LOGIN****
Menjelang subuh, Lucian akhirnya tiba di kediaman megahnya. Langkahnya hati-hati, seolah setiap derit engsel pintu bisa membongkar rahasia gelap yang ia bawa pulang malam itu. Dengan perlahan, ia membuka pintu utama, berharap bisa menyelinap masuk tanpa seorang pun menyadari. Namun, harapannya buyar seketika. Di balik pintu, Patricia ibunya sudah berdiri tegak dengan tatapan tajam yang membuat darah Lucian seakan berhenti mengalir. Aura wanita bangsawan itu dingin dan penuh wibawa. “Dari mana kau?” tanyanya datar, nada suaranya tenang namun cukup untuk membuat Lucian tergagap. Dalam hati, ia panik jangan sampai sang ibu mengetahui bahwa ia baru saja mengunjungi toko roti milik Alexa, dan bahkan lebih buruk lagi, telah dengan lancang mencuri ciuman dari bibir tunangan kakaknya sendiri. “Ah… aku hanya mengecek mobil di garasi, Ma,” jawab Lucian cepat, berusaha terdengar meyakinkan. Namun, detak jantungnya semakin berdegup kencang ketika menyadari sesuatu. Di tangan sang ibu kini tergenggam jas mahal miliknya. Patricia dengan tenang mengangkat jas itu, lalu menyodorkan beberapa lembar foto yang ia keluarkan dari saku dalam. “Jelaskan, kenapa foto-foto wanita ini ada di dalam sakumu?” suara Patricia terdengar tegas, nyaris tanpa emosi, namun mampu menusuk jantung Lucian seperti belati. Mata Lucian menyipit tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Ia tahu, kebohongan harus segera disusun dengan rapi. “Ah, Ma… itu karena aku memakai jas milik Roger. Foto-foto itu koleksi dia, bukan milikku,” ujarnya, mencoba terdengar tenang. Namun Patricia tidak langsung percaya. Alisnya berkerut halus, tatapannya menusuk penuh kecurigaan. “Sejak kapan kau mau memakai sesuatu yang bekas digunakan adikmu?” tanyanya dengan nada heran sekaligus menyelidik. Lucian tersenyum kaku, menahan ekspresi wajahnya agar tidak membeberkan kebenaran yang sesungguhnya. “Sejak dia koma, Ma. Ya… sejak dia koma,” jawabnya, dengan suara sedikit berat. Ia berharap jawaban itu cukup untuk meredakan kecurigaan sang ibu. Namun Patricia masih menatapnya lama, seolah berusaha membaca isi hati dan pikiran anak keduanya itu. Lucian menunduk sedikit, pura-pura tenang, meski dalam dirinya berkecamuk rasa takut akan terbongkarnya rahasia yang ia sembunyikan rapat-rapat. **** SELANDIA BARU, TENGAH MALAM Ruang kerja megah bergaya klasik itu dipenuhi aroma pekat wine yang masih mengepul dari gelas setengah penuh di tangan Tuan Lucarl. Urat di pelipisnya menegang, wajahnya memerah menahan amarah setelah mendengar laporan tak masuk akal dari anak buahnya. Suaranya menggelegar, penuh penekanan. “Omong kosong! Kalian sengaja menyembunyikannya!” desis Tuan Lucarl, matanya menatap beringas. Anak buahnya yang berlutut di hadapannya menundukkan kepala sedalam mungkin, tubuhnya gemetar. “M-Maaf, Tuan. Obatnya benar-benar kosong… tidak ada persediaan di seluruh Selandia Baru.” Braammm! Gelas wine itu melayang dari tangan Lucarl dan pecah berkeping di lantai marmer. Cairan merah pekat mengalir, membentuk bercak menyerupai darah yang menetes angkuh. Lucarl mencondongkan tubuhnya ke depan, suara rendahnya lebih tajam daripada pecahan kaca. “Kau juga berpindah haluan, hah?” sindirnya dingin, penuh curiga. “Apa kau sekarang ingin berpihak pada anak pembangkang itu? Kau kira aku tidak tahu?” Anak buah itu semakin gemetar, keringat dingin menetes di pelipisnya. Ia ingin menyangkal, namun lidahnya kelu di bawah tatapan tajam yang sanggup membuat pria dewasa manapun kehilangan nyali. “Aku tahu…” ujarnya dingin, senyum tipis penuh kebencian terbentuk di bibirnya. “…dia, bocah bernama Lucian itu. Dialah yang menyabotase seluruh obat untuk adiknya. . Anak keparat itu ingin Roger mati, agar singgasana ini jatuh ke tangannya.” Lucarl mendengus kasar, suaranya bercampur geraman. “Ah, Lucian kecil… kau salah ukur. Kau mengira bisa menjatuhkanku hanya dengan akal bulus murahan? Kau tidak tahu siapa yang sebenarnya kau lawan. Aku adalah ayahmu, dan aku tidak pernah kalah dalam permainan apa pun.” Tatapannya menajam, menembus ruang kosong, seolah mengirimkan pesan langsung ke putra keduanya di seberang negeri. Aura mengancam itu memenuhi ruangan, membuat siapa pun yang ada di sana tak berani mengangkat kepala.****Di kamar mewah di pesawat pribadi itu...Tubuh Alexa terhempas ke atas kasur empuk,. Ia segera bangkit, wajahnya merah padam dipenuhi amarah sekaligus rasa takut. Lucian berdiri di hadapannya, senyum tipis menyeringai di wajah pria itu, tatapannya dingin sekaligus membakar.“Bajingan!” desis Alexa, lalu tanpa ragu tangannya terangkat tinggi dan mendarat keras di pipi Lucian.Plak! Suara tamparan menggema di kamar mewah itu.Lucian terhuyung sedikit, pipinya memerah akibat tamparan tersebut. Sejenak suasana hening, hanya terdengar helaan napas Alexa yang terengah-engah. Ia menatap pria itu dengan mata membara, penuh benci.“Kau keterlaluan!” serunya lantang. “Tidak ada bedanya kau dengan binatang gila!”Lucian mengusap pipinya perlahan, bukan marah yang tampak di matanya, melainkan senyum bengis yang justru kian melebar.“Ya, aku memang binatang gila,” ujarnya pelan, namun penuh tekanan. “Dan kau…” ia menunduk sedikit, tatapannya menajam, “…akan diterkam oleh binatang ini. Malam i
*** Waktu berjalan lambat, menit demi menit terasa seperti siksaan yang tiada akhir. Satu jam. Dua jam. Namun posisi mereka tidak berubah. Alexa masih berada dalam pangkuan Lucian, tubuhnya terkurung dalam pelukan erat pria itu. Lucian mengangkat sudut bibirnya, menatap Alexa dengan sinis. “Apa yang selama ini kau dapat dari pacarmu itu, hm?” ucapnya dengan nada merendahkan. “Pacarmu yang sebentar lagi akan jadi mayat.” “Cih! Jaga mulutmu, Lucian!” sergah Alexa lantang, suaranya bergetar menahan emosi. “Roger akan sembuh! Dan kau,, kau yang akan meringkuk di penjara! Setelah ini, aku sendiri yang akan menuntutmu!” Lucian terkekeh, suara tawanya rendah “Heheh… gadis kecil yang polos. Kau bayangkan saja, bagaimana caranya menuntut seseorang tanpa bukti? Hukum bukan sekutu bagimu, Alexa. Sedangkan aku, aku adalah hukum itu sendiri.” Alexa mengepalkan tangannya, kukunya hampir menancap ke telapak. Wajahnya memerah karena amarah. “Satu hal lagi,” ujarnya sambil mempererat gengga
**** Beberapa menit kemudian, Alexa akhirnya menaiki pesawat yang disebut-sebut sebagai pengganti penerbangannya.“Di sana kursi Anda, Nona,” ucap seorang pria berpakaian jas rapi dengan sikap formal. Tangannya menunjuk salah satu kursi di sisi jendela.Alexa terdiam sejenak. Bola matanya bergerak cepat, mengamati sekeliling. Tidak ada penumpang lain selain dirinya. Pesawat itu terlalu mewah untuk sekadar pengalihan tiket. “Terima kasih,” jawab Alexa dengan suara pelan, gugup. Pesawat itu melaju mantap menembus langit malam, meninggalkan gemerlap lampu bandara yang perlahan mengecil di kejauhan.Tiga puluh menit setelah pesawat lepas landas, ketenangan semu itu mendadak pecah.“Ehem!”Seseorang berdehem ringan, suaranya berat namun sarat dengan kesengajaan. Alexa spontan menoleh, dan darahnya seakan berhenti mengalir ketika seorang pria dengan setelan santai namun berkelas melangkah tanpa permisi, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi di sampingnya.Mata Alexa membelalak. “Lucian…” bi
**** Tiga hari kemudian, bandara internasional Sydney dipenuhi hiruk pikuk manusia yang berlalu-lalang, masing-masing dengan tujuan berbeda. Di salah satu kursi ruang tunggu penumpang, Alexa duduk dengan wajah tegang. Ia akan terbang ke Selandia Baru, negara yang sama sekali belum pernah ia kunjungi sebelumnya, demi menjenguk tunangannya, Roger van de Carl, yang masih koma. Alexa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Semangat, Alexa… ini hanya sebuah penerbangan. Kau bisa melaluinya,” gumamnya lirih, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Di dalam sebuah pesawat pribadi mewah yang terparkir tidak jauh dari terminal utama,. Lucian duduk bersandar anggun di kursi kulit premium berwarna hitam, sebatang cerutu belum tersulut di jemarinya. Namun pikirannya sama sekali tidak tertuju pada kemewahan di sekelilingnya. Tatapannya justru tertuju ke arah jendela besar, di mana dari kejauhan ia dapat melihat sosok wanita yang duduk gelisah di ruang tunggu penumpang umum. Alexa. “C
**** Menjelang subuh, Lucian akhirnya tiba di kediaman megahnya. Langkahnya hati-hati, seolah setiap derit engsel pintu bisa membongkar rahasia gelap yang ia bawa pulang malam itu. Dengan perlahan, ia membuka pintu utama, berharap bisa menyelinap masuk tanpa seorang pun menyadari. Namun, harapannya buyar seketika. Di balik pintu, Patricia ibunya sudah berdiri tegak dengan tatapan tajam yang membuat darah Lucian seakan berhenti mengalir. Aura wanita bangsawan itu dingin dan penuh wibawa. “Dari mana kau?” tanyanya datar, nada suaranya tenang namun cukup untuk membuat Lucian tergagap. Dalam hati, ia panik jangan sampai sang ibu mengetahui bahwa ia baru saja mengunjungi toko roti milik Alexa, dan bahkan lebih buruk lagi, telah dengan lancang mencuri ciuman dari bibir tunangan kakaknya sendiri. “Ah… aku hanya mengecek mobil di garasi, Ma,” jawab Lucian cepat, berusaha terdengar meyakinkan. Namun, detak jantungnya semakin berdegup kencang ketika menyadari sesuatu. Di tangan sang ibu
**** Begitu pintu tertutup dengan keras, ekspresi wajah Lucian seketika berubah. Senyum sinis terbentuk di bibirnya, dingin dan menyeramkan. Ada sorot gila yang bersemayam di matanya, tatapan seorang pria yang tak segan menghancurkan apa pun yang menghalangi keinginannya. Dalam hitungan detik, ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan tanpa aba-aba. Brakkk! Suara keras menggema di sepanjang lorong toko. Daun pintu kayu itu patah dalam tiga bagian, serpihan kayu berhamburan di lantai, menimbulkan debu tipis yang berterbangan. Suasana hening berubah mencekam. Alexa, yang berdiri di balik pintu, terbelalak tak percaya. Tubuhnya kaku, matanya membesar menatap sosok pria itu yang kini berdiri di ambang dengan tatapan mengerikan. Tenggorokannya tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Perlahan, ia menelan ludah, lalu mundur selangkah demi selangkah, berusaha menjaga jarak."Kau? " Lucian melangkah masuk dengan tenang, langkah kakinya berat, tetapi penuh wibawa menakutkan. Setiap langk







