Home / Rumah Tangga / Madu Suamiku / Murka Ibu Mertua

Share

Murka Ibu Mertua

Author: Aisyah Ahmad
last update Last Updated: 2025-01-23 09:54:11

"Assalamu'alaikum, bu... Ibuk... " ucap Zahra sembari mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan. suaranya terdengar parau. Tiba-tiba saja, dia merasa tubuhnya panas. Pandanganya mulai buram setelah sebelumnya ia merasa sakit kepala dan kram di perutnya.

"Assalamu'alaikum... " Kali ini Zahra berteriak lebih keras. Beruntung Bu Sukma segera mendengarnya dan bergegas membuka pintu setelah menidurkan Zahwa ke kamar biasa.

Kriiiieeek,

"Astagfirullahal'adzim, ya Allah nduk !" Zahra langsung luruh ke lantai begitu Bu Sukma membuka pintu.

"Ya Allah Gusti. Daan... Dani! Dinda! Buruan kesini, mbak mu pingsan ini," teriak Bu Sukma.

Jam menunjukkan pukul 11 malam. Semua pintu rumah warga sudah terkunci rapat termasuk rumah Bu Sukma. Bu Sukma pikir Zahra tidak jadi menginap di rumahnya. jadi ia mengunci pintu rumahnya tanpa menunggu Zahra pulang.

Dani dan Dinda yang baru saja memejamkan matanya itu langsung kaget saat mendengar teriakan Ibunya. Keduanya segera keluar kamar dan mencari sumber suara bu Sukma.

"Loh, buk... Ya Allah, mbak Zahra kenapa bu?" Dinda mendadak panik. dia berlari ke ambang pintu melihat kakak iparnya tergeletak disana.

"Kenapa mbak Zahra, bu ?" tanya Dani.

"Nggak tahu. Wes ayo angkat dulu ke atas, kasihan mbak mu," ucap Bu Sukma.

Dinda dan Dani bekerjasama membopong tubuh Zahra. Dani di bagian atas, dan Dinda di bagian bawah, "loh, buk kok rok nya mbak Zahra basah ?" ucap Dinda setelah mengangkat tubuh kakak iparnya. Setelah mereka merebahkan Zahra ke sofa, Dinda baru menyadari sesuatu hal, "astagfirullah,... Ibuk ! Kok ada darah ?" Dinda kaget. dia semakin panik begitu melihat darah yang berasal dari rok kakak Iparnya.

"Ya Allah, iya nduk. Ayo, ayo kita bawa ke rumah sakit saja. Nduk, awakmu ndek rumah jaga arek arek yo," ucap Bu Sukma dengan nada cemas. Dinda pun mengangguk walau sebenarnya dia juga ingin ikut.

"Nggih, buk." ucap Dinda.

Dengan cekatan, Dani mengeluarkan mobil panther merah peninggalan almarhum Ayahnya. Lantas ia bergegas mengangkat tubuh kakak iparnya dan membawanya ke mobil. Sementara Bu Sukma mengekorinya dari belakang sembari menenteng tasnya.

Mobil melaju dengan kecepatan cepat membelah kemacetan kota akibat perbaikan jalan. Beruntungnya, mobil tua nya itu masih bisa di ajak kerja sama, walau belakangan ini agak rewel. Wajar, namanya juga mobil tua, di era gempuran mobil-mobil mewah, mobilnya ini juga masih bisa bersaing tentunya lebih melegenda.

"Le... Jangan ngebut-ngbut le, takut ibuk."

"Iya buk, ini hati-hati kok. Takut nanti mbak Zahra semakin kehabisan darah," ucap Dani. Ia tetap melajukan mobilnya dengan cepat tapi tepat.

Tepat jam dua belas kurang seperempat mobil Dani tiba di depan ruang UGD, kedua perawat pun datang dengan mendorong brankar lalu membawa Zahra masuk ke UGD. Satu perawat lagi menemui Bu Sukma untuk meminta keterangan.

"Saya nggak tau mbak, dia baru pulang pas saya buka pintu dia langsung semaput. Kata anak Gadisku tadi, ada darah di roknya."

"Pendarahan ? Apa mbak nya sedang hamil, bu ?"

"Duh, nggak tahu saya e mbak. Zahra belum cerita apa-apa e. Biasanya kalau dia hamil pasti langsung cerita. Ndak tahu nek ternyata misal belum cerita."

"O, ya sudah bu. Terimakasih, kami cek dulu ya bu,"

"Oh, iya mbak. Tolong ya mbak," ucap Bu Sukma dengan cemas.

Karena memang waktu sudah hampir tengah malam, jadi tidak ada dokter. Hanya ada beberapa perawat yang jaga IGD 24 jam di Klinik terdekat sini. Beruntungnya pendarahan Zahra segera berhenti setelah Ia mendapat penanganan pertama.

"Gimana mbak, anak saya ?"

"Alhamdulillah, mbak nya sudah sadar bu,"

Setelah perawat pergi Bu Sukma di izinkan masuk. Sementara Dani di suruh pulang ibunya menemani Dinda di rumah. Khawatir jika dua anak Nadia rewel dan Dinda kewalahan.

"Nduk, gimana? Yang kamu rasakan gimana? Mana yang sakit?" tanya Bu Sukma pada menantunya.

"Nggak apa, buk. Zahra cuma kecapekan aja. Ini juga sudah enakan. Pulang aja yuk,"

"Hus, istirahat sik. Besok ketemu dulu sama dokternya baru boleh pulang. Pake bobok dulu,"

"Tapi anak-anak gimana buk?"

"Wes, Aman ndak usah mbok pikirin. Sama Dinda dan Dani."

Zahra mengangguk. Matanya tampak sendu.

"Nduk... Ono opo ? Cerita o sama ibuk. Ojo kok pendem dewe. Lihat o, awakmu nggak kuat iki. Ojok stres, cerita o,"

"Buk... Hiks," Seketika tangis Zahra pun pecah. Isaknya terdengar pilu, Bu Sukma tampak mengelus pundak menantunya dan menunggu ia sampai tenang.

"Buk... Mas Dimas,"

"Yok onok opo ro Dimas, nduk ? Awakmu di apain ?"

"Mas Dimas nikah lagi buk, sama perempuan lain di sana."

"Hus, ojok ngawur ta ! Nggak lucu lho bercanda ne."

"Buk, Zahra tidak sedang bercanda. Mas Dimas sendiri yang mengatakannya kemarin. Bahwa dia sudah menikahi wanita asal Bogor saat mereka sama sama kuliah disana. "

"Astagfirullahal'adzim... Allahu Robbi.. Ya Allah nduk... Kok kebangeten... Astaghfirullah... Wong edyan ! Astagfirullah, ya Allah," ucap Bu Sukma sembari mengelus dadanya. Tak menyangka jika anaknya nekat melakukan itu. Dua tahun yang lalu, Dimas memang sempat meminta izin padanya untuk menikah lagi. Tapi Bu Sukma enggan memberi izin. Awalnya Bu Sukma pikir, setelah Dimas tidak mendapat restu darinya, Dia tidak akan melanjutkan niatnya. Nyatanya malah Dimas tidak mengindahkan ucapan ibunya. Bu Sukma tak pernah menaruh curiga selama ini, ternyata malah sudah terjadi sejak dua tahun lamanya. Air matanya kini ikut menangis. Terus terang perasaannya kini serba salah,

"Nduk... Ya Allah nduk... Nduk, maafin Dimas yo nduk. Awakmu ojok nyerah pokok e. Wes, nanti Dimas tak Hajar e. Kebangeten memang tu anak ! Awakmu kuat ya nduk, kuat. Ibuk rak sudi, punya mantu selain kamu. Astagfirullah, astagfirullahal'adzim..." ucap Bu Sukma Murka sembari menagisi tindakan anaknya yang baginya itu sangat memalukan.

Lain hal dengan Dimas yang kini kalang kabut di tinggal oleh Zahra. Sampai detik ini pun, dia belum bisa meluluhkan hatinya kembali walau Zahra tadi sudah mengatakan menerima pernikahannya dengan Nisa. Pikirannya runyam. Rangkaian cerita yang terjadi hari ini terus saja menghantuinya. Andai saja tadi dia tidak kalap terbawa emosi, mungkin malam ini Zahra masih di rumah.

Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi yang...

***

"Endaaaa... Nda..." Gadis kecil bermata coklat itu baru saja terbangun dari tidurnya. Ia berjalan keluar kamar sembari memegangi botol susu kosong dan mencari keberadaan Bundanya yang ternyata sudah pergi satu jam yang lalu.

"Yah... Nda kemana ?" tanyanya. Dimas yang sedari tadi sibuk bersama ponselnya itu pun menoleh sekilas.

"Bunda lagi keluar, dik. Kenapa ?"

"Wawa mau susu... "

"Iya, sebentar ya. Tunggu Bunda," ucap Dimas sembari meraih kembali ponselnya. Sejak tadi pikirannya sedang kacau sebab pertengkaran dengan Zahra, di tambah lagi juga pertengkaran dengan Nisa yang bersamaan.

"Hiks... Hiks... Maunya sekarang... " rengek Zahwa.

"Ssssss, ck. Iya iya iya, bentar Ayah buatin dulu. Tunggu, jangan nangis, berisik." Akhirnya Dimas berjalan ke dapur untuk membuatkan Zahwa susu. Tapi, saat pertengahan proses membuat susu, lagi-lagi Zahwa menangis karena kesusahan melepas celananya.

"Ayah... Ayah, pipis... "

"Iya sana pipis dulu a,"

"Nggak bisa yah. Nggak bisa. Hua... Udah basah. Bunda... Hua..."

"Ck" Dimas pun meninggalkan kompornya yang masih menyala untuk mendekati Zahwa,

"Astaga, dik... Kok ngompol sih ? Basah semua kan jadinya."

"Huaaaa... " Zahwa menangis lagi lebih kencang karena merasa di marahi oleh Ayahnya.

"Duh, malah nangis kamu itu. Duh... Ya ya bentar Ayah ambil susunya dulu, nanti Ayah ganti celananya." Dimas kembali lagi ke dapur, mematikan kompor dan membuat susu untuk Seina.

"Nih, susu nya di minum dulu ayah ambil kan celana. Jangan pindah dari situ, nanti lantainya jadi najis semua." ucap Dimas. Zahwa menerima botol susunya. Tapi baru di minum satu seruputan, tiba-tiba botol susunya di lempar ke tembok hingga bolong dan tumpah semua susu.

"Astaga, Zahwa ! Kenapa di buang susunya. Itu Ayah bikinnya susah payah tau. Kamu buang gitu aja. apa maksudmu ?"

"Huaaaa... Asin... Hua..." Zahwa kembali menangis dan berbarengan dengan suara dering ponsel Dimas yang berbunyi terus menerus hingga membuat pikiran Dimas semakin kalut.

"Haaaaiiish !" Dimas mengusap kepalanya dengan kasar, lalu mengangkat tubuh Zahwa ke kamar mandi mereka. Dan di kamar mandi, lagi-lagi dia di buat emosi dengan perbuatan Rayyan.

"Astagfirullah kak Ray. Apa yang kamu lakukan ?!" Dimas menurunkan Zahwa dan mendekati Rayyan. Rayyan tampak sedang berusaha membenarkan kran kamar mandinya yang patah akibat kesenggol saat ia bermain di kamar mandi. Air keran itu tumpah kemana-mana hingga membuat Dimas makin emosi.

"Maaf Ayah... "

"Astaga Ray. Tingkahmu itu lo, selalu saja begitu. Berapa kali Ayah bilang, yang bukan mainan itu jangan di pakai mainan !" reflek Dimas memukul kepala Rayyan dengan gayung. Sontak anak tujuh tahun itu menangis kejer. Ini pertama kalinya Ayahnya main tangan dengannya. Bahkan, baru kali ini juga Rayyan melihat Dimas marah hingga ia sangat ketakutan. Biasanya, ayahnya bak malaikat yang selalu menolongnya saat di omelin Bunda. Ayahnya yang selalu memujanya dengan caranya. Selalu memberinya perhatian lebih, bahkan anak-anak seusianya saja iri padanya. Walau sering LDR, tapi ketika pulang kerumah, kasih sayangnya selalu full tanpa batas. Hanya Hari ini saja terasa berbeda, hingga Rayyan pun berpikir, memang Rayyan lah yang nakal hingga Ayahnya marah.

Tangisan Rayyan dan Zahwa jadi beriringan hingga membuat Dimas semakin emosi, "DIAM !" gayung itu pun terangkat kembali dan hampir saja,

"Astagfirullah, Mas !!! "

"Aaagrrh.. Nggak, nggak. Ini nggak boleh berlarut larut. Ya, aku harus mencari mereka sekarang, harus."

Setelah Hakim tersadar dari lamunannya, ia pun segera bergegas ke garasi untuk mengambil mobilnya. Ya, malam ini ia memutuskan untuk mencari Zahra dan anak-anak. Ia yakin tak jauh. Kemana lagi Zahra pergi kalau bukan ke rumah ibunya. Kemana lagi, Dia tak punya siapa siapa.

Tok tok tok tok...

"Buk... Dinda... "

Tok tok tok...

Beberapa kali Dimas mengetuk pintu, hingga ketukan ke empat, baru nampak wajah cantik adiknya yang tampak sendu.

"Loh, mas ?"

"Din, Mbak Zahra di sini ?"

"Eum... Baru aja di bawa Mas Dani sama ibuk ke Rumah sakit."

"Rumah sakit ?" Memangnya Zahra kenapa?"

"Nggak tahu o mas, tadi ada banyak darah juga di rok mbak Zahra."

"Ya Allah, Zahra. Ya sudah, aku nyusul ibuk dulu ya Din. Anak-anak sama kamu kan ?"

"Iya mas,"

Dimas pun kembali mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beruntung jalanan sepi, karena memang sudah masuk tengah malam. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang kebetulan lewat. Hingga tiba di sebuah rumah sakit yang di infokan oleh Dinda. Dimas melangkah cepat menuju ruang dimana Zahra mendapat penanganan.

Jantungnya berdegup kencang, kala ia memegang hendle pintu dan membukanya,

"Wes merasa hebat awakmu iso nyanding bojo loro ?" (Sudah merasa hebat kamu menikah India wanita?)

"I i ibuk ?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
baimibrahim
ceritanya gimana Thor kok banyak typo,namanya berubah2 ada Zahra,Nadia,Siena bingung jadinya,meski paham jua. lanjut ya Thor......
goodnovel comment avatar
deandra
typo namanya byk bnr, jd bingung bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Madu Suamiku   Sahabat sedekat nadi

    Sementara Di sudut kota itu, tepatnya di sebuah restoran bernuansa hangat, Zahra dan Resti tengah menghabiskan waktu yang biasa di sebut me time. sementara anak-anak sedang bersama neneknya, pagi tadi di jemput Dani dan Dinda, katanya Neneknya rindu."Jadi, serius Bundanya Zean minta kamu nikah sama anaknya?""Iya, Res. ""Ya bagus dong, terus apa yang membuat kamu risau? Itu justru bagus, kalian jadi selangkah lebih maju dong. Harusnya kamu malah seneng lah, udah ketemu sama calon mertua dan disambut dengan baik, bahkan malah di restuin begitu. ""Nggak gitu, masalahnya, kayaknya Bundanya Zean nggak tahu deh kalau aku ini seorang Janda. Apalagi punya dua anak. Kalau tahu sepertinya tak mungkin bundanya Zean nyuruh aku nikah sama anaknya. mana ada seorang ibu nyuruh anaknya nikahin janda, sementara anaknya aja masih jejaka, Res!""Eum... Tapi kalau kamu sendiri gimana, Za?""Gimana apanya?""Ya... Perasaan kamu. Gimana?""Aku? Eum.... "Reesss... Please deh, kita sudah bahas ini sebel

  • Madu Suamiku   Karma Dimas

    Dua hari ia lontang lantung di jalanan setelah kecopetan di terminal. tak ada uang, tak ada hp, akhirnya ia duduk di halte dekat terminal untuk mencari truk muatan barang yang bisa ditumpangi sampai ke malang."Ssshiiit, lapar banget sumpah. Mana nggak ada duit," gumamnya sembari memegang perutnya yang sedari pagi bunyi. Alarm perutnya juga semakin kencang ketika mencium aroma makanan yang di jual di warung sekitar."Bang, minta makanannya dong bang, saya dari dua hari lalu belum makan," ucapnya pada seorang pria yang duduk di halte juga sembari menunggu kedatangan bus. Di tangannya ada kebab yang baru ia makan seperempatnya. Pria itu tampak melihat Dimas dari atas hingga kebawah, "minta, minta! Sana kerja! Masih muda bukannya kerja malah minta minta! Nggak ada nggak ada! Sana!" ucapnya kemudian ia tampak berdiri, "lu mau minta kan? Niiih," ucap Pria itu lagi dengan melempar makanannya ke kaki Dimas. Kemudian ia pun pergi dari Halte tersebut. Sungguh ia tak tahan dengan bau tubuh Dima

  • Madu Suamiku   Menjemput kesalahan

    "Ah, enggak kok Zean, aku baik-baik saja. Nggak ada masalah. Tadi dia bilang mau jemput Nisa ke Bogor.""Mmm... Terus, kamu gimana? Masih... Cemburu kah? Masih Cinta? ""Zean... Namanya juga hati pernah alumni. Pernah ada dan masih di ingatan. Tapi kalau Cinta... Enggak sih. Sudah pudar seiring berjalannya waktu. Apalagi, kisah kita terlalu menyakitkan.""Em... Oke. Oh ya, Za. Kita langsung pulang ya, aku harus buru-buru.""Oh Oke baik. Ada meetingnya Zean? Tadi harusnya nggak apa-apa kok kalau kamu sibuk. Aku bisa sendiri cukup kamu kasih kontaknya saja.""Enggak... Zahra. Aku free hari ini. Tapi tiba-tiba mama jatuh di kamar mandi tadi kata suster. Jadi aku harus buru-buru pulang.""Astagfirullah. Ya Allah, Zean! Yaudah aku ikut aja deh. Aku juga khawatir sama mamah kamu.""Nggak apa-apa?""Aman.""Ya sudah, Ayo.".******Tiga hari berlalu setelah Nina membawa Nisa ke sebuah pondok pesantren. Sore tadi juga Pak Rustam di antar pulang oleh Nina. Semoga menjadi kesempatan agar Ayah Bu

  • Madu Suamiku   Rumah Baru Zahra

    Zahra menoleh. Ia melihat Dimas berlari ke arahnya dengan nafas terengah-engah. "Sorry Neng, ganggu. Aku cuma mau nitip ini buat anak-anak kok." "Jangan di tolak, please. Mungkin Itu untuk yang terakhir kalinya kok Neng, untuk kedepannya aku belum bisa janji bisa ngasih mereka lagi. Tetap aku usahakan. Oh ya, minta doa nya ya Neng. Aku... Mau ke Bogor." "Kamu mau jemput Nisa mas?" "Iya Neng... Aku mau jemput Nisa. Kamu nggak masalah, kan?" "Hm? Ya nggak lah! Justru aku seneng, akhirnya kamu sadar!," "Neng, kok kamu malah seneng? Kamu nggak marah Neng?" "Ha? ngapain juga harus marah mas? Kalau kamu masih suamiku pantas aku marah. Statusnya kan sekarang beda. Yang istrimu sekarang Nisa. Kalau aku marah ya malah aku yang agak lain, kalau dulu marahnya karena kamu salah, sekarang kan kamu benar mau jemput Istri, bukan lagi selingkuhan." "Oh, Iya ya. Hehe. Ya... Ya udah, a aku pergi dulu ya," ucap Dimas sembari garuk kepala yang tak gatal. Ia pun tampak nyengir "Kamu mau pergi jug

  • Madu Suamiku   Posisi Sulit

    "Hiks... Hiks... Nin.. Aku bener-bener bingung, aku benar-benar merasa berada di titik terendahku. Aku merasa Tuhan benci sama aku, aku rasa Tuhan nggak adil, dan aku juga merasa kotor. Tapi untuk belakang ini, aku sudah penuh lima waktu kok, Nin. Aku sudah benar-benar taubat. Aku... ""Bagus lah, aku harap kamu benar-benar bertaubat dari Hati Sa. Aku sarankan sama kamu, lebih baik kamu segera minta maaf pada Istrinya Dimas. Entah, Aku merasa mungkin itu bisa meringankan perjalanan hidupmu.""Iya, Nin. Insyaallah secepatnya. Kalau Ayah... Gimana ya Nin? Aku juga nggak mau kok, Ayah sama Bunda jadi kayak gitu. Tapi aku harus gimana? Jadi aku harus benar-benar pergi?""Yuk, kita pulang, Nisa!" ucap Bunda Alina yang tiba-tiba sudah berada di ujung tangga. Matanya tampak sembab memerah, mungkin habis menangis atau..."Bunda?" ucap Nina dan Nisa bersamaan. Kemudian keduanya berdiri dan menghampiri Bundanya."Loh, Bunda mau pulang sekarang?" tanya N

  • Madu Suamiku   Nasihat Saudara Kembar

    Tiga kali ketukan, tampak seorang wanita yang mungkin seusianya itu menyembul dari balik pintu."Eh, Bu Alina. Mari masuk bu, yang lain pada di ruang tengah," ucapnya dengan ramah."Oh iya, terimakasih mbok,"Mereka pun berjalan beriringan hingga di ruang tengah, tepatnya ruang keluarga"Assalamu'alaikum"Mereka yang tadi asik bercanda dengan cucu pertama keluarga Rustam itu langsung menoleh"Loh, Ayah .. Kok main nggak ajak ajak sih, Bunda kan juga kangen sama Princes satu it.. ""Ngapain kamu ajak dia kesini?""A.. Ayah... ""Sudah ku katakan padamu, aku tidak mau melihat dia lagi! Kenapa kamu bawa dia kesini?! Kamu mau bawa penyakit kesini! Suruh dia pergi! Atau kamu sekalian saja pergi, kalau nggak mau nurut sama suami! " Hardik Pak Rustam, seketika semuanya terdiam. termasuk juga asisten rumah tangga di rumah itu. Dengan sigap Azam mau mengajak Azira pergi, tapi di tahan oleh Nina. Nina nengambil Azira

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status