DIPINDAHKAN

****

Tiga hari kemudian, bandara internasional Sydney dipenuhi hiruk pikuk manusia yang berlalu-lalang, masing-masing dengan tujuan berbeda. Di salah satu kursi ruang tunggu penumpang, Alexa duduk dengan wajah tegang. Ia akan terbang ke Selandia Baru, negara yang sama sekali belum pernah ia kunjungi sebelumnya, demi menjenguk tunangannya, Roger van de Carl, yang masih koma.

Alexa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Semangat, Alexa… ini hanya sebuah penerbangan. Kau bisa melaluinya,” gumamnya lirih, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

Di dalam sebuah pesawat pribadi mewah yang terparkir tidak jauh dari terminal utama,. Lucian duduk bersandar anggun di kursi kulit premium berwarna hitam, sebatang cerutu belum tersulut di jemarinya. Namun pikirannya sama sekali tidak tertuju pada kemewahan di sekelilingnya. Tatapannya justru tertuju ke arah jendela besar, di mana dari kejauhan ia dapat melihat sosok wanita yang duduk gelisah di ruang tunggu penumpang umum.

Alexa.

“Cantik sekali,” gumamnya lirih, seolah kalimat itu hanya pantas didengar dirinya sendiri. Ada nada kagum sekaligus obsesi di balik suara itu, sebuah kekaguman yang berbeda dari lelaki kebanyakan, karena di baliknya terselip ambisi untuk memiliki.

Sejurus kemudian, Lucian memutar tubuhnya, menatap anak buahnya yang berdiri tegak menanti perintah. Dengan suara berat yang penuh kuasa, ia menuturkan, “Alihkan penerbangan gadis itu. Pastikan dia tidak naik pesawat komersial. Aku ingin Alexa berada di pesawat ini, malam ini juga.”

Nada perintahnya mutlak, tanpa memberi ruang untuk bantahan.

Anak buahnya segera menunduk hormat, tubuhnya sedikit membungkuk penuh ketakutan bercampur hormat pada sang majikan. “Baik, Tuan Lucian. Perintah segera dilaksanakan.”

Tanpa menunggu lebih lama, lelaki itu melangkah cepat keluar kabin, meninggalkan Lucian yang kini kembali meneguk anggur merah dari gelas kristal. Senyum sinis kembali mengembang di wajah pria itu, matanya tak lepas dari arah ruang tunggu.

“Tidak ada penerbangan yang bisa menjauhkanmu dariku, Alexa. Cepat atau lambat, kau tetap akan menjadi milikku,” bisiknya dingin, sambil memutar gelas anggur perlahan.

**

Alexa masih duduk di kursi ruang tunggu, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Sesekali ia melirik kanan dan kiri, mencoba menenangkan dirinya yang terus diliputi rasa gugup.

Tiba-tiba langkah tegap seorang staf bandara menghampirinya. Pria berseragam rapi itu menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk penghormatan, sebelum menyapa dengan nada sopan.

“Selamat pagi, Nyonya Alexa?” tanyanya sambil memastikan identitas wanita yang duduk itu.

Alexa mengangkat wajahnya, dahi berkerut, jelas bingung. “Ya, saya Alexa. Ada apa?”

“Mohon maaf, Nona Alexa,” ujar staf itu dengan suara diplomatis, “penerbangan Anda telah dialihkan ke pesawat dengan kode LU311.”

Alexa terbelalak kaget. “Dipindahkan? Atas dasar apa saya harus dipindahkan?” Suaranya meninggi sedikit, nada curiga tak bisa disembunyikan. Ia menyipitkan mata, meneliti wajah staf tersebut, berusaha mencari celah dari keterangannya.

Pria berseragam itu tetap tersenyum ramah, meski ada kegugupan samar di balik ekspresinya. “Kami mohon maaf atas pemberitahuan mendadak ini, Nona. Perpindahan dilakukan karena adanya insiden tiket ganda pada penerbangan Anda sebelumnya. Untuk kenyamanan, pihak bandara memutuskan menempatkan Anda di penerbangan khusus LU311.”

Alexa menarik napas panjang, menimbang sejenak. Rasa curiga masih ada, namun ia tidak memiliki cukup alasan untuk menolak. Ia hanya seorang penumpang biasa, dan keputusan ini terdengar seolah demi kenyamanan. “Oh, begitu...” gumamnya pelan. “Baiklah, kalau memang begitu. Pesawatnya yang mana?” tanyanya akhirnya, menyerah pada penjelasan staf tersebut, meski kegelisahan masih melingkupi dirinya.

Dengan senyum profesional, staf itu menunjuk ke arah jalur keberangkatan khusus yang lebih sepi. “Silakan ikuti saya, Nona. Pesawat LU311 sudah menunggu.”

Alexa mengangguk ragu, lalu meraih koper kecilnya. Langkah kakinya mengikuti staf itu.

***

Dari kejauhan, Lucian duduk di kursi empuk kabin pesawat pribadinya. Tatapannya tajam, tak beralih sedikit pun dari sosok wanita yang sedang berjalan bersama staf bandara menuju jalur eksklusif.

“Siapkan kamar VIP,” ucapnya dengan suara berat dan penuh dominasi, seolah setiap katanya adalah titah yang tak bisa dibantah. “Malam ini akan menjadi malam yang panjang, dan aku ingin menikmatinya tanpa gangguan.”

Anak buahnya yang berdiri di sisi kabin segera menunduk hormat. “Baik, Tuan Lucian. Segera kami persiapkan.”

Lucian menyandarkan tubuhnya ke kursi, jemarinya mengetuk perlahan pada sandaran tangan, penuh kesabaran yang terselubung dengan hasrat.

“Ah, Alexa…” gumamnya rendah, nyaris seperti bisikan rahasia yang hanya didengar dirinya sendiri. “Aku sudah tidak sabar. Cepat atau lambat, kau akan benar-benar menjadi milikku. Dan malam ini, kau akan merasakan surga dunia bersamaku!.”