LOGINRevan menatap tajam tiga orang di depan matanya setelah Maira sudah tidak terlihat lagi dari sana.
“Kenapa kamu menatap Mama seperti itu, Revan?” Wita, ibu Revan merasa tak nyaman ditatap seperti itu oleh putranya. “Kenapa Maira bisa ada di sini juga?” tanya Revan. Rasanya tadi jantung Revan hampir copot melihat Riri dan Maira ada di tempat yang sama. Revan sangat mencintai Maira, tapi ia juga butuh anak dalam kandungan Riri. “Kami sudah di sini lebih dulu, Van. Kalau kami tahu ada Maira juga di tempat ini, mana mungkin kami ajak Riri belanja ke sini,” jelas Rio, ayah Revan, apa adanya. “Lagian dia ngapain sih ke sini? Udah tahu nggak bisa punya anak, kok berani mengunjungi tempat ini?” Riri begitu angkuh, mentang-mentang dia hamil dan Maira didiagnosis akan sulit untuk hamil lagi. “Kamu sadar apa yang kamu katakan?” Revan tak suka ada seseorang berbicara demikian tentang Maira. “Maira selalu sedih setiap kali ada yang ngomong kalau dia itu nggak bisa punya anak. Kamu tahu kan kalau Maira itu seperti berlian di mata aku.” “Mas, tapi aku bisa ngasih kamu anak. Apalagi sih yang kamu harapkan dari dia?” Riri semakin ngelunjak. “Aku harap kamu sadar diri, Riri. Kamu masih ingat kan kamu itu siapa dan apa perjanjian kita dari awal?” peringati Revan dengan tegas. “Jangan pernah menyimpan perasaan padaku karena sampai kapanpun Maira adalah segalanya untuk aku.” “Revan!” Wita langsung menyela, wanita itu tak suka Revan berbicara seperti itu pada Riri. “Seharusnya yang kamu utamakan itu adalah Riri. Dia sedang mengandung anak kamu.” “Kalau bukan karena paksaan Mama, mana mungkin aku akan mengkhianati Maira dengan wanita seperti dia.” Revan hampir hilang kendali di tempat umum. “Kamu jahat, Mas.” Riri yang merasa sakit hati dengan kata-kata keluar dari bibir Revan berlari pergi meninggalkan toko itu. --- Riri pergi ke tempat yang sepi. Di sana banyak sekali rak-rak penjual tak terpakai, tempat ini sekilas seperti gudang tapi letaknya di lantai paling dasar mal tersebut. Siapa sangka, di sana juga ada Maira. Wanita itu mencari tempat sepi untuk menenangkan diri, sibuk menyesali semua yang sudah terjadi sampai Maira tak sadar sumber masalah terbesar yang membuat hidupnya seperti ini juga mendatangi tempat itu. Maira termenung, berdiri di balik rak besi yang setinggi tubuhnya. Ia sibuk menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya Maira tak pernah terlalu mencintai seseorang sedalam ini, seharusnya ia tak pernah percaya sepenuhnya pada seseorang sampai lupa harus menaruh sedikit ruang untuk kecewa. Ternyata memang benar, rasa sakit yang ditorehkan oleh seseorang yang paling kita sayang itu benar-benar sakit yang luar biasa. “Waw, ternyata kamu juga di sini, Mbak Maira?” Deg! Maira tertegun melihat sosok Riri berdiri di depannya dengan gaya yang begitu angkuh. Riri seperti seseorang yang ingin pamer kehamilan pada Maira yang sudah didiagnosis susah hamil. “Segitu tertariknya kamu dengan hidup aku sampai kamu menginginkan sesuatu yang sudah aku miliki?” sindir Maira dingin. “Mbak Maira, seharusnya kamu sadar diri. Kamu itu nggak bisa ngasih Mas Revan keturunan, mending nyerah aja. Mbak udah lihat langsung loh waktu di rumah sakit kalau aku ini sedang mengandung anaknya Mas Revan.” Riri tersenyum sombong sambil mengusap perutnya. “Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak peduli juga sih. Btw, selamat buat kehamilan kamu. Tapi tadi kamu lihat sendiri kan gimana Mas Revan dan orang tuanya takut ketahuan.” Maira membalas setiap kalimat Riri dengan tak kalah pedas. “Udahlah, Mbak. Kamu itu mandul, nggak usah sok penting gitu di mata Mas Revan. Kamu lihat aja, Mbak. Sebentar lagi pasti Mas Revan akan ninggalin kamu dan milih hidup sama aku.” Riri melipat tangan di dada, senyum miringnya tidak membuat Maira panas sedikit pun. “Jika dia memang memilih kamu sepenuh hatinya dan bisa bahagia hidup bersama kamu, maka akan saya lepaskan dia. Tapi asal kamu tahu satu hal, Mas Revan masih sangat mencintai saya.” Maira membalas dengan senyum, tapi kata-katanya berhasil memancing emosi lawannya. “Maira!” Dua wanita itu saling pandang mendengar suara laki-laki yang menjadi sumber penyakit di antara mereka. “IYA, MAS. AKU DI SINI.” Maira sengaja menyahut agar Revan menyusul ke sana dan dia bisa pergi setelah terbebas dari si pelakor itu. Tiba-tiba saja Riri tersenyum miring. “Mari kita buktikan, Mbak. Kira-kira siapa yang akan dipedulikan oleh Mas Revan?” Maira melihat Riri memegang rak besi di samping mereka. Dari ancang-ancangnya, Maira tahu Riri akan merebahkan rak itu dan jika Revan datang maka Revan pasti akan menyelamatkan salah satu dari mereka yang Revan anggap paling penting. ‘Aku ikuti saja permainan dia. Aku penasaran, apakah aku masih penting di mata Mas Revan atau sudah tidak berarti lagi,’ batin Maira dengan tangan terkepal. Ia harus siap dengan kenyataan apa pun jika nanti suaminya lebih memilih Riri. “Loh, kalian kok di sini—” Belum sempat Revan menyelesaikan kalimatnya, pria itu melotot melihat rak di depan sana akan roboh. Itu hanya rak besi tempat hanger baju-baju yang akan dijual, tapi jika sempat mengenai seseorang maka akan sakit juga, apalagi jika menimpa ibu hamil. Tanpa ragu Revan menarik Riri agar tidak tertimpa rak itu. Brak! “Arghhh!” Akhirnya rak besi itu roboh menimpa perut Maira yang jelas-jelas juga tengah mengandung. “Kamu nggak apa-apa?” Yang Revan khawatirkan justru Riri. Bukan Riri, lebih tepatnya Revan tidak ingin anak dalam kandungan Riri kenapa-napa. Padahal yang kesakitan adalah Maira yang juga tengah mengandung anak Revan. “A-aku nggak apa-apa, Mas.” Riri sok ketakutan di depan Revan dan diam-diam tersenyum penuh kemenangan menatap Maira yang tengah kesakitan sambil memegang perutnya. “Astaga, Sayang.” Setelah beberapa menit berlalu, barulah Revan sadar Maira masih tertimpa rak besi tadi tepat di bagian perut. “Sakit, Mas,” rintih Maira, perutnya benar-benar sakit dan ia takut janin dalam perutnya kenapa-napa. “Maaf, Sayang. Harusnya tadi aku nolongin kamu lebih dulu.” Revan merasa bersalah sampai matanya berkaca-kaca. Revan memang secinta itu pada Maira. Dia memelihara Riri hanya demi mendapatkan anak dari wanita itu, itupun atas sebuah kesepakatan dan paksaan dari orang tuanya yang mendesak ingin mendapatkan pewaris. “Kita pulang sekarang.” Tanpa basa-basi Revan langsung menggendong Maira. “Lalu aku gimana, Mas?” Riri sudah kepanasan melihat perhatian Revan untuk Maira. “Pulang sama Mama,” balas Revan tanpa menoleh, pria itu benar-benar membawa istrinya pulang. --- Sampai rumah, Maira langsung istirahat meskipun perutnya makin sakit. Sampai malam datang, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi dalam setiap detiknya. Revan berada di luar bersama orang tuanya. “Kenapa kamu meninggalkan Riri dan lebih mementingkan Maira?” Wita tak suka Revan lebih peduli pada Maira yang ia sangka mandul. “Dia istri aku, Ma,” balas Revan dengan tegas. “Istri yang tidak berguna maksud kamu.” Wita masih menghasut putranya. “Jangan lupa kalau dari awal Riri itu hanya seorang wanita bayaran. Aku nggak pernah berniat selingkuh dari Maira dan sampai kapanpun Maira akan menjadi nyonya satu-satunya di sini. Mulai sekarang kalian yang urus Riri, aku mau lebih fokus sama Maira dan rumah tangga kami,” ujar Revan. Kita tidak tahu apakah Revan benar-benar bisa membuktikan semua kalimatnya hari ini. “MAS, TOLONG!” “Maira!” Revan langsung berlari ke dalam kamar setelah mendengar sang istri minta tolong. Wita dan Rio otomatis ikut menyusul Revan. Sesampainya di kamar mereka kaget melihat Maira sudah merintih memegang perutnya dan kasur di bawahnya sudah penuh dengan darah.Maira menahan perih di setiap langkahnya, tubuhnya gemetar hebat namun ia tetap memaksa untuk berdiri. Kasur sudah penuh darah. Udara kamar menyesakkan dada bagi Maira yang kesakitan sendirian. Dengan tangan gemetar ia meraih ponselnya, memesan taksi daring agar bisa sampai rumah sakit.Maira takut jika terus menahan sakit sendirian, janinnya tidak akan tertolong. Ia pergi dari rumah diam-diam tanpa memberitahu mertuanya karena percuma saja, mereka tidak akan peduli meskipun ia meninggal sendirian di kamar.“Pak, tolong ke rumah sakit terdekat, cepat ya, Pak,” bisiknya lirih begitu ia sudah berada di dalam taksi.Supir itu menatap khawatir saat melihat celana Maira yang sudah basah darah. “Ibu sedang hamil?”“Iya, Pak. Makanya saya minta agar cepat sampai rumah sakit, Pak,” jawab Maira.“Ibu kuat? Suaminya mana, Bu?” Supir taksi itu sangat menyayangkan tidak ada seorang pun keluarga Maira yang mendampingi.“Suami saya sibuk, Pak.”“Sabar ya, Buk.” Supir taksi itu berusaha mempercepat
Revan langsung membungkuk menyentuh tubuh Maira yang menggigil dan pucat. Napas Maira juga tidak teratur, dengan keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipisnya. Darah sudah menggenang di kasur di bawah tubuhnya, membuat Revan panik luar biasa.“Sayang, kita ke rumah sakit sekarang!” suara Revan bergetar, tangannya gemetar saat menyentuh lengan Maira.“Mas … tolong … sakit banget,” rintih Maira dengan wajah tegang, bibirnya nyaris tak berwarna. “Aku takut, Mas. Tolong bawa aku sekarang, aku nggak kuat lagi.”Wita berdiri di ambang pintu dengan wajah masam, alih-alih panik, dia justru berdecak. “Aduh, Maira! Jangan seperti orang mau mati cuma gara-gara haid. Baru juga sakit perut dikit udah jerit-jerit minta ke rumah sakit. Malu sama umur!”“Ma!” Revan menoleh seketika dengan mata merah. “Mama nggak lihat darahnya sebanyak ini? Biasanya Maira nggak gini kalau lagi haid, Ma.”“Itu darah haid!” Wita makin tak punya hati. “Dari dulu juga dia tiap bulan drama. Jangan karena sayang sam
Revan menatap tajam tiga orang di depan matanya setelah Maira sudah tidak terlihat lagi dari sana. “Kenapa kamu menatap Mama seperti itu, Revan?” Wita, ibu Revan merasa tak nyaman ditatap seperti itu oleh putranya. “Kenapa Maira bisa ada di sini juga?” tanya Revan. Rasanya tadi jantung Revan hampir copot melihat Riri dan Maira ada di tempat yang sama. Revan sangat mencintai Maira, tapi ia juga butuh anak dalam kandungan Riri. “Kami sudah di sini lebih dulu, Van. Kalau kami tahu ada Maira juga di tempat ini, mana mungkin kami ajak Riri belanja ke sini,” jelas Rio, ayah Revan, apa adanya. “Lagian dia ngapain sih ke sini? Udah tahu nggak bisa punya anak, kok berani mengunjungi tempat ini?” Riri begitu angkuh, mentang-mentang dia hamil dan Maira didiagnosis akan sulit untuk hamil lagi. “Kamu sadar apa yang kamu katakan?” Revan tak suka ada seseorang berbicara demikian tentang Maira. “Maira selalu sedih setiap kali ada yang ngomong kalau dia itu nggak bisa punya
Maira merasa sesak berada di rumah, wanita itu ingin menghindari lelaki yang sudah tega mengkhianati dirinya untuk beberapa jam saja.Entah disengaja atau tidak, kaki jenjang Maira memasuki toko perlengkapan anak mulai dari bayi sampai anak usia tujuh tahun di sebuah mall terbesar di kota ini.Maira tersenyum tipis menyentuh beberapa helai baju bayi yang sangat lembut. Tiba-tiba saja tangan Maira bergerak mengusap perut ratanya.“Kalau kamu perempuan, pasti akan sangat lucu pakai baju ini, Sayang,” gumam Maira dengan senyum bahagia yang tak dapat disembunyikan.Maira memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan masalah Revan yang berkhianat. Ia lebih memilih menjaga janinnya baik-baik, lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk Maira berikhtiar menunggu anak yang sedang ia kandung.‘Bahkan aku rela melepaskan laki-laki itu asalkan anak ini lahir dengan selamat,’ batin Maira.“Permisi, Kak. Kakaknya mau cari baju bayi?” Seorang gadis yang bekerja di toko itu menghampiri Maira dengan senyu
Wanita mana yang tidak akan bahagia saat bisa hamil setelah penantian lima tahun lamanya. Dan sekarang, hal itu dirasakan oleh Maira.Namanya Maira Nayara Adisti. Sejauh ini, Maira merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia. Punya suami baik, kaya raya, dan mencintainya meskipun Maira susah hamil. Sekarang kebahagiaan Maira bertambah saat dokter mengatakan dirinya tengah hamil tiga minggu.“Mas Revan pasti seneng banget saat tau aku hamil.”Sepanjang berjalan di depan ruangan dokter kandungan, Maira tak hentinya tersenyum sambil meraba perut ratanya. Setelah penantian yang begitu lama, akhirnya sekarang Maira bisa memberi sang suami gelar seorang ayah.“Sayang, pelan-pelan jalannya!”Deg!Tubuh Maira membeku ketika melihat seseorang yang amat ia percaya dan selama ini ia kira adalah pria terbaik di dunia, kini sedang berjalan di depan sana menuntun seorang wanita asing. “I-itu nggak mungkin Mas Revan kan?” gumam Maira, mencoba menolak kenyataan di depan matanya.Namun saat







