"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya.
"Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa. Kriiiieeek, "Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu. "Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang. Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber suara bu Sukma. "Loh, buk... Ya Allah, mbak Zahra kenapa bu?" Dinda mendadak panik. dia berlari ke ambang pintu melihat kakak iparnya tergeletak disana. "Kenapa mbak Zahra, bu ?" tanya Dani. "Nggak tahu. Wes ayo angkat dulu ke atas, kasihan mbak mu," ucap Bu Sukma. Dinda dan Dani bekerjasama membopong tubuh Zahra. Dani di bagian atas, dan Dinda di bagian bawah, "loh, buk kok rok nya mbak Zahra basah ?" ucap Dinda setelah mengangkat tubuh kakak iparnya. Setelah mereka merebahkan Zahra ke sofa, Dinda baru menyadari sesuatu hal, "astagfirullah,... Ibuk ! Kok ada darah ?" Dinda kaget. dia semakin panik begitu melihat darah yang berasal dari rok kakak Iparnya. "Ya Allah, iya nduk. Ayo, ayo kita bawa ke rumah sakit saja. Nduk, awakmu ndek rumah jaga arek arek yo," ucap Bu Sukma dengan nada cemas. Dinda pun mengangguk walau sebenarnya dia juga ingin ikut. "Nggih, buk." ucap Dinda. Dengan cekatan, Dani mengeluarkan mobil panther merah peninggalan almarhum Ayahnya. Lantas ia bergegas mengangkat tubuh kakak iparnya dan membawanya ke mobil. Sementara Bu Sukma mengekorinya dari belakang sembari menenteng tasnya. Mobil melaju dengan kecepatan cepat membelah kemacetan kota akibat perbaikan jalan. Beruntungnya, mobil tua nya itu masih bisa di ajak kerja sama, walau belakangan ini agak rewel. Wajar, namanya juga mobil tua, di era gempuran mobil-mobil mewah, mobilnya ini juga masih bisa bersaing tentunya lebih melegenda. "Le... Jangan ngebut-ngbut le, takut ibuk." "Iya buk, ini hati-hati kok. Takut nanti mbak Zahra semakin kehabisan darah," ucap Dani. Ia tetap melajukan mobilnya dengan cepat tapi tepat. Tepat jam dua belas kurang seperempat mobil Dani tiba di depan ruang UGD, kedua perawat pun datang dengan mendorong brankar lalu membawa Zahra masuk ke UGD. Satu perawat lagi menemui Bu Sukma untuk meminta keterangan. "Saya nggak tau mbak, dia baru pulang pas saya buka pintu dia langsung semaput. Kata anak Gadisku tadi, ada darah di roknya." "Pendarahan ? Apa mbak nya sedang hamil, bu ?" "Duh, nggak tahu saya e mbak. Zahra belum cerita apa-apa e. Biasanya kalau dia hamil pasti langsung cerita. Ndak tahu nek ternyata misal belum cerita." "O, ya sudah bu. Terimakasih, kami cek dulu ya bu," "Oh, iya mbak. Tolong ya mbak," ucap Bu Sukma dengan cemas. Karena memang waktu sudah hampir tengah malam, jadi tidak ada dokter. Hanya ada beberapa perawat yang jaga IGD 24 jam di Klinik terdekat sini. Beruntungnya pendarahan Zahra segera berhenti setelah Ia mendapat penanganan pertama. "Gimana mbak, anak saya ?" "Alhamdulillah, mbak nya sudah sadar bu," Setelah perawat pergi Bu Sukma di izinkan masuk. Sementara Dani di suruh pulang ibunya menemani Dinda di rumah. Khawatir jika dua anak Nadia rewel dan Dinda kewalahan. "Nduk, gimana? Yang kamu rasakan gimana? Mana yang sakit?" tanya Bu Sukma pada menantunya. "Nggak apa, buk. Zahra cuma kecapekan aja. Ini juga sudah enakan. Pulang aja yuk," "Hus, istirahat sik. Besok ketemu dulu sama dokternya baru boleh pulang. Pake bobok dulu," "Tapi anak-anak gimana buk?" "Wes, Aman ndak usah mbok pikirin. Sama Dinda dan Dani." Zahra mengangguk. Matanya tampak sendu. "Nduk... Ono opo ? Cerita o sama ibuk. Ojo kok pendem dewe. Lihat o, awakmu nggak kuat iki. Ojok stres, cerita o," "Buk... Hiks," Seketika tangis Zahra pun pecah. Isaknya terdengar pilu, Bu Sukma tampak mengelus pundak menantunya dan menunggu ia sampai tenang. "Buk... Mas Dimas," "Yok onok opo ro Dimas, nduk ? Awakmu di apain ?" "Mas Dimas nikah lagi buk, sama perempuan lain di sana." "Hus, ojok ngawur ta ! Nggak lucu lho bercanda ne." "Buk, Zahra tidak sedang bercanda. Mas Dimas sendiri yang mengatakannya kemarin. Bahwa dia sudah menikahi wanita asal Bogor saat mereka sama sama kuliah disana. " "Astagfirullahal'adzim... Allahu Robbi.. Ya Allah nduk... Kok kebangeten... Astaghfirullah... Wong edyan ! Astagfirullah, ya Allah," ucap Bu Sukma sembari mengelus dadanya. Tak menyangka jika anaknya nekat melakukan itu. Dua tahun yang lalu, Dimas memang sempat meminta izin padanya untuk menikah lagi. Tapi Bu Sukma enggan memberi izin. Awalnya Bu Sukma pikir, setelah Dimas tidak mendapat restu darinya, Dia tidak akan melanjutkan niatnya. Nyatanya malah Dimas tidak mengindahkan ucapan ibunya. Bu Sukma tak pernah menaruh curiga selama ini, ternyata malah sudah terjadi sejak dua tahun lamanya. Air matanya kini ikut menangis. Terus terang perasaannya kini serba salah, "Nduk... Ya Allah nduk... Nduk, maafin Dimas yo nduk. Awakmu ojok nyerah pokok e. Wes, nanti Dimas tak Hajar e. Kebangeten memang tu anak ! Awakmu kuat ya nduk, kuat. Ibuk rak sudi, punya mantu selain kamu. Astagfirullah, astagfirullahal'adzim..." ucap Bu Sukma Murka sembari menagisi tindakan anaknya yang baginya itu sangat memalukan. Lain hal dengan Dimas yang kini kalang kabut di tinggal oleh Zahra. Sampai detik ini pun, dia belum bisa meluluhkan hatinya kembali walau Zahra tadi sudah mengatakan menerima pernikahannya dengan Nisa. Pikirannya runyam. Rangkaian cerita yang terjadi hari ini terus saja menghantuinya. Andai saja tadi dia tidak kalap terbawa emosi, mungkin malam ini Zahra masih di rumah. Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi yang... *** "Endaaaa... Nda..." Gadis kecil bermata coklat itu baru saja terbangun dari tidurnya. Ia berjalan keluar kamar sembari memegangi botol susu kosong dan mencari keberadaan Bundanya yang ternyata sudah pergi satu jam yang lalu. "Yah... Nda kemana ?" tanyanya. Dimas yang sedari tadi sibuk bersama ponselnya itu pun menoleh sekilas. "Bunda lagi keluar, dik. Kenapa ?" "Wawa mau susu... " "Iya, sebentar ya. Tunggu Bunda," ucap Dimas sembari meraih kembali ponselnya. Sejak tadi pikirannya sedang kacau sebab pertengkaran dengan Zahra, di tambah lagi juga pertengkaran dengan Nisa yang bersamaan. "Hiks... Hiks... Maunya sekarang... " rengek Zahwa. "Ssssss, ck. Iya iya iya, bentar Ayah buatin dulu. Tunggu, jangan nangis, berisik." Akhirnya Dimas berjalan ke dapur untuk membuatkan Zahwa susu. Tapi, saat pertengahan proses membuat susu, lagi-lagi Zahwa menangis karena kesusahan melepas celananya. "Ayah... Ayah, pipis... " "Iya sana pipis dulu a," "Nggak bisa yah. Nggak bisa. Hua... Udah basah. Bunda... Hua..." "Ck" Dimas pun meninggalkan kompornya yang masih menyala untuk mendekati Zahwa, "Astaga, dik... Kok ngompol sih ? Basah semua kan jadinya." "Huaaaa... " Zahwa menangis lagi lebih kencang karena merasa di marahi oleh Ayahnya. "Duh, malah nangis kamu itu. Duh... Ya ya bentar Ayah ambil susunya dulu, nanti Ayah ganti celananya." Dimas kembali lagi ke dapur, mematikan kompor dan membuat susu untuk Seina. "Nih, susu nya di minum dulu ayah ambil kan celana. Jangan pindah dari situ, nanti lantainya jadi najis semua." ucap Dimas. Zahwa menerima botol susunya. Tapi baru di minum satu seruputan, tiba-tiba botol susunya di lempar ke tembok hingga bolong dan tumpah semua susu. "Astaga, Zahwa ! Kenapa di buang susunya. Itu Ayah bikinnya susah payah tau. Kamu buang gitu aja. apa maksudmu ?" "Huaaaa... Asin... Hua..." Zahwa kembali menangis dan berbarengan dengan suara dering ponsel Dimas yang berbunyi terus menerus hingga membuat pikiran Dimas semakin kalut. "Haaaaiiish !" Dimas mengusap kepalanya dengan kasar, lalu mengangkat tubuh Zahwa ke kamar mandi mereka. Dan di kamar mandi, lagi-lagi dia di buat emosi dengan perbuatan Rayyan. "Astagfirullah kak Ray. Apa yang kamu lakukan ?!" Dimas menurunkan Zahwa dan mendekati Rayyan. Rayyan tampak sedang berusaha membenarkan kran kamar mandinya yang patah akibat kesenggol saat ia bermain di kamar mandi. Air keran itu tumpah kemana-mana hingga membuat Dimas makin emosi. "Maaf Ayah... " "Astaga Ray. Tingkahmu itu lo, selalu saja begitu. Berapa kali Ayah bilang, yang bukan mainan itu jangan di pakai mainan !" reflek Dimas memukul kepala Rayyan dengan gayung. Sontak anak tujuh tahun itu menangis kejer. Ini pertama kalinya Ayahnya main tangan dengannya. Bahkan, baru kali ini juga Rayyan melihat Dimas marah hingga ia sangat ketakutan. Biasanya, ayahnya bak malaikat yang selalu menolongnya saat di omelin Bunda. Ayahnya yang selalu memujanya dengan caranya. Selalu memberinya perhatian lebih, bahkan anak-anak seusianya saja iri padanya. Walau sering LDR, tapi ketika pulang kerumah, kasih sayangnya selalu full tanpa batas. Hanya Hari ini saja terasa berbeda, hingga Rayyan pun berpikir, memang Rayyan lah yang nakal hingga Ayahnya marah. Tangisan Rayyan dan Zahwa jadi beriringan hingga membuat Dimas semakin emosi, "DIAM !" gayung itu pun terangkat kembali dan hampir saja, "Astagfirullah, Mas !!! " "Aaagrrh.. Nggak, nggak. Ini nggak boleh berlarut larut. Ya, aku harus mencari mereka sekarang, harus." Setelah Hakim tersadar dari lamunannya, ia pun segera bergegas ke garasi untuk mengambil mobilnya. Ya, malam ini ia memutuskan untuk mencari Zahra dan anak-anak. Ia yakin tak jauh. Kemana lagi Zahra pergi kalau bukan ke rumah ibunya. Kemana lagi, Dia tak punya siapa siapa. Tok tok tok tok... "Buk... Dinda... " Tok tok tok... Beberapa kali Dimas mengetuk pintu, hingga ketukan ke empat, baru nampak wajah cantik adiknya yang tampak sendu. "Loh, mas ?" "Din, Mbak Zahra di sini ?" "Eum... Baru aja di bawa Mas Dani sama ibuk ke Rumah sakit." "Rumah sakit ?" Memangnya Zahra kenapa?" "Nggak tahu o mas, tadi ada banyak darah juga di rok mbak Zahra." "Ya Allah, Zahra. Ya sudah, aku nyusul ibuk dulu ya Din. Anak-anak sama kamu kan ?" "Iya mas," Dimas pun kembali mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beruntung jalanan sepi, karena memang sudah masuk tengah malam. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang kebetulan lewat. Hingga tiba di sebuah rumah sakit yang di infokan oleh Dinda. Dimas melangkah cepat menuju ruang dimana Zahra mendapat penanganan. Jantungnya berdegup kencang, kala ia memegang hendle pintu dan membukanya, "Wes merasa hebat awakmu iso nyanding bojo loro ?" (Sudah merasa hebat kamu menikah India wanita?) "I i ibuk ?""Maaf, kalau di mata ibuk Zahra sudah sangat lancang ya, Zahra tampak bukan wanita baik baik ya Buk ? Maaf, di sini Zahra juga butuh bertahan hidup. Kalau hanya nungguin mas Dimas, mengandalkan Mas Dimas. Zahra... Ya Zahra nggak bisa apa-apa. Anak anak Zahra butuh makan, butuh biaya sekolah, keperluan harian mereka. Dan aku juga butuh itu juga. Aku paham kok, paham kalau aku masih masa Idah. Tapi bukan berarti aku harus diam di rumah kan? Dengan kondisi yang tidak memungkinkan. Apa iya aku biarkan anak aku kelaparan, apa iya aku biarkan anak aku putus sekolah, kan ibu tahu, semua tabungan Zahra serahkan ke ibuk untuk berobat Mas Dimas. Mas Dimas sekarang tidak bekerja, lantas kita dapat nafkah dari mana? Dari Dani memang punya inisiatif untuk memberi anak anak Nafkah. Itu sangat membantu untuk kami tapi tidak mengcover semuanya Buk. Biaya sekolah mereka mahal. Dan soal Zahra yang sakit tidak memberi kabar ibuk ataupun Mas Dimas, itu memang kemauanku sendiri. Karena apa, karena aku tid
Jam setengah tiga, Resti dan Dani pamit pulang, karena sebentar lagi Rayyan dan Zahwa pulang sekolah. Zahra mendaftarkan mereka sekolah yang Full day hingga jam empat baru pulang. Sementara Zahra di rumah sakit, ia menitipkan anak anak pada Dani dan Resti. Mereka berjaga bergantian. "Kamu tidur aja dulu Za, nanti jam tujuh kamu akan menjalani kuretase," ucap Zean. Zean yang menemaninya di rumah sakit. Zahra mengangguk pelan dalam keadaan mata terpejam dan merasakan kontraksi lagi. Sakitnya sedari tadi hilang timbul yang membuat dia terus mengatur nafasnya.***Sudah sejak tiga hari proses kuretase Zahra. Hari ini, keadaan Zahra sudah cukup baik, hingga ia memaksa meminta untuk pulang. Bukan hanya karena keadaannya yang sudah membaik, sungguh ia sangat rindu dengan anak anaknya."Kamu beneran mau pulang sekarang, Za? Kamu udah kuat beneran? Tapi kamu masih pucat lho""Nggak apa apa. Aku sudah kuat kok, Zean. Ada anak anak yang sedang nunggu aku di rumah. Aku juga kangen banget sama m
"Jadi, kamu serius mau menikah dengan Dani, Res?""Ya serius, Za... Dia bilang nggak mau pacaran, langsung mau melamarku. Aku bisa apa? Aku udah janji pada diriku, jika ada yang melamarku, aku akan menerimanya dengan lapang dada. Dan... Ternyata dia duluan yang Lamar aku. Jadi ya... " ucap Resti sembari memandang Zahra dan Zean bergantian."Ya Allah Resti... Aku seneeeeng banget akhirnya kamu mau mengakhiri masa lajangmu. Aku bener bener nggak nyangka kalau endingnya kamu beneran sama si bocah ingusan itu""Hahahaha, ya Alloh, ingusan dong.""Kamu sendiri dulu yang bilang ingusan. Dulu waktu aku masih serumah sama ibuk kalau kamu main kan sering godain dia. Waktu itu dia masih SMP kan. SMP apa SMA ya.. Itu deh pokoknya.""Hahahaha, iya ya Allah... Tapi btw, kelihatan banget ya? Kalau tuaan aku.""Enggak kok enggak. Dari tampilan masih kayak sepantaran. Tenang aja. Kalau sifat, aku jamin, beda banget 180 derajad sama kakaknya. Dani itu lebih dewasa, dia lebih ke bapak an sih auranya da
"Ndak apa Mang, makasih ya. Misi, saya duluan ya, Assalamu'alaikum."Seperti biasa, kini bu Sukma pulang dengan kondisi hati yang terluka. Tapi sudah bukan yang pertama kalinya sehingga ia tak kaget dan tak heran."Buk, ibuk nangis lagi?" tanya Dinda yang duduk di teras. Ia melihat ibunya dari kejauhan dengan wajah sedih, ia langsung berdiri dan menghampirinya."Ah ndak kok nduk," Bu Sukma buru buru mengusap air dari matanya."Ibuk ndak usah bohong, Dinda tuh tahu betul hatinya ibuk,""Ndak nduk, ini tadi ibuk hanya kelilipan saja kok,""Ck. Ndak mungkin... Mata Di nda masih normal buk, belum minus. Dinda liat sendiri ibuk usap air mata dari kejauhan habis nangis kok! Kenapa lagi to? Mesti omongan omongan tetangga ya? Emang bener bener sih tetangga, julid mulu kerjaannya. Udah biar Dinda kasih paham itu mereka, kalau perlu sekalian Dinda colok matanya biar di buka lebar lebar!" Ucap Dinda, lalu ia menyingsingkan lengannya dan hendak nekat pergi."He he hei, jangan ndak usah, mau keman
"Boleh Pak, Mbak nya sudah sadar kok. Tapi masih lemas. Mohon jangan membuatnya stres ya Pak, pasien masih rawan," ucap Perawat itu Dan membuat Zean mengurungkan niatnya untuk memberitahu kondisi yang seseungguhnya."Hai... " sapa Zean. "Eh, Zean Kamu masih disini? Makasih ya, kamu dah nolongin aku.""Ya gimana ya, masak aku biarin karyawan aku sekarat ditempat. Kalau lewat kan gak lucu, nanti beredar berita viral, seorang karyawan perusahaan XX di paksa kerja rodi hingga kehilangan nyawa. Hahahaha.""Astaga Zean... !!! Ih, kebiasaan. Nggak bisa di ajak serius!""Lho bisa kok, bisa. Ayo kapan, aku siap aja sih kalau mau serius. Sekarang? Kebetulan KUA nya udah buka sih," ucap Zean"Zean, astagfirullah ni anak ya, bisa bisanya. Cocok deh kamu daftar jadi anggota lawak club.""Hehehe, ya biar kamu nggak sepaneng terus Za. Senyum gitu lo. Aku lihat belakangan kamu murung, murung terus... Aku sampai lupa wajah senyummu. Sini Za, bagi sama aku bebanmu. Jangan di pikul sendiri. Jangan nyi
Sementara itu, Zahra masih fokus dengan pekerjaannya. Kini dia mulai profesional dan menggeluti pekerjaannya. Seperti biasa, seusai mengurusi anak anak dan mengantarnya ke sekolah dia lanjut ke kantor tempat kerjanya sekarang.Ia tengah duduk di depan laptop menghadapi tulisan tulisan di depannya."Loh, Za? Kamu baik baik saja kan?" tanya Zean yang baru berkunjung ke kantor Ayahnya."Eh Zean?""Kamu pucat banget lho Za? Kamu sakit? Kalau sakit mendingan istirahat di rumah saja deh, ayo aku antar pulang sekarang,""Ah, enggak enggak Zean, aku baik baik saja kok. Tak apa ini kerjaanku masih banyak. Lagi bikin laporan.""Tapi kamu pucet banget lho, Za.""Sssss," Zahra tampak memegangi perutnya."Za, beneran deh, jangan di paksa kalau sakit, mana yang sakit, Za? ""Perut aku yang sakit, Zean. Dikit sih. Insyaallah nggak apaapa ""Pucet banget kamu itu, ayo deh dari pada nanti kamu kenapa napa,""Auuuh, huffff," Zahra tampak mengatur nafasnya."Nah kaaan!!! ""Tadi masih bisa ku tahan, Ze