Mereka akhirnya keluar dari taman itu. Nafas terasa lebih ringan, seakan ciuman kecil tadi menenangkan sesuatu yang sejak lama menggantung di antara mereka.
Shaquelle berjalan ke mobil sambil melirik Aurelie. “Oke, next stop: isi perut. Kamu pasti lapar.”Aurelie pura-pura masa bodoh. “Kalau isi perut sambil denger pick-up line absurd lagi, mending anter aku pulang.”Shaquelle tertawa. “Janji. Murni makan. Tanpa tambahan gombal.”Mereka masuk ke mobil. Shaquelle menyetir dengan santai, jalanan sudah mulai padat, tapi mood di antara mereka terlalu bagus untuk diusik klakson Jakarta.Shaquelle berhenti di depan restoran kecil bergaya industrial Jepang, di Senopati juga. Tempatnya cozy, semi-outdoor dengan kursi-kursi kayu dan tanaman rambat menghiasi sudut.Aurelie mengangkat alis. “Kamu enggak salah pilih tempat?”Shaquelle pura-pura tersinggung. “Hei, aku punya selera bagus, tahu.”Mereka duduk di pojokan restoran. Pelayan datang, membawa menuMobil hitam Shaquelle akhirnya melambat, berbelok ke jalanan kecil yang lebih sepi.Aurelie mulai duduk lebih tegak, tangan di pangkuannya. Jantungnya sedikit tidak teratur.Shaquelle melirik ke samping, memperhatikan perubahan kecil di gestur Aurelie. “Tenang aja, aku bukan tipe yang parkir lama sambil baca puisi.”Aurelie mendelik. “Aku lebih takut kamu buka playlist lagi.”Shaquelle tertawa pelan. “Tenang. Playlist udah aku taklukin.”Mobil berhenti perlahan di depan pagar rumah bercat putih. Lampu taman kecil menerangi jalan setapak menuju pintu depan. Rumah sederhana. Hangat. Cocok dengan bayangan Shaquelle tentang Aurel.Shaquelle mematikan mesin. Tapi tidak langsung bicara.Aurelie membuka seatbelt, lalu memutar tubuhnya sedikit ke arahnya.“Thanks,” katanya singkat.“Anytime,” jawab Shaquelle, suaranya pelan. “Makasih juga udah mau… nemenin hari absurd ini.”Mereka diam. Lagi. Tapi bukan diam aneh.Shaquelle menatap Aure
Mereka akhirnya keluar dari taman itu. Nafas terasa lebih ringan, seakan ciuman kecil tadi menenangkan sesuatu yang sejak lama menggantung di antara mereka.Shaquelle berjalan ke mobil sambil melirik Aurelie. “Oke, next stop: isi perut. Kamu pasti lapar.”Aurelie pura-pura masa bodoh. “Kalau isi perut sambil denger pick-up line absurd lagi, mending anter aku pulang.”Shaquelle tertawa. “Janji. Murni makan. Tanpa tambahan gombal.”Mereka masuk ke mobil. Shaquelle menyetir dengan santai, jalanan sudah mulai padat, tapi mood di antara mereka terlalu bagus untuk diusik klakson Jakarta.Shaquelle berhenti di depan restoran kecil bergaya industrial Jepang, di Senopati juga. Tempatnya cozy, semi-outdoor dengan kursi-kursi kayu dan tanaman rambat menghiasi sudut.Aurelie mengangkat alis. “Kamu enggak salah pilih tempat?”Shaquelle pura-pura tersinggung. “Hei, aku punya selera bagus, tahu.”Mereka duduk di pojokan restoran. Pelayan datang, membawa menu
Mereka melewati taman kota yang biasanya ramai, tapi Sabtu pagi membuatnya tenang. Ada beberapa pasangan muda berjalan santai, anak-anak kecil main sepeda roda tiga, dan beberapa orang tua duduk di bangku taman sambil baca koran atau sekadar menikmati udara segar.Shaquelle memperlambat mobilnya. Tangannya santai di setir, tapi matanya melirik ke arah taman.“Rel,” katanya, setengah serius, “kamu suka taman?”Aurelie menoleh sekilas. “Kalau taman kayak gini, suka. Enggak terlalu rame. Kenapa?”Shaquelle tersenyum kecil. “Mau turun? Jalan sebentar?”Aurelie mengerjap, ragu. Dia menoleh ke luar jendela. Taman itu memang terlihat… damai. Beda dari keramaian kantoran biasa.“Ayo lah,” desak Shaquelle. “Weekend. Jalan bentar. Hitung-hitung olahraga ringan sebelum makan siang.”Aurelie menimbang. Tapi akhirnya mengangguk pelan.“Oke. Tapi sebentar aja.”Shaquelle tersenyum lebar, langsung menepikan mobil ke area parkir kecil di sisi jalan.
Sebuah kafe mungil di pojok Senopati, belum ramai.Halaman kecilnya ditumbuhi bunga lavender dan ada satu meja paling ujung—tersembunyi tapi cukup terbuka untuk mencuri angin pagi.Shaquelle sudah duduk di sana. Hoodie abu-abu. Rambut sedikit acak, tapi sengaja. Teh tarik dua gelas di atas meja—satu polos, satu pakai boba.Dia bolak-balik ngetuk-ngetuk meja pakai jari telunjuk. Lalu mengeluarkan ponsel, mengetik cepat di sana.Shaquelle: Aku udah di pojok, samping pohon beringin kecil. Pakai hoodie Abu-abu. Ganteng kayak biasa.Aurelie (seen).Shaquelle mendengus pelan, senyum geli sendiri.Lalu dari kejauhan…Langkah. Lembut. Netral.Aurelie muncul. Dengan celana jeans biru muda dan cardigan tipis. Wajahnya segar, tapi matanya curiga.Meski begitu, di mata Shaquelle, itu cukup membuat jantung berdegup daripada semua model yang pernah dia temui.Shaquelle berdiri cepat—nyaris tersandung kaki meja. “Hei!” sapanya, terlalu semangat. “Kamu datang!”Aurelie menyipitkan mat
Jumat malam – 22.39 WIBLangit Jakarta sudah lengang. Tapi dua kepala di tempat berbeda, sama-sama penuh.*Di rumah AurelieLampu meja masih menyala. Tablet menyala. Wajah Aurelie terang setengah cahaya kuning, setengah cahaya biru layar.Dia duduk di kasur dengan kaki menyilang dan wajah frustrasi.“Ngapain sih aku jawab email kayak gitu?” gumamnya. Lalu membaca ulang balasannya.PS: Aku enggak minum teh tarik sore-sore, Pak. Tapi kalau Sabtu pagi, mungkin boleh.“Ya ampun. Mungkin boleh? Mungkin?! Boleh?!”Aurelie menepuk bantal, lalu menenggelamkan wajahnya ke sana.Mami Nadira yang melewati kamar Aurelie saat menuju kamarnya dan mendapati lampu kamar sang putri masih terang-benderang kemudian berteriak dari depan pintu, “Aureel, tidur! Nanti kulitmu jadi kusam, sayang!”“Iya Mi!” jawab Aurelie dengan wajah yang justru makin kusut sendiri.Dia bangkit dari kasur. Menghadap lemari.Buka pintu lemari, ambil satu sweater. Letakkan lagi. Ambil jaket denim. Tatap. Lalu hempa
Satu jam setelah demo selesai, lantai 17 seperti baru pulang dari upacara kelulusan.Reza membuka jaket dan menyender di kursinya seperti baru lolos Ujian Nasional.Sedangkan Mira berdiri di dekat printer tampak mengobrol dengan senior IT dan senyumnya lebih lebar dari biasanya.Bahkan Rika, yang biasanya sibuk mengetik sambil nyumpah dalam hati, terlihat mengunyah permen sambil scroll IG.Tapi di tengah euforia itu, Aurelie malah merasa seperti magnet perhatian. Lagi.“Gila, kamu tadi tenang banget pas presentasi. Kayak robot,” ujar Reza mengajak ngobrol sambil mendekati meja Aurelie.“Masa?” jawab Aurelie, setengah bingung.“Bukan negatif. Justru itu. Kamu kayak AI yang nyatuin coding, desain, dan tatapan penuh tekanan,” lanjut Reza.Aurelie hanya tersenyum tipis. Tapi diam-diam, dia masih kepikiran satu momen;Shaquelle.Lorong.Dinding kaca.Bibirmu, bibirku. Ya Tuhan.“Rel,” panggil Mira, tiba-tiba muncul di samping meja.Aurelie langsung duduk lebih tegak. “Ya, Bu?