menerima telepon Yasser tadi, ponsel kumatikan.
"Pak Nadzim sudah marah-marah, karena kamu tidak profesional," katanya lagi.
Aku menepuk jidad, baru ingat jika jam dua kami berencana cek lokasi ke Pantai Bobbi dan Bukit Love untuk lokasi trip tamu-tamu pengantin. Kulihat jarum jam tanganku yang tergeletak di meja rias, pukul tiga.
"Kepalaku masih pusing. Kamu sama teman-teman yang lain saja yang berangkat," kataku beralasan.
"Teman yang lain sudah balik Kudus untuk persiapan acara di sana. Sekarang tinggal kamu, aku, dan Arfan. Kamu lupa juga?” katanya sedikit gondok.
"Kamu sama Arfan saja," kataku. Aku malas bertemu Gus Nadzim, apalagi pergi bersama untuk cek lokasi tour.
"Kamu harus ikut! Karena yang menentukan konsep acara selama tour nanti itu, Kamu." katanya tegas. Aku sudah tidak bisa berkutik jika Adlina bersikap seperti itu.
***
Tidak butuh waktu lama untukku berganti baju. Blouse katun warna tea green, pasmina hijau dengan warna sedikit lebih tua, jeans, dan sepatu kets. Sapuan tipis-tipis bedak dan lipstik supaya terlihat lebih segar karena aku tidak sempat mandi. Ransel hitam kecil di punggung, kacamata hitam kugantung di dada yang tertutup pasmina dan sedikit minyak wangi.
Gus Nadzim masih terlihat marah saat aku dan Adlina sampai di lobby resort. Sekilas ia memperhatikanku. Kemudian kembali membuang muka.
"Lain kali kerja yang profesional," katanya ketus.
Belum sempat aku membela diri, ia sudah berjalan menuju Pajero silver yang mesinnya sudah dihidupkan.
"Cha, aku tidak bisa ikut. Baru saja Nisa telepon, dia perjalanan menjemputku. Kami mau membayar DP ke beberapa katering sore ini." Adlina pamit tidak bisa ikut cek lokasi. Aku hanya bisa mengiyakan.
Gus Nadzim mempersilakan Arfan duduk di kursi sebelah sopir. Sedangkan ia mengambil tempat duduk di kursi penumpang belakang sopir. Mau tidak mau, aku harus duduk di kursi penumpang sebelah kiri. Lengkap sudah penderitaanku.
Suasana mobil hening selama perjalanan ke Pantai Bobbi yang butuh waktu sekitar satu jam. Hanya sesekali terjadi percakapan antara Arfan dan Zaenal. Sementara Gus Nadzim sibuk dengan ponselnya.
Setelah beberapa kali melalui jalan menurun curam, tanjakan, dan menikung akhirnya sampailah mobil yang kami tumpangi di area parkir Pantai Bobbi. Gapura bertuliskan Pantai Bobbi dari kreasi kayu dan topeng Bobbi berambut gondrong menyambut kami. Hamparan pasir putih membentang di sepanjang bibir laut memanjakan mata oleh pesonanya yang luar biasa indah.
Meskipun baru kali ini aku mendengar nama Pantai Bobbi tapi aku merasa tidak asing dengan tempat ini.
Kami beristirahat sebentar di salah satu warung yang sore itu buka. Kami memesan empat es degan bakar.
Beberapa saat setelah pesanan kami datang dan menikmati beberapa tegukan, kulepas sepatu kets yang kupakai dan mulai menyusuri pantai pasir putih dari sisi kanan jalan masuk. Arfan mengikutiku dengan membawa kertas notebook kecil untuk menuliskan beberapa catatan.
Kuperhatikan ada beberapa spot swafoto yang nantinya bisa kami rekomendasikan pada para tamu.
"Besok beberapa fotografer siapkan di dekat ayunan dengan dua tempat duduk itu, lalu di sana dekat spot foto dari ranting-ranting pohon yang berbentuk lambang hati, dekat ayunan dengan satu tempat duduk itu, dan dekat jungkat-jungkit kayu itu," kataku sambil menunjuk tempat- tempat yang kumaksud.
"Dekat spot foto dengan bangku panjang yang kanan kirinya dihias ranting-ranting pohon dengan latar belakang tulisan Pantai Bobbi juga," kataku sambil menunjuk ke tempat yang sedikit jauh dari bibir laut.
"Dekat rumah pohon itu juga."
Kulanjutkan langkahku sampai di depan deretan pohon kelapa. Aku mendongak. Sebuah ayunan di ketinggian yang diikatkan pada kedua pohon kelapa diayun oleh tiupan angin. Sementara pijakannya dari slice kayu yang ditata berjajar.
"Ayunan ini tidak usah direkomendasikan, kecuali tim tour punya adventure safety tools."
Beberapa langkah di depanku berdiri kokoh pohon yang cukup rindang, seperti beringin. Tapi aku tak tahu pasti nama pohon itu. Pohon itu dikelilingi batu cadas merah. Ada tulisan "Pantai Bobbi" di selembar kecil lapisan kayu. Tulisan itu ditulis tangan dan tidak rapi.
Pohon itu mengingatkanku dulu di pantai ini, aku dan Gus Nadzim serta beberapa teman dari Semarang pernah mengikuti acara lombanan oleh warga Karimunjawa, terutama dusun Kapuran. Yah, sekarang aku ingat. Pantai ini dulu bernama Pantai Nyamplung Ragas. Aku membatin.
Waktu itu, aku dan rombongan menikmati sunrise di pantai ini selama di Karimunjawa. Bernyanyi dengan iringan musik gitar sampai permukaan laut dan langit bermandikan jingga.
Bima paling suka mendendangkan lagu-lagu dangdutnya Evi Tamala, Elvi Sukaesih, Rita Sugiarto, Rhoma Irama, dan Meggy Z. Sedangkan selama di Karimunjawa, Gus Nadzim sangat suka menyanyikan lagu-lagunya Bimbo dan Iwan Fals. Sebagai lagu wajib sebelum kami meninggalkan pantai, bersama-sama menyanyikan lagu Kemesraan yang dipopulerkan Iwan Fals.
Aku tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu. Aku menoleh ke arah Gus Nadzim yang masih asyik menikmati Es Degan bakar di warung sederhana beratap anyaman daun kelapa. Meskipun sekarang kami punya kehidupan masing-masing, biarlah masa lalu itu samar-samar tetap menautkan hati kami. Kutarik napas dalam-dalam.
Kulanjutkan langkahku melintasi pasir putih yang sisi luarnya terdapat banyak cadas berbentuk tumpukan rapi seperti tertata. Sebuah maha karya Tuhan yang luar biasa cantik.
"Besok siapkan juga beberapa tukang foto di sekitar sini." Arfan mengangguk dan membuat catatan.
Aku mengambil tempat duduk di salah satu tepi cadas yang permukaannya datar. Gus Nadzim dan Zaenal terlihat berjalan ke arah kami. Ketika sudah berada di sekitar kami berdiri, aku menanyakan konsep acara yang ditawarkan selain tamu-tamu berfoto dengan pemandangan alam.
"Biasanya, tamu-tamu kami bebaskan menikmati pantai sepuasnya. Mereka dipersilakan berfoto dan kami akan menyediakan beberapa tukang foto yang tersebar di sepanjang pantai," jelas Zaenal.
"Tidak ada konsep acara apapun?" tanyaku menandaskan, lebih pada diri sendiri. Zaenal menggeleng sebagai jawaban.
"Misalnya kita buat volly pantai, atau minum Es Degan bakar bersama," usulku.
"Pripun Gus?"
"Konsep yang disampaikan Zaenal itu adalah paket tour yang sudah kita sepakati sebelumnya," katanya enteng.
"Kalau konsep sudah tidak bisa diubah, buat apa aku capek-capek cek lokasi?" Suaraku mulai meninggi.
"Ya sudah, tak perlu cek lokasi tour ke tempat yang lain!" kataku menahan jengkel. Aku berdiri, melangkah meninggalkan mereka.
"Arfan, kita balik ke resort!"
Aku berjalan sambil mengeluarkan seluruh kekesalan hatiku sampai tidak menyadari ada serpihan terumbu karang dan terinjak kakiku yang tanpa alas.
"Aaaaa." Aku menjerit. Sebuah serpihan terumbu karang yang cukup besar menancap di antara telapak kaki dan jari tengah sampai jari manis. Spontan tanganku mengambil benda putih yang menancap itu. Darah segar mengalir deras di sela-sela jari kakiku.
Aku tidak menyadari kehadiran Gus Nadzim. Ia sangat panik ketika melihat darah segar mengalir cukup deras dari lukaku.
"Zaenal!" teriak Gus Nadzim panik.
Seperti sudah paham, Zaenal berlari ke arah mobil yang terparkir.
"Kotak P3K-nya ditaruh mana, Gus?" teriak Zaenal dari dalam mobil yang tak kalah paniknya.
"Sudah ketemu, Gus," teriak Zaenal lagi. Ia kemudian lari ke arah kami.
Sementara Arfan sudah kembali dengan membawa air mineral dalam botol. Gus Nadzim berusaha menghentikan pendarahannya dengan menekan otot-otot telapak kaki di bagian yang lebih atas dari lukaku.
Gus Nadzim membasuh lukaku dengan sebotol air mineral untuk membersihkannya dari sisa-sisa pasir. Kemudian ia membersihkannya dengan alkohol yang diberikan Zaenal. Dengan cekatan ia memberi iodin, menutup lukaku dengan kapas yang sudah dibalut kasa lalu membalutnya dengan kasa.
"Siapkan mobil, Nal! Kita bawa ke Dokter Galih," kata Gus Nadzim yang makin panik karena melihat darah masih merembes.
"Dokter Galih biasanya kalau sore muter ke rumah-rumah lansia. Kita bawa ke Bu Bidan Titin saja, Gus."
"Ya, sudah! Kemana saja, yang penting lukanya cepat dijahit," katanya agak kasar.
Aku tersenyum dalam hati melihat kepanikan yang menyergap Gus Nadzim.
***
Pagi ini aku tidak ada jadwal mengajar dan berniat membersihkan Musala yang ada di sebelah rumah kami, wakaf dari kakek buyutku. Tapi kulihat Bapak sudah duduk termenung di teras Musala dengan tangan kanan yang masih memegang kain pel, sementara ember hitam berada di dekat kaki kanannya. “Kedahuluan lagi deh,” kataku dengan nada kecewa. Bapak menoleh ke arahku karena terusik oleh suaraku. Bapak paling tidak bisa melihat Musala dalam keadaan kotor. Beliau tidak sabar menunggu anak-anak jemaah ngaji yang piket membersihkan Musala di hari Ahad dan hari Jumat saat mereka libur sekolah. Sehingga beliau tak segan untuk menyapu dan mengepel Musala seorang sendiri. “Bapak ada masalah?” tanyaku setelah duduk menjajarinya. “Bapak bingung. Semalam Bapak besuk Mbah Nasuha yang baru pulang dari Rumah Sakit. Akibat jatuh waktu ambil wudu di Musala dulu itu. Sekarang dia harus pakai kursi roda. Semalam dia menangis sedih karena sekarang dia tidak mungkin lagi bisa
Suasana Gubug yang didesain mirip Gazebo ini terasa sangat nyaman. Hawa sejuk, aroma wangi bunga kopi, dan suara khas Tonggeret yang dalam bahasa jawa disebut Garengpung menambah kenikmatan kopi Muria dan pisang tanduk kukus yang masih hangat tersaji. Di perkebunan kopi ini atau lebih luas di daerah Muria dan sekitarnya, hampir sepanjang hari di bulan Maret kita dapat menikmati suguhan kemewahan simfoni indah dari Tonggeret, salah satu jenis serangga anggota sub ordo Cicadomorpha, Ordo Homoptera yang memiliki sekitar tiga ribu spesies di dunia. Nyanyian Tonggeret menemaniku menemui salah satu pengusaha kopi Muria yang pernah direkomendasikan Icha, salah satu teman sekolahnya. Kami melakukan penjajakan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan kopi di Resort milikku. Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya ke sini, sekaligus ziarah ke makam sunan Muria. Mungkin sangat menyenangkan berjalan bersama menyusuri satu per satu anak tangga yang d
Aku akhirnya memutuskan menerima tawaran dari yayasan untuk menjadi dosen tetap yayasan. Sudah tiga minggu ini perkuliahan kembali aktif. Manajemen EO sepenuhnya kuserahkan pada Adlina, namun aku tetap menjadi konseptor acara sesuai yang dipesan klien. Setiap sabtu dan ahad serta setiap sore sepulang dari kampus, aku tetap ke kantor EO. Sejak menjadi dosen tetap, kesibukanku di kampus bertambah dengan menjadi pembimbing skripsi mahasiswa, dilibatkan dalam kepanitiaan kegiatan kampus, maupun tugas-tugas yang lain. Meskipun kegiatan kampus dan EO cukup melelahkan, tetapi sangat kunikmati. Inilah cara efektif untuk menjauhkan berbagai kenangan dan pikiranku pada Gus Nadzim. Kenyataan bahwa Gus Nadzim sampai saat ini belum menikah, dan tetap menungguku membuatku memupuk harapan yang semakin kuat. Namun kenyataan pula bahwa Umi tidak menginginkanku, membuatku harus mengubur kembali harapan itu dalam-dalam. Menggunakan waktu yang kumiliki dengan berbagai aktivitas yang men
Perjalanan menuju rumah Mas Nanang terasa sangat lama.Icha yang duduk di kursi penumpang di sebelahku hanya menatap nanar ke jalanan beraspal. Mungkin saja suasana hatinya masih tidak nyaman dengan semua kejadian hari ini. Pagi tadi saat aku hendak menjemput rombongan ke pelabuhan,NingZahira merengek minta ikut. Aku sungguh tak percaya dengan sikap kekanak-kanakannya. Umi yang mendengar rengekan Ning Zahira pun bertitah, maka habislah aku. Agar tidak menimbulkan kegaduhan, terpaksa aku membawanya ikut menjemput rombongan. Padahal,Icha juga menjemput rombongan langsung dari hotel tempatnya menginap. Sempat kurasakan kegalauan hati, ketika kulihat ekspresi datarIcha saat melihat kehadiranku danNingZahira. Aku tidak mau ia salah paham. Maka, aku harus menjelaskan situasinya. Beruntung,Icha memahami dan percaya padaku. Tetapi lagi-lagiNingZahira membuatku pusing. Sejak acara pembukaan sampai acara ku
Tubuhku membeku seketika. Mataku membelalak dan telingaku seolah tak percaya ketika mendengar ucapanGusNadzim. Kurasakan udara di sekitarku berhenti mengalir sehingga terasa panas dan pengap. Aku benar-benar marah karena kata-katanya. "Jangan samakan hati dengan barang elektronik, yang tombolon offbisa dipencet kapan saja semau kita." semburku. "Kamu tidak perlu marah. Anggap saja ini barter kita. Harusnya aku yang lebih dulu marah, karena kamu yang lebih dulu minta aku menerimaNingZahira." Nada suaraGusNadzim tidak kalah tingginya dengan suaraku. "Kalau kamu tidak punya tombolon offdi hatimu, aku juga sama." Tangannya menggebrak meja kayu di hadapanku sampai botol air mineral yang kupesan jatuh menggelinding. Untung saja gelas kopi yang kupesan tidak ikut jatuh. Beberapa pengunjungcafemengarahkan pandangan matanya ke meja kami. Aku hanya menganggukkan kep
Aku merasa pesantren danResortsudah tidak nyaman untukku menyelesaikan proposal yang harus selesai malam ini. Keputusanku sudah bulat. Besok pagi aku kembali ke Kudus. Mengubur semua peristiwa yang terjadi di sini, dan kembali menulis cerita hidup yang baru. Aku kembali keResortmenggunakan jasa mobil rental yang kupesan. Sesampainya diResort, aku segera berkemas. Menunggu azan Magrib untuk salat. Lalu mengurus administrasi untukcek out. Sementara mobil rental kuminta menunggu dan mengantarku kembali ke tujuan selanjutnya. "Pemesanan kamar atas nama bu Aricha masih sampai dua hari lagi. Semua biaya sudah dibayar di muka." kata resepsionis. Pasti kerjaanGusNadzim, pikirku. "Tidak apa-apa, Mbak. Sayacek outsekarang saja." Aku memberikan kunci kamar dan menunggu sebentar. Resepsionis menginformasikan padaroom serviceuntuk mengecek kamarku