Home / Rumah Tangga / Madu Pilihan Mertua / Bab 2. Membawa sakit hati

Share

Bab 2. Membawa sakit hati

last update Last Updated: 2025-10-27 08:35:57

Maira merasa sesak berada di rumah, wanita itu ingin menghindari lelaki yang sudah tega mengkhianati dirinya untuk beberapa jam saja.

Entah disengaja atau tidak, kaki jenjang Maira memasuki toko perlengkapan anak mulai dari bayi sampai anak usia tujuh tahun di sebuah mall terbesar di kota ini.

Maira tersenyum tipis menyentuh beberapa helai baju bayi yang sangat lembut. Tiba-tiba saja tangan Maira bergerak mengusap perut ratanya.

“Kalau kamu perempuan, pasti akan sangat lucu pakai baju ini, Sayang,” gumam Maira dengan senyum bahagia yang tak dapat disembunyikan.

Maira memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan masalah Revan yang berkhianat. Ia lebih memilih menjaga janinnya baik-baik, lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk Maira berikhtiar menunggu anak yang sedang ia kandung.

‘Bahkan aku rela melepaskan laki-laki itu asalkan anak ini lahir dengan selamat,’ batin Maira.

“Permisi, Kak. Kakaknya mau cari baju bayi?” Seorang gadis yang bekerja di toko itu menghampiri Maira dengan senyum yang sangat ramah.

Maira ikut tersenyum. “Bukan, Kak. Saya cuma mau lihat-lihat dulu, nanti kalau ada yang cocok saya beli.”

Pegawai itu pergi setelah berucap ramah pada Maira. Tapi beberapa saat setelahnya, Maira mendengar suara-suara yang sangat familiar di telinganya.

“Ini baju yang cocok untuk ibu hamil, Riri. Bahannya lembut, pasti selama masa hamil ini baju ini akan sangat nyaman untuk kamu gunakan.”

Maira melihat jelas wanita sudah berumur tengah memberikan beberapa perlengkapan ibu hamil pada seorang wanita yang dipanggil Riri.

Selain menjual barang-barang anak-anak, ternyata di sini juga menyediakan perlengkapan ibu hamil sampai ibu menyusui.

Tapi bukan itu yang menjadi fokus Maira, melainkan sepasang orang tua yang menggandeng bahagia si Riri itu.

“Kalau nanti anak kamu perempuan, Papa akan belikan baju ini untuk dia.” Pria berumur dengan rambut yang sudah memutih semua itu terlihat sangat bahagia memegang baju bayi berwarna pink.

“Bukan, Pa. Anak Riri pasti laki-laki yang akan menjadi seorang pewaris.”

Bagaikan ditikam seribu panah, seluruh tubuh Maira terasa sakit melihat pemandangan di depan sana. Perhatian yang seharusnya menjadi miliknya malah didapatkan oleh wanita lain.

“Aku nggak nyangka, ternyata Mama sama Papa mertua juga mendukung penuh dan juga udah tahu pengkhianatan anak mereka,” lirih Maira.

Sekuat tenaga Maira menahan air matanya. “Aku yang berjuang menemani dari nol sampai dia sukses, anak orang lain yang akan menjadi pewaris dia. Sungguh takdir yang lucu.” Maira terkekeh sinis di balik hatinya yang sangat sakit.

Ayah mertua dan ibu mertua yang selama ini selalu mendesaknya agar hamil lagi tanpa mau tahu penyebab dirinya sempat keguguran sampai sulit hamil lagi gara-gara anak mereka, kini mereka justru sedang berbahagia menjaga kehamilan selingkuhan anak mereka.

“Aku nggak boleh lemah.” Dengan langkah anggun, Maira menghampiri tiga manusia itu.

Maira bisa melihat dengan jelas mertuanya itu begitu terkejut melihat dirinya ada di sana.

“A–Maira, kamu juga ada di sini?” Ayah mertua Maira tergagap dan terlihat pucat seperti seseorang yang tertangkap basah sedang mencuri.

“Seperti yang Papa lihat,” jawab Maira dengan santai dan elegan.

“I-ini istri sepupu jauh Revan, dia sedang hamil dan kami mencarikan hadiah.” Maira tahu ibu mertuanya sedang mengarang bebas.

“Mbak Maira ngapain ada di sini?” Si Riri terang-terangan menatap sinis Maira. “Katanya Mbak nggak bisa hamil lagi ya? Kok berani datang ke tempat ini?” Riri seakan sedang menyombongkan dirinya yang tengah hamil pada seseorang yang selama ini selalu berjuang agar bisa hamil.

Tidak mudah menjadi pejuang garis dua seperti Maira, di saat telah mendapatkan apa yang dia inginkan, sang suami malah berselingkuh dengan wanita spek lintah.

“Aku sadar diri kalau aku ini sulit hamil lagi, tapi bukan berarti nggak bisa hamil lagi kan? Dan untuk tujuan aku ke tempat ini cuma mau beli kado buat temanku yang akan menjadi seorang ibu sebentar lagi,” jawab Maira dengan santai.

Sama sekali Maira tidak terpengaruh dengan semua hinaan Riri tadi. Ia tahu, semakin dia bersikap tenang, maka lawan akan semakin kepanasan.

Maira diam-diam berdecih melihat ayah dan ibu mertuanya yang saling pandang dengan wajah gugup. Mereka seolah takut ketahuan, padahal sebenarnya Maira tahu segalanya.

Riri mengambil dua pasang baju bayi perempuan. “Menurut Mbak Maira, mana yang paling cantik di antara dua baju bayi ini?”

Belum sempat Maira menjawab, Riri sudah berbicara lagi. “Mana mungkin Mbak tahu yang terbaik, Mbak kan belum pernah punya anak.”

Maira tetap tersenyum meskipun hatinya sangat sakit. Bertepatan dengan itu, seorang pria dengan stelan kasualnya masuk dengan begitu percaya diri.

Tapi baru sampai di ambang pintu toko, pria itu langsung memucat melihat istrinya ada di antara Riri dan orang tuanya.

Mata Revan melotot pada ibunya sebagai kode, sedangkan wanita tua itu hanya melemaskan bahu sebagai kode bahwa ini di luar prediksi BMKG—eh, prediksi mereka maksudnya.

Karena sudah terlanjur dilihat oleh Maira, Revan tetap masuk walau dengan langkah yang berat.

“Kebetulan Mas Revan udah datang, menurut Mas Revan baju mana yang paling bagus?” Riri begitu tak tahu malu bertanya seperti itu pada Revan di depan istri sah Revan sendiri.

Para pelakor itu nyatanya memang tak tahu diri dan hatinya sudah mati. Sebagai sesama wanita, bisa-bisanya mereka merebut laki-laki yang jelas-jelas sudah menjadi milik orang lain.

Tapi dalam kasus ini tidak hanya pelakor yang harus disalahkan, tapi juga laki-laki itu sendiri. Jika memang mereka lelaki yang setia, tidak mungkin mereka tergoda.

Revan tidak melirik Riri sedikitpun, Revan langsung menghampiri Maira yang kini terlihat seolah tak tahu apa-apa.

“Sayang, kenapa kamu ada di sini?” tanya Revan begitu lembut.

Revan bersikap seolah tak terjadi apa-apa, sikapnya masih sama seperti saat pertama kali mereka menikah dulu.

Ingin rasanya Maira meludahi wajah pria itu, pandai sekali dia menyimpan bangkai busuk ini walaupun pada akhirnya tetap akan tercium juga.

“Ihk, Mas Revan. Aku nanya kamu loh, mana yang bagus?” Riri cemberut karena diabaikan Revan.

“Kamu pilih sama Mama saja.” Revan melirik Maira. “Sayang, kamu belum jawab loh. Kenapa kamu ada di tempat ini?”

Maira menggeleng sambil tersenyum. “Aku cuma lihat-lihat aja, Mas. Siapa sangka aku malah mendapatkan pelajaran berharga di sini, mungkin aku yang susah hamil ini emang nggak pantas datang ke tempat ini.” Maira sengaja melirik Riri.

Air mata Maira hampir luruh, untung saja ia masih bisa menahannya. Melihat Revan, entah kenapa hatinya menjadi lemah. Selama ini Maira selalu mengadu apa pun itu pada Revan, tapi sekarang tempatnya mengadu itu sudah tidak ada lagi.

Riri yang tak terima diabaikan Revan langsung bertindak. Riri menarik tangan Revan lalu merengek manja. “Ayolah, Mas. Bantu pilihin perlengkapan bayinya.”

Revan mengepalkan tangan. “Itu anak kamu sendiri, kenapa harus ngerepotin aku?”

“Masss!!” Riri semakin bertingkah manja pada Revan di depan mata Maira.

“Kamu bantu saja dia, Mas. Aku permisi!” Maira pergi membawa sakit hati yang tak tertolong lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 5. Kamu hamil?

    Maira menahan perih di setiap langkahnya, tubuhnya gemetar hebat namun ia tetap memaksa untuk berdiri. Kasur sudah penuh darah. Udara kamar menyesakkan dada bagi Maira yang kesakitan sendirian. Dengan tangan gemetar ia meraih ponselnya, memesan taksi daring agar bisa sampai rumah sakit.Maira takut jika terus menahan sakit sendirian, janinnya tidak akan tertolong. Ia pergi dari rumah diam-diam tanpa memberitahu mertuanya karena percuma saja, mereka tidak akan peduli meskipun ia meninggal sendirian di kamar.“Pak, tolong ke rumah sakit terdekat, cepat ya, Pak,” bisiknya lirih begitu ia sudah berada di dalam taksi.Supir itu menatap khawatir saat melihat celana Maira yang sudah basah darah. “Ibu sedang hamil?”“Iya, Pak. Makanya saya minta agar cepat sampai rumah sakit, Pak,” jawab Maira.“Ibu kuat? Suaminya mana, Bu?” Supir taksi itu sangat menyayangkan tidak ada seorang pun keluarga Maira yang mendampingi.“Suami saya sibuk, Pak.”“Sabar ya, Buk.” Supir taksi itu berusaha mempercepat

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 4. Semakin sakit

    Revan langsung membungkuk menyentuh tubuh Maira yang menggigil dan pucat. Napas Maira juga tidak teratur, dengan keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Darah sudah menggenang di kasur di bawah tubuhnya, membuat Revan panik luar biasa.“Sayang, kita ke rumah sakit sekarang!” suara Revan bergetar, tangannya gemetar saat menyentuh lengan Maira.“Mas … tolong … sakit banget,” rintih Maira dengan wajah tegang, bibirnya nyaris tak berwarna. “Aku takut, Mas. Tolong bawa aku sekarang, aku nggak kuat lagi.”Wita berdiri di ambang pintu dengan wajah masam, alih-alih panik, dia justru berdecak. “Aduh, Maira! Jangan seperti orang mau mati cuma gara-gara haid. Baru juga sakit perut dikit udah jerit-jerit minta ke rumah sakit. Malu sama umur!”“Ma!” Revan menoleh seketika dengan mata merah. “Mama nggak lihat darahnya sebanyak ini? Biasanya Maira nggak gini kalau lagi haid, Ma.”“Itu darah haid!” Wita makin tak punya hati. “Dari dulu juga dia tiap bulan drama. Jangan karena sayang sam

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 3. Antara Maira dan Riri

    Revan menatap tajam tiga orang di depan matanya setelah Maira sudah tidak terlihat lagi dari sana. “Kenapa kamu menatap Mama seperti itu, Revan?” Wita, ibu Revan merasa tak nyaman ditatap seperti itu oleh putranya. “Kenapa Maira bisa ada di sini juga?” tanya Revan. Rasanya tadi jantung Revan hampir copot melihat Riri dan Maira ada di tempat yang sama. Revan sangat mencintai Maira, tapi ia juga butuh anak dalam kandungan Riri. “Kami sudah di sini lebih dulu, Van. Kalau kami tahu ada Maira juga di tempat ini, mana mungkin kami ajak Riri belanja ke sini,” jelas Rio, ayah Revan, apa adanya. “Lagian dia ngapain sih ke sini? Udah tahu nggak bisa punya anak, kok berani mengunjungi tempat ini?” Riri begitu angkuh, mentang-mentang dia hamil dan Maira didiagnosis akan sulit untuk hamil lagi. “Kamu sadar apa yang kamu katakan?” Revan tak suka ada seseorang berbicara demikian tentang Maira. “Maira selalu sedih setiap kali ada yang ngomong kalau dia itu nggak bisa punya

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 2. Membawa sakit hati

    Maira merasa sesak berada di rumah, wanita itu ingin menghindari lelaki yang sudah tega mengkhianati dirinya untuk beberapa jam saja.Entah disengaja atau tidak, kaki jenjang Maira memasuki toko perlengkapan anak mulai dari bayi sampai anak usia tujuh tahun di sebuah mall terbesar di kota ini.Maira tersenyum tipis menyentuh beberapa helai baju bayi yang sangat lembut. Tiba-tiba saja tangan Maira bergerak mengusap perut ratanya.“Kalau kamu perempuan, pasti akan sangat lucu pakai baju ini, Sayang,” gumam Maira dengan senyum bahagia yang tak dapat disembunyikan.Maira memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan masalah Revan yang berkhianat. Ia lebih memilih menjaga janinnya baik-baik, lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk Maira berikhtiar menunggu anak yang sedang ia kandung.‘Bahkan aku rela melepaskan laki-laki itu asalkan anak ini lahir dengan selamat,’ batin Maira.“Permisi, Kak. Kakaknya mau cari baju bayi?” Seorang gadis yang bekerja di toko itu menghampiri Maira dengan senyu

  • Madu Pilihan Mertua    Bab 1. Pengkhianatan

    Wanita mana yang tidak akan bahagia saat bisa hamil setelah penantian lima tahun lamanya. Dan sekarang, hal itu dirasakan oleh Maira.Namanya Maira Nayara Adisti. Sejauh ini, Maira merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia. Punya suami baik, kaya raya, dan mencintainya meskipun Maira susah hamil. Sekarang kebahagiaan Maira bertambah saat dokter mengatakan dirinya tengah hamil tiga minggu.“Mas Revan pasti seneng banget saat tau aku hamil.”Sepanjang berjalan di depan ruangan dokter kandungan, Maira tak hentinya tersenyum sambil meraba perut ratanya. Setelah penantian yang begitu lama, akhirnya sekarang Maira bisa memberi sang suami gelar seorang ayah.“Sayang, pelan-pelan jalannya!”Deg!Tubuh Maira membeku ketika melihat seseorang yang amat ia percaya dan selama ini ia kira adalah pria terbaik di dunia, kini sedang berjalan di depan sana menuntun seorang wanita asing. “I-itu nggak mungkin Mas Revan kan?” gumam Maira, mencoba menolak kenyataan di depan matanya.Namun saat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status