Keesokan paginya, Alya terbangun di ranjang Arka dengan perasaan hampa. Rasa malu dari kejadian semalam begitu membekas hingga ia tidak berani beranjak dari tempat tidur. Ia sengaja menunggu, mendengarkan dengan saksama setiap suara di dalam rumah. Ia mendengar langkah kaki Arka di luar kamar, suara pintu kamar mandi, lalu langkah kaki yang menjauh menuruni tangga. Ia tidak mendengar pria itu kembali naik.Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara mesin mobil dinyalakan lalu menjauh. Arka sudah pergi. Tanpa sarapan bersamanya. Tanpa menemuinya. Pria itu secara aktif menghindarinya.Dengan perasaan berat, Alya turun ke bawah. Hanya ada satu piring yang disiapkan di meja makan.“Bapak sudah berangkat dari subuh, Neng,” kata Mbak Rini saat melihat Alya. “Katanya ada rapat penting di luar kantor.”Alya tahu itu hanya alasan. Penolakan Arka semalam kini terasa semakin nyata dan menyakitkan. Ia duduk sendirian, menyantap sarapannya dalam keheningan yang terasa memekakkan.Hari itu, Alya me
Keheningan di ruang keluarga itu terasa begitu pekat hingga Alya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang menggema di telinga. Ia membeku di tempat, tangannya masih mencengkeram kerah blazer Arka, wajahnya memerah padam karena malu yang luar biasa. Tertangkap basah. Tidak ada alibi, tidak ada jalan keluar.Arka berjalan mendekat, langkahnya pelan dan penuh selidik. Ia berhenti tepat di hadapan Alya, matanya yang tajam menatap lurus ke mata Alya yang panik, lalu turun ke blazer miliknya yang ada di genggaman gadis itu. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang murni.“Alya,” ulangnya, kali ini suaranya lebih lembut, lebih seperti sebuah pertanyaan daripada tuduhan. “Aku tanya sekali lagi. Apa yang sedang kamu lakukan?”Alya melepaskan blazer itu seketika, seolah benda itu baru saja menyetrumnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak sanggup menatap wajah Arka. Ia harus mengatakan sesuatu. Kebohongan apa pun. Ada debu, Pak. Saya kira ada serangga. Tapi semua alasan itu terdengar b
Memberi kabar pada Nindya—meskipun dibalut kebohongan—anehnya memberi sedikit napas lega bagi Alya. Mengetahui ada seseorang di luar sana masih ada yang peduli, membuatnya merasa tidak benar-benar tenggelam sendirian. Tapi kelegaan itu fana. Di balik pagi yang tenang, malam-malam tetap menyimpan monster yang sama: sepi, trauma, dan luka-luka yang belum sembuh.Hari-hari berikutnya menjelma menjadi rutinitas aneh. Sebuah kebiasaan baru yang memalukan namun tak bisa dihentikan. Alya menemukan candu kecil yang tak pernah ia duga akan membuatnya bertahan.Semuanya bermula pagi itu. Setelah Arka berangkat kerja, Alya sedang merapikan kamar seperti biasa. Di lantai, tergeletak kaus pria itu—yang semalam dipakainya. Ia membungkuk, berniat memasukkannya ke keranjang cucian, namun tangannya berhenti.Ada aroma samar di kain itu. Hangat, sedikit tajam, tapi menenangkan. Aroma yang sama seperti saat ia memeluk kemeja Arka beberapa malam lalu—waktu pikirannya kacau dan hatinya tercekat.Dengan ra
Ponsel itu terasa seperti sebuah granat di tangan Alya. Berat dan berpotensi meledak kapan saja. Setelah berperang dengan dirinya sendiri, ia memutuskan bahwa menelepon terlalu berisiko. Mengetik pesan lebih aman. Ia bisa menyusun kata-katanya dengan hati-hati.Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi pesan dan mengetik balasan untuk Nindya.Nin, maaf banget baru bales. Aku beneran sakit parah, jadi sama dokter nggak boleh pegang HP dulu. Ini aja curi-curi kesempatan. Makasih banyak ya buat kirimannya. Aku seneng banget dapet boneka beruangnya.Send.Balasan dari Nindya datang dengan cepat, penuh kekhawatiran dan pertanyaan, yang memaksa Alya untuk mengetik kebohongan lain yang lebih besar.JANGAN! Jangan, Nin. Aku… aku lagi nggak di rumah. Aku lagi di rumah saudara di luar kota, biar lebih tenang katanya. Nanti kalau udah baikan, aku janji aku yang samperin kamu, ya.Setelah percakapan singkat itu berakhir, Alya melempar ponselnya ke sofa. Ia merasa lega karena berhasil mencegah Ni
Pagi di hari kelima Alya menjadi tawanan terasa sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia terbangun di ranjang Arka yang luas dan dingin. Rasa nyeri di tubuhnya sudah sedikit berkurang, namun digantikan oleh kehampaan yang terasa lebih berat. Ia tidak lagi menangis. Air matanya seolah sudah kering.Tok. Tok.Pintu kamarnya yang tidak lagi dikunci diketuk pelan. Mbak Rini masuk dengan nampan sarapan tanpa menunggu jawaban.“Sarapannya, Neng,” ujar Mbak Rini, meletakkannya di meja. Menunya sama seperti kemarin: bubur, jus, dan jajaran vitamin.Alya duduk dan mulai makan secara mekanis. Ia makan bukan karena lapar, tapi karena ia tahu, jika nampan itu kembali dalam keadaan utuh, Arka akan tahu. Dan ia tidak ingin memancing reaksi apa pun dari pria itu. Ia hanya ingin menjadi tak terlihat.Setelah Mbak Rini pergi, Alya menatap ke luar jendela. Dunia di luar sana berjalan normal. Tapi dunianya telah menyempit menjadi sebatas kamar tidur mewah ini. Merasa sesak, sebuah impuls mendorongnya untuk
Hal pertama yang menyambut Alya saat kesadarannya perlahan kembali adalah rasa nyeri yang tumpul namun persisten di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berat seolah diisi timah, dan setiap sendinya mengirimkan sinyal protes saat ia mencoba bergerak. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali. Langit-langit berwarna kelam. Ini kamar Arka. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menoleh ke samping. Jantungnya yang berdetak lemah seolah berhenti seketika. Di sudut ruangan yang gelap, di atas sebuah kursi berlengan yang besar, Arka tertidur dalam posisi duduk yang jelas tidak nyaman. Kepalanya terkulai ke samping, kemeja birunya kusut masai, dan rambutnya yang biasanya tertata sempurna kini jatuh berantakan menutupi keningnya. Satu tangannya yang terbalut perban terkulai lemas di sisinya. Dia di sini? Semalaman? Di kursi itu? batin Alya, mencoba memproses pemandangan yang tidak masuk akal itu. Pria yang semalam adalah monster, kini tertidur seperti seorang penjaga yang kelelahan. Otakn