"Itu artinya kamu tahu di mana Mama?" Kaivan bertanya dengan tidak sabar untuk mendapatkan jawaban."Kalau pun Haura tahu, Haura gak akan bilang ke Papa. Dinomor duakan itu sakit, Pa. Haura tahu gimana rasanya.""Papa gak pernah menomorduakan mamamu, Sayang." Kaivan mencoba menyangkal."Papa bisa ngomong gitu, tapi kenyataannya Mama selalu merasa kesepian. Dan, Papa gak sadari itu.""Papa benar-benar gak bisa jauh dari Mama, Nak. Tolong Papa. Minta Mama pulang. Atau bilang sama Papa, di mana Mama, biar Papa jemput.""Papa cari aja sendiri, Pa. Kalau Papa benar-benar masih mencintai Mama, Papa pasti bisa menemukan Mama."***"Gimana nih, Boy? Apa kita ikat aja? Berontak melulu nih betina, macam cacing kepanasan." ucap Pria yang memiting tangan Aira. Sementara satu pria lagi sedang fokus mengemudi.Aira menggeleng. Ia tidak lagi bisa bersuara karena mulutnya sudah di tutup dengan lakban.Suara gesekan ban menggores aspal kasar di jalanan kota yang mulai padat. Di dalam mobil van hitam,
"Nona Aira! Kami diperintahkan untuk menjemput Anda." Aira mengerutkan dahi ketika seseorang berdiri di depan pintu ketika Aira membukanya. Antara bingung dan kecewa tidak dapat tergambarkan dengan jelas di wajahnya. Keduanya saling tumpang tindih. Ketika pintu diketuk tadi, Aira sudah kegirangan karena ia pikir Kaivan kembali mengunjunginya. Namun, ia terpaksa menelan pil pahit yang bernama kecewa ketika tahu kalau yang datang kedua orang yang tidak pernah ia kenal. Boro-boro kenal, ketemu aja baru sekarang."Jemput, maksudnya?" tanya Aira heran."Anda harus meninggalkan tempat ini sekarang juga," ucap tegas pria berpakaian hitam-hitam itu."Tapi kenapa? Dan, siapa kalian?" tanya Aira tanpa mampu menyembunyikan kecemasannya."Karena ini perintah!" jawab pria berperawakan tinggi itu. Aira harus sedikit mendongak jika ingin menatap wajahnya."Siapa kalian berani-berani perintah saya."Pria itu hanya tersenyum tipis. Terlihat tidak ingin menjawab pertanyaan Aira yang menurutnya tidak
"Bapak makan aja dulu, setelah itu baru saya jawab pertanyaan-pertanyaan Bapak itu."Melati mengangkat nampan ke pangkuan sang majikan. Kali ini tanpa penolakan."Jangan bohongin saya, ya, Mel. Kamu udah janji loh." Kaivan menegaskan. "Iya, Pak. Saya gak ingkar janji, tapi saya hanya jawab yang saya tahu aja." Melati berucap tanpa beranjak ke mana pun. Ia masih berdiri tegap di tempat yang sama, denga posisi tangan di belakang pinggang—layaknya seorang bodyguard bersiaga untuk tuannya. mengangguk. Kemudian mulai menyantap hidangan makan siang yang disiapkan khusus untuknya. Setelah satu suap, ia terdiam sejenak. "Ini masakan istri saya, Mel," ucap Kaivan pelan, tetapi yakin.Melati mengangguk. "Iya, Pak. Bu Alya yang masak tadi pagi sebelum pergi. Yang tadi pagi dihidangkan untuk Bapak tapi tidak Bapak sentuh," sindir Melati kemudian tanpa ekspresi. Kaivan tidak mengatakan apa pun lagi. Ia terus menyantap makanannya sampai habis. Tanpa diingatkan Melati, ia juga meminum obat yan
Pagi-pagi, beberapa jam yang lalu. Alya keluar dari mobil yang ia kendarai sendiri setelah sampai titik lokasi yang dikirim seseorang lewat aplikasi pesan hijau. Alya berjalan menapak rerumputan hijau. Sebuah taman kecil yang berada di salah satu sudut kota. Tak jauh dari taman itu, di bagian bawah terdapat danau kecil.Aira menyisir sekeliling dengan pandangannya. Kemudian berhenti pada sesosok yang mengenakan stelan jaket abu-abu dan topi hitam berdiri di bawah pohon. Di depannya ada sebuah meja dan kursi kayu sepanjang dua meter.Alya melangkah perlahan untuk turun. Pria itu melempar senyum kecil setelah wanita itu sampai di bawah. Alya sama sekali tidak membalas, ia justru memasang wajah datar dan terkesan jutek.“Kenapa harus di tempat seperti ini, sih?” Alya bertanya sambil memutar pandang ke sekeliling. Di beberapa tempat, terdapat beberapa pasangan tempat muda-mudi tengah bercengkerama.“Fokus saja pada masalahmu, Al, jangan pada mereka,” ucap pria itu mengingatkan dengan nad
Kaivan kembali melajukan mobilnya untuk pulang. Berharap Alya sudah pulang. Sebelum menambahkan keceplosan, kaivan mengirim pesan suara."Maaf, gue nyerah gak bisa bantuinn lagi, Zam. Untuk urusan Aira, tolong jangan libatkan gue lagi. Gue harap lu ngerti. Lu mau bilang gue brengsek, gak tanggung jawab, terserah deh. Gue gak mau nyesel seumur hidup karena korbanin perasaan Alya demi Aira."[Oke, lu gak usah pikirin Aira lagi. Semoga lu gak terlambat, Kai.]Balasan yang dikirim Azzam membuat Kaivan menambah kecepatan dua kali lipat.Akan tetapi Kaivan harus menelan kecewa ketika tidak menemukan Alya di rumah. "Mamamu belum pulang, Ly?" tanyanya pada sang menantu setelah mencari setiap sudut rumah. Ia memang tidak melihat mobil Alya terparkir di depan, tetapi tetap berharap istrinya iyya sudah ada di dalam rumah. Ia mencoba menghubungi Alya lagi. Namun, sama seperti sebelumnya, Alya sama sekali tidak mengangkatnya. Bahkan pesan yang tadi pria itu kirim hingga sekarang masih belum te
Pintu terbuka perlahan, disambut wajah Aira yang tersenyum lebar. Sementara di depannya berdiri dengan wajah masam. Sama sekali tidak membalas senyum yang Aira lempar. Tanpa suara atau sapaan basa-basi, Kaivan langsung mendorong pintu itu lebih lebar dan melangkah masuk. Langkahnya berat, tetapi pasti. Napasnya berderak di dada, seperti menahan batu yang tak bisa ia lempar ke mana pun. Aira menutup pintu dengan lembut—seolah tidak ada masalah serius. Ia lalu berjalan di belakang pria itu. “Akhirnya Om datang juga, makasih, ya,” ucap Aira dengan nada terlalu ringan untuk pagi yang penuh tekanan seperti baru saja ia terima. “Kangen, kan, Om?” Tanpa beban dan peduli pada apa pun, melingkarkan tangan pada perut Kaivan. Refleks Kaivan memutar tubuh, sembari melepas tangan Aira yang mengurung dirinya. Mereka kini tengah berdiri di ruang tamu. “Cukup Aira. Saya mohon berhenti sampai di sini.” Kaivan berseru dengan tegas. Untuk sejenak, Kaivan menatap sofa kecil tempat ia dul